There are many things that will remain unknown forever, one of these are fate and destiny, we cannot know about them until we become so close to them.
***
"Mereka teman-temanmu?" tanya Om Andreiy mengeluarkan ponsel dari balik jas. Mereka sedang berada di mobil dinas Om Andreiy yang berkabin luas.
Teman? Pelan tapi pasti, Ruby mengangguk. Ya, mereka adalah teman-teman Ruby. Orang-orang yang pernah diabaikannya. Bukan karena mereka yang mengucilkan Ruby tetapi dialah yang mengasingkan diri sendiri. Selama ini, Untung atau penghuni belakang kerap kali menegur dia, saat baru datang atau hendak pulang tetapi Ruby yang membatasi. Tanpa dia sadari, dirinya sendiri yang membangun sekat di lingkungan. Ia merasa mereka cuma mempermainkannya. Ia merasa seperti malaikat yang berhak menilai tulus atau tidaknya seseorang. Dan sekali lagi, atas semua yang pernah terjadi di hidupnya, ia pun bisa salah. Salah menerka dan menilai seseorang. Saat tidak dikenal atau sudah dikenal orang seperti saat ini, toh penghuni belakang bersikap seperti biasa saja kepadanya. Ya, Ruby sadar, dia tidak pantas menilai seseorang secara absolut.
Om Andreiy lantas menampilkan muka paham, seolah mengerti mengapa Ruby mau tersenyum kepada siswa-siswi yang dilihatnya tadi. Pria itu terlihat beberapa kali mengecek ponsel, seperti ada yang ditunggu.
"Om..., pembicaraan kita tadi terputus. Saya belum mendapat jawaban atas pertanyaan saya," ujar Ruby. Pria itu tampak memalingkan muka ke arahnya.
"Kamu tentu sudah tahu kalau Rusia tidak berpaham Komunis lagi. Meski gerakan itu masih ada, tidak bisa menentukan kebijakan negara," jelas Om Andreiy, "Sasha bukan Komunis dan Gamal bukan teroris."
"Lalu, kenapa ada sekelompok orang yang menuduh keluarga saya seperti itu?" desak Ruby masih penasaran. Dia merasa Om Andreiy mengetahui alasannya. Setidaknya, jika Om Andreiy tidak tahu, mungkin pria itu bisa membantu mencari tahu.
"Propaganda." Om Andreiy terlihat menaikkan alisnya. "Mereka menyebarkan isu-isu untuk membangun ketakutan publik, ketakutan tetanggamu. Sehingga nantinya apa yang terjadi kepada kamu dan keluarga, tidak akan mendapat simpati dari sekitar."
Kepala Ruby terasa berdenyut. Propaganda? Simpati? Ada apa sebenarnya? Ia memicing, penjelasan Om Andreiy tampak sangat mencurigakan. Ruby memandang sekeliling. Mobil terkunci dan berjalan di atas jalanan yang berhujan deras. Apa Om Andreiy ini berbahaya? Atau malah bisa dipercaya?
"Untuk apa mereka menyebarkan propaganda?" tanyanya menyelidik.
"Berarti kamu tidak tahu siapa mamamu sebenarnya," sahut Om Andreiy dalam bahasa Rusia. Suara pria itu merendah sehingga hanya dapat didengar mereka berdua. "Kakekmu adalah salah satu periset yang mengembangkan teknologi senjata nuklir. Sasha adalah keturunan Big Scientists. Ia menjadi penerus dan salah satu fisikawan nuklir terbaik kami. Ia juga pernah bekerja dalam beberapa proyek nuklir sebelum pindah ke Indonesia dan memutuskan berhenti. Sasha bilang mau memulai hidup baru. Kami menghargai itu."
Fisikawan? Astaga, kenapa Ruby telat mengetahui? Pantas saja sedari kecil, mamanya selalu mengajarkan fisika melalui fenomena sehari-hari. Pantas saja Ruby menjadi menyukai fisika, hanya dari dikenalkan pagi dan malam sebagai tanda rotasi bumi, buah yang jatuh dari pohon sebagai bukti gravitasi atau sendok terlihat patah di dalam gelas karena pembiasan cahaya. Pernah juga saat berjalan ke pantai, sang mama akan bercerita tentang angin darat dan angin laut.
Ruby masih berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan informasi yang ada. Ada teka-teki yang perlu ia selesaikan. Ruby memilih diam meski tanda tanya semakin besar.
"Proyek nuklir adalah proyek rahasia. Semua tentang proyek itu dirahasiakan termasuk siapa saja yang terlibat. Ya, meski nuklir tidak selamanya senjata, pengembangan lainnya adalah pembangkit listrik ataupun kendaraan," tutur Om Andreiy, "Tetapi ternyata setelah sekian lama, mata-mata musuh dapat mencari jejak Sasha dan mengetahui dia sudah berhenti. Mereka mendesaknya untuk bekerja sama. Informasi yang kami dapatkan menyebutkan Mamamu menolak meski diancam nyawa. Karena itu pesawatnya jatuh di Laut Tengah."
Ruby refleks menutup bibirnya dengan sebelah tangan. Jadi, Mentari bukan kecelakaan melainkan ... dibunuh? Sama seperti Gamal?!
"A-apa ada ..." Suara Ruby terdengar parau, pertanyaannya tersumbat.
"Ada hubungannya dengan peristiwa Gamal?" potong Om Andreiy diiringi anggukan cepat Ruby. "Setelah kami selidiki, mereka datang untuk mencari Sasha. Berulang kali meneror Gamal untuk memberi tahu di mana Sasha."
"T-tapi ...." Degup jantung Ruby keras sekali, seperti hampir meledak. Ia mengusap mukanya gusar. Orang-orang itu bodoh atau bagaimana?! Mamanya sudah meninggal dan jenazah itu mungkin ada di dalam laut, habis dimakan ikan.
Ponsel yang sedari tadi dipegang Om Andreiy berbunyi. Pria itu mengangkat panggilan video dan menyodorkan kepadanya. "Sasha masih hidup. Untuk keamanan, ia memang merahasiakan ini dari kalian."
Tangan Ruby gemetaran menerima perangkat elektronik tersebut. Pada layar di hadapannya ada seorang wanita bercadar yang sekilas tidak akan dikenalinya tetapi ia sangat mengenal mata dan alis sang mama.
"Allo, Рубин." (Halo, Rubi.)
Sapaan itu membuat getar di tangan Ruby merambat ke seluruh tubuh. Bahunya berguncang turun naik, matanya panas, bibirnya meringis dan ia menangis. Ruby tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bulir-bulir air mata lolos di pipinya. Ia mengusap tangisnya tetapi semakin diusap semakin banyak. Ruby tidak ingin bermimpi, maka ia coba redakan tangisnya agar penglihatannya tidak mengabur.
"M-mama?" panggilnya, kemudian terisak lagi.
"Da." (Ya) Wanita di seberang masih memandangi mukanya dengan kerinduan. Ruby ingin berbicara banyak tetapi Om Andreiy memberi isyarat bahwa panggilan tidak boleh terlalu lama. "Ikuti Om Andreiy, ya. Dia akan mengatur pertemuan kita. Baik-baik di sana."
Ruby masih bercucuran air mata kala panggilan itu selesai.
"Meski ponsel saya antisadap, saya hanya berusaha mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi. Maaf, kamu bahkan belum lega melepas rindu," tutur pria itu pelan. Ruby yang menenggelamkan muka dalam kedua telapaknya hanya berangguk saja. "Kami menangkap sinyal SOS dari dia di Abu Dhabi enam bulan yang lalu. Jangan khawatir, kami sudah mengevakuasinya."
Pria itu menepuk pelan bahu Ruby. "Baiknya hapus air matamu dan bersikap tidak tahu apa-apa. Untuk keamananmu, jangan pernah beritahukan informasi ini kepada siapa pun."
Dengan bergegas, Ruby mengusap air mata. Diterimanya tisu pemberian Om Andreiy. Ia juga menyetujui pemindahan dirinya atas prakarsa Om Andreiy. Ruby ingin bertemu mama secepatnya.
***
Rimba datang saat Ruby sedang menyusun buku-buku ke dalam kotak. Cewek itu terlihat menarik dengan rambut dicepol, kaus oblong yang kebesaran dan dahi yang penuh keringat.
"Rimba?"
Rimba tersenyum memandang muka yang tingkat kesejukannya setara dengan udara sore ini, dimana hujan sudah reda dan tinggal titik-titiknya saja di atas daun. "Ganggu? Boleh masuk?"
Ruby mengangguk dan mempersilakan Rimba masuk. Cewek itu kembali ke kesibukan menata benda-benda kesayangannya. Mata Rimba langsung tertuju ke rak buku yang biasa penuh, isinya sudah berkurang banyak karena hangus tempo hari. Ia juga melihat kotak-kotak yang sudah berisi buku. Hatinya tertohok telak. "Lo ... beneran mau pindah, ya?"
Lagi-lagi, anggukan Ruby menjawab pertanyaannya.
"Kapan?" Ada desir mengganjal di ceruk dada Rimba seperti tidak terima. Seperti kejutan yang tidak diharapkan. Ia kan baru saja berbaikan dengan Ruby. Masa cewek itu langsung pergi? Jangan bilang ini sinetron.
"Secepatnya," jawab Ruby. Tangan cewek itu membuka sebuah buku yang tadi hendak ditaruhnya di kotak, seakan mengambil waktu sebentar untuk membaca isi buku tersebut.
"Kenapa?" Rimba ikut mengambil buku yang ada di rak dan menyusunnya ke dalam kotak kosong. Ruby tidak kunjung menjawab, sedang Rimba tenggelam dalam kerisauannya sendiri. Ia berulang kali mengambil dan meletakkan buku sampai kotak itu penuh. Ruby tampak serius dengan buku bersampul hitam di hadapan. "By..."
"Ha?" Cewek itu tersadar dari bacaannya. "Apa tadi?"
Pertanyaan balik yang membuat Rimba berdecak. "Kenapa mesti pindah? Pindah ke mana?"
Ruby menutup bukunya, terlihat mengecap sedikit sebelum meneruskan kalimat. "Moskow."
"Moskow itu jauh, By," balasnya spontan. Intonasinya sedikit naik, membuat Ruby terkejut. Rimba coba menetralkan diri lagi. "Kenapa mendadak?"
"Karena ... memang ... gue harus cepat berangkat ke sana."
"Ya, tapi kenapa? Dan kenapa mesti Moskow?!"
Ruby hanya diam, tak menjelaskan apa pun kepada Rimba. Pertanyaannya seperti tak butuh jawaban. Seolah jawaban kenapa mesti Moskow, sesimpel karena ibu kota Rusia adalah Moskow, bukan Singapura. Rimba menghentikan penyusunan buku. Tubuhnya berputar menghadap Ruby.
"Apa lo merasa sendiri di sini?" tanyanya, "kan ada gue, ada Untung, ada Mira, ada yang lain. Kami teman-teman lo, kok. Lo boleh kok masuk ke kantin Pespel, gabung sama kami. Nggak usah khawatir juga sama Cleo, dia lagi terapi. Dan gue, gue juga nggak akan bikin keputusan sepihak lagi. Gue janji, Ruby. Gue janji."
Rimba mengusap pelan pucuk kepala Ruby. "Jangan pindah ya, By?" bujuknya. "Gue bisa jadi teman belajar yang baik, beneran. Cerita sama gue juga dijamin aman. Gue juga mau kok anterin lo pulang. Atau kalo lo butuh teman, telepon gue aja nanti gue ke sini. Ya, By?"
Cewek pendiam itu masih saja diam. Ruby hanya menunduk dan menjentik-jentikkan kuku. Semua kalimat Rimba tidak dibalasnya.
"Ruby Andalusia, dengerin gue nggak sih?" Rimba mulai kesal. Ia meraih tas dan mengeluarkan sebuah kaus, menaruh pakaian terlipat di atas meja dan hendak berbalik. "Ini baju lo yang kemarin gue pinjam. Makasih udah pinjamin gue baju."
"Marah?" tanya Ruby sambil menahan lengannya. Kini, dia yang balik terdiam. "Cerewet sih, nyuruh gue ngomong tapi lo sendiri nggak kelar-kelar ngomongnya."
Rimba akhirnya menoleh dengan muka bersungut. "Abis ... kayak ngomong sama patung."
"Kan gue emang patung? Lo sendiri yang bilang gue manekin hidup," balas Ruby sambil tersenyum. Tangan cewek itu sudah melepaskan pegangan di tangannya dan kembali menyusun buku.
"Harusnya kalo orang lagi ngambek itu dibujuk, Ruby," desis Rimba kembali ikut menata buku.
"Maaf, Anda siapa?" gumam Ruby.
Rimba membelalak. "Wooh, udah bisa ngecengin gue sekarang, ya," ujarnya sambil mencolek pinggang Ruby. Cewek itu memekik geli. Seakan mengetahui fakta atas rahasia titik geli Ruby, ia melancarkan serangan, menggelitiki Ruby .
"Rimba, stop! Rimba, geli." Ruby menepis-nepis tangan Rimba yang masih saja menggelitiki pinggangnya.
"Bilang dulu," paksa Rimba.
"Apa?"
"Rimba ganteng." Rimba masih saja menarikan tangannya di pinggang Ruby. Cewek itu sempat mendengkus kecil sebelum akhirnya mengelak kelitikannya. "Cepat bilang," suruhnya.
"Nggak mau," tolak Ruby.
"Rimba tampan aja deh."
"Narsis," timpal Ruby di sela-sela lelah tertawa.
"Jadi gue nggak tampan?"
"Nggak."
"Nggak ganteng?" Rimba semakin mengancam.
"Enggak."
"Nggak keren?"
"Enggak!" Ruby sudah kewalahan menghindar dari Rimba.
Tangan Rimba tiba-tiba berhenti. Tawanya hilang. "Yah... Ya udah deh, apalah gue ini."
"Memang," balas Ruby terkikih, "sori, di rumah ini nggak berlaku yang namanya merendah untuk meninggi. Merendah bakal tersuruk sih yang ada."
Cewek itu bangkit dari kondisi setengah duduk, melirik baju yang dikembalikan Rimba. "Bajunya buat lo aja. Cocok buat pendaki gunung kayak lo. Sama ..." Matanya mencari sesuatu dan mendapatkan sebuah buku. "... Ini buat lo. Ini salah satu penulis favorit gue." Diberikannya sebuah buku buku berwarna hitam yang bergambar daun di genangan hujan kepada Rimba, kemudian tak lama ditambahnya sebuah buku lagi. "Ini juga, deh."
"By, lo tetep bakal pindah?" sungut Rimba setelah menerima beberapa buku pemberian Ruby yang semuanya bersampul hitam.
"Ya iyalah." Ruby menarik alisnya samar, seolah menandakan keputusan itu mutlak.
"Apa ada hal yang pengin lo lakukan sebelum pindah? Kali aja gue bisa bantu terwujud."
Ruby sejenak diam, menatap ubin. Tak lama senyumnya terkembang lagi. Ia mengajukan satu permintaan ke Rimba.