Di meja makan sudah terdapat keluarga yang menurut orang lain adalah keluarga yang sempurna. Ayah, Ibu, dan kedua putrinya. Di tengah hanya suara sendok dan garpu yang saling bersentuhan, Cyntia buka suara. Memberitahu kabar gembira pada Ayah tiri-nya itu perihal bahwa ia ada event di Paris dan akan tinggal di sana selama seminggu.
"Papa senang mendengarnya," kata Papa-nya sembari tersenyum lembut pada Cyntia.
"Andai sudah memasuki liburan sekolah aku pasti ajak Mireya," ucap Cyntia lalu menoleh ke arah samping di mana Mireya sibuk dengan makanannya. Seperti malas ikut dalam obrolan.
"Benar itu, Mireya kan sudah lama sekali gak jalan-jalan. Terakhir kapan ya? Kayaknya sudah lama banget," ujar Ibu-nya lalu memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut.
"Selesai dari event di Paris gimana kalau kita ajak Mireya jalan-jalan, Pa?" tanya Cyntia.
"Kalau pun Mireya ingin jalan-jalan, dia bisa jalan-jalan sama teman-temannya," ujar Papa-nya dengan wajah seperti tidak ada niat sama sekali untuk mengajak Mireya jalan-jalan. Bukan! Lebih tepatnya Papa-nya itu seperti tidak peduli pada kebahagiaan anak kandungnya itu.
Mireya yang mendengarnya dengan sangat jelas, mencoba menahan rasa sakit yang ada. Dadanya sudah terasa sesak. Perkataan Papa-nya sungguh membuat goresan pada hati Mireya. Mireya hanya diam dengan terus mengaduk-aduk makanan yang ada di atas piring-nya. Nggak bisakah Papa sedikit peduli?
Selesai makan Papa dan Ibu-nya pergi dari sana meninggalkan Mireya dan Cyntia yang mengumpulkan peralatan bekas makan di wastafel. "Kalau gitu, Kakak ke Kamar." Cyntia tinggalkan Mireya yang selalu mencuci piring.
Ketika mulai mencuci piring, setetes air mata berhasil membasahi pipi. Mireya pikir jika ia menjadi anak yang baik Papa-nya akan bangga dan perhatian. Mireya pikir kalau ia menjadi manusia yang berguna untuk orang lain, ia akan memiliki kehidupan yang sempurna seperti saat Mama-nya masih ada, namun rasanya seolah apa yang ia lakukan selama ini sia-sia.
Papa-nya masih terasa sama sejak kepergian Mama-nya. Papa-nya yang tidak peduli semua hal tentang Mireya. Papa-nya yang tidak pernah berbicara banyak hal pada putri-nya. Mireya semakin merasa seperti tinggal di tengah-tengah "keluarga palsu". Keluarga yang bukan benar-benar keluarga. Keluarga tidak akan saling menyakiti, bukan?
"Mireya kangen Mama," gumam Mireya dengan nada sangat pelan hampir tak terdengar di tengah air mata yang terus keluar.
Setelah mencuci piring dengan mata yang sudah sembab tanpa ada yang tahu, Mireya masuk ke dalam Kamar yang ada di lantai 2. Baru saja mendudukkan diri di tepi ranjang, handphone yang berada di atas nakas, berdering. Diambilnya handphone tanpa beralih posisi.
"Ada apa ya Leo video call?" tanya Mireya pada diri sendiri dengan wajah bingung.
Diterimanya panggilan video itu yang langsung memperlihatkan wajah Leo. "Ada apa, Kak? Sampai video call."
"Bantuin aku latihan!"
"Berhubung aku ada waktu, boleh."
"Tunggu deh, Mireya. Mata kamu ... kamu habis nangis?"
"Kelilipan ini, aku kucek-kucek eh jadinya kayak gini," bohong Mireya. Tentu saja Mireya tidak akan jujur karena ia tidak ingin Leo tahu bahwa Mireya sedang dalam kondisi hati tidak baik.
"Lain kali jangan dikucek! Nanti bisa iritasi," ujar Leo dengan nada tegas.
"Iya."
"Tugas kamu cuma memperhatikan."
Tanpa naskah, Leo menatap dalam Mireya yang berada di seberang sana. "Siapa kamu, gadis misterius itu? Dalam semalam, kamu datang … dan seperti bintang jatuh, kamu menghilang sebelum aku bisa menanyakan namamu."
Mireya yang melihat ekspresi wajah Leo, semakin yakin bahwa pertunjukkan yang sempurna akan menjadi kenyataan.
Leo terlihat mengatur nafasnya. "Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya mencarimu … tapi hatiku tak bisa berhenti mencari." Nada suara lembut dan tatapan dalam itu seolah benar tertuju untuk Mireya. Mireya pun bisa merasakan detak jantungnya yang tak menentu.
"Aku yakin Kak Leo bisa membuat mereka jatuh cinta sama penampilan Kakak," kata Mireya yang mencoba membahas sesuatu agar detak jantungnya kembali normal.
"Kamu sendiri apa sudah jatuh cinta sama penampilan aku?"
Pertanyaan itu... sungguh membuat Mireya semakin tak menentu. "Tentu saja," seraya tersenyum.
"Sepertinya kamu akan segera masuk klub penggemar aku," ucap Leo dengan raut wajah terlalu percaya diri.
"Mungkin kalau Kak Leo jadi idol kpop atau aktor Korea, aku akan langsung jadi penggemar Kakak."
"Tanpa harus menjadi yang kamu sebutkan itu aku sudah cukup terkenal, Mireya."
Mireya tersenyum. Lelaki di hadapannya selain terlalu percaya diri, sombong juga. Namun, entah kenapa Mireya suka. Mireya seperti menemukan suatu obat tanpa ke Dokter. Obat tanpa dosis yang tiba-tiba muncul seperti itu saja. Di tengah kacaunya hati dan pikiran, Leo hadir.
"Terima kasih, Kak." Mireya tiba-tiba berterima kasih membuat Leo bingung.
"Aku gak melakukan apa-apa loh, Mi. Jadi buat apa kamu berterima kasih?"
"Terima kasih sudah hadir di saat aku sedang butuh seseorang."
"Gak perlu berterima kasih," ujar Leo yang berpikiran bahwa Mireya berterima kasih untuk Leo yang sudah mau mengisi peran pangeran untuk drama CINDERELLA. Nyatanya bukan hanya untuk itu, sayangnya Leo tidak tahu.
Mireya dapat mendengarnya jika ada suara pria yang memanggil Leo. Setelahnya panggilan video berakhir dengan Mireya yang suasana hatinya tak seburuk sebelumnya. Beruntung bukan bisa mengenal Leo?
.
.
Entah ada apa dengan Mireya, hari ini ia telat bangun! Padahal semalam Mireya tidur sesuai jadwal biasanya. Dan luar biasanya lagi Papa-nya meminta Mireya ke Bandara untuk mengantarkan paspor Cyntia yang tertinggal. Mengingat Papa-nya akan berangkat kerja dan Ibu tiri-nya sudah berada di Bandara bersama Cyntia, Mireya tak ada pilihan lain.
Setelah memberikan paspor pada Cyntia, Mireya buru-buru ke Sekolah di mana tentu saja gerbang sudah ditutup! Mireya telat 1 jam.
"Loh, neng Mireya! Tumben telat," kata Pak satpam yang keluar dari pos satpam dengan wajah heran melihat Mireya telat.
"Ini nih, Pak."
"Bapak tanyakan sama kepala sekolah dulu yaa, siapa tahu neng Mireya boleh masuk." Dengan wajah merasa kasihan, karena itu kali pertama Mireya telat.
"Iya, Pak. Terima kasih."
Tidak lama kemudian, Pak satpam datang bersama wakil kepala sekolah di mana seorang perempuan. Wakil kepala sekolah memperbolehkan Mireya masuk tapi tentu dengan hukuman yang harus Mireya terima terlepas bahwa Mireya ketua osis yang teladan.
Berdiri di depan bendera sembari hormat di tengah matahari yang panasnya mulai terasa. Mireya harus berada di sana sampai jam istirahat.
Willy masuk ke dalam kelas setelah izin ke Toilet dengan wajah seperti menahan sesuatu. Baru saja duduk, Willy menepuk pelan punggung Leo yang duduk di depannya. Mumpung Pak guru sedang menulis di papan tulis, Leo menoleh ke arah belakang.
"Lo harus tahu apa yang baru saja gue lihat!" ucap Leo.