Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tebing Cahaya
MENU
About Us  

Hari bergeser pelan, menyodorkan wajahnya yang bening seakan baru dicuci embun. Roni membuka mata, mendahului kokok ayam namun kalah cepat dari kabut yang sudah lebih dulu menguasai lembah. Dari serambi vila, ia melihat butiran embun berbaris di pagar bambu seperti aksara samar yang belum sempat diucapkan. Angin lewat ragu-ragu, membawa pilihan aroma: kayu basah yang menua, atau hijau kebun yang baru ditata.

Ia menyalakan kompor minyak, menunggu air berdegup. Sementara itu, ia membuka ransel dan mengeluarkan peta—yang semalam dilipat rapi seperti surat yang belum berani dikirim. Tulisan tangan ayah di pinggir masih terasa segar, seolah tinta menolak tua: tanah ini pernah kita pinjam dari arang—kembalikan dengan sesuatu yang bisa ditanam.

“Bisa ditanam,” ulang Roni tanpa suara. Kata-kata itu bukan hanya moral; ia terasa praktis seperti cangkul yang tak mau ditaruh terlalu lama.

Air mendidih. Ia menuangkan ke cangkir, menaruh gula takaran “secukupnya” yang hanya bisa dimengerti lidah yang tumbuh di rumah ini. Ketika ia hendak menyesap, langkah ringan masuk dari halaman.

“Mas Kota sudah bangun jam segini?” Ahyi muncul dengan rambut diikat asal, kaus yang kebesaran di bahu kanan, dan tangan yang bau sabun cuci—bersih dengan cara yang tidak sinis.

“Lagi berusaha jadi manusia pagi.” Roni mendorong cangkir. “Minum? Manisnya sedang berpikir.”

“Takut nanti pikirannya berubah,” jawab Ahyi, duduk tanpa menunggu dipersilakan. Mereka minum pelan—ada jeda yang tidak buru-buru mencari isi.

“Pak Lurah buka jam berapa?” tanya Roni.

“Balai desa? Pagi ini katanya ada ibu-ibu kumpul. Mereka mau bahas urusan posyandu dan jalan setapak yang amblas sedikit. Kau mau ikut?”

“Aku mau lihat arsip tanah. Katanya ada catatan pinggir Ayah.”

“Kalau soal catatan pinggir, ibu-ibu juga arsip berjalan,” Ahyi terkekeh. “Mereka bisa cerita hal-hal yang tidak masuk peta.”

Roni menaruh cangkir, memasukkan peta dan kotak kecil peninggalan gudang ke dalam ransel. “Kalau begitu, mari kita bertanya pada orang yang hafal letak batu licin.”

“Dan hafal letak aib masa kecilmu,” seloroh Ahyi.

Roni menghela napas dramatis. “Itu arsip yang sebaiknya disegel.”

Mereka berjalan. Jalan tanah masih memelihara bekas roda dan ingatan hujan yang menua. Udara pagi sejuk, dan pelan-pelan desa bangun dengan kebiasaan yang panjang: pintu yang dibuka separuh dulu sebelum seluruhnya, sapu lidi yang memesan suara di halaman, anak kecil yang menguji tali sandal di tangga. Balai desa berada di ujung lapangan kecil dengan ring basket yang catnya habis diurus oleh matahari. Di dinding balai: poster imunisasi, jadwal ronda, pengumuman lomba tumpeng yang sudah lewat tapi tak ada yang tega menurunkannya.

Di teras, ibu-ibu duduk melingkar. Kain jarik menelurkan motif yang untuk sesaat terasa lebih tua dari kata “motif”. Ada yang menggendong bayi, ada yang menimbang daun sirih di telapak tangan, ada yang memelintir rambut sendiri seperti tali pikiran.

“Roni Amarfi,” sapa seorang ibu dengan suara yang membawa wangi kayu manis. “Mirip ayahmu kalau diam, mirip ibumu kalau ketawa.”

“Bu Endah?” Roni mencondong, menyalami. “Masih tidak mau buka warung bakwan lagi?”

“Bakwan sekarang pindah ke posyandu,” jawabnya sambil terkekeh. “Biar anak-anak tahu cinta pertama itu tidak selalu manis. Duduk, Nak. Ibu-ibu lagi rapat.”

“Rapat ibu-ibu itu VVIP,” bisik Ahyi. “Kalau kamu mengganggu, kamu jadi agenda kedua.”

Roni mengangkat dua tangan. “Saya siap jadi notulis.”

Rapat dimulai dengan gaya yang hanya dimengerti orang yang sudah bertahun-tahun hidup bersama: tidak ada palu, tapi ada tatapan yang memberi giliran; tidak ada catatannya, tapi semua orang ingat. Hal yang dibahas sederhana—tetapi justru karena sederhana, ia dekat dengan napas: posyandu minggu depan butuh daun pepaya muda untuk jamu; sumbangan untuk atap mushola sebelah yang rembes; jalur jati ke barat yang bibirnya rupuh karena hujan semalam.

“Bibirnya gampang amblas,” kata Bu Endah, “dan anak-anak suka menyelundup sana.”

“Kita pasang papan lagi,” sahut yang lain. “Papan lama tulisannya tinggal ‘D___RANG __NANG’. Orang suka pura-pura tidak bisa menebak huruf.”

“Kalau sempat, sekalian tali pembatas,” kata Ahyi. “Aku lihat ada paku sisa. Biar sore ini aku cek lagi.”

“Bagus, Nyi,” timpal seorang ibu. “Kalau kamu yang ngomong, anak-anak dengar. Kalau bapak-bapak yang ngomong, anak-anak lihat ke langit.”

Roni merasakan sesuatu yang hangat—bukan cemburu, bukan bangga, melainkan semacam rasa aman yang jarang ia temukan di kota: urusan publik diurus dengan tangan yang kenal nama pemiliknya. Ia menulis hal-hal itu di kertas kecil: papan larangan; tali pembatas; jamu daun pepaya; atap mushola. Catatannya berantakan tapi suaranya rapi.

Setelah agenda kecil kelar, Roni menyampaikan maksud: ia ingin melihat arsip tanah, terutama catatan lama yang mungkin ada nama ayahnya.

Pak Lurah muncul dari ruangan belakang dengan senyum yang tampak pernah menyelamatkan setidaknya tiga debat besar. Perutnya sedikit maju—lebih karena menampung tawa ketimbang nasi. “Roni. Wajahmu masih suka mendahului badanmu kalau masuk ruangan,” selorohnya. “Arsip masih arsip. Tidak jadi aplikasi.”

Roni menunduk hormat. “Kalau jadi aplikasi, saya tidak bisa mencium baunya.”

“Bau arsip itu yang bikin orang jujur,” kata Pak Lurah, mempersilakan masuk. “Mari. Kuncinya masih kunci. Tidak pakai sidik jari.”

Ruang arsip adalah perut balai—dingin, gelap secukupnya supaya orang bersuara pelan. Lemari kayu berjajar, masing-masing menyimpan folder yang diberi label dengan huruf-huruf yang menua anggun. Pak Lurah membuka satu laci, menarik map yang di pinggirnya ada garis kecil pensil: kebun barat (lama).

Roni mengenali garis tangan ayahnya seperti anak mengenali ulangiannya sendiri. Di dalam map: sketsa kontur sederhana, peta bidang yang dicetak di kertas tipis, dan—Roni menahan napas—selembar kertas dengan catatan pinggir berbeda. Bukan catatan ayah. Hurufnya lebih muda, rapi tetapi tidak bisa menyembunyikan gugup: usulan: lahan bekas galian → kebun percobaan? (flora penahan erosi, akar serabut, pagar hidup). Di bawahnya tercetak samar: Ridhan A.

Roni diam. Di kertas itu, kakaknya yang ia kira hanya sibuk angka ternyata pernah menulis kata yang bisa ditanam.

“Ini kapan?” Roni bertanya, mengangkat selembar itu hati-hati seolah ia sedang mengangkat sayap serangga.

Pak Lurah memicing. “Dua tahun lalu. Dia datang, cepat, seperti orang yang alergi tinggal. Tapi sempat menulis. Sempat tanya juga soal kandungan air yang menggenang di cekungan bekas galian, soal pH, TSS, logam terlarut. Terkadang, orang dingin itu orang yang tidak berani lihat air terlalu lama.”

Roni mengerjap—kalimat yang terdengar seperti datang dari seseorang yang bukan Pak Lurah. “Bapak penyair?”

“Saya pemantun musiman,” jawabnya enteng. “Kalau panen gagal, pantun jadi panjang.”

Roni tertawa pendek, lalu menatap lagi catatan Ridhan A. Ia melihat garis kecil lain di bawahnya: catatan: jangan janji deck sebelum mengukur dalam. Itu gaya Ridhan; ketus pada brosur, setia pada kedalaman.

Pak Lurah mengambil map lain. “Ini surat lama perusahaan tambang. Dulu janji mau bikin kolam ikan dari bekas galian. Tidak jadi. Ikan suka memilih sungai, kata mereka.”

“Dan orang suka memilih lupa,” gumam Roni.

“Iya,” kata Pak Lurah. “Lupa itu hak asasi. Ingat itu tugas.”

Di rak bawah, Roni menemukan sesuatu yang lebih pribadi: buku agenda lusuh dengan sampul kain. Ketika dibuka, halaman pertama menyebut Panitia Kebun Belajar—daftar kira-kira seorang ayah yang sedang menata masa depan desa kecil: bedeng bibit (jambu, nangka, sengon), jadwal gilir air, kelas sabtu anak-anak (mengenal daun). Ada tanggal yang berhenti tepat sebelum keluarga Amarfi pindah ke kota.

Roni memegang buku itu seperti memegang peta kota yang pernah ia tinggali, tapi sudah lama ditinggalkan. “Ayah… ingin bikin kebun belajar?” suaranya pecah ke arah tanya yang malu-malu.

“Dia datang bawa niat,” kata Pak Lurah. “Lalu, seperti banyak niat, ia punya musuh yang lebih kuat dari maki: kebutuhan.”

“Kebutuhan?”

“Biaya sekolah, sakit orang tua, kontrak yang tidak bisa ditawar. Di desa, orang paham. Tapi tanah tidak terlalu mudah paham. Ia ingat janji lebih lama dari kepala orang.”

Roni menutup buku, menempelkannya sesaat ke dada. Ada panas kecil di balik kulit. Ia mengangguk pada diri sendiri, bukan pada siapa-siapa. “Kalau begitu, aku akan meminjam niat itu lagi.”

“Jangan dipinjam,” potong Pak Lurah tenang. “Dipakai saja.”

Mereka kembali ke teras. Ibu-ibu sudah bubar menjadi percakapan-percakapan kecil yang menjaga hari tetap bisa disapu. Di pojok, beberapa anak kecil bermain karet gelang, tertawa tanpa perjanjian. Ahyi duduk di tangga, memotong tali rafia menjadi beberapa bagian.

“Dapat apa?” tanyanya ketika Roni duduk di samping.

“Bukti bahwa ayahku bukan cuma pintu yang diam,” jawab Roni. “Juga ada jejak kakakku yang menyamar menjadi kalimat.”

“Ridhan?” mata Ahyi mengerling sekilas, seperti menahan sesuatu yang pernah ia ketahui tapi tidak jadi diucapkan. “Kalimat apa?”

Roni menirukan gaya kakaknya yang efisien. “Jangan janji deck sebelum mengukur dalam.”

Ahyi tertawa yang keluar setengah—setengahnya lagi seperti menunggu di pintu. “Itu kalimat yang cocok ditulis di dahi beberapa orang kota.”

“Dan di dahi beberapa orang desa yang tertarik jadi orang kota,” tambah Roni.

Mereka terdiam sebentar, menikmati kemewahan duduk tanpa agenda. Lalu Roni mengeluarkan buku agenda lusuh dari tas. Ia membukanya pada halaman dengan tulisan kelas sabtu anak-anak. Ada daftar sederhana: mengenal daun; menanam dalam gelas bekas; mengenal tanah; nama-nama angin.

“Nama-nama angin?” Ahyi membacanya nyaris berbisik. “Siapa yang menulis ini? Ayahmu?”

Roni mengangguk. “Kupikir ayah cuma tahu cara menyuruh anak-anak tidur tepat waktu.”

“Orang tua suka menyembunyikan hal-hal cantik di tempat paling bosan,” kata Ahyi. “Kalau dibuka, kita jadi merasa utang.”

“Dan aku benci merasa utang,” sahut Roni, menutup buku. “Jadi harus kubayar.”

“Dengan apa?”

“Dengan hal yang bisa ditanam,” jawabnya pelan, mengulang kata ayah sampai ia terdengar seperti doa pendek. “Kebun belajar. Kecil saja dulu. Sabtu pagi. Gelas bekas. Anak-anak. Ibu-ibu. Kau?”

“Aku tidak jago mengajar,” elak Ahyi.

“Kau jago diam pada waktu yang tepat,” kata Roni. “Anak-anak butuh orang yang tahu kapan tidak usah bicara.”

Ahyi menatapnya. Detik itu, mata mereka bertemu seperti dua kelereng yang kebetulan di saku yang sama. Roni segera menunduk, memecah seriusnya dengan tawa kecil. “Dan kau jago menakut-nakutiku waktu kecil dengan kodok plastik.”

“Itu karena kamu takut,” ujar Ahyi, bergaya paham. “Ketakutan harus diberi teman. Namanya lelucon.”

Dari lapangan, bola plastik memantul pelan—dung, dung—lalu digiring ke arah ring yang kekurangan cat. Seorang anak perempuan kecil mendekat dengan pensil di telinga, menatap Roni malu-malu.

“Om… eh, Mas,” revisinya cepat. “Bisa gambar peta harta karun nggak?”

Roni menatap Ahyi. “Lihat? Kebun belajar memanggil.”

“Kalau begitu, jangan jawab telepon,” kata Ahyi. “Jawab panggilan.”

Roni menggelar buku di lantai teras, anak-anak mengelilingi seperti burung kecil. Ia menggambar garis yang tidak lurus tapi yakin, menandai pohon jambu, batu yang mirip ayam, bekas banjir. Di sudut peta, tangan Roni berhenti: ada ingatan yang mengajak duduk—ingat angin—tulisan Ridhan kecil dulu yang rapi sekali. Roni menambahkan juga, tapi dengan hurufnya sendiri yang miring-miring. Anak-anak mengeja pelan, menyukai bunyi kalimat yang tidak mengancam.

“Kalau angin datang dari arah mana pun,” jelas Roni, “kalian harus ingat: bunyi kentongan di desa kita bilang apa?”

“Sekali ingat!” seru anak yang paling kecil, mengacungkan jari seperti jarum kompas.

“Dua kali tunggu!” sambung yang lain.

“Tiga kali cari!” yang lain menyambar.

“Empat kali pulang!” koor kecil selesai, tawa meledak karena mereka berhasil mengucap tanpa tertukar. Roni menepuk tangan, memuji seperti orang yang belum pernah gagal.

“Kalau orang menukar arti bunyi?” tanya Roni.

“Menukar arti hari!” seru mereka—mungkin bukan karena mengerti, mungkin karena senang mengulang. Tapi kadang mengulang adalah cara bahasa masuk tanpa mengetuk.

“Sudah,” kata Ahyi, yang sejak tadi duduk di anak tangga, mengikat potongan rafia di telunjuk, lalu memindahkannya ke tiang. “Kalian main. Mas Kota mau ke dalam. Mas Kota punya kerjaan susah: meyakinkan orang dewasa.”

Anak-anak bubar, tapi peta tetap di teras seperti hembusan kecil yang malas pergi. Roni berdiri, punggungnya merasa lebih tegak dari sebelumnya. Di balai, Pak Lurah mendatanginya.

“Kalau kebun belajar ini jadi,” kata Pak Lurah, “kita bisa pakai tanah di belakang mushola dulu. Kecil. Dikasih pagar hidup. Nanti kalau cocok, kita cicil yang bekas galian.”

“Bekas galian itu toska dan cantik, tapi dalam dan malas memberi kaki,” sahut Roni. “Kita mulai di tanah yang suka didekati. Biar anak-anak tahu tanaman suka diberi jarak.”

Pak Lurah menepuk bahunya. “Kamu seperti ayahmu kalau belum lapar.”

“Kalau sudah lapar?”

“Kamu jadi seperti ibumu: semua ide dibungkus jadi bekal.”

Roni tertawa. “Kalau begitu, aku harus ke warung Bu Endah sebentar. Bekal perlu teori—dan minyak panas.”

Mereka berpamitan. Ahyi mengantar sampai pagar, memegang tali rafia yang baru diikatnya. Pagi mendekati siang—jam yang membuat orang desa memilih diam agar bayangan bisa bekerja tanpa sorak-sorai.

“Terima kasih,” kata Roni tiba-tiba—untuk hal-hal yang tidak spesifik: untuk duduk, untuk tawa anak-anak, untuk kalimat pendek yang bisa ditanam.

“Jangan terima kasih,” kata Ahyi. “Besok saja. Setelah ada daun yang bisa dihitung.”

Roni mengangguk. Ada keinginan kecil untuk menepuk puncak kepala Ahyi—gestur lama teman masa kecil; tapi ia menahan. Ada beberapa hal yang lebih baik dibiarkan sebagai niat agar tidak miskin maknanya.

Siang menolak suara keras. Roni sampai di warung yang menolak cat baru selama dua dekade. Aroma bawang goreng dan sambal tomat berjalan lebih dulu menyambutnya.

“Mas Amarfi,” sapa Bu Endah, menggodok teh seperti menyeduh berita baik. “Bakwan hari ini cukup untuk minta maaf pada tiga orang.”

“Aku butuh minta maaf pada dua puluh masa lalu,” balas Roni.

“Kalau begitu, kamu perlu beberapa gelas teh lagi,” jawabnya sambil tersenyum.

Roni duduk. Di bangku sebelah, dua bapak berdebat kecil soal duri sepeda yang lebih kuat dari batu atau dari kemauan. Di radio tua, penyiar menyebut daftar kelahiran sapi betina di dusun sebelah dengan kebahagiaan yang tidak dibuat-buat. Roni makan perlahan, merasakan mulutnya jadi bagian dari desa secara resmi.

Ia membuka ponsel jadul yang baterainya seperti kakek yang mau tidur siang. Membuka aplikasi catatan yang minim fitur, ia menulis daftar pendek:

Kebun Belajar (Sabtu) → bedeng bibit kecil; gelas bekas; daftar daun (jambu, nangka, singkong, kenikir).

Pagar hidup di tanah mushola (kamu bisa meminjam pagar pada semut dan semak, kata seseorang di kepalanya).

Rapat ibu-ibu → minta mereka memilih jam, bukan diminta memilih kalimat.

Anak-anak → peta harta karun setiap minggu; hadiah: stiker bintang (Lira akan senang).

Danau galian → jangan jadi brosur. Jadikan batas yang dimengerti.

Ia menutup ponsel. Di kaca etalase, ia melihat pantulan dirinya—muka kota yang sedang belajar tidak terburu-buru. Ia teringat Ridhan; wajah itu tidak muncul di kaca, tapi di kata-kata: jangan janji deck sebelum mengukur dalam. Roni ingin tertawa karena jarang sekali ia mengutip kakaknya sebagai alasan untuk pelan.

“Mas,” Bu Endah bertanya, “kalau kebun belajar jadi, anak-anak saya boleh puasa main HP seminggu?”

“Kenapa puasa?”

“Biar mereka lihat daun lebih dulu daripada layar.”

“Boleh,” kata Roni. “Tapi jangan sebut puasa. Sebut liburan.”

“Liburan itu butuh alasan.”

“Daun juga.” Roni tersenyum, membayar tanpa menawar.

Ia berjalan kembali. Matahari menggeser bayangan beringin ke sisi lain. Dua anak laki-laki membawa layang-layang sayapnya pecah, tapi mereka tetap berlari seperti orang yang punya alasan yang lebih baik daripada bentuk.

Di depan vila, Roni melihat lelaki tua berdiri di tepi pagar bambu—memandang, bukan menunggu. Pak Tarya.

“Masih ingat?” sapa Roni.

“Kalau lupa, aku tidak datang,” jawabnya. “Orang lupa memilih diam di teras sendiri.”

“Masuk, Pak,” ajak Roni. “Aku tadi dari balai. Ketemu catatan ayah. Dan catatan Ridhan.”

“Kamu senang?”

“Senang yang tidak menggelegar,” kata Roni. “Seperti orang yang menemukan kunci laci—dan masih harus mencari lacinya.”

Pak Tarya duduk. Roni membawakan teh. Mereka minum seperti orang yang setuju bahwa kata “minum” tidak butuh kata depan.

“Aku mau bikin kebun belajar,” kata Roni. “Kecil, Sabtu, di tanah mushola. Kalau cocok, kita pindah pelan-pelan ke bekas galian—bukan untuk main, untuk lihat dari jauh. Biar anak tahu warna toska itu tidak selalu undangan.”

“Mengajari anak memandang,” ucap Pak Tarya, “berarti menunda beberapa bencana.”

“Itu tujuan utamanya.”

“Tujuan utamanya yang lain?” Pak Tarya mengangkat alis, yang satu naik mengimbangi yang lain.

Roni berpikir, lama dan tidak malu. “Membayar utang orang tuaku. Utang yang tidak pernah dicatat, tapi tetap menagih.”

“Utang yang dipakai menumbuhkan daun,” kata Pak Tarya, “akan menagih bayangan pada siang. Bayangannya akan memandumu pulang kalau kamu lupa.”

Roni menatap halaman. Bayangan pagar memang tampak seperti anak kalimat dari benda yang lebih tua. “Kalau begitu,” katanya, “aku akan menanam kalimat yang tahu cara memandikan bayangan.”

“Mendandani,” koreksi Pak Tarya, tertawa kecil. “Kalimat yang terlalu bersih tidak kuat berdiri di tanah.”

Mereka diam lagi—diam yang kelak diingat Roni sebagai ruang paling produktif di bab itu. Di dalam diam, ia menolak rasa ingin menang atas masa lalu; di dalam diam, ia menerima bahwa yang bisa ia menangi hanya besok.

“Ridhan tadi ke barat,” kata Pak Tarya, seolah menaruh batu di atas kain agar tidak diterbangkan. “Jalannya licin. Tapi dia punya cara melangkah yang tidak meminjam tebing.”

“Dia keras kepala,” jawab Roni, tanpa upaya menutupi nada sayang yang menyelip di antara kata-kata.

“Keras kepala itu kebiasaan orang yang takut jatuh manis,” ujar Pak Tarya. “Kalau jatuh pahit, mereka siap.”

Roni tertawa—tawa yang mengakui kebenaran bukan karena ingin, melainkan karena tidak bisa mengelak. “Aku akan selalu jadi orang yang mencari dulu,” katanya tiba-tiba, entah dana kalimat itu datang dari mana. “Kalau kentongan tiga kali.”

“Bagus,” kata Pak Tarya. “Tapi hati-hati, orang yang selalu mencari suka lupa pulang. Kentongan empat kali bukan ancaman, itu pintu yang mengingatkan.”

Sebelum lelaki tua itu pamit, ia berdiri di ambang pintu, menatap Roni yang masih memegang cangkir seperti kompas. “Kalau besok kau lihat cahaya kecil,” katanya, “jangan buru-buru memotret. Tidak semua cahaya meminta bingkai. Beberapa meminta telinga.”

“Kalau aku menunggu terlalu lama?”

“Cahaya kecil punya cara sendiri untuk pindah rumah,” jawabnya. “Dan kalau ia pindah, itu bukan karena kamu lambat. Mungkin karena ia mencari kalimat yang belum kamu punya.”

Roni mengangguk, mengerti tanpa harus menjelaskan apa yang ia pahami.

Sore mengunyah tepi hari. Roni duduk di lantai ruang tengah, menggelar gulungan negatif film yang ditemukan kemarin di kotak gudang. Ia tidak tahu isi frame-nya; ia hanya tahu cara menahannya di udara pada sudut yang bisa mencuri cahaya. Bayang-bayang kecil bergerak lewat: potongan pagar, pantulan air, mungkin bahu seseorang. Ia teringat kata-kata Ridhan kecil—langit tidak pindah tempat kalau kita menoleh. Tapi orang bisa. Ia kemudian menulis catatan untuk dirinya sendiri:

Negatif lama: cari tukang cuci film di kota kabupaten; kalau tidak ada, foto digital dengan backlight seadanya (tanya Ridhan? → nanti).

Kebun belajar: minta Bu Endah ke ibu-ibu kumpulkan gelas bekas; buat tanda kecil di teras mushola (kayu; bukan poster).

Danau: minta papan baru (huruf lengkap); jarak antar papan 15–20 m; oneliner sederhana: “Air ini indah dari jauh.”

Ketika ia sedang menyalin pikiran ke kertas, suara sandal menggurat batu di halaman. Ahyi di ambang pintu membawa setumpuk gelas plastik bekas yoghurt, dicuci bersih dan dibalik—seperti kubah-kubah kecil yang menunggu tanah.

“Ini,” katanya, menaruh pada meja. “Sisa posyandu. Ibu-ibu tadi bilang: kalau kamu butuh, bilang kapan. Mereka siap bawa anak-anak, tapi jangan hari pasar. Kalau hari pasar, mereka bukan ibu. Mereka pedagang.”

Roni menatap gelas-gelas itu dengan rasa yang tiba di tempat yang tepat. “Terima kasih,” katanya, dan kali ini kata itu memiliki akar.

“Besok sore,” lanjut Ahyi, “aku ke jalur jati pasang tali pembatas. Kalau kamu mau tahu seperti apa orang yang keras kepala tapi diam-diam takut, kamu bisa lihat.”

“Ridhan?” tebak Roni.

“Aku,” jawab Ahyi, tersenyum miring. “Orang keras kepala yang takut. Takut kalau besok ada anak pulang lebih sedikit dari hari ini.”

Roni menegakkan punggung. Ia ingin berkata sesuatu yang akan terdengar seperti gembar-gembor; ia memilih hal lain. “Kalau begitu, aku ikut. Bukan untuk jadi pemandu. Untuk jadi orang yang mengantar tali.”

“Tidak usah romantis,” kata Ahyi, melewati meja, menuju dapur. “Kita butuh palu, bukan puisi.”

“Palu juga puisi,” balas Roni refleks, lalu memaki dirinya sendiri di dalam hati—kebiasaan buruk: memberi metafora pada benda yang sedang minta bekerja.

“Kalau begitu, bawa palu yang suka berima,” sahut Ahyi.

Mereka tertawa. Tawa sederhana yang membiarkan sore cekung pada sisi yang benar. Roni menyadari: atensi kecil pada kerja nyata lebih berguna daripada kalimat yang ingin terlihat besar. Ia menulis di kertas: bawa palu, bawa paku, bawa air. Lalu menambahkan: temani, jangan mendahului.

“Roni,” panggil Ahyi dari dapur, “kamu masih ingat permainan tiga kata?”

Roni mengernyit. “Kamu mau balas dendam?”

“Coba sebut: Kebun Belajar.

Roni berpura-pura memikirkan panjang, padahal jawabannya cepat: “Kecil, sabar, menular.”

“Bagus,” kata Ahyi. Ia muncul lagi, membawa dua piring singkong rebus yang masih meminjam uap. “Kalau gitu, Roni Amarfi?”

“Jangan,” Roni mengangkat tangan. “Itu permainan berbahaya.”

“Baiklah,” kata Ahyi, duduk di lantai, menaruh piring di tengah. “Kalau Ahyi?”

Roni diam. Ada ribuan jawaban yang ingin mengantri—beberapa akan terdengar menyakitkan karena jujur, beberapa akan terdengar cantik karena berusaha, beberapa akan terdengar buruk karena meminjam televisi. Yang keluar hanya yang tahan di mulut: “Subjek yang menolak objek.”

Ahyi mengangkat alis. “Itu bukan tiga kata.”

“Makanya aku kalah.”

“Bagus,” katanya, dan entah bagaimana kata bagus itu menggeser sesuatu di tulang rusuk Roni. Bukan karena ia menang—karena ia tidak sedang bertanding. Ia sedang duduk di lantai rumahnya, makan singkong rebus, menata gelas-gelas bekas menjadi kemungkinan.

Menjelang malam, Roni berjalan sendiri ke mushola. Ia ingin menakar tanah dengan kakinya, bukan hanya dengan peta. Halaman mushola kecil; rumputnya keras kepala tumbuh di sela batu, menyukai bentuk apapun yang tidak melarang. Ia menandai dengan batu kecil: di sini pagar hidup; di situ bedeng bibit; di pojok sana ruang duduk anak-anak, bukan bangku, cukup tikar.

Udara menelan cahaya pelan, seperti seseorang yang mengunyah pelan-pelan agar tidak tersedak. Dari jauh, suara radio lelaki tua menyebut nama-nama lagu yang pernah diputar ayah. Roni duduk di tangga mushola, membiarkan malam datang tanpa perlombaan. Ia tidak menunggu sesuatu yang besar—hanya menunggu sesuatu yang cukup.

Kentongan terdengar sekali—tung—benar-benar sekali saja. Ia ingat aturan: sekali: ingat. Ia mengulang di dalam: ingat. Mengingat apa? Banyak hal mengajukan diri. Ia memilih ingat paling kecil: besok bawa palu. Kalau yang kecil dibiasakan, yang besar tidak merasa ditipu.

Langkah pelan mendekat. Pak Lurah lewat, mengangkat tangan. “Bagaimana, Notulis?” sapanya—gelar yang tadi diberikan ibu-ibu, menempel seperti stempel yang baru.

“Siap menulis hari Sabtu,” jawab Roni. “Kalau tidak ada hujan, kita mulai dengan gelas bekas.”

“Kalau ada hujan?”

“Kita belajar nama-nama angin.”

Pak Lurah tertawa, mengangguk setuju. “Kalau begitu, saya pulang dulu. Jangan lupa, kalau kentongan dua kali: tunggu. Jangan kepedean menerjemahkan.”

Roni mengacungkan jempol. “Baik, Pak.”

Ia kembali ke vila dengan langkah yang tidak ingin tiba terlalu cepat. Di serambi, ia melihat siluet kameranya sendiri di meja—benda yang akhir-akhir ini lebih sering ia ajak bicara dalam hati. Ia mengangkat, menempelkan mata pada jendela kecil, memotret ruang tamu yang setengah gelap: kursi tua, peta terlipat, gelas-gelas bekas yang bersinar seperti kubah mini. Klik. Ia memeriksa hasil foto yang biasa-biasa saja—lalu mematikan kamera. Malam ini, ia ingin mengingat tanpa terlalu pandai.

Ridhan belum pulang. Ahyi sudah, ia menutup palang kecil di pagar dengan bunyi yang hanya dimengerti orang yang tidur dan tidak ingin bangun terlalu cepat. Roni duduk, menulis lagi di catatan—kali ini bukan daftar, melainkan kalimat pendek yang tidak tahu harus jadi milik siapa:

Kalau tanah pernah meminjamkan bara, kita harus mengembalikannya dalam bentuk yang bisa meneduhkan.

Ia menaruh ponsel, mematikan lampu minyak, membiarkan satu cahaya kecil tetap menyala di sudut dapur—sebagai kompromi pada ketakutan lama yang selalu ingin menawar. Di luar, malam selesai menjadi malam. Di dalam, Roni selesai menjadi seseorang yang menunda besok untuk alasan yang benar.

Sebelum tidur, ia berdiri di depan jendela. Di jauh sana—jauh yang bisa diukur oleh tebing—ia membayangkan Ridhan berjalan di bibir tanah, menolak dekat, namun juga menolak jauh. Ia membayangkan Ahyi di belakangnya dengan jarak sepuluh langkah—cukup untuk menarik kaus jika orang itu hilang. Ia membayangkan kunang-kunang yang belum siap menjadi saksi; ia memberi mereka izin tidur lebih lama.

“Besok,” katanya pelan pada kaca yang memantulkan versinya sendiri, “aku di balai. Kebun. Gelas. Pagar hidup. Anak-anak. Ibu-ibu. Dan kalau kau—” ia tidak melanjutkan. Ia tidak mau menulis rencana untuk orang lain. Ia hanya menutup jendela, membiarkan suara semesta merapikan jadwal.

Kentongan tidak berbunyi lagi malam itu. Tidak berarti desa berhenti, hanya berarti desa setuju bahwa hening adalah alat. Dan ketika Roni memejamkan mata, ia tahu: perannya di awal sudah ditambatkan—bukan selesai, tapi punya namanya. Sesudah ini, spotlight bisa bergerak; ia tidak merasa dilupakan. Ada sesuatu yang sudah ia tanam. Besok tinggal menyiram.

Di ujung kalimat itu, ia tertidur—seperti orang yang mendengar janji kecil di akar: bunyi lembut air tanah, yang tidak butuh tepuk tangan, tidak butuh headline, tapi pelan-pelan mengangkat daun.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dwyne

    Roni sama Ahyi chemistrynya dapet banget berduaaa... Gaya bahasanya sukaa... puitis, tapi enggak yang terlalu mendayu-dayu. Ibaratnya dessert manisnya pas. Hehehehe...

    Comment on chapter Chapter 1 Jejak Langkah di Desa Tanpo Arang
Similar Tags
Teater
24579      3687     3     
Romance
"Disembunyikan atau tidak cinta itu akan tetap ada." Aku mengenalnya sebagai seseorang yang PERNAH aku cintai dan ada juga yang perlahan aku kenal sebagai seseorang yang mencintaiku. Mencintai dan dicintai. ~ L U T H F I T A ? Plagiat adalah sebuah kejahatan.
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
989      672     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Stay With Me
216      180     0     
Romance
Namanya Vania, Vania Durstell tepatnya. Ia hidup bersama keluarga yang berkecukupan, sangat berkecukupan. Vania, dia sorang siswi sekolah akhir di SMA Cakra, namun sangat disayangkan, Vania sangat suka dengan yang berbau Bk dan hukumuman, jika siswa lain menjauhinya maka, ia akan mendekat. Vania, dia memiliki seribu misteri dalam hidupnya, memiliki lika-liku hidup yang tak akan tertebak. Awal...
AM to FM
2      2     1     
Romance
Seorang penyiar yang ingin meraih mimpi, terjebak masa lalu yang menjeratnya. Pertemuannya dengan seseorang dari masa lalu makin membuatnya bimbang. Mampukah dia menghadapi ketakutannya, atau haruskah dia berhenti bermimpi?
Shane's Story
2725      1100     1     
Romance
Shane memulai kehidupan barunya dengan mengubur masalalunya dalam-dalam dan berusaha menyembunyikannya dari semua orang, termasuk Sea. Dan ketika masalalunya mulai datang menghadangnya ditengah jalan, apa yang akan dilakukannya? apakah dia akan lari lagi?
Snow White Reborn
646      382     6     
Short Story
Cover By : Suputri21 *** Konyol tapi nyata. Hanya karena tertimpa sebuah apel, Faylen Fanitama Dirga mengalami amnesia. Anehnya, hanya memori tentang Rafaza Putra Adam—lelaki yang mengaku sebagai tunangannya yang Faylen lupakan. Tak hanya itu, keanehan lainnya juga Faylen alami. Sosok wanita misterius dengan wajah mengerikan selalu menghantuinya terutama ketika dia melihat pantulannya di ce...
Iblis Merah
10222      2766     2     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
80      71     1     
True Story
Putaran Waktu
1095      674     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
14 Days
1026      712     1     
Romance
disaat Han Ni sudah menemukan tempat yang tepat untuk mengakhiri hidupnya setelah sekian kali gagal dalam percobaan bunuh dirinya, seorang pemuda bernama Kim Ji Woon datang merusak mood-nya untuk mati. sejak saat pertemuannya dengan Ji Woon hidup Han Ni berubah secara perlahan. cara pandangannya tentang arti kehidupan juga berubah. Tak ada lagi Han Han Ni yang selalu tertindas oleh kejamnya d...