Scone, Sabun, dan Syal Sialan
“Aku nggak ngerti,” gumam Vidi sambil memandangi papan besar bertuliskan Royal Scone: Rasa Inggris Sejati. “Kenapa wajahku ada di situ sambil gigit scone pakai taring?”
“Kamu harus bangga,” sahut Rai, nyaris tanpa emosi. “Itu hasil kerja kerasmu sebagai manajer vampir yang tidak sengaja viral waktu disorot kamera pas makan scone pakai tangan kiri dan ngedipin pelayan.”
“Kita semua viral karena salah makan!” potong Jenni dengan heboh. Ia masih mengenakan jaket Union Jack yang terlalu besar. “Aku ketahuan nyium sabun hotel karena baunya kayak madu. Sekarang malah ditawari jadi brand ambassador sabun lavender!”
Shin melirik brosur di tangannya. “Aku dapat tawaran jadi wajah baru merek syal anti-angin. Syaratnya harus foto di atas Tower Bridge sambil menjerit ‘wind-proof my love!’. Mau mati gaya aku…”
“Tapi,” lanjutnya dengan mata menyipit, “dibayar lima puluh ribu poundsterling. Sekali foto.”
Jenni langsung jatuh dari bangku taman tempat mereka nongkrong. “Gue rela nyium sabun tiap hari kalau dibayar segitu!”
---
Keesokan harinya, mereka diantar ke studio tua bergaya Victoria. Di sana, para klien iklan berkumpul: pemilik toko scone eksentrik yang bersumpah hanya menggunakan resep Ratu Victoria, desainer syal yang berpakaian seperti penyihir Hogwarts, dan bos sabun yang sangat yakin sabun buatan tangannya bisa menyembuhkan galau.
“Vampir lokal bahkan pakai sabun saya,” katanya bangga.
Jenni terdiam. Rai menghela napas panjang. “Oke. Siapa yang duluan?”
---
Sesi pemotretan dimulai.
Vidi berdiri dengan pose “menyesali hidup” sambil menggigit scone rasa keju biru. Di belakangnya, banner bertuliskan “Nikmati rasa nostalgia masa lalu... bahkan kalau kamu hidup selama 300 tahun.”
Shin mengenakan syal sepanjang sepuluh meter, diterpa kipas angin raksasa sambil berteriak “Wind-proof my love!” dengan mata berkaca-kaca.
Jenni? Ia terperangkap dalam bak mandi penuh busa, sambil berkata dalam bahasa Inggris patah-patah: “With soap, I find peace… and honey!”
---
Sore itu, mereka berkumpul lagi di taman Hyde Park. Tubuh letih. Kantong penuh. Ego? Campur aduk.
“Jadi,” kata Rai perlahan, “kita ini artis, vampir, atau maskot produk aneh?”
“Jawabannya,” ujar Jenni sambil membuka bungkus sabun barunya, “semuanya. Asal dibayar. Dan asal nggak ada yang tahu kita vampir.”
Vidi melirik kamera yang masih merekam dari balik semak.
“…Tapi kalau ada yang tahu,” lanjut Jenni sambil menyeringai, “setidaknya mereka pikir kita cuma nyium sabun. Bukan nyium leher.”
Mereka tertawa. Kaku. Lelah. Tapi, untuk sesaat… mereka merasa seperti bintang global.
Yang agak bau sabun.
Darurat Buckingham dan Vampir Salah Masuk
Hari ketiga di London, Jenni bangun dengan satu tujuan: foto selfie di depan Buckingham Palace sambil pakai mahkota plastik yang dibeli di toko suvenir.
“Aku mau kelihatan kayak Ratu Vampir Inggris,” katanya penuh tekad.
“Bukan kamu tiap hari udah kayak ratu lebah?” sahut Vidi setengah ngantuk.
Namun yang terjadi kemudian adalah malapetaka kecil berskala internasional.
**
“Ma’am, please step back from the gate,” kata penjaga istana dengan logat British kental.
Jenni, yang terlalu sibuk berpose dengan mulut monyong, tak sadar kakinya sudah menjejak area larangan masuk. Dan lebih parahnya… dia bawa thermos madu dari hotel yang mencurigakan bentuknya.
“Sumpah ini cuma madu! Mau nyoba?” tawarnya polos.
Sepuluh menit kemudian, dua petugas keamanan kerajaan mengapit Jenni yang tampak sangat bangga karena, katanya, “Belum pernah ditangkap di luar negeri! Rasanya kayak syuting film aksi!”
**
Sementara itu, Rai dan Vidi nyasar masuk ke tur bawah tanah London karena salah ikut rombongan turis Jerman.
“Katanya ini tur sejarah vampir Eropa,” bisik Vidi.
“Ini tur saluran pembuangan, Vi,” sahut Rai pelan sambil menghindari tetesan air dari langit-langit. “Tadi pemandunya bilang, ‘Drainage Evolution from 1800s to Present’. Kita nyasar.”
Mereka baru sadar ketika diminta mengenakan sepatu bot anti-bocor dan disuruh mencium bau lumpur “khas era Victoria”.
**
Shin punya kisahnya sendiri. Ia masuk ke toko antik, tertarik dengan cermin bergaya gothic. Tapi ketika ia bercermin… ia tidak melihat bayangannya.
“Tunggu,” katanya panik. “Aku vampir ya?!”
Penjual toko langsung tersenyum lebar. “Welcome, sister. We’ve been expecting you.”
Shin kabur dengan jeritan tingkat opera sambil membawa cermin mini sebagai souvenir.
**
Malam harinya, mereka semua berkumpul lagi di hotel.
“Ada yang merasa kita makin tidak waras?” tanya Vidi sambil meneteskan obat mata (setelah kejadian di saluran air bawah tanah).
“Justru ini yang bikin kita hidup,” sahut Jenni sambil mengoles madu ke roti scone.
“Ya. Dan mungkin sebentar lagi dideportasi,” tambah Rai sambil menyerahkan surat peringatan resmi dari penjaga istana.
**
Tapi satu hal pasti: keanehan mereka kini viral di TikTok Inggris.
Hashtag #VampireTouristsGoneWrong trending.
Dan seseorang mengedit klip Jenni ditangkap jadi trailer drama BBC fiksi berjudul “The Honey Heist: A Royal Affair”.
“Kita makin terkenal,” kata Shin lesu. “Aku harus siap syuting. Sebagai cameo ratu lebah.”
Big Ben, Buntelan, dan Balada Vampir Mabuk Teh
Setelah drama istana dan selokan selesai, rombongan vampir selebriti kembali beraksi. Tujuan hari ini: Big Ben, London Eye, dan Camden Market. Target? “Liburan sekalian konten,” kata Jenni dengan gaya manajer gadungan.
**
1. Big Ben dan Kesurupan Bahasa Inggris
“Foto dari sini, Vi! Biar jamnya kelihatan kayak nempel di kepalamu!” seru Jenni.
Vidi pasang pose sok misterius… lalu, tiba-tiba, alarm jam berdentang keras.
DONG! DONG! DONG!
Vidi terlonjak dan langsung switch character.
“M-my name is Victor. I’m 200 years old. I drink earl grey with guilt,” katanya dalam aksen British Shakespearean.
Rai melotot. “Dia kerasukan aksen Inggris.”
“Aku… ingin menjadi bagian dari Royal Shakespeare Company…” lanjut Vidi sambil memegang dada seolah patah hati.
Jenni mengangguk bijak. “Efek suara Big Ben. Biasa terjadi pada vampir belum sarapan.”
**
2. London Eye dan Pusing Tiga Generasi
Mereka naik London Eye, gondola VIP, satu putaran 30 menit. Tapi di menit ke-5, Shin mulai pucat.
“Aku takut ketinggian…”
“Kamu vampir!” sahut Rai.
“Vampir juga bisa vertigo, Rai!”
Di menit ke-10, Jenni malah buka termos madu dan menyeduh teh celup herbal.
“Enak banget teh Inggris ini…”
Vidi yang masih kerasukan aksen British tiba-tiba ikut nimbrung, “It’s splendid, madam. May I… bite your biscuit?”
Semua menatapnya.
“...Maksudku biskuit teh. Tenang aja.”
**
3. Camden Market dan Vampir Belanja Liar
Mereka menutup hari di Camden Market—pasar malam unik penuh penjual eksentrik, makanan fusion, dan barang-barang tak jelas.
Shin beli sepatu bot yang katanya “anti sinar bulan.”
Rai ditemukan di pojokan membeli jaket kulit bergambar kuda vampir bersayap.
Vidi? Masih dalam mode British gentleman, ia membeli tiga topi fedora, sebuah jas tweed, dan suling antik.
“Aku akan tampil sebagai vampir penyair di acara talkshow TV Inggris,” katanya dramatis.
Jenni tergoda membeli karpet Persia yang katanya bisa “mendeteksi energi manusia.”
“Kalau karpetnya getar, artinya ada manusia… atau mantan.”
**
Malam itu mereka pulang ke hotel dalam kondisi:
Vidi bicara seperti bangsawan dari abad ke-18.
Shin ketakutan melihat bulan purnama.
Rai mulai curiga ia ketempelan arwah kuda bersayap.
Dan Jenni… tertidur di atas karpet sambil peluk termos madu.
**
Ketika mereka menyadari semuanya terekam oleh kru reality show Inggris yang tak sengaja mengikuti mereka, satu kalimat muncul di layar TV nasional:
“Asian Vampire Celebs Take London: Is This The New Twilight?”