Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Apabila terdapat dua benda bermuatan listrik yang berdekatan maka akan timbul gaya di antara keduanya, tarik-menarik atau tolak-menolak.

*** 

Sebenarnya Rimba sengaja menghubungi Ruby hari ini karena menghindari Cleopatra yang mengajak nonton. Cleopatra memang cantik. Anak-anak kantin juga suka mengomentari bunga kelas itu. Jika mengiakan ajakan, Rimba seperti mempersilakan cewek itu berpikir hal lain untuk interaksi mereka. Namun, masalahnya Rimba tidak ada rasa apa-apa. Lagi pula, cewek idaman Rimba adalah sesuatu yang kompleks sehingga cantik saja bukan sesuatu yang mesti dibesar-besarkan. Rimba juga tidak suka cewek yang terlalu agresif, yah seperti Cleopatra itu, beberapa kali menghubunginya dengan sedikit memaksa.

Jadi, dengan datangnya Ruby, ia bisa membuat alasan mau reparasi mikroskop. Istilahnya, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, menghindari Cleopatra sekaligus menyelesaikan urusan dengan Ruby. Bukan Rimba tidak tahu kalau ada mata yang mengamati dia dan Ruby semenjak di depan kantin sampai di parkiran sekolah tadi. Pencinta alam terbiasa melakukan pengamatan terhadap sekitar. Sebenarnya ini berisiko, tetapi Rimba juga tahu bahwa Ruby bukan cewek yang mudah goyah atas celaan. Jadi, Ruby adalah cewek yang tepat untuk menghalau Cleopatra.

Ia memacu skuter hasil pinjaman ke arah Matraman. Di Pasar Pramuka, ada toko perlengkapan alat-alat kesehatan langganan keluarga. Sepanjang perjalanan nan panas, Ruby mendiamkannya. Beberapa kali ia ajak bicara, Manekin Hidup itu benar-benar bisu. Saat Rimba melirik dari kaca spion, rupanya Ruby memakai earphone. Sembari mendesah pasrah, Rimba kembalikan konsentrasi ke jalan. Rupanya Ruby menganggapnya tak lebih seperti tukang ojek saja.

Beberapa hari yang lalu, saat selesai sidang di ruang BK, Ruby tidak menjawab ajakannya mencari mikroskop. Sepulang sekolah, Rimba malah harus rapat dengan Pasuspala. Lalu, kebetulan ada tanggal merah di pertengahan kalender, jadilah Rimba dan beberapa anggota Pasuspala izin pura-pura sakit satu hari untuk ekspedisi gunung terdekat, Gunung Salak. 

Sehabis itu, ia lupa harus menyelesaikan permasalahan mikroskop sampai Bu Heny menagih kepadanya tadi siang, Rimba kelimpungan. Ia berusaha mencari kontak Ruby, syukurlah meski silent reader Ruby ada di grup WhatsApp kelas.

Mereka telah tiba di Pasar Pramuka. Mikroskop yang mau diperiksa juga dibawa Rimba dengan baik. Pasar ini adalah salah satu pasar yang terkenal sebagai pusat perlengkapan alat medis. Selain lengkap, harga yang dijual juga relatif lebih murah. Beragam toko alat kesehatan, obat-obatan dan juga bahan kimia, mereka lewati. Rimba menunjuk sebuah tangga yang kemudian diikuti Ruby. 

Cowok itu masuk ke salah satu toko yang berukuran lebih besar. Setelah berbicara sebentar dengan pramuniaga, Rimba diarahkan langsung ke pemilik toko. Oleh pemilik toko yang juga ahli dalam bidangnya, mikroskop yang terempas itu diperiksa.

Ternyata, kerusakan pada mikroskop bisa dibenarkan dengan memakan waktu satu sampai dua minggu. Mau tak mau, Rimba terpaksa membeli baru sedangkan mikroskop yang hendak direparasi kemudian ditinggalkan di toko tersebut. 

"Apes! Terpaksa beli baru," sungut Rimba setelah menerima kembali kartu debitnya dari kasir. Ruby yang juga berdiri di sampingnya hanya diam sampai Rimba menoleh ke patung hidup itu. Sebelum menerima mikroskop baru yang diberikan, tangan Rimba bergerak maju dan menarik penutup telinga Ruby yang sedang memutarkan lagu. "Ngomong kek, Liv. Berasa jalan sama tuyul. Bicara pake Bahasa Urdu juga boleh," ujar Rimba berusaha bercanda. Aneh saja baginya jika bersama orang tetapi diam-diaman. Kalau di hutan sih kebanyakan bengong malah bisa kesambet.

Mereka berjalan meninggalkan toko. Pandangan malas dari manik cokelat Ruby menyerangnya. Cewek itu berdesis karena terganggu. "Memang gue harus bilang apa? Bilang 'WOW' sambil salto-salto?" ujar Ruby pelan dan pedas.

Mendengar itu Rimba terkekeh, tidak menyangka saja rupanya Manekin Hidup ini bisa lucu juga. Penampakan Ruby yang tertangkap di matanya selama ini hanya sesosok cewek yang asosial, dingin dan angkuh. Ia juga berpikir saking asosial, Ruby tidak akan pernah bisa berbicara dengan murid-murid biasa seperti dirinya. Rimba pikir Ruby hanya bisa bicara dengan buku saja.

"Lo kocak juga, ya?" pungkas Rimba senang. Di antara kesal karena harus membeli mikroskop ganti yang berarti memotong biaya jalan-jalan, celetukan Ruby tadi mengandung lelucon baginya.

Bibir Ruby mencibir kecil lalu membuang muka. "Buat apa kocak? Kan mikroskopnya udah pake kocak?"

Mata Rimba terbelalak tidak menyangka. Ia mengangkat bawaanya. "Kotak ini, woy! Kotak! Saonah bisa ae!"

"Kotak? Siapa yang gundul?" Ruby masih menyahut sambil menuruni tangga, menuju parkiran di mana Rimba menaruh skuter.

"Botak!" desis Rimba kesal tapi tetap meladeni Ruby dan keabsurdannya. "Ampun gue ampun!" 

"Minta ampun kok sama gue, minta ampun tuh sama Tuhan," jawab Ruby masih datar dan meraih helm yang ada di atas jok skuter. "Ya, walaupun salah lo banyak sih sama gue, tapi gue maafin, kok."

"Siapa yang minta maaf sama lo, Juleha?" Rimba mulai tersulut. Ia menyerahkan kotak mikroskop kepada Ruby untuk dipegang. "Yang harusnya minta maaf itu lo. Asal muasalnya kan dari lo ngadu ke Bu Heny."

Akhirnya, hal yang seharusnya dari awal dibicarakan oleh kedua orang itu terbahas juga. "Gue nggak maksud ngaduin lo, Rimba. Tapi baru nyebut nama lo, Bu Heny langsung manggil lo doang. Lagian kenapa lo nggak bilang nama yang lain ke Bu Heny? Kan bukan cuma lo yang ribut?" aku Ruby dengan jujur.

"Gue nggak suka celakain temen." Rimba menyindirnya. Ruby sangat paham kalimat itu merupakan serangan balik untuknya. Cowok itu setia kawan juga.

"Oh, ya? Siram minyak, gantungin tas di tiang bendera sampe tarik tangan gue yang lagi pegang mikroskop itu bukan celakain temen?" timpalnya. Ruby sudah duduk di belakang Rimba. Skuter itu berjalan perlahan meninggalkan Pasar Pramuka. Matahari masih menyengat, menyisakan titik-titik keringat di dahi mereka.

"Memangnya lo ngerasa jadi temen gue?" Pertanyaan Rimba membuat percakapan mendadak hening. Tidak ada jawaban dari Ruby. Hanya ada deru skuter yang berpadu dengan kendaraan lain di jalan raya. 

Merasa kikuk karena salah bicara, Rimba keluarkan pertanyaan lain. Ia bahkan lambatkan laju skuter agar suaranya terdengar. "Iya, sori kalo gue celakain lo. Eh, Liv, lo bisa bawa motor?"

"Kenapa?" balas Ruby bertanya.

Rimba berdecak, "Lo bisa nggak sih kalo ditanya jangan bales tanya? Ya, gue pegel ini, siapa tau bisa gantian bawa motornya."

"Ngg... Bisa, tapi gue nggak bisa gantiin lo bawa motor."

"Kenapa? Mau enak aja ya, lo?" tanya Rimba ingin tahu.

"Belum tujuh belas tahun, belum punya KTP dan SIM." Ruby langsung memotong sebelum Rimba menjawab, "Gue paham maksud lo. Kalo yang lain begitu, bukan berarti gue juga begitu."

Di sekolah, banyak yang belum berusia tujuh belas tahun tetapi sudah membawa kendaraan bermotor. Belum memiliki izin mengemudi, tetapi nekat membawa mobil atau motor. Memang sih, demi hemat. Seliter bensin sudah cukup untuk kendarai motor pulang pergi ke sekolah selama satu minggu. Jelas lebih hemat jika dibanding naik angkot atau ojek online. Namun, kata Gamal, itu sudah rezekinya para pembawa kendaraan umum.

"Lagian, kalo semua bawa mobil atau motor, nanti kendaraan umum nggak ada yang pake? Bakalan makin sumpek ibu kota dan makin banyak polusi kendaraan, kan? Lo pasti ngertilah efek kendaraan bermotor dengan polusi udara."

Rimba terangguk paham. "Berarti lo belum bisa nyoblos dong nanti?"

"Tahun depan gue bisa ikut nyoblos, kok. Semoga aja KTP-nya cepat kelar, minimal keluar resi deh." Perjalanan mereka lebih lama karena tidak bisa masuk tol. Berbeda dengan saat berangkat, ketika pulang Ruby mau berbicara dengan Rimba. Lagipula ponselnya sudah kehabisan daya, daripada bosan tidak ada salahnya meladeni omongan cowok ini. Ada penasaran terselip di sudut hati Ruby saat Rimba selalu berusaha mencari masalah dengannya.

"Memang lo tau siapa yang mau dipilih?" tanya Rimba. Pertanyaan itu membuat peluang percakapan antara mereka lebih terbuka.

Sambil memegang mikroskop yang terbungkus kotak, Ruby menatap jalanan. Rimba memilih jalan tikus untuk menghindari keramaian. "Belum sih tapi tetap harus memilih. Dari sekarang, gue memperhatikan dan menelaah program-program mereka." 

"Penting?" Rimba melirik melalui kaca spion. Terlihat Ruby membenarkan rambutnya yang sedikit keluar dari helm dan menutupi muka. Cewek yang mengangguk itu tampak menggemaskan dengan rambut ikalnya dan muka kemerahan karena terpanggang panas.

"Kenapa?" tanyanya lagi. Entah mengapa, Rimba jadi benar-benar ingin tahu. Baru ini, ia mendapatkan anak seusianya yang konsen atas pemilihan umum. Setiap kali membahas hal ini dengan teman-teman, kebanyakan menjawab tidak tahu atau tidak peduli. Kontras sekali dengan jawaban orang yang dipikirnya apatis.

Terdengar embusan napas Ruby, gadis itu tampaknya berusaha melawan panas. Kulit pucat itu tampak rapuh untuk hidup di alam tropis, tetapi sekian belas tahun hidup, Ruby mampu bertahan. "Orang kayak kita ini masuk ke dalam kategori pemilih pemula. Biasanya, pemilih pemula terbagi tiga: golput, nggak peduli siapa calonnya dan ikut pilihan orang tua, atau yang paling parah merasa ngerti tapi juga mudah percaya hoax."

Dada Rimba terasa hangat. Ia yakin ini bukan karena matahari yang masih garang. Sosok Ruby tampak berkilau dari balik kaca spionnya. "Mulai fatamorgana nih mata gue. Minum bentar, yuk? Panas banget." 

Sejurus dengan anggukan Ruby, ia mulai menepikan skuter untuk mampir di miniswalayan. Ruby mencolek lengannya, cewek itu mengajaknya untuk memajukan skuter lagi. "Di warung itu aja," pinta Ruby menunjuk warung kelontong biasa. 

"Kenapa? Kan enakan di sana ada AC," protes Rimba. Namun, dia tetap berhenti di warung yang ditunjuk Ruby.

Ruby melepaskan helm dan melangkah turun. "Kalo semua orang berpikiran yang sama kayak lo, wajar banget 'kan kesenjangan sosial itu ada? Yang kaya bakal tambah kaya, yang miskin makin melarat," sahutnya sambil berlalu.

Rimba tidak tahu deskripsi apa yang patut ia sematkan kepada Ruby. Kali ini, ia mengakui satu hal, Ruby cukup peduli melebihi perkiraannya. Cewek itu punya wawasan luas. Sekarang, Rimba percaya jika cerdas tidak melulu tentang nilai bagus dan menguasai rumus.

***

Masih seperti biasa, kantin Pespel ramai walaupun jam pulang sekolah. Rimba masih berada di sana karena jadwal latihan panjat. Papan panjat dengan ketinggian tidak lebih dari empat meter itu memang berdekatan dengan kantin hunian mereka. Sembari mengawasi junior yang berlatih, para pengurus sibuk dengan obrolan tidak menentu. 

"Bosen gue. ToD, yuk!" Untung mengajak bermain Truth or Dare, disambut dengan gelengan kompak dari lainnya.

"Ogah! Kasih rahasia ke lo sama aja bunuh diri!" celetuk Zikra. Dia ingat sekali saat rahasianya izin latihan karena malas malah sampai ke senior. Tak ayal, menjadi bulan-bulanan dikerjain senior.

Rimba yang mulai bosan ikut tertawa kecil. "Nggak ada yang percaya sama lo, Tung. Musyrik kalo sampe percaya sama lo."

"Gabut gue sumpah," keluh Untung sambil memainkan ponselnya.

Zikra kembali membalas, "Push up aja lo kalo gabut. Gue dulu kena sepuluh seri karena lo. Buruan ambil posisi, biar gue hitungin."

Untung pura-pura meludah begitu mendengar perintah yang ada. Satu seri adalah sepuluh set. Kalau sepuluh seri berarti dia harus push up sebanyak seratus kali. "Nehi! Masa junior gue udah lewat, cukup pelantikan aja push up nggak kelar-kelar."

Yang lain mulai ikut menyuarakan ide untuk mengusir kejenuhan, masih ada dua jam lagi sampai jadwal latihan panjat selesai. "DoD aja, nggak usah pake truth. Gimana?" usul Nanda.

Beberapa mata berpandangan mendengar ide Dare or Dare itu. Namun, tak lama, semua sepakat mengangguk. Mereka punya permainan asyik sambil menunggu latihan selesai. Gelak tawa yang menertawai iseng-isengan itu memenuhi kantin, pemberi tantangan seolah ingin balas-balasan dengan memberi tantangan sulit bagi penerima tantangan.

Saat giliran Untung tiba, Zikra yang bertugas memberikan dare lantas memberikan pilihan yang cowok itu tidak sangka-sangka. "Tung, pilih. Lo mau push up sepuluh seri atau push up seratus kali?"

"Ya, itu sama aja, Bambang! Parah ya lo, masih dendam aja sama gue!" Untung memaki keras, menuai kor tawa menggelegar di kantin. Sambil bersungut-sungut, Untung tetap menjalani tantangan yang ada. 

"Zikra orangnya dendaman, nggak asyik," ujar Untung terengah-engah. Cowok itu lantas menghabiskan segelas air setelah menuntaskan bagiannya. Setelah ditantang, kali ini, Untung yang bertugas memberi tantangan kepada Rimba. Mata Untung menyelisik ketua Pasuspala-nya, ia lagi mencari hal yang kira-kira susah untuk dieksekusi Rimba. Kalau sekedar push up, sit up atau squad jump, itu sudah menjadi makanan mereka sehari-hari saat masih junior.

"Apaan?" Rimba mengangkat dagunya tinggi-tinggi, yakin bisa melakukan tantangan yang diberikan.

"Riyanya nggak ketulungan," cibir Untung menggaruk kepala, mencari ide yang sangat memalukan. Bertepatan dengan otaknya yang mencari wangsit, ia menangkap bayang sesosok orang yang belakangan ini selalu bertikai dengan Rimba. Cewek itu membelok dari koridor seberang, menuju sekre KIR. Senyum jail Untung terkembang sempurna seolah sedang menanam ranjau di kaki Rimba. 

"Dare buat lo gampang kok," sahut Untung berwibawa yang menuai keplakan ke kepalanya. "Teriak gede-gede di tengah lapangan basket, 'Ruby, maafin gue ya udah sering jailin lo!' sampe Ruby mau datengin dan maafin lo atau ...."

Rimba melotot, menunggu pilihan lainnya.

"Atau ... upload foto Ruby di story IG sama status WhatsApp terus bikin caption: Kamu adalah keindahan surga yang terperangkap dalam dunia fana. Nggak boleh dihapus selama dua puluh empat jam."

Mendengar tantangan yang diberikan, mata Rimba sudah keluar dari tempatnya. Ia berulang kali memukul bahu teman sebangkunya yang berkhianat. Cercaan berulang-ulang Rimba berikan kepada Untung. Sayangnya, pendirian Untung tidak berubah.

"Buruan, Mbek!" sahut yang lain sambil terbahak. Mereka tahu, sampai saat ini, Rimba tidak pernah berurusan sama cewek mana pun. Sekalinya berurusan, ya dengan Ruby masalah mikroskop itu.

Rimba masih mengelak. "Gue nggak punya fotonya. Aneh-aneh aja sih lo."

Merasa sudah tahu apa yang akan dijawab Rimba, tangan Untung bergerak cepat di ponsel cerdasnya. Ia membuka pencarian di akses internet dan menemukan satu foto cewek itu dari Google. "Basi banget alasan lo!"

Rimba menggaruk gemas kepalanya yang tiba-tiba terasa dihinggapi banyak serangga. Yang benar saja dia mengunggah foto Ruby? Lebih celaka lagi kalau dia sampai berteriak di lapangan untuk meminta maaf kepada Ruby. Dare dari Untung semuanya terasa seperti jebakan. "Gue push up aja deh, Tung. Dua puluh seri, gue jabanin."

"Nggak! Jangan cemen dong, Belantara Rimba." Untung mulai mengejek. "Gila, nama lo aja sangar bener. Masa gitu aja nggak bisa? Aduh cetek bangetlah."

Umpatan yang masih keluar dari mulut Rimba, tidak digubris yang lain. Mereka tetap menyuarakan hal yang sama: Rimba harus memilih salah satu dare yang ada atau kalah.

Kalah dan diremehkan adalah dua hal yang sangat dibenci Rimba. Rasanya ia sudah akan menepukkan bangku kantin ke kepala Untung agar anak itu amnesia.

Setelah berdengkus kencang, Rimba akhirnya memasukan foto Ruby dan caption-nya ke story Instagram dan status WhatsApp. Ia bahkan mematikan ponsel sehabis itu. Dapat diterkanya, akan banyak balasan dan ejekan atas kebejatan ide Untung.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dramatisasi Kata Kembali
712      372     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
Man in a Green Hoodie
5077      1258     7     
Romance
Kirana, seorang gadis SMA yang supel dan ceria, telah memiliki jalan hidup yang terencana dengan matang, bahkan dari sejak ia baru dilahirkan ke dunia. Siapa yang menyangka, pertemuan singkat dan tak terduga dirinya dengan Dirga di taman sebuah rumah sakit, membuat dirinya berani untuk melangkah dan memilih jalan yang baru. Sanggupkah Kirana bertahan dengan pilihannya? Atau menyerah dan kem...
Fidelia
2157      940     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Aku Ibu Bipolar
51      44     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Comfort
1311      578     3     
Romance
Pada dasarnya, kenyamananlah yang memulai kisah kita.
Secret Love
357      241     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
Nuraga Kika
35      32     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
UnMate
1053      613     2     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1370      898     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Finding My Way
780      473     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?