Hari itu, Kael tampil di acara musik live terbesar tahun ini: MoonStage Festival. Semua mata tertuju padanya—termasuk mata-mata dari berbagai klan, wartawan gosip, dan bahkan makhluk-makhluk yang seharusnya hanya muncul di legenda.
Di belakang panggung...
Jenni (memeriksa naskah):
“Kita harus siaga. Festival ini terlalu terbuka.”
Fajar (serius):
“Sudah kukunci perimeter dengan mantra pengalih. Tapi kalau mereka datang langsung dari klan bawah... kita butuh lebih dari kamera dan walkie-talkie.”
Vidi (bawa kipas elektrik):
“Kita butuh Tuhan.”
"Jangan bikin Tuhan repot" Kata Rai dengan santai
---
Saat Kael menyanyi, kamera menangkap cahaya aneh di belakang panggung. Beberapa lampu LED pecah. Penonton mengira efek spesial—padahal... itu serangan aura dari klan gelap yang menyusup.
Rai (berbisik di telinga Jenni):
“Darahnya memanggil mereka. Mereka akan datang semua malam ini.”
---
Di tengah keributan, Fajar berdiri mematung. Tiba-tiba, semua suara menghilang.
Ia kembali ke ingatan masa kecil—seorang anak berdiri menangis di bawah pohon besar. Di depannya, seorang anak lelaki dengan mata abu-abu mengulurkan tangan.
Kael kecil:
“Namamu siapa?”
Fajar kecil:
“Fajar. Kamu?”
Kael:
“Kael. Tapi jangan bilang siapa-siapa...”
Kembali ke masa kini, Fajar terkejut.
Fajar (monolog):
“Kael... Jadi kamu... temanku dulu?”
---
Serangan Dimulai
Satu demi satu, penyusup mulai menunjukkan jati diri. Mata merah. Gigi mencuat. Aura gelap menyelimuti belakang panggung.
Kael masih menyanyi. Tapi kini matanya berubah. Bukan merah. Bukan biru. Abu.
Penonton berteriak: “Efeknya KEREN BANGET!!!”
Padahal... dunia hampir kiamat.
---
Kekuatan Kael Aktif
Saat satu vampir menyerang langsung ke arahnya, Kael berhenti menyanyi. Dia menatap lurus ke arah vampir itu—dan dalam sekejap, tubuh vampir itu membeku di udara, seperti waktu berhenti hanya untuknya.
Kael (pelan):
“Aku sudah bilang. Aku hanya ingin hidup biasa.”
Jenni (terkejut):
“Dia... menghentikan waktu?”
Fajar:
“Bukan waktu. Tapi ingatan...kekuatannya sama dengan ku”
---
Penutup Bab: Ingatan Terhapus
Kael berjalan perlahan ke tengah panggung, seluruh arena membisu. Kamera berhenti merekam. Semua lampu padam.
Kael membuka liontin darah abu. Aura menyebar perlahan, menutupi festival.
Keesokan paginya...
Semua penonton hanya ingat konser yang “biasa aja”.
Kru lupa siapa artis utama.
Trending topic berubah ke “Kenapa mie instan 3 rasa enak banget”.
Fajar (ke Jenni):
“Dia tidak hanya bisa menghapus ingatan. Dia bisa mengatur ulang cerita.”
Jenni:
“Berarti... kita hidup di alur yang dia izinkan?”
Kael (muncul tiba-tiba):
“Aku hanya ingin hidup normal. Tapi mereka terus memaksa. Dan kalian... kalian satu-satunya yang masih ingat siapa aku.”
Kontrak Tak Tertulis
Kebangkitan Para Penulis Bayangan
Di sebuah ruang bawah tanah tersembunyi, jauh dari gemerlap MoonStage Festival, beberapa sosok berjubah duduk melingkar di depan gulungan naskah kuno. Di tengah mereka, sebuah pena bergerak sendiri di atas kertas perkamen.
Pemimpin Klan Pena (berbisik): “Dia mulai menulis ulang kenyataan. Padahal itu hanya hak klan kita.”
Salah satu penulis: “Tapi darahnya bukan dari klan kita. Itu... darah abu—darah penghapus nalar.”
Pemimpin: “Berarti sudah waktunya... Kontrak Lama dibuka.”
---
Kehidupan Setelah Festival
Seminggu setelah MoonStage, kehidupan berjalan seperti biasa—atau setidaknya seperti yang diizinkan Kael. Tapi empat orang masih hidup dengan kenangan penuh: Rai, Jenni, Fajar, dan Vidi.
Vidi (menatap roti bakar gosong): “Aku yakin kemarin kita di ambang kiamat. Hari ini aku cuma gagal bikin sarapan.”
Fajar (murung): “Dia main di realitas seperti DJ main remix lagu.”
Jenni: “Kita harus cari tahu batas kekuatannya. Kalau dia bisa hapus dan atur ulang memori seluruh kota, berapa lama sebelum dia menghapus... kita?”
---
Kael dan Cermin Tua
Kael berdiri sendiri di apartemennya. Di depannya, sebuah cermin retak yang tidak memantulkan bayangan. Tapi dari dalam cermin, bayangan seorang anak muncul—dirinya di masa kecil.
Kael kecil: “Kamu berjanji akan jadi biasa. Tapi sekarang... kamu dewa kecil dengan panggung dunia.”
Kael dewasa (lelah): “Aku hanya ingin menjadi Kay yang sekarang.”
Cermin retak semakin lebar, dan dari dalamnya, sebuah suara tua menggeram:
Suara: “Jika kau menulis dunia, siapa yang menulis akhir ceritamu?”
---
Kembali ke Jenni
Jenni mendapat surat tak bertanda di meja kerjanya. Kertas itu kosong, tapi saat ia menyentuhnya, tinta muncul pelan-pelan, seperti ditulis oleh tangan tak kasat mata.
> “Kamu ingin tahu siapa dia? Temui aku di Arkib Bayangan, jam tiga pagi. Bawa ingatanmu.”
Fajar (membaca surat itu juga): “Arkib Bayangan? Itu cuma mitos... tempat semua cerita ditulis sebelum dunia mulai.”
Vidi (mengunyah mie instan tiga rasa): “Lagian kenapa mesti jam tiga pagi? Vampir kan belum tidur. Jebakan, fix.”
---
Midnight: Arkib Bayangan
Jenni, Fajar, dan Vidi tiba di perpustakaan hitam yang hanya muncul saat bulan menghadap ke bayangannya sendiri. Ribuan buku melayang di udara, dan di tengahnya, seorang perempuan tua duduk di atas kursi bergoyang.
Penjaga Arkib: “Kalian datang. Jadi kalian masih mengingat... sang Penulis Abu.”
Fajar: “Kael.”
Penjaga Arkib (mengangguk): “Dia bukan hanya menghapus. Dia menulis ulang. Tapi belum semuanya. Masih ada celah.”
Jenni: “Celah?”
Penjaga Arkib (mengulurkan buku kosong): “Jika kalian ingin melawan... kalian harus menulis ulang dia.”
---
Pena Kedua
Di halaman terakhir bab, tampak tangan Jenni gemetar memegang pena dari darah beku. Di belakangnya, Vidi bersiap dengan kipas elektrik yang kini bisa menyerap aura.
Fajar: “Kalau kita gagal, kita bukan cuma lupa dia. Kita bisa jadi tokoh figuran... di cerita kita sendiri.”
Jenni (menatap lembar pertama): “Kalau dia bisa tulis ulang dunia, maka kita... akan menulis ulang dirinya.”
To be continued...