"Gak merepotkan?" tanya Mireya, memastikan bahwa Leo tidak akan menyesal nantinya setelah mengantar pulang.
"Kalau merepotkan aku gak akan menawarkan tumpangan," ucap Leo dengan wajah datar.
"Okay, ayo kita pulang. Tapi, aku ambil tas di Ruang osis dulu."
Jangan kira Mireya akan menolak, karena Mireya bukan gadis dengan karakter dingin yang menjaga jarak. Bukankah lebih baik mengirit uang? Terlepas dari Mireya yang kebutuhannya selalu tercukupi.
Bukannya langsung duduk di belakang Leo yang sudah duduk di atas motor sportnya bahkan sudah memakai helm, Mireya malah menatap lama motor. Seperti memikirkan sesuatu.
"Kenapa?" tanya Leo heran.
"Sebelumnya aku gak pernah naik motor gede kayak gitu. Nyaman kan?"
"Kalau gak nyaman gak akan aku pakai."
Perlahan Mireya naik, duduk di atas jok yang tinggi itu. "Pegangan! Nanti jatuh," perintah Leo.
Mireya yang bingung pegangan di mana karena rasanya tidak enak menyentuh Leo yang sepertinya tak masalah. Tidak ada pergerakan pada Mireya, Leo pun menarik kedua tangan Mireya, melingkarkan pada pinggangnya. Karena takut jatuh, Mireya pun tak ada pilihan lain. Dengan perasaan terpaksa Mireya pun melakukannya.
Leo jalankan motor dengan kecepatan sedang. Mireya mencoba memperhatikan jalanan di tengah rasa takut yang mulai hilang. Mireya kira akan menakutkan.
Tidak membutuhkan waktu lama motor berhenti tepat di depan pagar Rumah Mireya setelah Mireya mengarahkan Leo. Mireya turun dengan hati-hati. Berdiri menghadap Leo yang menatap Mireya dengan wajah selalu datar dan dingin.
"Terima kasih atas tumpangannya," ucap Mireya lalu tersenyum tipis.
"Sama-sama." Leo menjalankan motornya, meninggalkan Mireya yang masih berdiri di sana menatap kepergian Leo. Mireya baru menyadari, suara motor yang menjauh itu meninggalkan kehangatan yang tak pernah ia duga dari lelaki sekaku Leo.
Baru saja menapakkan kaki di Rumah, keluar Ibu-nya dari arah belakang dengan celemek yang dipakainya. "Kebetulan kamu sudah pulang, bantuin Ibu masak untuk makan malam!"
"Iya, Bu. Mire ganti baju dulu."
Selain teman yang baik Mireya tentu anak perempuan yang baik. Padahal Mireya selelah itu, tapi tak pernah mengatakan "tidak". Mungkin karena wanita itu telah menjadi Ibu sambungnya makanya Mireya tidak enak jika mengatakan "tidak".
Mireya benar-benar menepati janjinya. Sehabis ganti baju, ia langsung menghampiri Ibu-nya yang ada di Dapur. Ibu-nya langsung memberikan tugas pada putri tiri-nya itu membuat perkedel.
"Kamu sudah tahu kalau Kakak-mu itu akan berada di Paris selama seminggu?" tanya Ibu-nya sembari mengaduk-aduk sup ayam yang ada di panci.
"Kak Cyntia gak bilang apa-apa." Sembari mengupas kentang.
"Mungkin pulang nanti dia baru akan kasih tahu kamu ... kamu gak mau kayak Kakak kamu yang suka bolak-balik luar negeri?"
"Mire belum tahu."
"Ibu bangga sekali memiliki anak seperti Cyntia." Dengan nada lebih tepatnya menyindir. Bahwa Cyntia lebih luar biasa dari Mireya.
Mireya yang merasa Ibu tiri-nya itu seperti sedang membanding-bandingkan, memilih untuk tidak peduli. Lagi pula Mireya tidak bisa ikut-ikut orang dalam menentukan hidupnya sendiri.
"Bukankah hidup sempurna yang dimiliki Cyntia idaman semua perempuan? Pekerjaan yang luar biasa, teman banyak dari kalangan atas, dan memiliki kekasih seorang pengusaha ternama," ucap Ibu-nya yang masih membanggakan anak kandungnya.
Ibu-nya itu memang tidak pernah berbicara nada tinggi, melakukan kekerasan pada Mireya tapi seperti (membunuh secara diam-diam).
"Mire juga bangga bisa jadi Adik-nya," kata Mireya yang lebih memilih mengatakan hal seperti itu. Tidak menunjukkan bahwa ia sedikit sedih.
"Apa kamu akan mengikuti jejak Mama kamu itu sebagai pelukis?" Ibu-nya beralih berdiri di samping Mireya, menatap dari samping Mireya.
"Mire benar-benar belum tahu ke depannya mau kayak gimana," jawab Mireya tanpa menatap Ibu-nya.
"Ibu saranin lebih baik kamu gak mengikuti jejak Mama kamu itu karena nanti setelah berkeluarga, kasihan keluarga kamu. Perhatian kamu pasti lebih ke lukisan-lukisan itu, sama seperti Mama kamu. Sampai Papa kamu lebih sering kesepian dari pada bersenang-senang."
Mireya tidak tahu bagaimana Mama-nya di mata orang lain Mireya hanya tahu bahwa Mama-nya adalah Mama terbaik yang pernah ia miliki. "Mama adalah Mama terbaik untuk putri satu-satunya!" Dengan nada tegas dan sorot mata tajam.
Ibu-nya seketika langsung beralih posisi berdiri di depan kompor lagi dan tidak lama datang putri kesayangannya itu dengan langkah kaki sungguh seperti model. "Wahh, lagi masak apa nih?" Cyntia berhenti di samping Mireya, melihat apa yang sedang Mireya lakukan, dan Mireya bersikap biasa, tidak menyambut kepulangan Cyntia.
"Oh ya, Mire. Kakak lupa kasih tahu kamu kalau selama seminggu Kakak akan berada di Paris dan Kakak mau minta tolong sama kamu."
"Minta tolong apa?" tanya Mireya sembari menatap Cyntia.
"2 hari sekali tolong bersihkan Kamar Kakak yaa? Kamu kan tahu sendiri Kakak paling gak bisa ada debu sedikit pun."
"Kan ada bibi yang biasa bersih-bersih," jawab Mireya dengan wajah bingung. Kenapa harus ia?
"Kamu kayak lupa saja kalau Kakak paling gak suka kalau ada yang masuk Kamar Kakak selain keluarga sendiri. Bisa kan, Mire? Kakak gak mungkin suruh Mama."
Mireya benar-benar terlalu baik! Mireya mengiyakan tanpa berpikir lebih dahulu. Membersihkan Kamar memang tidak sesulit itu namun bukankah akan melelahkan? Pekerjaan Mireya di sekolah saja sudah banyak.
Di tempat lain lebih tepatnya di kediaman Leo, nampak lelaki itu sedang duduk di tepi kolam renang dengan kaki yang berada di air, menggunakan kaos hitam dan celana abu-abu bahan, pendek.
"Ternyata anak Mama di sini," kata wanita berambut hitam lurus sebahu yang wajahnya terlihat cantik, bak aktris senior Korea. Duduk di samping Leo yang menoleh sesaat ke arah Mama-nya.
"Apa yang lagi kamu pikirkan?" tanya Mama-nya dengan nada lembut.
"Leo bingung, Ma. Gimana bisa ada orang yang selalu mengiyakan setiap kali ada yang minta bantuan," ujar Leo tanpa menatap Mama-nya.
"Tentu bisa. Itu berarti orang itu memiliki hati yang luar biasa baik."
Leo menatap Mama-nya. "Tapi, Ma ... ada permintaan tolong yang seharusnya dia pikirkan dulu, kayak benar-benar harus dibantu atau nggak. Jatuhnya kayak dia tuh bodoh. Selalu mengutamakan orang lain dari pada dirinya sendiri," jelas Leo dengan wajah kecewa.
Kalau aku di posisinya, aku pasti sudah nolak mentah-mentah. Tapi dia? Dia bahkan masih bisa tersenyum.
Mama-nya tersenyum lembut. "Siapa sih orangnya? Melihat kamu sepeduli itu sampai memikirkannya, bukankah dia orang yang kehadirannya berarti untuk anak Mama ini?"
"Ada, salah satu teman Leo." Sembari menoleh ke arah sebelumnya.
"Teman? Benar hanya teman?" tanya Mama-nya dengan nada menggoda.
"Kalau Leo suka sama orang itu, gimana?" Leo kembali menatap Mama-nya namun kali ini tatapannya serius.
"Kamu harus bergerak cepat sebelum diambil orang lain!" Mama-nya tersenyum lebar.