Bagai grafik regresi linear dengan korelasi positif, kecepatan langkah kaki Rayna meningkat setiap menitnya. Maju terus menembus kegelapan malam sudah bukan pilihan, melainkan menjadi suatu keharusan baginya. Setelah berlari mengikuti arah perginya rombongan anak-anak misterius, ia akhirnya dapat menemukan secercah harapan, menemukan sebuah keramaian.
Rayna berlari ke tengah keramaian orang yang berlalu-lalang. Ia mencoba berinteraksi pada mereka untuk mendapatkan informasi soal dunia aneh yang ia pijak saat ini.
"Halo ... maaf, ada yang bisa beritahu saya ini di mana? Saya tersesat."
Sama seperti anak-anak misterius di hutan yang ia temui sebelumnya, orang-orang di sekeliling Rayna berlalu begitu saja. Tak ada yang menoleh padanya, seolah dirinya memang tak terlihat.
Dahi Rayna berkerut. Ia mencoba berlari menghampiri yang lain. Sambil terengah, dirinya masih terus mencoba berkomunikasi.
"Halo! Saya tersesat," ucapnya lebih keras dari sebelumnya. Kedua tangannya terangkat dengan gerakan mengibas di depan lawan bicaranya. "Apakah ada yang bisa lihat saya? Haloo!" teriaknya lebih kuat. Namun, lagi-lagi tidak ada reaksi dari orang-orang itu. Mereka tetap melanjutkan aktivitas masing-masing, berlalu-lalang di sebelahnya yang sedang berdiri di tengah jalan.
Rayna terduduk lesu. Ia mengusap wajahnya frustrasi. Kepalanya terangkat menatap langit di atasnya yang nampak sama seperti langit malam pada umumnya. Sebuah helaan napas yang terdengar berat berhasil lolos darinya.
Pandangan Rayna terpaku pada aspal yang ia duduki. Tangannya memukul aspal itu kuat-kuat untuk mengetahui apakah ini nyata atau hanya sebuah ilusi. Tumbukan antara tangannya dan aspal menghasilkan rasa sakit. Untuk memastikan kembali, ia mencoba memukulnya sekali lagi. Tidak ada efek yang aneh. Aspal yang dihantamnya masih terasa keras dan kasar seperti jalan pada umumnya. Ini wajar. Namun, kewajaran itu malah membuat Rayna semakin cemas. Jika aspal yang ia pijak adalah aspal betulan, itu artinya yang ia alami adalah nyata, dan bukan ilusi.
Di tengah kegiatan memukul dan mendeteksi eksistensinya, sudut mata Rayna tiba-tiba menangkap gerakan sebuah cahaya yang berjalan. Berbeda dengan cahaya di hutan tadi, cahaya ini tampak kuning dengan bulatan pendar lebih kecil, tetapi masih cukup terang bagi Rayna.
"Ada yang datang?"
Matanya tampak menyipit untuk memfokuskan pandangan. Dari kejauhan terlihat sebuah kendaraan bermotor melaju pelan. Lampu tersebut rupanya berasal dari kendaraan tersebut, sebuah sepeda motor yang berjalan tepat ke arahnya. Rayna sontak berdiri. Melihat lampu yang kini menyorotinya, ingatan dirinya kembali pada kejadian di hutan. Rombongan anak-anak misterius tadi juga tidak bisa melihatnya, tetapi ada satu waktu di mana mereka sempat mendengar teriakan Rayna. Senyum lebar tercipta di bibirnya. Sebuah ide muncul di kepalanya.
"Anak-anak itu, mereka emang nggak bisa lihat gue. Tapi, setelah gue kena sorot cahaya di hutan, mereka tiba-tiba bisa denger teriakan gue. Mungkin kalau gue kena sorot lampu lagi, mereka yang ada di sini bisa denger suara gue."
Rayna berdiri sambil melambaikan tangan. Jarak kendaraan itu sudah semakin dekat. Cahaya lampunya pun sudah semakin terlihat terang dengan pendar yang semakin melebar. Ia membiarkan cahaya tersebut terus menyoroti tubuhnya, berharap itu akan berhasil membuat suaranya terdengar oleh mereka.
"Heii! Ada orang di sini! Bisa lihat saya?" pekik Rayna dengan sangat keras kepada orang-orang yang berlalu-lalang juga pengendara di depannya. Namun, tetap tidak ada perubahan dari orang-orang di sekitarnya. Meski begitu, ia masih terus berusaha. Ide lain muncul di kepalanya.
Mungkin kalau gue lebih lama kesorot lampu bukan cuma suara gue, tapi juga wujud gue bisa muncul di mata mereka?
Rayna masih berdiri di tempatnya. Ia bertekad untuk terus membiarkan dirinya tersorot lampu kendaraan sambil sesekali berteriak dan melambaikan tangan. Kendaraan di hadapannya semakin mendekat tanpa ada perubahan yang baik bagi Rayna, pengendara dan orang-orang di sekitarnya tetap saja tidak bisa melihat dirinya.
Rayna masih berdiri, menatap cahaya lampu kendaraan tanpa berkedip. Suara mesinnya semakin terdengar jelas di telinganya. Menggema keras seolah melahap habis semua teriakannya.
Jarak 200 meter...
"Ehh elo yang naik motor! Ada gue di sini!" Rayna melambaikan tangan sambil melompat-lompat.
Jarak 100 meter...
"Haloo! Gue di sini!" Intensitas suaranya makin tinggi meskipun kalah kencang dengan suara deru kendaraan di hadapannya.
Jarak satu meter...
Matanya refleks terpejam dengan napas yang memburu.
dan kemudian...
BRUKKK!
Suara itu...
Seharusnya suara itu ada, tetapi ... tidak. Tak ada benturan. Tak ada rasa sakit. Tak ada juga perpindahan posisi.
Ini ... Apa ini? Benar-benar tak ada momentum apapun?!
Rayna berbalik badan. Terlihat jelas bahwa kendaraan yang ia hadang tadi masih melanjutkan perjalanan tanpa terlihat terganggu. Kendaraan itu menembus tubuhnya.
Persetan dengan rumus fisika yang dipelajari saat SMA dulu. Katanya jenis tumbukan itu ada tiga, tapi kenapa ia tidak merasakan satupun jenisnya? Tak ada tumbukan lenting sempurna, lenting sebagian, apalagi yang tidak lenting. Rayna menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, bingung dengan hukum fisika yang berjalan di dunia asing ini. Bagaimana tidak? Dirinya baru saja ditembus sebuah kendaraan, tapi sebelumnya, jelas-jelas tangannya justru bisa merasakan sakit ketika sengaja memukul-mukul aspal.
"Gimana bisa hukum fisika berjalan se-inkonsisten ini? Mau dinalar pun udah nggak bisa masuk nalar manusia."
Setelah mengucap kata terakhir, dirinya terdiam. Manusia? Ia tertegun, lalu menatap ke sekeliling. Satu prasangka buruk kembali hinggap di kepalanya.
Apa emang gue udah bukan manusia lagi?
Tatapan Rayna menyapu sekeliling. Wajah orang-orang itu sekilas memang tampak biasa saja, tetapi setelah ia perhatikan lebih detail, ia merasa ada yang aneh. Sama seperti perasaannya saat menatap wajah anak-anak misterius di hutan.
Mata Rayna terbelalak. Di hutan, ia memang belum bisa menemukan keanehan dari rombongan anak misterius. Namun, sekarang ia sudah tahu apa yang aneh dari orang-orang yang ditemuinya hari ini.
Senyum mereka terlalu lebar. Mata mereka tidak memantulkan cahaya sama sekali, padahal di tempat itu sangat terang. Warna kulitnya pun terlihat aneh, berwarna kuning kehijauan. Bahkan, jarak kedua mata mereka juga terlihat tidak wajar. Ada yang terlalu dekat, ada juga yang terlalu jauh. Terlihat menyeramkan untuk Rayna yang baru pertama kali melihat wajah aneh seperti itu.
Entah entitas apa mereka semua, tetapi ada satu hal yang pasti Rayna tahu. Mereka bukan manusia. Ia yakin bahwa mereka adalah jenis entitas yang sama dengan anak-anak misterius di hutan. Itu dapat dipastikan dari sebagian kaki mereka yang terlihat terpendam di dalam tanah.
Napas Rayna kembali memburu. Ia mundur selangkah.
"Oke, jadi gue harus gimana? Mau nggak gue percaya, tapi terpampang jelas."
Ia mundur lagi selangkah.
"Tapi mau gue percaya juga ini terlalu aneh."
Dan kemudian ia berlari. Langkah kakinya saling bertautan dengan cepat. Entah pergi ke mana, yang penting dirinya sudah bisa menjauh dulu dari keramaian aneh itu.
Rayna berlari sambil terengah. Bertemu keramaian dengan tidak ternyata sama saja. Sama-sama tidak membantu dirinya untuk bisa berada di situasi yang lebih baik.
Langkah kakinya mulai melambat setelah berlari cukup jauh. Ia berhenti sejenak di pinggir jalan yang cukup lengang dari lalu lalang makhluk untuk mengatur napas. Pandangannya beredar ke segala arah. Beberapa makhluk yang berlalu lalang di sini sama menyeramkannya dengan yang tadi. Bibir mereka saat tersenyum saling menyapa terlihat terlalu lebar hingga hampir mencapai telinga. Pemandangan itu lah yang terasa sangat menyeramkan untuk Rayna. Ia berlari kembali untuk mencari tempat yang lebih sepi. Kalau bisa yang sama sekali tidak ada makhluk-makhluk aneh itu.
Rayna kembali berhenti, kali ini di bawah sebuah lampu jalan. Dadanya naik turun mencari udara untuk memenuhi paru-paru. Di tempat ini setidaknya ia bisa sedikit tenang. Tak ada makhluk aneh yang berlalu lalang. Ia bersandar di tiang lampu dan duduk sejenak untuk beristirahat. Dirinya duduk dengan kaki berselonjor. Napasnya mulai teratur.
"Oke, sekarang gue yakin ini nyata. Gue ada di dunia yang aneh. Aneh banget malah. Di sini nggak ada yang bisa lihat gue. Tapi, gue bisa lihat mereka semua. Selai itu, nggak ada juga yang bisa gue sentuh. Kecuali aspal dan lampu tiang sandaran gue." Rayna berkedip beberapa kali. Ia menatap langit sejenak, lalu beralih menatap kedua tangannya yang terangkat di depan wajah.
"Gue invisible di hadapan mereka. Gue juga nggak bisa sentuh mereka. Jadi, apa gue udah mati?" Ia merenungi eksistensi dirinya. "Tapi, orang mati bukannya harusnya pergi ke alam kubur?" Ia melihat ke sekeliling, kemudian tergeleng. Dunia ini aneh. Ada kehidupan di sini, tapi bukan kehidupan tanya jawab dengan malaikat. Dirinya yakin ini bukan alam kubur.
"Tapi, kalau bukan alam kubur, ini di mana?" Rayna masih memikirkan segala kemungkinan yang masuk akal.
Satu kemungkinan melintas di pikirannya. "Atau ... gue masih hidup, tapi jiwa gue lagi ada di dunia jin?" Kegiatan overthinking-nya masih berlanjut. Akan tetapi, di menit berikutnya ia langsung menggeleng kuat menyanggah pikirannya sendiri.
"Nggak. Kalau ini alam jin, kenapa mereka yang mungkin adalah jin malah nggak bisa lihat gue? Nggak mungkin kan gue jinnya? Dari lahir gue aja udah jadi manusia tulen." Ia memegang kepalanya kuat-kuat.
"Jadi, gue ini di mana? Masih hidup atau udah mati?"
Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi-jadi, mungkin adalah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini. Semua kemungkinan masuk akal yang melintas tak ada yang selaras dengan apa yang dialami. Dibilang hidup, tidak seperti hidup. Tapi dibilang mati juga tidak seperti orang mati.
"Nggak mungkin kan ya kalau gue jadi Rayna Schrödinger yang bisa eksis di dua keadaan sekaligus? keadaan hidup, tapi juga mati." Rayna cepat-cepat menepuk dahinya mengusir pikirannya yang terlalu jauh. Dirinya terlalu makro untuk teori mikro seperti persamaan Schrödinger.
Terus gue harus ke mana sekarang?
Di tengah kalutnya pikiran Rayna, tiba-tiba terdengar sebuah langkah kaki. Kepala Rayna menoleh ke arah sumber suara. Dari kejauhan tampak siluet seseorang yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya.
Saat sosok itu mendekat dan berada di bawah salah satu cahaya lampu jalan, Rayna mulai bisa melihat dengan jelas. Sosok itu terlihat hampir sama dengan entitas aneh di keramaian tadi. Kulitnya berwarna kuning kehijauan, sebagian kaki yang terpendam ke aspal, dan mata yang juga tidak memantulkan cahaya. Namun, sosok satu ini terlihat sedikit berbeda. Ada aura hitam yang terpancar dari dalam dirinya. Aura yang tidak Rayna temukan di makhluk-makhluk lain. Selain itu, jarak kedua matanya dan bibirnya terlihat normal. Ketika tersenyum karena melihat sesuatu di barang bawaannya pun ia tampak normal, hampir mirip seperti manusia. Justru semakin dilihat, wajah sosok itu bisa Rayna sebut cukup ... tampan.
"Dia ... kenapa beda? Dia punya aura yang beda, tapi bentuknya nggak serem kayak yang lain," gumam Rayna masih sambil terus memperhatikan sosok itu. Mengantisipasi siapa tahu semakin dilihat wajahnya bisa berubah, seperti jump scare di film-film horror.
Sudah cukup lama Rayna memperhatikan wajah itu, tetapi tidak ada yang berubah. Wujud yang ia lihat sekarang sudah dipastikan adalah wujud asli sosok itu.
Rayna menghela napas dalam. Ia kembali melihat keadaan sekitar. Sepi, sunyi, dan hanya ada dirinya dengan sosok itu. Setelah sosok itu lewat di depannya tanpa menyadari kehadirannya, Rayna terpikir sesuatu yang mungkin dapat membawanya ke kondisi yang lebih baik.
Di sini sepi banget. Gue ngerasa aman, tapi gue nggak tau bisa bertahan di sini sampai kapan. Belum tentu besok tempat ini masih sepi. Bisa aja kalau siang seramai jalan yang tadi?
Pandangan Rayna kembali berfokus ke arah sosok laki-laki itu.
"Bentukannya lebih wajar dibanding yang lain. Mungkin circle-nya juga kayak dia semua bentukannya? Daripada gue harus ada di tengah-tengah makhluk yang serem to the max, mending gue coba ikutin dia." Rayna berdiri dan bergegas membuntuti sosok laki-laki itu dengan tetap menjaga jarak aman. Walaupun sosok laki-laki itu tidak bisa melihatnya, ia tetap saja harus waspada. Siapa tahu laki-laki itu betulan bisa berubah wujud di waktu atau daerah tertentu. Menjaga jarak aman tetap penting dilakukan.
Rayna mengikuti ke manapun sosok asing itu melangkah. Entah ke jalan besar, maupun gang sempit. Sosok itu melangkah cepat, ia juga ikut melangkah cepat. Sosok itu melambat, ia juga ikut melambat. Sudah benar-benar persis seperti stalker. Namun, dibanding menjadi stalker, situasinya saat ini membuat Rayna merasa salah peran. Biasanya, dia sering mendengar cerita horror manusia diikuti makhluk halus. Akan tetapi, kini malah dirinya yang mengikuti makhluk halus. Benar-benar dunia yang jungkir balik dari apa yang dia ingat selama ini.
"Berhenti!"
Sebuah suara kencang tiba-tiba terdengar. Masih sambil berjalan mengikuti sosok asing, Rayna bergumam sesuatu. "Eh, lo denger nggak? Kayak ada yang ngomong nggak sih?" ucap Rayna pada makhluk di sebelahnya yang akhirnya disusul dengan mendaratnya satu tepukan di dahinya. Rayna berdecak, "Gue lupa. Lo kan nggak bisa denger gue," lanjutnya, lalu melanjutkan langkah kakinya menghiraukan suara yang baru saja didengar. Siapa tahu itu adalah suara aneh hasil halusinasinya sama seperti saat dirinya baru sadar di hutan tadi.
"Hehh, elo yang pake kebaya putih, rok songket! Berhenti! Elo kan yang udah ngacauin produksi konten gue hari ini?!" Suara itu kembali muncul. Kali ini dengan lebih keras melengking di udara.
Langkah kaki Rayna sontak berhenti berjalan. Kebaya putih dan rok songket? Jadi, suara itu betulan tertuju padanya? Bukan hanya halusinasinya seperti saat baru tersadar di hutan tadi? Ia ingin menoleh, tapi merasa takut juga kalau ternyata yang memanggilnya adalah makhluk seram.
Belum selesai dengan ketakutannya, Rayna justru dikejutkan dengan hal lain. Yang berhenti ternyata bukan hanya dirinya, tapi juga makhluk asing di sebelahnya. Makhluk itu ikut berhenti secara tiba-tiba. Mata Rayna refleks melirik ke arah makhluk di sebelahnya.
"Lo denger juga? Gue nggak halu?" bisik Rayna tepat di sebelah makhluk itu. Tidak mendapat respon, ia kemudian mendekatkan ke makhluk itu dan terus berusaha menanyakan hal yang sama. Akan tetapi, makhluk itu malah berjongkok. Tangannya terlihat menembus jalan aspal di bawah Rayna.
"Kayaknya besok aku harus ganti ke sepatu selop aja. Pakai sepatu tali ternyata seribet ini lepas-lepas terus," gumam makhluk itu.
Rayna mengembus napas kecewa. Ia pikir makhluk itu betulan bisa mendengar suara itu dan bisa melihat dirinya, ternyata hanya ingin membetulkan tali sepatu yang lepas.
"Heh, manusia berkebaya! Elo budeg ya? Minimal nengok kek. Sombong amat. Ini dunia nyata ya, bukan radio yang komunikasinya satu arah." Suara itu kembali terdengar.
Rayna tertegun. Perlahan ia membalikkan badan. Dalam kegelapan, siluet seorang perempuan terpampang beberapa meter di depannya.
"Lo bisa lihat gue?"
Perempuan itu berjalan tiga langkah ke depan. Tepat di bawah lampu jalan, wajahnya jelas tertangkap oleh indera penglihatan Rayna.
Rayna menatap perempuan itu lama, memastikan apakah makhluk di depannya betul-betul manusia atau entitas asing yang menyeramkan seperti yang ia lihat sebelumnya. Tatapannya menyapu keseluruhan wujud perempuan itu. Wajahnya tampak normal seperti manusia pada umumnya. Warna kulit yang mirip sepertinya, kuning langsat. Juga kaki yang jelas terlihat menapak pada jalan.
Rayna berlari beberapa langkah mendekati perempuan itu. Tangannya terulur menyentuh pundak perempuan di hadapannya. Di detik berikutnya, mata Rayna membulat sempurna dan perlahan digantikan dengan garis lengkung yang muncul di bibirnya.
Ia dapat menyentuh perempuan itu.
"Lo manusia? Lo beneran manusia?" Tangan Rayna refleks menepuk-nepuk pipi perempuan di hadapannya. Senyumnya merekah sempurna diiringi binar mata yang muncul karena rasa senang yang memuncak.
Perempuan itu berdecak sebal, lalu menepis tangan Rayna dengan kasar. Kedua tangannya berkacak pinggang. Ia heran dengan tingkah laku Rayna yang menurutnya sangat aneh.
"Lo stress ya?" tanyanya sinis dengan alis mata naik sebelah.
Rayna menggeleng cepat. "Gue waras. Waras banget. Bahkan lebih waras setelah ketemu lo. Makasih udah notice gue. Gue panik banget di sini. Bahkan gue sempet ngira kalo gue ini udah mati. Konyol banget emang." Ia terkekeh lega, lalu menyodorkan tangan. "Oh iya, gue Rayna. Nama lo siapa?"
Perempuan itu membalas sodoran tangan Rayna dengan malas. "Zoya," ucapnya singkat memperkenalkan diri.
Rayna mengangguk pelan. Rekahan senyumnya terus mengembang mengetahui bahwa ia bukan satu-satunya manusia yang ada di tempat aneh ini. Namun, di detik selanjutnya senyum itu menghilang seketika, tergantikan dengan ekspresi takut seperti sebelumnya. "Oke, Zoya. Lo harus tau..." Rayna melihat ke kanan dan kiri dengan waspada. Suaranya ia pelankan hampir berbisik, "Mereka semua ... mereka nggak ada yang bisa lihat kita. Mereka bukan manusia. Kita harus hati-hati!" lanjutnya dengan tatapan serius.
Dahi Zoya lantas berkerut. Ia memijat pangkal hidungnya pelan. Sambil terkekeh pelan, dia berkata, "Gue heran deh. Lo ini manusia purba atau gimana sih?"
"Hah, gimana?" Rayna bertanya penasaran.
Zoya terlihat menghela napas. Tangannya yang semula berkacak ia ubah menjadi menyilang di depan dada.
"Lo manusia dunia ini, tapi lo nggak tau sistem yang bekerja di sini. Lo manusia jadi-jadian atau gimana?" tanyanya tak habis pikir dengan tingkah Rayna.
Rayna semakin bingung. "Lo ngeraguin gue? Gue manusia beneran. Liat, kaki gue aja napak kayak kaki lo," sahut Rayna sambil menunjuk kakinya, juga kaki Zoya.
Zoya mengubah posisinya, sedikit menjauhi Rayna. "Gue tau kalo lo itu manusia, tapi maksud gue, lo tuh aneh! Ngelihat jin sampai segitunya. Dari dunia ini tercipta, mereka ya emang begitu, bisa kita lihat pakai mata kepala kita sendiri. Sedangkan mereka nggak akan pernah bisa lihat kita secara alami."
Rayna mengusap dahinya pelan. Ia pikir berhasil bertemu manusia akan langsung membuatnya keluar dari lubang kebingungan, tapi nyatanya ia malah makin bingung.
"Manusia harusnya nggak bisa lihat jin. Justru mereka yang bisa lihat kita." Rayna menjawab dengan yakin. Selama ini bukankah dunianya bekerja dengan sistem seperti itu? Manusia dan jin memang hidup saling berdampingan, tetapi ada batas tak kasat mata yang membuat manusia tidak bisa melihat kaum jin.
"Manusia nggak bisa lihat jin?" Zoya terkekeh. "Periksa mata, sih. Buta kayaknya," lanjutnya asal bunyi.
Dahi Rayna tampak berkerut. Manusia bisa lihat jin dan tidak sebaliknya? Come on! Dunia macam apa ini? Manusia di depannya ini waras atau tidak, sih?
Rayna menggeleng pelan. "Kayaknya lo deh yang nggak waras." Tatapannya tampak iba pada Zoya.
"Coba sebut, yang mana bagian nggak warasnya?"
"Dunia yang seaneh ini lo malah bilang wajar? Pikiran lo itu aja udah nggak wajar."
Zoya tertawa kencang. "Denger ya! Biar gue ingetin lagi kalo lo lupa. Dunia kita berdampingan dengan dunia jin. Di sini, kita bisa lihat mereka semua karena dimensi kita lebih tinggi dibanding mereka. Sedangkan mereka nggak akan pernah bisa lihat kita, kecuali kita yang emang mau nampakin diri di depan mereka," jelas Zoya dengan penekanan di setiap kata. "Semua hal itu masuk akal karena memang hukum yang berlaku begitu adanya dari awal alam semesta tercipta. Coba dipakai akal sehatnya!" lanjut Zoya dengan senyum, nada gemas, dan keki sekaligus.
Rayna masih memandang aneh lawan bicaranya. Jujur saja, dibanding masuk ke akal sehat, ini lebih bisa dibilang masuk ke akal sakit, sih! Dirinya jadi bingung, sebenarnya di antara mereka siapa yang waras dan siapa yang tidak?
"Nggak usah bengong terus kayak ayam ketelek bakso. Lo harus ikut gue! Lo harus tanggung jawab karena kemunculan lo tadi udah bikin produksi konten gue kacau." Zoya tiba-tiba menarik tangan Rayna.
Rayna yang terkejut refleks menepis tarikan tangan Zoya. Ia memang senang diajak ikut bersama sesama manusia, tapu dari nada dan ekspresi Zoya, terlihat jelas bahwa dia tidak menyukai Rayna. Sebelum ikut dengan Zoya, Rayna harus memastikan apa masalah yang membuat Zoya sebegitu marah padanya.
Di tengah tolakan dan tarikan, mereka dikejutkan oleh sesuatu asing yang tiba-tiba terbang ke arah mereka. Sesuatu yang ia lihat juga di hutan sebelum memutuskan untuk keluar dari hutan.
Sekelibat bayangan putih kembali terbang di dekatnya. Dengan sigap, tangan Rayna meraih tangan Zoya dan menariknya kencang. Zoya yang tak terima ditarik-tarik menjadi protes dan tetap mempertahankan posisinya.
"Eh, apa sih tarik-tarik? Harusnya lo yang ikut gue, bukan gue yang ikut lo."
Rayna masih tetap berusaha menarik tangan Zoya sekuat tenaga. "Ini bukan waktunya buat ribut. Kita harus pergi dari sini, Zoy. Tempat ini nggak aman. Kita ikutin jin yang tadi gue ikutin aja. Dari banyaknya jin yang gue temuin, cuma dia yang rupanya paling mendingan," ucap Rayna berusaha menjelaskan situasi yang mereka alami. Akan tetapi, ketika dirinya berbalik badan, jin yang ia ikuti sudah tidak ada di sana. Komunikasinya bersama Zoya ternyata terlalu lama hingga ia kehilangan jejak.
Waduh, dia udah pergi.
"Nggak apa-apa, Zoy. Gue bakalan selametin lo. Kita nggak bakalan kenapa-kenapa. Ikut gue sekarang!" ucapnya sambil terus menarik tangan Zoya.
Walaupun lo kayak kurang waras, tapi mulai sekarang lo udah jadi temen gue, Zoy. Bayangan putih itu nggak akan bisa nyakitin kita. I promise.
-• To be continued •-
___________________________________