Memerankan Diri yang Telah Ditinggalkan
“Jadi kalian… terima proyeknya?” tanya Shin di balkon, sambil menggigit apel hijau.
Kay mengangguk pelan. “Iya. Tapi kali ini... kita jadi aktor yang memerankan vampir. Bukan vampir yang pura-pura jadi aktor.”
“Perbedaannya tipis,” sahut Vidi, “tapi terasa banget di dada. Apalagi sekarang... dada gue berdebar tiap lihat naskah adegan ciuman.”
Rai menambahkan, “Dan bukan karena lapar darah.”
**
Hari pertama pembacaan naskah.
Semua media hadir. Proyek ini disebut sebagai “trilogi drama vampir paling ambisius dekade ini.”
Kay berperan sebagai Pangeran Darah Es, vampir tua yang tak bisa mencintai.
Rai sebagai Darah Api, vampir pemberontak yang ingin menghancurkan tatanan lama.
Shin jadi dokter manusia yang menemukan rahasia klan mereka.
Vidi dan Jenni—lagi-lagi—muncul sebagai duo karakter misterius yang katanya hanya figuran, tapi entah kenapa… fans langsung bikin fanart mereka dua jam setelah teaser keluar.
**
Di balik kamera, perjuangan dimulai.
Kay mulai lelah cepat. Hal yang tak pernah terjadi dulu.
Rai perlu sunscreen beneran sekarang, bukan sekadar gimmick.
Vidi... bisa nangis tanpa mentimun tempel. Air mata manusia.
Dan Jenni? Sudah mulai benci bau madu.
Mereka merasa: tubuh mereka menyambut kehidupan baru.
Tapi mereka juga sadar: semua ini rapuh.
Sekali tergoda, sekali minum darah, sekali menjilat madu... mereka bisa kembali.
**
Di malam hari setelah syuting, mereka berkumpul di ruang kostum.
“Ini ironi ya,” ujar Rai. “Kita akting jadi diri kita yang lama, justru saat sedang mencoba berubah.”
Vidi mengangguk. “Tapi dari dulu, kita memang aktor kan? Bahkan sebagai vampir, kita selalu berpura-pura.”
Shin masuk membawa kopi. “Mungkin... ini pelatihan akhir kalian sebelum jadi manusia sepenuhnya. Kalau kalian bisa memainkan sosok vampir tanpa tergoda... berarti kalian sudah bebas.”
Jenni tersenyum. “Seperti latihan terakhir sebelum kelulusan.”
**
Dan untuk pertama kalinya, drama yang mereka bintangi bukan hanya tontonan global.
Tapi juga pengujian batin.
Akankah mereka bisa tetap berpura-pura jadi monster, tanpa kembali menjadi monster itu sendiri?
Ujian dari Dalam dan Luar
Syuting Blood of Twilight berjalan selama 78 hari berturut-turut.
Kay jatuh tiga kali di lokasi karena tubuhnya sekarang benar-benar letih setelah adegan aksi.
Rai mimisan waktu take adegan terbang dengan kabel di bawah terik matahari
Vidi sempat ngambek dan ngurung diri di ruang makeup gara-gara syuting adegan vampir minum darah pakai sirup merah pekat.
“Itu… terlalu mirip,” katanya lirih, matanya berkaca-kaca.
“Aroma manisnya... kayak madu busuk.”
Jenni duduk di sampingnya, memegang tangannya. “Kamu nggak sendiri.”
Tubuh mereka melemah tak sekuat dulu karena baru beradaptasi untuk menjdi mahluk baru
**
Hari ke-80, masalah datang.
Dalam adegan episode klimaks, Kay harus menggigit leher pemeran figuran.
Semua sudah disiapkan: gigi palsu, darah buatan, bahkan daging sintetis.
Tapi di tengah adegan, ada yang salah.
Salah satu asisten sutradara panik—ternyata botol darah buatan tertukar dengan kantong darah sapi segar dari adegan masak.
Kay berhenti mendadak. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar.
“Aku... hampir minum,” katanya setelah syuting dihentikan.
**
Hari ke-83, media mulai mencium keanehan.
Fans menyadari perubahan drastis pada penampilan dan ekspresi mereka.
“Kay makin kelihatan capek, tapi karismanya makin nyata!”
“Rai kayak beneran berdarah hangat sekarang. Aura-nya beda.”
“Vidi nangis beneran di adegan vampir mati! Itu air mata asli!”
“Siapa Jenni? Kenapa dia bisa jadi karakter minor tapi fandom-nya nambah ribuan per hari?”
Meme dan teori berseliweran:
> Mereka manusia? Vampir? Alien yang belajar akting?
Tekanan naik. Fans mulai memburu mereka ke hotel, kirim hadiah aneh, bahkan ada yang mengirim… sekantong madu ke alamat agensi Jenni.
Vidi langsung bakar itu.
**
Di ruang latihan adegan terakhir, mereka duduk diam.
Rai menatap jendela. “Kalau godaan datang terus begini, kita kuat nggak?”
Kay memejamkan mata. “Hari ke-83. Kita tinggal 17 hari lagi. Jangan menyerah sekarang.”
Jenni tersenyum kecil. “Kalian tahu? Detak jantungku sekarang bisa sinkron dengan lagu sedih. Dan aku suka.”
Vidi tertawa pelan. “Kalau kita berhasil… aku janji bakal bikin buku panduan: Cara Berhenti Jadi Vampir Tanpa Rehabilitasi Rahasia.”
Shin, yang diam sedari tadi, akhirnya bicara.
“Bukan soal berhasil atau gagal. Tapi soal siapa yang kalian pilih untuk jadi.”
**
Syuting masih berjalan.
Godaan masih datang.
Tapi satu hal pasti:
Mereka bukan vampir yang ingin hidup kekal lagi.
Mereka adalah manusia dalam perjalanan pulang.
100 Hari Tanpa Gigitan
Hari ke-100.
Tanpa darah.
Tanpa madu.
Tanpa kekuatan vampir.
Tanpa keabadian.
Yang tersisa hanya... tubuh lelah, kantung mata, dan hati yang perlahan belajar jadi manusia.
**
Di ruang istirahat studio, angka “100” tertempel di dinding.
Tulisan tangan Jenni, pakai lipstik warna merah cabe.
Vidi bilang, “Biar dramatis, kayak hari kemerdekaan kita dari dunia vampir.”
Rai membuka termos teh hangat dan berkata pelan, “Tangan gue gemetaran... karena dingin. Bukan karena haus darah.”
Kay mengangguk, menatap jemarinya. “Gue mulai lupa rasanya terbang malam-malam... dan itu nggak apa-apa.”
Jenni menggigit kue ubi ungu. “Kalau gue... bisa kentut. Artinya sistem pencernaan gue normal.”
Semua langsung menatapnya.
“Jenni...”
“Astaga...”
“Selamat?”
**
Pintu mendadak terbuka.
Masuklah Shin, mengenakan coat panjang krem dan syal abu-abu. Di belakangnya seorang pria tinggi, tenang, dengan aura dingin dan elegan: Min-Jae.
Shin tersenyum lebar. “Kenalin... ini Min-Jae. Sutradara utama Blood of Twilight... dan pacarku.”
Sekejap ruangan jadi sunyi.
“LOH?! Min-Jae sutradara legendaris itu?”
“Yang ngedirect My Vampire Lawyer dan Tears in Winter?!”
“Yang katanya nggak pernah pacaran karena kerja mulu?!”
Min-Jae tersenyum dan menunduk sopan. “Itu semua bohong. Saya pacaran sekarang.”
Shin tersipu. “Kami jadian diam-diam sejak episode 10. Dan sekarang... kami siapin Season 2 bareng.”
Jenni langsung berdiri dan bertepuk tangan. “Kita rayakan semua ini! 100 hari bebas dan cinta lokasi yang berhasil!”
"100 hari bebas apa?" Tanya min jae penasaran
"100 hari tanpa min da" Jawab Jenni hampir keceplosan
Kemudian di sambung vidi dengan cepat "minum alkohol"
"Oohh" Jawab minjae dengan penuh kecurigaan
"Aku harus menyelidiki ini" Kata minjae dalam hati
Kemudian berpamitan pulang dengan alasan
"Saya lupa ada janji dengan produser malam ini, kita kumpul-kumpul lagi lain waktu"
**
Malamnya, di atap gedung studio, angin musim dingin berhembus lembut.
Mereka menyalakan lilin kecil di tengah lingkaran.
Rai duduk di samping Shin, Vidi memainkan gitar, dan Jenni sibuk menyiapkan sup rumput laut.
Rai memandangi langit dan berkata, “Kalau ini yang namanya hidup sebagai manusia... gue mau terus begini.”
Kay mengangguk, “Tanpa kekuatan, tapi punya makna.”
Shin mengangkat cangkir tehnya dan berkata:
“Untuk kalian... yang nggak cuma selamat dari dunia vampir, tapi juga berhasil hidup sebagai manusia.
Kalian bukan sekadar aktor. Kalian penyintas.”
**
Malam itu, mereka merayakan bukan karena rating tinggi…
Tapi karena akhirnya mereka bisa tertawa tanpa rasa haus.
Mereka bisa hidup...
Dan mencintai.