Untuk menepati janjinya ke Lee ratu lebah sahabat Jenni, dia menjadi juri festival lebah yang telah tertunda karena kesibukan Jenni..
Jenni melayang gugup (bentuk lebah) di depan panggung kecil bertema bunga yang terbuat dari kelopak asli dan lilitan benang emas lebah penenun. Di sekelilingnya, ratusan lebah berbaris rapi dalam formasi segi delapan, masing-masing memakai pita warna-warni di antena mereka. Beberapa bahkan memakai topi kecil berbentuk tetes madu.
"Jangan gugup, jangan gugup," bisik Jenni pada dirinya sendiri. "Ini cuma festival… festival lebah. Dengan ratusan pasang mata majemuk. Yang bisa terbang. Dan menyengat. GAH—"
Tiba-tiba spotlight menyala, dan seekor lebah dengan dasi kupu-kupu ungu melayang ke tengah panggung dengan mikrofon yang terbuat dari biji bunga matahari.
"Selamat datang, Juri Kehormatan Festival Madu Dunia Bawah Tanah!" seru MC lebah dengan suara berat seperti penyiar TV nasional. "Tepuk sayap untuk tamu spesial kita—vampir berani, pencinta madu, pengacau profesional—JE-NNI!!"
Para lebah mulai bertepuk sayap. Beberapa meniup semacam terompet berbentuk kelopak. Satu lebah kecil melempar confetti dari kelopak mawar yang meledak seperti popcorn.
Jenni meneguk ludah. Di hadapannya, 38 jenis madu tersaji rapi dalam toples kristal kecil. Ada madu hutan, madu lavender, madu randu, madu akasia, madu yang katanya bisa bikin mimpi ketemu mantan, madu yang bikin jomblo mendadak dapat notifikasi "Hai" dari mantan gebetan, sampai madu hitam legam yang bergetar sendiri.
"Silakan mulai dari yang kiri," bisik asisten lebah yang mengenakan clipboard dari serpihan daun.
Jenni mengambil sendok perak mini dan mencicipi madu pertama. "Hmm… ini kayak aroma Rai waktu habis syuting di gurun. Sweet tapi penuh debu. Ada jejak keringat eksistensial."
Ia lanjut ke toples kedua. "Yang ini… kayak rambut Vidi habis kehujanan. Lembut… tapi nempel di lidah. Sedikit getir. Ada aftertaste trauma masa kecil."
Lebah-lebah mencatat dengan serius. Bahkan ada satu yang membawa alat perekam suara.
Toples ketiga, keempat, kelima… semuanya punya cerita sendiri. Madu nomor tujuh membuat Jenni bersin tiga kali berturut-turut, madu nomor sepuluh membuat dia menyanyi spontan lagu Jay Chou dengan nada fals, dan madu nomor dua puluh tiga membuat matanya berkaca-kaca.
"Yang ini… ini bukan madu. Ini… kenangan waktu kelas lima, pas aku ditolak jadi ketua OSIS," gumamnya lirih.
Di nomor tiga puluh, Jenni mulai goyah. "Aku ngelihat… masa depan. Aku jadi… istri lebah. Anak kita setengah serangga, setengah absurd. Nama anaknya… Ma-Jen-Bee…"
"Ah, itu madu fermentasi visioner," jelas MC lebah dengan bangga. "Efek samping: delusi ringan dan dorongan untuk menikah."
Jenni tersenyum miring. "Terlambat. Aku udah kasih undangan ke pohon mangga."
Akhirnya, setelah empat puluh sendok madu—dua di antaranya membuat telinganya mendesis dan satu bikin rambutnya berdiri seperti antena radio—Jenni mengangkat sendok terakhir.
"Yang ini… kayak rasa lega waktu shooting selesai dan Shin nggak ngambek karena lampu ring rusak. Hangat, lembut, dan sedikit menyengat… kayak kasih sayang dari manajer yang insomnia."
Semua lebah bersorak. Ratu Lebah melayang anggun dari singgasananya, mengenakan mantel kelopak mawar dan mahkota madu padat.
"Jenni, dengan ini kau dinobatkan sebagai Vampir Juri Terfavorit sepanjang sejarah Festival Madu kami!"
Seekor lebah saxophonist memainkan lagu kemenangan. Dua lebah pengawal membawa medali berbentuk tetesan madu dan meletakkannya di leher Jenni.
"Terima kasih, Jenni. Kau vampir pertama yang tidak menipu dalam menilai rasa. Bahkan kami tahu mana juri palsu yang cuma bilang 'enak' ke semua jenis madu!"
Jenni tersenyum lemas. "Aku mungkin manajer kacau, tapi soal madu… aku jujur…"
Dan sebelum sempat berdiri, tubuhnya goyah. Ia pingsan dengan ekspresi puas, wajahnya tertempel di meja madu nomor dua puluh tiga, sambil bergumam lirih, "Ma…Jen…Bee… tunggu ibu…"