Ketika Kinanti sudah datang, gadis itu langsung menggoda habis-habisan Mireya yang resmi menjadi kekasih si ketua basket yang terkenal tampan-dingin. Namun, tiba-tiba keseruan dan ketenangan itu berubah menjadi mulai tegang saat kemunculan Bianca.
Plak
Tanpa peringatan Bianca berhasil mendaratkan tangannya pada pipi Mireya yang sedikit merah berkat ulah Bianca. "Apa apaan sih!" bentak Kinanti sembari berdiri dari duduk dengan wajah marah.
Bianca tidak mempedulikan Kinanti. "Aku kasih tahu kamu ya, Mi. Kalau pun Kak Leo bukan sama aku, bukankah dia seharusnya bersama Kak Audry? Kak Audry lebih cocok sama Kak Leo dari pada kamu! Kamu benar-benar sudah menghancurkan hati seseorang!"
Mireya menghela nafas panjang, berdiri dari duduk. "Hati siapa? Hati kamu? Hati Audry? Hati perempuan yang mana?" tanya Leo yang berjalan memasuki kelas dengan kedua tangan yang melipat di depan dada.
"Kak Leo," ucap Mireya sembari menatap Leo yang tersenyum lembut padanya.
"Kenapa Mireya harus peduli sama hati orang lain? Kalau setiap manusia yang ada di dunia ini harus mengutamakan dirinya lebih dulu. Kamu sendiri? Apa akan lebih mengutamakan hati orang lain?" Pertanyaan itu sungguh menampar Bianca yang terdiam seribu bahasa dengan wajah kesal. Tentu orang egois macam Bianca tidak akan melakukan hal yang selama ini dilakukan Mireya.
Tanpa berniat membuat rusuh lebih lama, Bianca melangkah pergi dari sana bersama temannya yang lebih sering mengikutinya itu. Entah benar teman atau dayang-dayang.
Leo menyentuh pipi Mireya yang terlihat merah. "Sakit banget ya?" tanya Leo lembut dengan wajah merasa kasihan dan merasa bersalah karena ia tidak bisa melindungi Mireya.
"Gakpapa, Kak." Seraya tersenyum.
Setelah tegang dengan momen Bianca yang menampar tiba-tiba Mireya, kelas pun dibuat terasa ada manis-manisnya gitu. Murid-murid perempuan yang melihat perhatiannya seorang Leo, tengah senyum-senyum sendiri. Sepertinya kapal Leo-Mireya yang sudah berlayar itu akan ada lebih banyak penumpang yang antri untuk naik, ingin menyaksikan momen yang indah itu.
Leo menurunkan tangannya, beralih menyentuh salah satu tangan Mireya, menarik lembut Mireya, mengajak pergi dari sana. Senyum Kinanti sungguh lebar. Kapal yang Kinanti khawatirkan tidak berlayar, akhirnya berlayar!
Ternyata Leo membawa Mireya ke UKS. Menyuruh Mireya duduk di tepi brankar sementara Leo mencari sesuatu, di mana Dokter tidak ada. Leo menemukan ice bag yang ia isi dengan es. Berdiri di hadapan Mireya, Leo tempelkan ice bag itu di pipi Mireya yang merah.
"Siapa yang gak mau jadi pacar Kak Leo kalau Kak Leo seperhatian ini," kata Mireya sembari menatap Leo yang fokus pada pipi Mireya.
Leo tatap Mireya. "Dan aku seperhatian ini hanya sama kamu."
"Kalau Mama aku masih ada, dia pasti baik-baik saja menyerahkan aku sama Kak Leo."
"Tentu saja, aku kan anak laki-laki yang baik."
"Kak ...."
"Mm?"
"Kalau suatu hari aku menghilang, apa yang akan Kak Leo lakukan?" tanya Mireya, asal.
"Aku akan menemukan kamu gimana pun caranya! Karena sekali saja kamu sudah memasuki dunia aku, kamu gak akan keluar dengan mudahnya."
"Oh ya, Kak. Tadi Kak Leo bicara apa sama Kak Andrea? Tapi, kalau gak mau cerita juga gakpapa." Mireya penasaran, namun ia tidak bisa memaksa Leo bercerita, bukan?
"Soal Audry, Andrea khawatir Audry gak bisa menerima hubungan kita." Dengan nada santai.
"Aku juga khawatir sih, Kak. Saat aku tahu Kak Audry memiliki mental yang bisa sewaktu-waktu memburuk, aku jadi berusaha untuk gak melukai hatinya," jelas Mireya dengan tatapan mata yang selalu sepeduli itu pada orang lain.
"Kamu gak perlu khawatir, karena aku yakin Audry mampu mengatasinya. Audry sudah dewasa, dia pasti akan berpikir yang baiknya untuk dirinya, terlepas dari trauma yang masih melekat pada dirinya."
Mireya menganggukan kepala, yakin dengan apa yang Leo yakini. Terlihat pasangan yang sempurna, bukan?
Jam berputar dengan cepatnya. Malam telah datang menyapa Mireya yang sedang berjalan di dalam Rumah, dan saat melewati Ruang Kerja Papa-nya langkahnya terhenti saat mendengar suara Cyntia membentak Papa-nya. Mireya mendekatkan diri di depan pintu yang terbuka sedikit.
"Masa depan Mireya akan hancur kalau dibiarkan pacaran!" kata Cyntia, tegas. Mireya tidak tahu jika Cyntia setertarik itu dengan hubungannya dan Leo.
"Sejak kapan kamu peduli dengan masa depan Mireya? Bukankah kamu gak ingin Mireya memiliki kehidupan yang sempurna? Hanya kamu yang boleh memilikinya, bukan?!" ucap Papa-nya yang terdengar sangat serius.
"Aku rasa Papa mulai peduli dengan Mireya." Nada bicara Cyntia terdengar kecewa.
"Sudah cukup kamu ikut campur dalam hidup Mireya!" tegas Papa-nya.
Cyntia terkekeh. "Apa selama ini rasa benci itu hanya akting?!".
"Sebaiknya kamu kembali ke Kamar kamu!"
"Mireya gak tahu kan kalau diamnya Papa bukan cuma gak peduli? Tapi, karena Papa benci Mireya! Mireya yang sudah membuat istri yang Papa cinta pergi lebih cepat."
Deg
Hati Mireya seperti dilempar batu besar yang rasanya sangat menyakitkan. Bukan sekedar goresan luka kecil, namun sepertinya hati Mireya hancur. Telah menjadi serpihan-serpihan kecil. Kenyataan pahit apa lagi yang harus Mireya terima...
Mireya dengan langkah terasa berat dan lemas, akhirnya sampai di dalam Kamar. Belum sampai tempat tidur, tubuhnya lurus ke lantai. Terduduk di dinginnya lantai dengan air mata yang langsung keluar dalam jumlah banyak. Papa membenci aku?!
Tidak cukup hanya dengan terlihat tidak peduli, nyatanya pria paruh baya itu menyimpan kebencian pada putrinya sendiri. Mireya harus menerima bahwa Papa kandungnya membencinya? Anak perempuan mana yang sanggup menerimanya?
Salah satu tangan terulur menyentuh dada kanan yang terasa sangat sesak. Mireya terpantau sedikit kesulitan bernafas. Apa yang harus Mireya lakukan selanjutnya? Rasanya Mireya tidak sanggup melihat wajah Papa-nya. Mireya sungguh tidak tahu bahwa ia adalah penyebab Mama-nya meninggalkan dunia ini secepat itu.
Isakan yang mulai terdengar, Mireya membekap mulutnya karena tidak ingin didengar orang lain, seolah orang lain tidak boleh tahu bahwa ia sedang menangis.
Di tempat lain, Leo yang memakai pakaian santai memasuki Kamar-nya. Mengambil handphone yang ada di atas nakas, lalu mendudukkan diri di tepi ranjang. Mencoba melakukan panggilan keluar pada kontak 'Mire' dengan gambar hati merah. Namun, nomor Mireya tidak aktif. Leo pun heran karena selama ini nomor Mireya selalu aktif hanya saja suka tidak diangkat.
"Kamu baik-baik saja kan, Mire?" Leo nampak khawatir.
.
.
Seperti pagi sebelumnya, Leo tiba di depan pagar Rumah Mireya di mana terlihat Cyntia keluar dari dalam Rumah dengan tas di salah satu tangan. Cyntia yang melihat Leo, menghampiri.
"Cari Mireya, kan? Mireya gak ada," kata Cyntia dengan santai. Tanpa membuka pagar.
"Gak ada gimana? Mireya ke mana?" tanya Leo dengan wajah datar dan dingin. Padahal tengah bingung.
"Ya, gak ada di Rumah!" tegas Cyntia.
Leo pun memasang wajah khawatir. Ke mana kamu, Mire...