RUMAH Singgah pagi itu terasa panas. Leon, Tara dan Dion membuka setiap jendela yang ada. Memberikan kesempatan bagi angin untuk menyegarkan sejenak tubuh dan pikiran mereka yang terasa panas. Panas oleh ucapan Naru beberapa saat yang lalu.
“Jadi, selebaran dengan hadiah 10 miliar itu adalah salah satu cara Ayahmu agar kau kembali? Termasuk mengirim para bodyguard bertubuh kekar ke sekolah?” Tanya Johni memastikan. Naru terlihat terkejut. Namun, setelah itu mengangguk mengiyakan.
“Lalu kenapa kau memutuskan untuk kabur kalau tahu Ayahmu akan berbuat gila seperti ini? Apa kau tahu Tori terlihat senang mendengar berita ini? Wajahnya seperti seorang psikopat ketika membicarakan tentang selebaran dan hadiah itu.” Seru Tara menambahkan.
“Sebenarnya Tori juga sempat datang ke rumah. Tepat sebelum kalian menjemputku. Dia bertanya tentang Naru padaku. Memberikan pesan supaya memberitahukan keberadaannya jika tahu. Aku tak menyangka jika urusannya akan jadi serumit ini.” Sambung Eri akhirnya buka suara. Dia memeluk erat lengan Ibunya yang terlihat gelisah tak begitu mengerti.
“Mungkin jika kau tidak kabur. Semua ini tidak akan terjadi?” Tara bersuara.
“Tapi dia harus menerima keputusan untuk di jodohkan paksa dengan seseorang yang tidak dia sukai.” Dion dan Leon saling bersihkeras.
“Tapi dia akan menjadi pewaris-” Tara tertahan lagi.
“Apa kau lupa jika masalahnya bukan hanya perjodohan dan soal pewaris saja? Ingat bahwa Ayahnya telah melemparkan baju muslim dan Al Quran di depannya dengan kasar. Marah jika dia belajar tentang Islam. Aku tidak menyalahkan jika akhirnya Naru memilih untuk kabur.” Potong Johni cepat membuat mereka bungkam seketika.
“Teman-teman aku sungguh minta maaf. Aku tidak memikirkan konsekuensinya setelah kabur. Aku tidak memikirkan bagaimana orang-orang terdekatku yang akan mengalami kesulitan seperti ini.” Kata Naru setelah sekian lama terdiam. Namun kini justru semua orang ikut diam. Bimbang harus berkata apa lagi.
“Baiklah... Menurutku tidak ada salahnya Naru memutuskan untuk mengumpulkan kita semua di Rumah Singgah saat ini. Karena selain tempat inilah yang paling aman. Kita juga tidak bisa melakukan apapun selain, tentu saja Naru yang menyerahkan diri pada orang tuanya.” Johni akhirnya buka suara.
“Apa kau yakin jika Rumah Singgah ini benar-benar aman?” Tanya Dion memastikan. Memandang bergantian ke arah Johni dan Naru.
“Aku yakin sekali Pak Yus akan menjaga rahasia tentang keberadaan Rumah Singgah ini. Aku juga sudah memastikan hanya kita semua yang tahu. Jadi, aku harap kalian bisa tenang tinggal di sini untuk sementara waktu.” Jawab Naru membuat Dion menepuk dahi.
“Aku tak tahu jika harus tinggal satu rumah bersama hewan berbulu yang sedang menatapku dengan kedua matanya yang besar itu.” Seru Dion memandang takut kucing yang kini sedang menggulingkan tubuhnya di lantai. Bertingkah manja.
"Haahhh.. Padahal aku sudah sangat senang dan menikmati ketika mengendarai mobil sport yang kau kirimkan ke rumahku kemarin." Celoteh Leon yang langsung dibalas tatapan tajam dari semua orang. Leon hanya menaikkan bahu.
Pukul 12 siang...
Eri dan Ibunya terlihat sibuk di dapur. Menyiapkan makan siang. Sementara anggota Perfect Gank sibuk menggoda Dion dengan kucing. Naru menggunakan kesempatan itu untuk berjalan mendekat ke dapur. Berusaha mendapatkan perhatian Eri.
“Jika ada yang ingin kau bicarakan. Katakanlah. Atau kau mau menggantikanku memasak?” Seru Eri tiba-tiba sempat membuat Naru terlonjak kaget. Naru yang sudah ketahuan hanya bisa meringis.
“Padahal kau dan Ibumu tak perlu repot memasak di dapur. Kita bisa memesannya lewat delivery.” Kata Naru membuat Eri berhenti mencuci peralatan dapur yang kotor.
“Aku tahu kau bisa melakukan apapun. Tapi jika makanan yang ada di kulkas dan lemari di Rumah Singgah ini tidak ada yang memasaknya. Apakah kau akan membiarkannya membusuk? Lagi pula bagaimana bisa di rumah ini banyak sekali makanan. Bahkan tak sengaja aku menemukan bertumpuk-tumpuk kardus di gudang samping dapur. Jangan bilang itu juga makanan?” Lagi-lagi Naru hanya meringis.
“Aku tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jadi aku telah mempersiapkannya.” Jawab Naru santai. Dia berjalan mendekat seraya melipat baju kemeja kotaknya hingga siku.
“Apa itu?” Tanya Eri memandangnya terkejut.
“Maksudmu aku akan membantumu mencuci peralatan kotor itu. Apakah boleh?” Jawab Naru memberitahu. Namun tatapan Eri tertuju pada pergelangan tangan Naru. Di sana ada sebuah gelang yang melingkar.
“Maksudku, dimana kau menemukan gelang itu?” Tanya Eri memandangnya penuh tanya.
“Ah. Ini... Aku menemukannya di meja dekat kamar mandi. Aku tak tahu ini milik siapa. Jadi aku pakai saja sampai aku akan menanyakannya pada kalian… Eh, tunggu. Apakah ini milikmu?” Eri mengangguk mengiyakan. Naru terlihat panik. Dia hendak melepas gelang dari pergelangannya. Namun Eri menahannya.
“Simpan saja dulu. Aku tak bisa memegangnya dalam keadaan tangan kotor begini. Aku juga tak mau membuatnya jadi kotor.” Jawab Eri kembali sibuk mencuci.
“Maaf. Aku sungguh tidak tahu jika ini milikmu.”
“Aku memang sempat mencarinya kemana-mana. Kurasa benda itu tertinggal kemarin ketika selesai mengajar di sini. Syukurlah jika sudah ketemu. Aku jadi lega.” Balas Eri membuat Naru penasaran.
“Apakah gelang ini sangat penting bagimu?” Tanya Naru takut. Eri terdiam. Seseorang mendekat ke arah mereka.
“Ya. Gelang tasbih itu sangat penting bagi Eri. Itu adalah peninggalan berharga dari keluarganya.” Seru Ibu Eri datang bersama sepiring lauk yang mengepulkan asapnya. Dia menaruhnya di atas meja tak jauh dari mereka berdiri.
“Keluarga?” Tanya Naru semakin penasaran.
“Ya. Keluarga aslinya-”
“Ibu. Tolong hentikan.” Potong Eri cepat. Ibunya terlihat tersenyum.
“Menurut Ibu, Nak Naru pantas mengetahuinya. Bukankah dia berhak tahu setelah menemukan gelang berharga milikmu? Kau tidak mau berterima kasih dengan-”
“Terserah Ibu saja.” Potong Eri lagi. Dia terlihat pasrah ketika Ibunya justru tersenyum menanggapi. Eri kembali sibuk mencuci.
“Tidak apa-apa jika Eri tidak mau menceritakannya Bu-” kata Naru tertahan.
“Gelang Tasbih itu adalah barang yang sangat berharga milik Eri. Gelang tasbih peninggalan keluarga aslinya. Ya, aku dan almarhum Ayahnya adalah keluarga angkatnya. Kami mengambilnya dari panti asuhan. Saat itu dia masih berusia sekitar lima tahun.
Dia terlihat pendiam dan selalu memegang gelang tasbih itu seperti takut akan kehilangannya.” Potong Ibu Eri tak menghiraukan ucapan Naru. Dia jadi ingat dengan pertemuan pertamanya. Ibunya memang suka sekali bicara.
“Aku tak tahu bagaimana cerita detailnya. Namun, penjaga panti yang sempat merawatnya selama beberapa bulan bercerita jika Eri di temukan sedang menangis di depan panti seorang diri.
Setiap hari dia berceloteh tentang Ayah dan Ibunya. Selalu antusias jika melihat bunga berwarna merah muda. Memekik keras dengan menyebut nama Bunga Sakura. Berbicara dengan bahasa aneh yang jika mereka artikan seperti bahasa asing yaitu Bahasa Jepang.
Saat pertama kali bertemu dan memutuskan untuk merawatnya sebagai anak sendiri. Kami juga sempat meminta bantuan pada beberapa orang. Termasuk ahli bahasa dan psikolog. Ternyata memang benar. Dia bisa berbahasa Jepang di usia lima tahun.”
Cerita Ibunya yang semakin panjang membuat Naru akhirnya bersandar di dinding. Mendengarkan dengan takzim setiap kata-katanya.
“Apa kau tahu? Saat itu wajahnya memang terlihat sangat imut dan mirip seperti orang Jepang. Pipinya tembem, kelopak matanya yang sipit, dan juga rambutnya yang lurus tipis. Bahkan sampai sekarang dia masih terlihat imut di mata kami.”
Ucapan Ibunya membuat Eri tak sengaja menjatuhkan piring yang sedang dia cuci. Membuat suara gaduh sesaat.
“Apakah kau tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?” Tanya Naru khawatir. Eri terlihat diam saja. Dia hanya menunduk semakin dalam. Menghindari pandangan Naru yang memaksa melihat keadaannya.
“Aku baik-baik saja. Kau bisa pergi jika sudah puas mendengar Ibuku yang bercerita seenaknya sendiri tanpa jeda.” Mendengar hal itu. Seperti tersadar akan sesuatu. Ibunya langsung tertawa merasa bersalah.
“Maafkan Ibu Nak. Terkadang mulutku memang susah sekali untuk berhenti. Aku akan melanjutkan memasak saja kalau begitu.” Naru hanya menunduk tersenyum mengiyakan.
“Maafkan aku yang lancang memakai gelang tasbihmu sesuka hati. Ketika pertama kali aku melihatnya dengan gradasi indah yang berbeda di setiap butirnya. Membuatku lupa untuk segera mencari tahu pemiliknya.
Aku juga tak tahu jika benda kecil ini memiliki cerita yang berharga di dalamnya. Aku berjanji akan menjaganya sampai kau mau mengambilnya lagi. Panggil aku jika kau sudah selesai.”
Naru pamit pergi meninggalkan mereka. Meninggalkan Eri yang diam-diam mencuri pandang melihat punggungnya menghilang dari dapur. Eri yang merona pipinya. Merah. Lirih dia beristighfar dalam hati.