Otak manusia itu luar biasa, ya! Seperti otak Rayna sekarang, tanpa naik wahana vertigo, Rayna sudah bisa merasakan sensasi vertigo. Akan tetapi, mungkin karena yang kali ini versi zero budget, sensasinya jadi tidak sepremium saat ia naik wahana vertigo betulan.
Sejak sadar lima menit yang lalu, memegangi kepala yang terasa pusing berputar seperti gasing tanpa tahu apa penyebabnya sudah menjadi aktivitas tetapnya. Setelah rasanya sudah cukup membaik. Ia beralih duduk bersandar pada sebuah pohon besar.
Kegelapan malam menyelimuti pandangan Rayna. Sambil menahan sisa pusing, pandangannya beredar berusaha mengenali apa yang ada di sekitarnya, termasuk apa yang ia pakai. Kebaya putih dengan khimar berwarna biru langit masih melekat di tubuhnya. Macam-macam pertanyaan berputar di kepalanya.
Gue kenapa? Ini di mana?
Rayna mengusap kepala pelan. Sakitnya belum reda, tetapi ia menyadari ada yang aneh. Rasa sakit seperti habis terkena benturan keras itu bisa tidak ada luka sedikit pun?
Apa gue cuma ketiduran? Tapi, kalau ketiduran kenapa sakit banget?
Atau gue lagi diculik dan kena bius?
Sontak, Rayna meraba pergelangan tangan dan kakinya. Tak ada borgol atau ikatan tali apa pun di sana.
Oke, gue yakin ini bukan penculikan. Tapi, gue kenapa?
Di tengah kebingungan yang makin terasa kusut, sayup-sayup terdengar suara tangisan. Suara pilu yang semakin lama bukannya semakin menghilang, malah semakin terdengar jelas.
"Rayna..."
"Aku di sini. Kamu nggak sendiri."
Rayna tersentak. "Siapa? Jangan ganggu gue!" ucap Rayna pelan. Bulu kuduknya meremang. Apa sekarang dirinya sedang berada di tempat angker?
Ia menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak menemukan siapa pun di sana. Hanya ada dirinya dan ... sebuah cahaya terang yang entah sejak kapan muncul dari arah belakang.
Rayna berdiri sambil terus memegangi kepala. Ia memberanikan diri untuk mendekati sumber cahaya. Mungkin dengan begitu dirinya akan menemukan suatu petunjuk.
Kaki Rayna berjalan perlahan menapaki tanah yang penuh taburan dedaunan kering. Udara dingin menyeruak masuk melalui pori-porinya. Rasa sakit di kepalanya bahkan sudah mulai berkurang, mungkin karena fokusnya sekarang sudah banyak teralih pada cahaya misterius beberapa meter di hadapannya. Bahkan, suara misterius yang sempat ia dengar sudah mulai menghilang.
"Halo! Ada orang di sini?"
Suara Rayna menggema di antara barisan pohon-pohon lebat. Tak ada yang menyahut, kecuali suara gemanya sendiri dan gemerisik daun kering yang terinjak. Napasnya mendadak memburu membuat detak jantungnya semakin cepat. Kakinya terus melangkah meski tangan dan tubuhnya mulai gemetar.
Gerakan kakinya berhenti ketika sorot cahaya tersebut mulai bergerak ke arahnya. Ia menelan ludah. Belum selesai dengan sorot cahaya, dari arah kanan, sudut matanya justru menangkap sebuah pergerakan lain.
Di antara keremangan pohon-pohon, sesosok anak kecil berbaju lusuh berjalan perlahan mendekatinya. Namun, anehnya ketika sudah berada di dekat Rayna, anak itu tampak melengos melewatinya tanpa menoleh sedikit pun. Dia ... seperti tidak menyadari kehadiran Rayna.
Di hutan, malam-malam begini, anak kecil masih keliaran? Agak nggak logis sih ya.
Meski kebingungan dan rasa takutnya terus menelusup ke dalam pikiran, Rayna tetap memperhatikan postur anak itu hingga menghilang dari pandangannya. Rayna melangkah maju ke jalur yang tadi dilewati anak misterius itu.
Masih tenggelam dalam kebingungan, tak berselang lama, beberapa anak kecil yang tingginya mirip seperti anak pertama tiba-tiba muncul dari arah yang sama dari kemunculan sebelumnya. Rayna yang masih berdiri di jalur lewatnya anak kecil pertama menunggu respon dari anak-anak yang akan lewat.
Yang tadi mungkin lagi fokus banget, makanya sampai nggak lihat gue. Harusnya yang ini bisa lihat dong? Gue udah di depannya begini, masa nggak lihat juga.
Gerombolan anak-anak misterius itu semakin mendekat. Berbeda dari anak kecil pertama yang diam seribu bahasa, anak-anak ini jauh lebih ramai. Bahkan suara tawa mereka terdengar sangat jelas di telinga Rayna. Suara tawa yang entah mengapa malah terdengar ngeri baginya.
Rayna terus memperhatikan rombongan anak-anak itu hingga jaraknya semakin dekat. Namun, bola matanya membulat sempurna ketika ia menyadari suatu keganjilan. Tapak kaki anak-anak itu tidak bisa Rayna lihat. Sosok itu tidak melayang, hanya saja sebagian kakinya terlihat seperti terpendam masuk ke dalam tanah. Napas Rayna yang tadi memburu sontak menjadi tertahan karena terkejut.
Pandangan matanya lantas beralih pada kakinya sendiri. Tidak ada yang aneh. Kakinya masih menapak. Normal. Matanya mengerjap cepat seolah tidak percaya dengan apa yang dilihat. Refleks, ia hentakkan kakinya beberapa kali untuk memastikan bahwa tanah tempatnya berpijak benar-benar keras. Setelah melakukan gerakan injak bumi beberapa kali, dirinya yakin bahwa tanah di bawahnya adalah tanah keras dan bukan tanah liat yang dapat menenggelamkan kaki orang yang menginjaknya. Matanya memandang bergantian antara kakinya dengan kaki entitas misterius itu.
Nggak. Gue nggak salah lihat. Me–mereka ... mereka jalannya kependam? Gimana bisa?!
Rayna terpaku di tempat. Pikiran dan hatinya berkata untuk lari, tetapi tubuhnya menolak. Tak ada yang bisa ia lakukan selain merapalkan doa-doa yang ia bisa sambil terus menatap rombongan entitas aneh yang semakin mendekat.
Jarak rombongan sudah hanya tinggal beberapa langkah di hadapan Rayna, tapi anehnya tak ada satu pun dari mereka yang terlihat menyadari kehadirannya. Anak paling depan dengan rambut ikal berjalan lurus ke arahnya. Namun, beberapa detik kemudian mereka malah berlari kencang ke arahnya sambil saling melempar candaan. Tatapan mereka kosong, seperti menerawang jauh menembus tubuh Rayna.
Rayna ingin meneriaki mereka, memberi tahu bahwa ada orang di hadapan mereka, tetapi suaranya tercekat. Tak ada yang bisa ia kendalikan sekarang.
Rayna! Minggir, Ray. Mereka bakalan ngelabas elo!
Meski suara pikirannya terus mengisyaratkan untuk pergi, kaki Rayna tetap terpaku di tempatnya berdiri. Ia bingung dengan respon tubuhnya yang seolah membeku.
Anak paling depan kini hanya berjarak sejengkal dari Rayna. Susah payah ia berusaha menggerakkan kakinya agar tidak bertubrukan dengan rombongan anak kecil misterius itu. Namun, nihil. Kakinya tetap tidak bergerak sedikit pun. Napasnya tercekat, matanya dipejamkan kuat-kuat, dan bersiap untuk menerima benturan yang mustahil untuk dielakkan.
Akan tetapi, sesuatu yang terjadi ternyata benar-benar di luar prediksi. Bahkan sukses membuat bulu kuduknya kompak berdiri tegak di sekujur tubuh.
Anak-anak itu. Mereka. Mereka menembus tubuhnya. Satu-persatu.
Ia bisa merasakan satu per satu sensasi setiap anak yang menembusnya. Sensasi dingin menembus ke tubuhnya, menusuk hingga ke tulang, dan menjalar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sensasi dinginnya mirip seperti ketika tubuh diguyur air es beserta es batunya di tengah malam. Terasa tajam, mengejutkan, dan aneh.
Jantung Rayna berdetak kencang. Saking kencangnya, bahkan bisa terdengar sampai telinga tanpa perlu menggunakan stetoskop. Suara degupannya pun lebih mirip seperti dentuman sound horeg musik koplo yang sering diputar tetangganya setiap hari Minggu pagi.
Me–mereka bisa nembus gue?
Setelah semua anak menembus melewatinya, Rayna masih terpaku beberapa detik. Otaknya masih memproses kejadian di luar nalar ini. Bola matanya bergerak ke sana-sini mencari jawaban logis. Namun, seberapa keras pun ia berpikir positif, hal ini tetaplah tidak terasa logis. Bahkan, sekarang ia berniat untuk mendapuk kejadian luar biasa langka tadi sebagai top of unique moment dalam hidupnya.
Seriously, mereka nembus gue? NEMBUS ... GUE?!
Rayna masih sibuk terlarut dalam pikirannya hingga akhirnya fokusnya terpecah ke arah cahaya misterius yang sebelumnya sempat ia kejar.
Setelah sempat hilang, cahaya itu kembali muncul. Kini bahkan cahaya itu menyoroti Rayna dengan sangat terang. Saking terangnya, reflek tangan terangkat menupi mata. Beberapa detik berlalu, lampu itu bergerak perlahan ke arah anak-anak misterius yang berjalan di belakangnya. Dengan mengikuti gerakan cahaya itu, tubuh Rayna perlahan dapat bergerak kembali. Pandangannya memutar mengikuti arah gerak cahaya sorot. Lagi-lagi pandangannya terfokus ke kaki anak-anak misterius yang tadi menembusnya.
Entitas apa mereka? Hantu? Tapi, kenapa mereka nggak bisa lihat gue?
Mata Rayna kembali membulat menyadari kemungkinan gila lainnya.
Atau ... justru gue hantunya?
Rayna kembali mematung memandang punggung rombongan anak misterius yang semakin menjauh darinya. Napasnya kembali tersengal. Ia mengambil napas panjang dan...
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK. SIAPA PUN PLEASE TOLONGIN GUE!"
Sebuah jeritan yang menggelegar lolos dari tenggorokannya. Suaranya memekak keheningan malam. Bahkan, sorot cahaya misterius yang dari awal ia ikuti pun sontak menghilang, seperti ikut terkejut mendengar teriakannya. Anak-anak yang tadi berlari menjauhi Rayna pun mendadak berhenti dan terdiam. Remang-remang, Rayna masih dapat melihat mereka berbalik badan. Memperhatikan posisi Rayna dan melempar sesuatu ke arahnya.
Mereka bisa denger gue?
Rayna bergegas mendekati mereka meskipun masih sedikit ngeri melihat kaki-kaki mereka yang tampak terpendam.
"Kalian bisa denger gue?" Rayna berusaha berkomunikasi dengan mereka, tetapi nihil. Suaranya kembali tidak terdengar oleh anak-anak itu.
"SIAPA ITU?!" teriak seorang anak yang berada tepat di hadapan Rayna. Suaranya berat dan terdengar sedikit menyeramkan bagi Rayna. Seperti suara anak-anak yang direkam menggunakan rekorder rusak dan diputar balik, terdistorsi.
Anak itu kemudian menunduk dan kembali mengambil sebuah batu, lalu melemparnya. Batu itu menembus tubuh Rayna dan jatuh tepat di belakangnya. Anak itu dan Rayna sama-sama mengernyit bingung.
"Nggak ada siapa-siapa." Satu anak di belakangnya menjawab lirih.
"Jangan ganggu kami!" teriak anak yang lain. Suaranya seperti menggema berat, tapi terdengar seram bagi telinga Rayna yang tidak pernah mendengar warna suara seperti itu pada anak-anak.
Jantungnya masih berdetak kencang. Apalagi setelah mendengar suara mereka yang terdengar tidak normal dari anak-anak pada umumnya. Jika dilihat-lihat, wajah mereka pun sedikit aneh. Tapi, Rayna pun masih bingung di mana letak keanehannya.
Rayna menghela napas berat. Ia memang merasa ngeri berada di dekat rombongan anak-anak itu, tetapi ada yang lebih penting dibanding hanya memikirkan rasa takutnya. Ia harus bisa mendapatkan informasi mengenai tempat aneh ini. Ia mencoba memberanikan diri untuk lebih dekat dengan anak-anak misterius itu. Siapa tau suaranya akan terdengar jika jaraknya lebih dekat. "Enggak. Gue nggak mau ganggu siapapun. Gue cuma mau tau ini di mana? Tolong ... Gu–gue ... hantunya bukan gue, kan?" cerocos Rayna masih berusaha menyambung komunikasi, meski tidak mendapat tanggapan apapun.
Rayna memperhatikan mereka, berusaha menyentuh, tetapi lagi-lagi hanya bisa menembus. Dahinya berkerut. Bagaimana bisa ini terjadi?
"Eh, nggak ada siapa-siapa nggak sih? Tapi, aku merinding. Kayak ada angin di telingaku. Jangan-jangan beneran ada hantu." ucap anak perempuan yang berada paling dekat dengan Rayna. "Aku kan udah bilang, kita harusnya lewat jalan lain aja, jangan lewat sini! Di sini katanya sering ada penampakan. Kalian nggak percaya sihh!" sambung anak perempuan itu sambil bersungut dan hampir menangis. Sedangkan yang lainnya hanya menampilkan wajah takut.
"AAAAAAK, MAMAA!" Tanpa aba-aba, tiba-tiba satu anak berlari meninggalkan rombongan. Melihat temannya berlari kocar-kacir, anak-anak yang lain pun ikut berlari kencang meninggalkan Rayna sendirian.
Tempat apa ini? Gue keliatan normal. Justru mereka yang aneh. Tapi, kenapa seolah malah gue yang jadi hantunya? Gue ini kenapa?
Angin dingin mengembus pelan. Kemudian, swussh! Sekelibat bayangan putih terbang melintas cepat di sampingnya. Rayna tidak tahu entitas apa lagi yang baru saja lewat, tetapi satu hal yang pasti, tempat ini jauh dari kata aman. Dirinya hanya memiliki dua pilihan, yaitu:
Pergi sekarang juga atau menjalankan role play menjadi pemeran utama di film horror semalaman.
-• To be continued •-
___________________________________