Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Pikiran kita memiliki kekuatan untuk menciptakan realitas kita sendiri. 

***

Sejak dahulu, Ruby termasuk pencinta damai. Ia bukan orang yang suka berkonflik dan cenderung menjauhi konflik. Bisa dibilang ia pengalah. Sedari kecil, ketika mainannya direbut teman, Ruby tidak akan mempertahankan miliknya. Ia akan membiarkan mainannya direbut, lalu mencari mainan baru yang lebih menarik di matanya. 

Ruby tidak suka dimusuhi. Pun memusuhi orang, tidak pernah ada dalam kamusnya. Ia juga tidak memilih jika ada dua temannya bersiteru. Bagi Ruby, damai itu indah. Ini murni pembawaan Ruby, bukan karena waktu kecil puas mendengar Bob Marley, musisi legenda reggae kesukaan Gamal. Nabi para Rastafarian itu memang diketahuinya sebagai pengagung kedamaian.

Ruby melirik rambut ikalnya dan meringis. Kalau lagi dikuncir asal bisa terlihat gimbal juga rambutnya, mirip Bob Marley, tinggal pakai kacamata hitam, kemeja merah-kuning-hijau, rentangkan kedua tangan sambil bergoyang. Jangan salah, Bob Marley yang menyuarakan perdamaian saja tetap mengusung seruan perlawanan. Get up, stand up! Stand up for your right! Get up, stand up! Don't give up the fight.

Nah, sebagai sesama umat manusia yang sering diperlakukan tidak adil, dibedakan akibat warna kulit, Ruby tiba-tiba mendapatkan dorongan kekuatan dari musisi jalanan tersebut. Kisah hidup anak budak yang terpisah dari ayahnya karena sekat ras, melawan jurang pemisah yang ada, bangun dari impitan situasi yang tak kondusif, dan berjuang untuk tegar berdiri.

Lelaki berkulit hitam dengan rambut gimbal itu menyeru lewat lagunya bahwa perempuan harus kuat dan jangan menangis. Mengingat lagu No Woman No Cry, Ruby seakan memiliki kekuatan untuk menjalani serangkaian penyelidikan di ruang BK.

Sebut saja dunia sedang berbaik hati. Tantangan CCTV Ruby dikabulkan saat di ruang keramat yang panasnya melebihi suhu tubuh manusia normal. Bu Heny, dia dan Rimba menonton ulang kejadian tersebut. Guru BK itu bahkan menekan jeda pada tayangan lambat dimana Rimba menarik lengannya. Video itu diperbesar dan diulangi beberapa kali. Ruby yang diminta menjelaskan kronologi juga menerangkan dengan lancar kepada Bu Heny, berbeda dengan Rimba yang tersendat karena belum menyiapkan alibi. Selanjutnya, untuk kedua kali Rimba bermasalah dengan Bu Heny. Di depannya, cowok itu dinasehati panjang kali lebar kali tinggi sama dengan volume yang berujung kepada mengurangnya poin untuk Rimba. Sehingga muka anak tersebut kaku dan keras menyerupai kardus, tinggal dilakban terus ditempel stiker dengan tulisan 'MUDAH PECAH, JANGAN DIBANTING! APALAGI DICAMPAKKAN'.

Ruby tertawa di lubuk hati yang terdalam melihat Rimba mendapatkan balasan setimpal. Rasanya ia ingin mengacungkan kepalan tangan, memejamkan mata, berjingkrak-jingkrak bersama Rastafarian menyanyikan lagu Three Little Bird

Don't worry about a thing, every little thing is gonna be alright. Yeah, yeah, yeah.

"Tapi, Bu. Olive juga pegangnya nggak bener. Kalo bener kan nggak mungkin jatuh." Rimba masih berusaha membagi kesialan kepadanya. Lamunan Ruby mendadak lenyap.

Bu Heny menatap Rimba lekat. "Olive siapa?"

Rimba terbata. "Ruby maksud saya, Bu."

Bu Heny memandang dirinya. "Ruby, apa benar begitu?"

"Bu, saya sudah memegang sesuai arahan..."

"Bohong, Bu. Kalau sesuai, kenapa jatuh?" sambar Rimba cepat, mengalahkan kecepatan sambaran api ke avtur.

Ruby mengerutkan alis, menatap Rimba. Ia masih heran mengapa Rimba selalu saja mencari konfrontasi dengannya. Cowok itu sepertinya masih menaruh dendam atas pengaduannya tempo hari.

"Begini. Ini kalau mau jawab-jawaban nggak selesai. Rimba, Ruby, kalian harus mengganti mikroskop itu. Dengan perincian, Rimba mengganti 80% dari total, sisanya Ruby. Bagaimana?" Bu Heny mencoba selesaikan masalah yang ada.

Ruby mulai berpikir. Sebenarnya kerusakan mikroskop itu belum dideteksi secara utuh. Jika cuma lensa saja yang pecah, seharusnya cukup diganti bagian yang rusak saja, 'kan?

"Kalau dibawa ke tempat yang khusus menangani itu gimana, Bu?" usulnya.

Bu Heny menyerahkan semua permasalahan kepadanya dan Rimba. Yang jelas, barang pengganti diminta secepatnya ada.

Mereka keluar dari ruang BK kembali ke kelas, masih ada pelajaran berikutnya yang sedang berjalan. Ruby menyusuri koridor dalam diam. 

"Liv, nanti siang pulang sekolah kita cari, ya?" Rimba membuka suara. Cowok itu mengejar langkah Ruby. "Oi, denger nggak sih lo?"

Ruby hanya mengedikkan bahu. Lebih baik segera kembali ke kelas daripada mendadak ingin menggimbal rambut cowok resek ini.

***

+628121907xx : Kita urus mikroskop. Tadi, Bu Heny udah nanyain. Lo piket 'kan? Gue tunggu di kantin. 

Seingatnya, ia tidak pernah menyimpan nomor Rimba, tetapi dengan membaca pesan barusan, ia tahu itu pasti Rimba. Apalagi foto profil bergambar siluet seorang cowok dengan ransel sedang berada di puncak gunung. Fix, Belantara Rimba.

Ruby meraih sapu dan mulai selesaikan tugasnya. 

"Liv, katanya minggu lalu, lo ngebanting mikroskop ya sampe pecah?" Seorang teman membuka percakapan, Ruby hanya menjawab pertanyaan itu dengan kedipan tidak peduli. Karena satu dan lain hal, ia malas menjelaskan duduk persoalan. Bukan Ruby tidak mau menjelaskan, hanya saja, ia dapat menerka siapa yang benar-benar peduli, siapa yang hanya basa-basi. Dan pertanyaan tadi hanyalah basa-basi.

"Kenapa Rimba jadi kena juga?" 

Jelas sudah sesuai rekaan Ruby, mereka sebenarnya ingin mengetahui apa hubungan kasus itu dengan Rimba. Bukan apa yang terjadi pada dirinya. Rimba lagi, Rimba lagi. Selalu saja anak itu menjadi pusat perhatian. Ruby jadi berpikir, apa yang akan mereka bilang jika mendengar bahwa Rimba-lah yang bikin perkara? Bagaimana jika ia mencoba? 

"Rimba tarik tangan gue waktu lagi pegang mikroskop. Gara-gara itu mikroskopnya jatuh," jawab Ruby sambil menaruh sapu. Ia mengamati muka cewek-cewek yang sedang memperbaiki letak susunan meja. 

"Ah, masa?" tanya yang lain tidak percaya.

Massa itu gaya dibagi percepatan, Mbak! Ruby memilih tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia meraih tas dan berjalan menuruni lantai dua menuju kantin. Saat Ruby berada di lantai satu dimana koridor kelas 12 berada, di depannya ada seorang kakak kelas mendorong kursi roda mengarah ke tempat yang sama. 

Sebenarnya, pemandangan yang tersaji sudah biasa di sekolah semenjak kenaikan kelas. Bisik-bisik bilang, kalau mantan Ketua Umum OSIS dan wakilnya itu menjalin hubungan. Bisa dilihat dari sabar dan hangatnya sang cowok mendorong kursi roda itu ke mana-mana. Ruby tadinya ingin memotong tetapi mereka berjalan di tengah koridor. Akhirnya, dia memilih memelankan jalan, mengikuti dari belakang saja.

Dua orang di depannya berhenti, seperti akan berpisah tujuan. Sang cowok tersenyum sambil menjentik pelan hidung si cewek. Mereka memang pasangan yang serasi. Setahu Ruby, dahulu si cewek kerap diberitakan yang tidak-tidak tetapi kakak kelasnya itu tetap saja seperti biasa; cuek, jutek dan galak, tidak ada berubah demi pemberitaan. Sampai sebuah kecelakaan, mengambil kemampuan berjalannya sehingga ia berada di atas kursi roda.

"Di kantin aja jangan ke mana-mana. Nanti kalo udah selesai, aku menyusul," ujar sang cowok memberi tahu ceweknya. Sang cewek tersenyum dan melambai kemudian menjalankan sendiri kursi roda elektriknya menuju ke arah kantin. 

Ruby mengamati dengan takjub sehingga pandangan mereka bertemu. 

"Eh, sori. Gue ngehalangin jalan, ya?" Cewek berambut pendek itu meminggirkan kursi rodanya. "Silakan, silakan. Sori perjalanannya jadi terganggu." Kakak kelasnya itu berkata sambil tersenyum layaknya pramugari maskapai penerbangan.

"Nggak papa kok, Kak." Ruby membuka telapak tangan, mempersilakan kursi roda itu jalan lebih dahulu.

"Gue juga nggak papa. Santai aja. Jangan pandang gue sebagai hal yang harus didahulukan. Karena gue nggak suka dikasihani," ujar Naraya, sang cewek. 

"Maaf, Kak. Saya nggak maksud mengasihani. Saya cuma kagum, Kakak hebat banget." Ruby tersenyum kaku dan memilih jalan berdampingan dengan kursi roda. Kakak kelas di sampingnya ini senior Rimba di Pasuspala dan Ketua I OSIS periode yang lalu.

Naraya tersenyum ceria sampai ke mata. "Hidup mengajarkan gue untuk tetap berdiri, sesakit apa pun gue jatuh. Dan setiap orang harus jatuh, supaya tahu bagaimana menjadi kuat. Lagian cewek memang makhluk yang kuat kok. Nyatanya tiap bulan aja sanggup menghadapi PMS. Aduh, gue kok absurd gini, ya? Abaikan!" 

Cewek itu lalu tertawa sendiri. Mereka berjalan sama-sama ke arah kantin sampai akhirnya berhenti di depan kantin Pespel —panggilan slang untuk Pasuspala. Mata Naraya memindai Ruby. "Lo cari siapa? Jarang ada cewek yang mau ke kantin kami." 

"Mau cari Rimba. Ada perlu sebentar." Walaupun tadi Rimba tidak memberitahu kantin apa, tetapi Ruby mengerti kantin yang dimaksud Rimba adalah kantin Pespel. Memang kantin ini diketahui sebagai pusatnya anak-anak Pasuspala yang sering rusuh. Populasi anak yang solid tapi juga brutal, satu spesies dengan Rimba.

Naraya menganga dua detik. "Tumben ada yang cari itu Kambing. Bentar, ya."

Saat kursi roda Naraya masuk, beberapa badan langsung berdiri menyambut. Terlihat Rimba dan seorang lagi hendak mendorong kursi roda itu. "Apaan sih lo pada? Gue bisa sendiri. Eh, Mbek. Ada cewek bening nyari lo di luar."

Rimba mengintip ke luar. Matanya menemukan Ruby berdiri sambil bersandar di dinding.

"Cie, Mbek ada yang cari. Nggak nyangka gue, lo bisa suka cewek juga, Mbek." Seorang senior Rimba menggeplak kepalanya. 

Rimba misuh-misuh, mengusap kepala dan menyambangi cewek berkulit seputih pualam di luat kantin. "Kenapa?" 

Ruby tergagap dari lamunan saat Rimba hadir di samping. "Kan kata lo mau urus mikroskop. Jadi?"

"Oh iya. Sekarang?" tanya Rimba menepuk jidatnya pelan seolah baru ingat. 

Ruby mengamati keanehan Rimba. Bukankah Rimba yang kirim pesan kalau cowok itu menunggunya di kantin? Kenapa sekarang seolah-olah Ruby yang mengajaknya pergi tanpa janji terlebih dahulu? "Gimana? Senin harus udah ada, 'kan? Gue besok sama lusa nggak bisa," tanya Ruby kembali. Meski kesal karena kejanggalan Rimba, ia tetap memendamnya. "Atau, lo aja yang urus? Gue titip uangnya sekarang."

"Lo pikir gue nggak bisa nombokin bagian lo? Ini bukan masalah uangnya, ini masalah tanggung jawab," tandas Rimba. 

Sebelum cowok itu bersuara lagi, berbagai macam godaan datang dari dalam kantin. "Mbek, makan lo belum dihabisin ini! Mubazir. Mentang-mentang didatengin cewek gitu amat, nasi dilupain."

"Biasa. Cowok memang gitu, kalo udah sama cewek yang lain dilupain. Makanya gue nggak demen sama cowok." Suara berat senior Rimba ikut menyahut. Tawa membahana karena kalimat barusan.

"Mbek, ceweknya diajak makan, kali. Kasian kalo diajakin ngemeng mulu mah nggak kenyang," sahut yang lain. Rimba menggaruk kepalanya yang tidak gatal mendengar itu.

Kali ini, Naraya ikut bersuara. "Mbek, buruan ajak masuk ke sini. Sini, Dek. Ayo, santai aja kami nggak makan orang kok."

Mau tak mau, Rimba mengajak Ruby masuk ke kantin Pespel. Semakin ia menolak, serangan ejekan semakin parah. Ia berusaha mengenalkan Ruby karena banyak mata yang memandang cewek itu dengan pandangan mau tahu. "Ini temen sekelas gue, namanya Ruby."

Meski sebenarnya enggan, mau tak mau, Ruby mengulurkan tangan kepada beberapa orang lalu duduk menghadap nasi yang sudah dipesankan oleh Rimba. Sekelebat olok-olok halus mampir lagi ke telinga mereka. 

Rimba langsung menengahi olok-olok yang ada. "Woy, jelek pikiran lo semua! Dia cuma temen dan kami mau urus mikroskop, kali." 

Bukannya reda, ternyata ledekan makin menjadi. "Oh, mikroskop. Buat lihat apaan? Hati si Eneng yang tersembunyi?" 

"Dih, orangnya depan muka pake diintip-intip. Tanya langsung dong, Mbek. Parah lo, gitu aja mesti diajarin." Yang lain ikut menyahut. "Gini caranya. Ruby, jangan lupa makan ya nanti jadi sakit. Kalo Eneng sakit, Abang sedih karena nggak ada lagi yang jeder-jederin hati Abang." 

Gelak tawa memenuhi kantin. Muka Ruby sendiri memerah dengar lawakan itu. Benar-benar kantin yang ... rusuh. Ruby juga dapat mendengar makian Rimba atas semua sindiran yang diarahkan ke mereka. Cowok itu berulang kali mendengkus dan berdecak.

Naraya memotong ejekan yang datang, "Udahlah lo pada, jangan diganggu kenapa orang yang lagi makan? Rimba ini butuh makan banyak. Karena mencari butuh tenaga, apalagi nyari hatinya Ruby. Hiya... Hiya..."

Seisi kantin kembali tertawa.

***

"Gue nggak mau naek motor lo," tolak Ruby saat mereka tiba di parkiran sekolah. Bagaimana tidak? Motor Rimba sangat tidak bersahabat untuk pengguna rok seperti dia. Motor trail dengan jok tinggi dan roda bergerigi. Untuk naiknya saja, Ruby kesusahan.

"Banyak milih amat sih, lo?"

"Hidup memang harus milih kali." Ruby melipat tangannya, mencari jalan keluar. "Gue naik ojek aja. Mau reparasi di daerah mana?"

"Matraman," jawab Rimba.

Ruby membelalak, tempat itu tidak dekat dari sekolah. "Deket banget. Yang lebih jauh nggak ada?" tanyanya pelan dan menyindir.

"Ada, di Medan. Mau lo?" Rimba menggeber motornya. "Buruan, kesorean nanti."

"Nggak, gue nggak mau naek motor lo, tinggi banget. Apalagi lo juga nggak bawa helm dua. Bahaya." Bagi Ruby, peraturan ada untuk ditaati. Keselamatan adalah prioritas dan tanggung jawab pengguna jalan, bukan hanya sekedar lekas sampai saja. 

Melihat Ruby yang bersikukuh dengan prinsipnya, Rimba mengalah. "Cerewet juga lo sekarang. Tunggu sini bentar." Cowok itu meninggalkannya. Sekitar sepuluh menit, cowok itu kembali dengan skuter matik dan dua helm sepertinya hasil meminjam. "Nih, pake."

Helm dari Rimba diterima dan dipakainya. Dalam hati Ruby terkekeh, Rimba mau menurut juga. Singa sih dia tapi siang ini terlihat seperti singanya Paddle Pop. Lucu!

"Takut amat kali nggak selamat sama gue. Jangankan keselamatan jiwa, keselamatan raga, hati dan perasaan juga gue tanggung." Rimba mulai membuka suara.

Seandainya teman dekat, ingin sekali Ruby menggeplak helm penghuni hutan di depannya ini. Bercandanya crunchy!

"Garing," seru Ruby. Suaranya terbang bersama angin yang bergerak di sekitar mereka.

"Biasanya cewek sukanya yang garing-garing. Lo nggak suka?"

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hidden Hearts
1165      716     2     
Romance
Nara dan Zian, dua remaja dengan dunia yang berseberangan, pertama kali bertemu saat duduk di bangku SMA. Nara adalah seorang gadis pendiam yang gemar menulis cerpen, sementara Zian adalah sosok populer di sekolah yang penuh pesona. Takdir mempertemukan mereka saat kali pertama Nara menginjakan kakinya di sekolah dan saat itu pula Zian memperhatikannya. Pertemuan sederhana itu menjadi awal dari p...
Kertas Remuk
139      112     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Untuk Navi
1181      654     2     
Romance
Ada sesuatu yang tidak pernah Navi dapatkan selain dari Raga. Dan ada banyak hal yang Raga dapatkan dari Navi. Navi tidak kenal siapa Raga. Tapi, Raga tahu siapa Navi. Raga selalu bilang bahwa, "Navi menyenangkan dan menenangkan." *** Sebuah rasa yang tercipta dari raga. Kisah di mana seorang remaja menempatkan cintanya dengan tepat. Raga tidak pernah menyesal jatuh cinta den...
Enigma
26702      3597     3     
Romance
enigma noun a person or thing that is mysterious, puzzling, or difficult to understand. Athena egois, kasar dan tidak pernah berpikir sebelum berbicara. Baginya Elang itu soulmate-nya saat di kelas karena Athena menganggap semua siswi di kelasnya aneh. Tapi Elang menganggap Athena lebih dari sekedar teman bahkan saat Elang tahu teman baiknya suka pada Athena saat pertama kali melihat Athena ...
Tok! Tok! Magazine!
104      92     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Monokrom
115      94     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Premium
Sakura di Bulan Juni (Complete)
20338      2255     1     
Romance
Margareta Auristlela Lisham Aku mencintainya, tapi dia menutup mata dan hatinya untukku.Aku memilih untuk melepaskannya dan menemukan cinta yang baru pada seseorang yang tak pernah beranjak pergi dariku barang hanya sekalipun.Seseorang yang masih saja mau bertahan bersamaku meski kesakitan selalu ku berikan untuknya.Namun kemudian seseorang dimasa laluku datang kembali dan mencipta dilemma di h...
Mistress
2639      1318     1     
Romance
Pernahkah kau terpikir untuk menjadi seorang istri diusiamu yang baru menginjak 18 tahun? Terkadang memang sulit untuk dicerna, dua orang remaja yang sama-sama masih berseragam abu-abu harus terikat dalam hubungan tak semestinya, karena perjodohan yang tak masuk akal. Inilah kisah perjalanan Keyra Egy Pillanatra dan Mohamed Atlas AlFateh yang terpaksa harus hidup satu rumah sebagai sepasang su...
UFUK
13      11     0     
Inspirational
Hara merasa senang dengan fakta bahwa teman barunya ternyata punya kisah hidup yang tidak lebih baik darinya. Sayangnya Hara tak cermat, semakin bersemangat ia memanfaatkan rahasia Kai, semakin banyak ia terlibat masalah. Hebatnya setiap masalah yang tercipta mampu menjarakkan Hara dari dunianya yang kacau. Kehadiran Kai berhasil membuat Hara kembali berani bermimpi. Lalu saat gadis tomboy ...
I Found Myself
51      47     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?