Kedua tangan Kara terus mengobrak-abrik tumpukan lipatan pakaian di lemari miliknya, dengan napas memburu dan mata yang berkerut serta sesekali memicing karena mencari kemeja kotak-kotak hijau favoritnya. Kara mendengus kesal, pikirannya mulai kacau seperti isi lemarinya sekarang ini. Di mana baju itu berada? Seolah potongan kain yang sudah dijahit menjadi busana atasan itu sedang ingin bermain petak umpet.
Sesaat ia teringat bahwa kemarin telah memakainya sewaktu hendak membeli susu kemasan kesukaannya di toko depan rumah. Ia segera berjalan ke arah pintu kamarnya, meninggalkan lemari yang sudah acak-acakan dan terbuka begitu saja, sampai kemudian ia membanting penutup lemarinya keras-keras, melampiaskan rasa jengkel yang meluap seperti air mendidih. Mendadak tubuhnya berkeringat dan terasa gerah, bulir-bulir peluh sebesar biji jagung menetes dari dahinya. Pandangannya tertuju pada gantungan yang menempel di pintu kamar tidurnya. Kali ini ia menyibak tumpukan pakaian yang sudah lama bertengger di sana, bahkan setelah terlihat tas-tas kecil yang juga tergantung, kemeja kotak-kotak itu ternyata tidak berada di sana.
“Mama!” teriaknya sambil membanting daun pintu dengan kasarnya. Ia yang masih memakai daster bunga-bunga berjalan serampangan menuju tempat sang mama berada.
“Apa sih Dek?” Lita segera menghampiri putrinya.
“Kemeja kotak-kotakku ke mana?” tanya Kara berseringai sambil menghentakkan kedua tangannya.
“Mama cuci Dek, udah berapa lama itu ngegantung di kamarmu. Itu aja di sana pasti masih banyak baju, kamu lain kali kalau ada pakaian kotor harusnya segera taruh di belakang!” ujar Lita dengan nada yang mulai meninggi.
“Mama tuh lancang! Kan mau aku pakai! Lagian kotor apanya sih?” cerocos Kara dengan kening berkerut, matanya melotot sambil menodongkan telunjuknya ke arah mamanya. Melihat respon Kara yang emosinya sudah melonjak, Lita berusaha menahan amarahnya, ia mendekati putrinya yang kini menyendekapkan tangannya di perut.
“Iya, lain kali Mama pasti bilang ke kamu dulu kalau mau nyuci,” ucap Lita seraya merangkul bahu putrinya.
“Terus sekarang aku pakai baju apa?” tanya Kara yang beringsut.
“Kan masih banyak baju di lemari kamu, coba pakai T-shirt kamu yang pink itu, yang gambar bunga Daisy. Itu favorit kamu juga kan?” kata mamanya dengan lemah lembut, membuat hati Kara melunak.
“Yaudah, ambilin!” cicit Kara lalu mengembuskan napas panjang, ia memang gampang sekali terpercik api emosi. Ia bisa merasakan dadanya seolah bergemuruh.
Lita segera berjalan masuk ke kamar Kara, ia hanya bisa menggeleng pasrah melihat isi lemari yang sudah berantakan tak karuan, padahal tumpukan pakaian itu sebelumnya sudah susah payah disetrika. Lita segera mengambil kaus lengan panjang berwarna pink itu, pikirnya nanti saja dibereskan. Begitu menemukan kaus favorit Kara yang bagai harta karun, gadis dengan tubuh gempal itu mengambilnya dari tangan mamanya, lagi-lagi Lita hanya bisa menggeleng sambil meredam emosi. Ia kemudian masuk ke kamar tidur utama di bagian depan rumah.
“Mama!” Belum sepuluh menit berlalu, Kara berteriak lagi, kali ini lebih nyaring. Lita bahkan belum mengoleskan bedak untuk menutupi kerut di wajahnya. Buru-buru ia keluar dari kamar, dan sudah menemukan Kara mondar-mandir di depan meja di ruang tengah.
“Kacamataku mana? Mama tuh suka asal aja mindah-mindahin barang! Kacamataku tadi di sini!” cecar Kara sambil menggebrak meja yang tak bersalah. Lita menarik napas berusaha untuk kesekian kalinya menahan amarah, mengapa putrinya itu suka sekali menyalahkan dirinya yang sudah susah payah merapikan seisi rumah.
“Mama nggak mindahin kacamata kamu Dek, coba diingat-ingat lagi!” kata Lita memantapkan kesabarannya. Lita kemudian masuk ke kamar tidur Kara dan membuka laci pada meja riasnya. Betul dugaannya.
“Nih, kacamatamu, kamu yang lupa Dek. Sudah ya, jangan marah-marah lagi ….” Lita mengusap pelan punggung putrinya. Kara segera memakai kacamatanya dan menunduk, terkadang ia pun tidak memahami bagaimana cara kerja otaknya untuk bisa mengolah emosi.
“Jadi diantar Papa kan Ma?”
“Tadi Papa telepon, ada meeting dadakan. Mama antar aja ya!” kali ini Lita merangkul bahu Kara yang langsung menjingkat.
“Haduh, mendung gini, kalau kehujanan gimana?” protes Kara.
“Nggak-nggak Sayang, dibonceng Mama aja ya, nanti pulangnya kita jalan-jalan dulu juga nggak apa-apa,” bujuk Lita. Mendengar kata jalan-jalan ternyata bisa meredam kemarahan Kara yang selalu muncul tiba-tiba.
Pasangan ibu dan anak itu kemudian segera berangkat meninggalkan kediaman mereka. Kara merasakan terpaan angin yang menghantam wajahnya mulai mendingin sebab langit sedang muram. Awan-awan berwarna kelabu pekat, seolah berarak menggantung mendekati permukaan bumi. Tiba-tiba saja ada yang mengganggu pikiran Kara.
“Ma, Ma bentar, berhenti dulu!” Buru-buru Lita menarik tuas rem motor matic-nya.
“Kenapa emang?” tanyanya.
“Aku tadi bawa HP nggak ya? Haduh ini kok nggak bisa?” Kara berusaha membuka ritsleting tasnya tetapi tak kunjung bisa. “Nggak bisa Ma!” jerit Kara hampir ingin menangis.
“Kamu turun dulu!” pinta Lita yang mulai terbawa kepanikan Kara.
“Nggak bisa Ma!” jerit Kara lagi, kali ini dia hampir membanting tas miliknya.
Lita merebut paksa tas yang dipegang Kara. Memang susah sekali untuk membukanya, tapi kemudian Lita berdoa dalam hatinya, semoga tas menjengkelkan itu tak memperburuk nasibnya hari ini.
“Nih bisa! Ada di situ HP-mu! Kamu jangan panik terus Kara!” pekik Lita sambil menghela napas, kesabarannya sudah di ujung lidah, kapan saja bentakan dan perkataan penuh amarah bisa meloncat keluar dari mulutnya.
Mereka berdua akhirnya sampai di tempat tujuan, bangunan megah dengan interior serba puith dan biru berpadu hijau. Suasana rumah sakit hari ini sangat ramai, setelah melakukan fingerprint untuk pendaftaran, Kara dan mamanya masuk ke ruang tunggu poli. Hampir semua kursi sudah terisi, mereka terancam tidak bisa duduk. Hingga mata Lita yang masih jeli, menemukan tiga kursi kosong di barisan tengah. Sesegera mungkin keduanya menuju ke sana dan duduk dengan tenang. Suara-suara obrolan sesama pasien, keramaian lalu-lalang perawat, bau pengharum ruangan rumah sakit yang wanginya khas dan juga temperatur suhu AC yang begitu dingin, semua ini bukan hal yang awam bagi Kara, dia sudah terbiasa. Ia menengok ke belakang. Apa ibu-ibu itu membicarakannya? Jelas ia tadi mendengar namanya disebut. Kara hanya bisa menunduk.
“Kenapa Dek?” tanya mamanya melihat gerak-gerik aneh Kara.
“Ma, apa kita pulang aja, ramai banget, aku nggak suka!” gumam Kara dengan tatapan sendu. Lita hanya bisa menggaruk tengkuk lehernya yang tertutup kerudung, merasa tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Yasudah,”
“Permisi Kak, boleh aku duduk di sini?” tanya seorang gadis yang terlihat masih belia menuding bangku tempat tas Kara bersanding.
Kara mendongak memandangi wajah polos sang remaja perempuan, kemudian dia segera memindahkan tas ke pangkuannya.
“Boleh, duduk aja,” Mama Kara mempersilakan hingga membuat gadis berambut panjang itu tersenyum kikuk.
“Kamu sendirian?” tanya Lita lagi.
“Nggak, sama Mama Papa!” jawabnya sambil menunjuk ke arah depan. Sepasang suami istri memandang ke arah mereka, mama Kara menunduk sopan.
“Kakak sakit apa?” tanya si gadis sambil menatap lekat Kara. Kemudian lantas dijawab mamanya.
“Kamu sendiri sakit apa?” Kara balik bertanya.
Dengan suara pelan, senyap-senyap gadis itu menceritakan sakitnya kepada Kara dan mamanya. Setiap perkataannya seolah menjadi mantra yang menyihir Kara, kalimat-kalimat yang meluncur keluar dari mulut gadis itu tentang pengakuannya mengapa bisa sakit hingga kisah cintanya, ia mengungkapkannya dengan gamblang sampai Kara melihat detail mata si gadis yang dilapisi lensa kontak berwarna cokelat, menatapnya begitu dalam, seolah gadis bernama Cinta itu mengingatkannya kepada semua kenangan lama yang terkubur rapi di hati Kara. Tentang masa putih abu-abunya yang begitu berkesan dan membekas. Hingga cerita itu diputar kembali dalam ingatannya, semuanya berawal dari kisah itu, dan sosok remaja laki-laki itu ….
“Trein …,” gumam Kara memanggil nama yang selalu hinggap bersemayam di hatinya, hingga kemudian ia hanyut bersama riwayat kenangan kisah lamanya. Kara dan masa SMA-nya! Cerita lama bersemi kembali ….