Andrea yang duduk di samping Leo walau tak ikut menoleh, namun lelaki itu menunggu kalimat yang keluar dari mulut Willy. Begitu pun dengan Audry yang duduk di sebelah Willy melewati satu kursi yang mendengar ucapan Willy, menunggunya berbicara. Terus menatap Willy dengan rasa penasaran.
"Ketua osis kita!"
"Gue kira apa," ucap Leo dengan reaksi wajah seperti tidak peduli. Kembali menatap lurus ke depan, menunggu Pak Guru selesai menulis.
"Dia di hukum di tengah lapangan! Entah apa kesalahannya," lanjut Willy.
Leo yang mendengar itu pun ekspresi wajahnya langsung berubah. Tertarik bukan? Tiba-tiba Leo berdiri, mengatakan bahwa ia izin ke Toilet. Andrea dan Willy tidak merasa ada yang aneh kecuali Audry. Wajah Audry mengisyaratkan "apa Leo akan menemui ketua osis itu? Ada hubungan apa? Segitu khawatirnya?"
Melihat keberadaan Mireya yang masih hormat pada bendera, ternyata Willy tidak mengada-ngada. Alih-alih menghampiri, Leo memilih memperhatikan dari jauh. Di mana Mireya tidak menyadari keberadaan Leo yang berada di lantai tiga. Leo pun bertanya-tanya alasan Mireya bisa dihukum.
.
.
Bel istirahat berbunyi mengisi satu Sekolah. Mireya yang mendengar itu bernafas lega. Tubuhnya sudah lemas, pusing, sedikit mual, bahkan wajahnya terlihat pucat tidak seperti pagi tadi. Kinanti dengan sebotol air mineral di tangannya, menghampiri Mireya yang baru beberapa langkah dari depan tiang bendera.
Kinanti memberikan botol air itu pada Mireya yang menghentikan langkah kakinya. "Ada apa, Mi? Sampai kamu telat gitu," tanya Kinanti dengan wajah khawatir. Terlebih semakin khawatir saat melihat wajah pucat Mireya.
"Aku—" belum sempat berucap, botol yang ia pegang jatuh ke lantai setelahnya Mireya pingsan dengan Kinanti yang berhasil menangkapnya.
"Mireya!" Kinanti panik. Sedikit mengguncang badan Mireya yang berada dalam pelukannya itu yang sudah duduk di aspal. Namun, Mireya tidak juga bangun sampai beberapa murid menghampiri.
Datang Leo dengan langkah pasti diikuti Willy, Andrea, Audry, menghampiri Mireya yang masih belum sadarkan diri. Tanpa bertanya apa yang terjadi dengan Mireya, Leo angkat tubuh yang terasa ringan itu. Kinanti yang wajah cemasnya sudah tak tertolong, mengikuti bersama Willy, Andrea, dan Audry.
Sampainya di Ruang UKS di mana ada Dokter perempuan yang bertugas, diletakkannya Mireya dengan perlahan di brankar. Memperhatikan Dokter yang mulai memeriksa. Wajah dingin Leo seketika hilang digantikan khawatir.
"Gimana, Bu?" tanya Leo.
Dokter itu mengambil minyak kayu putih, didekati ke depan hidung Mireya. "Cuma kelelahan, dehidrasi dan sepertinya belum ada makanan yang masuk ke dalam perut," jelas Dokter berambut hitam panjang yang saat itu diikat satu.
Datang Kinanti, Willy, Andrea dan Audry yang memenuhi UKS. "Kenapa Mireya belum sadar juga, Bu?" tanya Kinanti sembari memainkan jari-jari tangan karena cemas.
"Kalian tenang saja, nanti juga bangun." Sesaat setelah Dokter itu mengatakan hal tersebut dengan minyak kayu putih yang masih berada di depan hidung, perlahan kedua mata Mireya terbuka.
Melihat hal itu Leo melangkah pergi dari sana secepat angin dan hal itu tak luput dari perhatian Audry. "Ini pasti gara-gara berdiri kelamaan di bawah terik matahari," ucap Willy sembari menatap Mireya.
Audry yang merasa tak ada kepentingan di sana melangkah pergi dengan Andrea yang mengikuti. "Apa kamu merasa mual?" tanya Dokter.
"Sedikit, Bu. Masih pusing juga."
"Biar Ibu ambilkan obat dulu."
"Kamu tahu, Mi? Aku cemas banget pas lihat kamu pingsan. Karena itu kali pertama aku lihat kamu pingsan, bahkan aku gak pernah lihat kamu sepucat itu," kata Kinanti yang sisa-sisa kecemasan masih nampak di dirinya.
Dokter memberikan dua buah obat pada beda kemasan pada Mireya. "Yang ini kamu minum sebelum makan dan untuk satunya setelah makan." Sembari menunjuk ke masing-masing obat.
"Ibu, Bu. Terima kasih," ujar Mireya.
"Kalau gitu, Ibu tinggal dulu yaa." Dokter itu berlalu.
"Mau makan apa? Biar aku belikan," kata Kinanti.
"Karena sudah gak ada urusan di sini, aku permisi," ucap Willy yang masih bertahan di sana hingga detik itu, sembari mengangkat bahu ringan.
Sebelum mengatakan apa yang ingin dimakannya, datang Leo dengan sebuah kantong plastik putih pada salah satu tangan. Berdiri di samping Kinanti. "Aku sudah belikan kamu makanan, ada baiknya segera dimakan."
Mireya menatap sedikit tak percaya Leo yang seperhatian itu. Leo bergerak tanpa ada yang minta. Begitu pula dengan Kinanti yang dibuat bertanya-tanya, ada apa dengan lelaki itu?!
"Iya, Kak. Terima kasih."
Leo letakkan kantong kresek di atas brankar dekat Mireya. "Jangan sampai gak dimakan!"
"Iya."
Tanpa berkata lagi Leo melangkah pergi dari sana.
"Itu bukannya si Leo ya? Ketua tim basket yang terkenal itu," ujar Kinanti.
"Iya."
"Gimana bisa kalian saling kenal? Maksud aku sejak kapan kalian berbicara satu sama lain?" tanya Kinanti yang mulai penasaran.
"Kamu ingat siswa yang menggantikan Rifki? Itu Leo."
"Hah?! Apa dia gak sibuk? 1 bulan lagi kan ada pertandingan basket. Dan yang buat aku gak percaya, cowok bakset sedingin itu mau ikutan memainkan pertunjukkan drama!"
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Mireya hanya tersenyum tipis. Setelahnya, Mireya meminum obat yang disarankan diminum sebelum makan.
Leo telah sampai di Kantin, menghampiri meja yang sudah ditempati Willy, Andrea dan Audry yang tengah makan dengan menu beda-beda. Menggeser kursi, Leo mendudukkan diri. "Gue kira lo gak akan ke sini," kata Andrea.
"Gue juga butuh makan," ucap Leo yang mengangkat salah satu tangan sembari menatap ke salah satu stan makanan.
"Kayak biasa, Pak!" kata Leo sedikit berteriak.
"Siap, Mas," ucap pria paruh baya yang berada di stan nasi goreng seafood.
"Jadi kenapa ketua osis kita sampai dihukum?" tanya Willy lalu memasukkan sesendok mie ayam ke dalam mulut.
"Lo kan tinggal lebih lama di sana, memangnya gak nanya?" tanya Audry dengan wajah entah kenapa terlihat sedikit kesal.
"Lupa."
"Gue juga gak tahu," ucap Leo dengan wajah datar.
"Gue kira lo sempat bertanya," kata Willy.
.
.
Alih-alih istirahat setelah selesai Sekolah Mireya tetap menjalankan tugas sebagai ketua osis yaitu mengawasi anak-anak osis lainnya di mana pekerjaan tinggal sedikit. "Kenapa kamu di sini?" tanya Leo yang baru tiba. Berdiri di samping Mireya yang berdiri di dekat panggung, memperhatikan anak-anak drama latihan.
"Kebetulan Kak Leo sudah di sini, sebaiknya langsung latihan sama mereka. Ayo, ikuti aku!"
Leo berjalan di belakang Mireya yang naik ke atas pangggung. Memperkenalkan Leo pada anak drama. "Aku harap latihannya berjalan lancar," kata Mireya yang sudah terlihat tidak lemas tapi wajahnya masih pucat.
"Aku rasa sebaiknya kamu pulang, istirahat," ujar Leo dengan wajah datar, namun bukankah kalimatnya mengisyaratkan kekhawatiran?
"Aku sudah gakpapa, Kak." Lalu, tersenyum. Mencoba memperlihatkan bahwa ia sudah baik-baik saja.