Drama dan Cokelat Panas
[Ruang Tengah Kantor, Sabtu Malam]
Kantor sepi. Semua tim sedang libur. Tapi dua manusia mantan vampir tetap datang dengan alasan klasik:
“Deadline.”
Jenni membawa selimut tipis dan dua bantal leher. Rai membawa proyektor mini dan cokelat panas dalam termos.
“Aku enggak yakin ini namanya lembur,” komentar Jenni saat Rai mulai menyambungkan laptop ke dinding.
“Ini... riset visual. Kita kan mau cari referensi mood lighting buat casting scene selanjutnya.”
“Dengan nonton My Love from the Rooftop?” Jenni menaikkan satu alis.
Rai pura-pura serius. “Adegan rooftop itu sinematografinya underrated.”
Jenni tertawa. Mereka duduk beralaskan karpet sambil menyandarkan badan ke sofa panjang. Film dimulai. Cokelat panas dibagi dua. Gelas kertas bertuliskan: "J for Jenni" dan "R for Rencana Hidup Baru"—tulisan tangan Jenni, tentu saja.
Setengah film, saat adegan ciuman pertama muncul di layar, Jenni pura-pura sibuk cari tisu.
“Kenapa kamu gugup?” tanya Rai, menyeruput pelan.
“Siapa gugup?” Jenni membalas cepat. “Ini adegannya norak. Masak ciuman pas hujan di atas tower BTS.”
“Ya, tapi kamu tetap nonton.”
“Habis, sinematografinya... bagus.”
Rai diam. Jenni pun ikut diam. Hanya suara hujan dalam film yang terdengar.
Beberapa menit kemudian, Jenni bersandar ke bantal leher, kepala miring ke arah Rai. Tanpa sadar, ujung rambutnya menyentuh bahu Rai.
“Capek?” tanya Rai pelan.
“Enggak. Cuma... nyaman aja.”
Rai menoleh. “Aku juga nyaman.”
Jenni membuka mata, menatapnya. “Comfort zone?”
Rai menggeleng pelan. “Bukan. Kamu kayak... safe zone.”
Jenni ingin menjawab. Tapi lidahnya kelu.
Rai lalu bangkit. Jalan ke pantry. Kembali dengan sekotak marshmallow mini dan satu pertanyaan yang dilempar santai:
“Kalau aku ajak kamu nonton film minggu depan, tapi enggak buat riset, kamu mau?”
Jenni pura-pura sibuk menata marshmallow ke gelas.
“Boleh,” jawabnya singkat.
Rai tersenyum. “Tapi enggak di kantor ya. Aku udah hafal semua colokan di sini.”
Jenni tertawa. “Deal. Tapi aku yang pilih filmnya.”
“Setuju. Asal bukan FTV vampir.”
“Kenapa? Takut nostalgia?”
Rai berpikir sejenak. “Bukan. Takut... pengen nyium kamu pas adegan vampir jatuh cinta.”
Jenni nyaris tersedak marshmallow.
Pacaran Pertama Kali (Dan Kursi Bioskop yang Terlalu Sempit)
Setting: Bioskop kecil dekat kantor, malam Jumat
---
[Bioskop Indie – Kursi Paling Belakang]
Rai memesan tiket film romantis Taiwan yang katanya “sinematik dan menyentuh”. Jenni setuju karena satu alasan:
“Judulnya lucu.”
Rai tak berdebat. Ia hanya senang karena ini kencan pertama mereka resmi sebagai pacar—bukan kerja, bukan riset, bukan nonton bareng sambil revisi skrip.
Tapi kursi bioskopnya… kecil. Dan lengan mereka… saling menyentuh terlalu lama.
Jenni menoleh pelan. “Ini... agak sempit, ya?”
Rai langsung menarik tangannya ke pangkuan. “Maaf. Aku enggak sengaja.”
“Bukan gitu. Maksudku... yaudah, santai aja.”
Beberapa menit, mereka diam. Di layar, tokoh utama sedang menyatakan cinta di bawah pohon plum. Di kursi paling belakang, Rai mengintip ekspresi Jenni dari sudut matanya.
“Kalau di film, harusnya aku peluk kamu sekarang,” gumamnya.
Jenni menoleh cepat. “Hah?!”
“Kalau di film, ya.”
“Terus kamu mau... kayak di film?”
Rai mendesah. “Kalau aku peluk, kamu bakal kabur gak?”
Jenni menatap layar. “Kalau kamu peluk, aku bakal diem. Tapi kamu harus tahan tanggung jawabnya.”
Rai tertawa pelan, lalu akhirnya—pelan—menyentuhkan tangannya ke tangan Jenni. Lalu, menggenggam.
Mereka tak bicara. Tapi keduanya tahu: ini bukan adegan latihan, bukan riset drama. Ini nyata. Ini mereka.
Dan saat film berakhir, Jenni menoleh, wajahnya merah muda.
“Next time kita nonton action aja ya. Biar enggak terlalu... manis begini.”
Rai tertawa. “Next time, aku booking kursi VIP. Biar kamu bisa nyender tanpa pegel.”
Jenni tersenyum, lalu mendekat dan berbisik:
“Next time… aku yang gandeng duluan.”
Teh Hangat dan Hati yang Tak Lagi Rahasia
[Apartemen Jenni – Jam 9 Malam]
Hujan turun perlahan di luar jendela apartemen lantai 10. Lampu gantung menyala temaram, menyorot ruangan mungil yang penuh bantal lucu dan buku-buku bersampul robek.
Jenni keluar dari dapur, membawa dua cangkir teh hangat.
“Masih suka teh madu?” tanyanya.
Rai, yang duduk bersila di karpet dekat jendela, tersenyum. “Suka. Apalagi kalau dari kamu.”
Jenni duduk di sampingnya, menyerahkan cangkir, lalu menyandarkan punggung ke sofa.
“Aku suka malam kayak gini. Nggak ada syuting, nggak ada darah, cuma... diem,” katanya pelan.
Rai meliriknya. “Kalau kamu diem terus, aku takut kamu berubah pikiran.”
Jenni menoleh, keningnya berkerut. “Maksudnya?”
“Takut kamu mikir: ‘Ah, pacaran sama Rai itu ngebosenin. Dulu dia vampir misterius, sekarang cuma cowok biasa yang doyan ngemil biskuit jahe.’”
Jenni menatap cangkirnya sejenak. Lalu, dengan suara pelan:
“Aku justru suka versi kamu yang sekarang.”
Rai terdiam.
“Kamu lebih sering senyum. Lebih santai. Lebih manusiawi.” Jenni menoleh, menatap mata Rai. “Dan kamu... masih tatap aku kayak dulu, pas kita pura-pura cuma rekan kerja.”
Rai menggeser duduknya, lalu meraih tangan Jenni. “Kalau aku peluk kamu sekarang, kamu bakal kabur?”
Jenni menjawab, “Kalau kamu nggak peluk aku, aku yang peluk kamu duluan.”
Mereka saling tertawa kecil. Lalu Rai menarik Jenni dalam pelukan pelan—hangat, tenang, dan tanpa drama.
Tak ada dialog heroik. Tak ada backsound orkestra. Hanya suara hujan dan dua jantung yang tak lagi menyembunyikan apa-apa.
Beberapa detik kemudian, Jenni bergumam:
“Rai?”
“Hmm?”
“Boleh gak... malam ini kamu nginap?”
Rai menatapnya dengan ekspresi lucu. “Kamu ngajak aku nginap… buat nemenin atau bantu nyuci baju?”
Jenni menyeringai. “Dua-duanya. Tapi prioritasnya: nemenin.”
Dan malam itu pun menjadi bab kecil yang tak mereka unggah ke mana-mana, tapi disimpan baik-baik—dalam ingatan, dan dalam rasa.
Kejutan Gagal Tapi Cinta Jalan Terus
[Apartemen Jenni – H-1 Ulang Tahun, Jam 23.15]
Rai mondar-mandir di dapur kecil. Ia sudah menyalakan lilin di atas kue mangga mini buatan sendiri—dengan bantuan tutorial YouTube dan satu panggilan panik ke Fajar.
Dia menatap jam. Kurang 45 menit. Oke, pas tengah malam gue bangunin dia. Surprise manis, peluk, tiup lilin. Simple.
Rai mematikan lampu, menyusun balon huruf “J-E-N-N-I” di sofa. Lalu… suara krakkk! terdengar. Balon huruf “N” meledak.
“Yaaahhh…”
Panik, Rai mengganti “N” dengan post-it kuning yang ditulis tangan: N. Tidak estetik, tapi niat tetap jalan.
Jam 23.58. Rai mengendap ke kamar. Jenni sudah tertidur, wajah damai, selimut setengah menutup wajahnya. Rai berdeham kecil.
“Jen… bangun sebentar… cuma 1 menit…”
Jenni mengerang. “Rai, kalau kamu lagi ngigau, tunda aja ya…”
“Ini penting. Ulang tahun kamu 2 menit lagi.”
Jenni membuka satu mata. “Hah? Kan besok?”
Rai mengangkat kue ke depan wajahnya. Lilin menyala lembut.
“Besok tuh… sebentar lagi. Dan aku nggak mau telat jadi orang pertama yang ngucapin.”
Jenni terdiam. Mata yang setengah mengantuk tiba-tiba berkaca-kaca.
“Rai…”
“Tiup lilinnya dulu.”
Jenni duduk, meniup perlahan. Api padam. Lalu… alarm asap berbunyi.
Wiiiuuuu—wiiiiuuuu!!
Rai melotot. “Apa?! Lilin doang padam begini?!”
Mereka panik. Jenni membuka jendela, Rai kipas-kipas dengan bantal. Tetangga di atas teriak, “Nyalain lilin ulang tahun atau upacara pengusiran setan?!”
Lima menit kemudian, alarm berhenti. Tapi mereka terengah di lantai, di tengah ruangan berantakan.
Jenni menatap Rai, lalu tertawa.
“Ini ulang tahun paling kacau… tapi paling aku suka.”
Rai duduk di sampingnya, menyeka keringat. “Maaf ya, aku cuma pengin bikin momen yang manis…”
“Dan kamu berhasil,” potong Jenni.
Dia mencubit pipi Rai. “Karena aku lebih suka kejutan norak dari orang yang aku suka, daripada kejutan mahal dari orang yang cuma sok romantis.”
Rai pura-pura cemberut. “Berarti aku bisa lanjut bikin kejutan norak tiap tahun?”
“Setiap bulan juga boleh.”
Dan mereka duduk berdampingan, menyantap kue mangga yang sedikit meleleh. Tak ada musik meriah, tak ada pesta besar. Tapi cinta hadir di tiap detail—di post-it huruf N, di balon meletus, di alarm asap.
Di hari ulang tahun Jenni, bukan kemewahan yang jadi hadiah… tapi ketulusan.
Vampir Paling Nyentrik di Kantor
[Kantor VampArtis United – Halloween Day]
“Pakai kostum vampir?” Jenni mengerutkan dahi, memandang undangan digital yang dikirim Kay ke grup kantor. “Ini kantor vampir beneran atau cosplay club sih?”
“Tradisi baru katanya,” kata Vidi sambil sibuk nempel sayap kelelawar ke hoodie-nya. “Lomba kostum vampir paling nyentrik. Hadiahnya kopi sebulan gratis dari kedai sebelah.”
“Berarti kamu gak niat menang,” sahut Jenni sambil melihat kostum Vidi yang… kelewat santai.
Tiba-tiba, pintu ruang utama terbuka. Masuklah Rai.
Dan…
“RAI???” semua orang menatapnya ternganga.
Rai mengenakan jubah merah velvet menyala, kacamata hitam ala film lawas, dan—yang paling heboh—sepasang taring palsu super panjang dari plastik yang jelas-jelas murahan.
“Gue vampir pensiun yang buka rental PS di akhirat,” katanya dengan poker face.
Jenni ngakak sampai hampir jatuh dari sofa. “Kamu serius ikut lomba dengan gaya gitu?”
Rai nyengir. “Niat menang. Gak bisa ngalahin kamu soal keren, jadi gue ngambil jalur absurd.”
Jenni mengangkat jubah hitam klasiknya yang elegan, lengkap dengan eyeliner gelap dan wig pirang. “Aku vampir bangsawan yang masih galau karena cinta manusia.”
“Cocok,” kata Rai sambil mendekat. “Galau cinta sama siapa, nih?”
“Rahasia,” kata Jenni genit.
“Jangan bikin aku cemburu lagi,” bisik Rai.
“Kalau kamu menang lomba ini, aku kasih hadiah.”
Rai langsung tegap. “Deal!”
**
[Lomba dimulai. Juri: Kay dan Fajar.]
Kay mengangguk-angguk serius saat menilai kostum. “Vidi, kamu nyerah duluan.”
Fajar nyengir. “Jenni, elegan banget. Tapi…”
“Rai,” lanjut Kay. “Apa yang ada di pikiran kamu saat milih kacamata hitam dan taring plastik sepanjang penggaris?”
Rai menjawab, “Kreativitas adalah jalan ninja saya.”
Semua terdiam. Lalu tawa meledak.
**
[Pengumuman Pemenang]
“Pemenangnya adalah… RAI!” teriak Kay. “Karena berhasil membuat kita mempertanyakan eksistensi vampir modern.”
Rai mengangkat trofi mini berbentuk gigi taring.
Jenni mendekat, menepuk bahunya. “Oke, sesuai janji…”
Ia menyelipkan voucher kecil ke saku Rai. Rai membukanya: ‘Hadiah: Satu Kencan Malam Minggu, Tanpa Gangguan, Tanpa Alibi.’
Rai tersenyum lebar, lebih bahagia dari yang pernah ia rasakan saat masih punya kekuatan vampir.
Kencan Hadiah Tanpa Alibi
[Sabtu Malam – Kafe Kecil Dekat Kantor]
Lampu gantung gantung temaram, musik jazz pelan, dan hanya ada tiga meja terisi. Jenni duduk di pojok dekat jendela, mengenakan dress kasual warna mint, rambut digerai lembut. Tangannya menggenggam voucher yang tadi dia kasih ke Rai.
Pintu terbuka. Rai muncul dengan hoodie abu-abu, rambut agak berantakan, dan… bunga plastik kecil di tangan.
“Ini buat kamu,” katanya sambil menyodorkan.
Jenni menerima dengan tertawa kecil. “Plastik?”
“Supaya gak layu. Kayak perasaanku.”
Jenni menahan tawa. “Puitis banget, Rai.”
Mereka duduk. Pelayan datang, mereka pesan es kopi dan croffle. Tidak ada topik berat, hanya percakapan ringan—tentang naskah baru, tentang Kay yang mulai terkenal, dan tentang Vidi yang sedang latihan menari demi syuting MV-nya sendiri.
“Kalau kita dulu masih vampir,” kata Jenni pelan, “mungkin kita gak bisa duduk kayak gini.”
“Kita bisa,” jawab Rai. “Tapi bakal lebih takut-takut. Sembunyi. Gak lepas kayak sekarang.”
Jenni memandangi lampu kafe. “Kamu masih suka malam?”
Rai mengangguk. “Tapi bukan karena gelapnya. Karena malam itu… kayak jeda. Saat semua orang berhenti berlari.”
Jenni tersenyum. “Dan kita bisa duduk diam, sambil pelan-pelan jatuh cinta.”
Rai terdiam sebentar. “Aku gak pelan-pelan sih. Udah dari lama.”
**
[Di luar kafe – setelah kencan]
Angin malam berembus ringan. Rai membuka jaketnya dan menaruh ke bahu Jenni. Mereka berjalan kaki ke arah kantor.
Jenni berhenti. “Rai.”
“Hm?”
“Kalau nanti aku mulai ragu—tentang masa depan, tentang kita… kamu bakal apa?”
Rai menatapnya. “Aku gak akan paksa kamu percaya. Tapi aku bakal tetap ada. Sampai kamu yakin sendiri.”
Jenni tersenyum tipis. “Janji gak berubah kayak cowok FTV?”
“Budget-ku masih sama. Rendah,” jawab Rai, mengedipkan mata.
Jenni tertawa, lalu menggandeng tangannya.
Mereka berjalan pelan, tidak perlu keabadian untuk merasa cukup.