Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul dua siang. Latifa teringat dia belum menunaikan salat zuhur. Dari rumah sakit tadi perempuan itu bergegas ke kantor polisi. Karena menumpang mobil yang dia pesan melalui aplikasi, Latifa tidak bisa seenaknya singgah di masjid. 

 

Dengan menenteng tas, Latifa berdiri. Mukena selalu ada di dalam tas yang dia bawa. “Mama pergi sebentar,” pamitnya. Juga dengan bahasa isyarat dia menyuruh Medina menunggu. Dia hanya akan pergi sebentar.

 

Sayangnya, Medina menolak ditinggalkan. Cewek kucel itu menahan pergelangan tangan mamanya. “Mama mau ke mana?”

 

“Mau salat.”

 

“Medina mau ikut Mama,” rengek Medina. Dia takut kembali sendirian. 

 

Latifa diam saja saat melepaskan tangan Medina. Perempuan bergamis biru dengan motif bunga hortensia itu langsung berbalik dan menjauh pergi tanpa menjawab. Tidak lama kemudian dia kembali. “Ayo!”  ajaknya dengan senyum mengembang. 

 

Rupa-rupanya tadi Latifa menghadap pimpinan polisi untuk meminta izin membawa serta Medina menunaikan salat bersamanya. Dikawal seorang polisi berhijab, Medina lega karena bisa terus dekat dengan mamanya.

 

Selama Latifa salat, Medina duduk diam menunggu. Setiap gerakan Latifa lakukan dengan tenang dan tidak terburu-buru. Latifa menunaikan ibadahnya dengan sepenuh hati. Melihat sang ibu, getaran luar biasa Medina rasakan dalam hatinya. Cewek itu lagi-lagi tergugu teringat kesalahannya. Jika hanya dengan melihat saja dia merasa hangat dan nyaman, bagaimana jika ibadah ini dia sendiri yang melaksanakan?

 

Pada polisi yang menunggu di dekat pintu musala, Medina izin keluar sebentar. “Mau ambil wudu, Bu,” ungkapnya. 

 

Usai berwudu, Medina kembali. Mamanya sudah selesai salat, tetapi masih belum selesai berzikir. Medina salat meminjam mukena di lemari yang tersedia di sana.

 

Di samping Latifa yang tengah menadahkan tangan, Medina membaca niat salat dalam hati. Medina siap menemui penciptanya.

 

Allahuakbar,” ucap Medina. Baru takbir saja air matanya sudah bercucuran. Dosa-dosanya begitu banyak, mungkin jauh lebih banyak dari buih di lautan.

Maukah Allah memberiku ampunan?

 

Dalam rukuk, iktidal, pun sujudnya, air mata Medina terus mengalir tak mau berhenti. Mukena pinjaman dan sajadah terkena imbasnya. Basah oleh lelehan air mata dan ingus Medina.

 

Ya Allah ampunilah aku. Rahmatilah aku. Perbaikilah keadaanku. Tinggikanlah derajatku. Berilah rezeki dan petunjuk untukku.

 

Tubuh Medina bergetar. Dia menggigil walau suhu di ruangan itu terasa hangat. Dalam setiap sujudnya, dia merasa kepalanya dibelai dengan sayang. Mungkinkah itu tangan-tangan Tuhan? 

 

Kilasan kejadian semalam tampak dengan jelas di depan matanya, seolah-olah dia tengah menyaksikan sebuah film yang mempertontonkan secara detail betapa buruk dirinya. Saat Luthfi mengelus dada, jatuh terduduk di sofa, semua perkataan papanya, juga tatapan sendu lelaki itu saat dia tinggalkan. Tidak satu pun luput dari ingatan. 

 

Persis setelah salam Medina luruh dalam tangis yang lebih hebat. Istighfar berulang kali terlepas dari bibirnya. Lama dia bersimpuh dengan kelima jari kaki tegak menghadap kiblat. Yang terucap darinya tetap permohonan ampun pada Sang Maha Pencipta.

 

Latifa memeluk Medina dari samping. Matanya juga sama basahnya seperti sang putri. Mereka berpelukan erat, berusaha saling menguatkan meski tanpa mengucap sepatah kata. Sunyi menjadi saksi hati yang bertobat. Beginilah Tuhan bekerja menyentuh dan membolak-balikkan hati seseorang yang Dia kehendaki.

 

-***-

 

Bersekat sebuah meja kayu persegi panjang yang atasnya berlapis kaca tebal, Latifa dan Medina duduk berhadapan dengan si polisi sangar.

 

“Di kamar itu memang ditemukan barang bukti. Tapi tidak ditemukan sidik jari saudari Medina. Hasil pemeriksaan pada sampel urine pun negatif, menandakan bahwa saudari Medina tidak atau bukan pengguna obat terlarang tersebut.” Pak Polisi Sangar memberi penjelasan. “Saudari Medina mungkin hanya sedang apes saja karena berada di tempat yang salah. Dengan demikian saudari Medina diizinkan pulang. Namun, tetap harus menjalani pembinaan.” Ada senyum lega yang tersungging dari bibirnya saat menutup berkas laporan.

 

Sambil memandang Medina polisi itu berkata, “Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga dalam hidup kamu ya, Nak. Jangan sampai kejadian ini terulang. Kamu punya ibu yang sangat hebat. Jangan sampai hatinya kamu patahkan.” Mata yang tadi menyorot galak, kini tampak berkaca-kaca. 

 

Medina mengangguk paham. Dalam hati dia berjanji cukup sekali kejadian ini menimpa dirinya. 

 

-***-

 

Santi baru selesai mengaji saat Latifa dan Medina masuk ruangan. Sementara itu, Luthfi tampak lelap dalam tidurnya di ranjang pasien. Selimut membungkus tubuhnya sebatas dada dan tangannya saling tumpuk di atas perut. Dengkur halus terdengar dari celah bibirnya yang sedikit terbuka.

 

“Papa sudah lama tidur, Mbak?” tanya Medina dengan suara lirih. 

 

“Baru aja,” sahut Santi. Mushaf mini masih berada di tangan kanannya. “Sini!” Perempuan yang hari ini mengenakan hijab bergo dengan tali serut berwarna hijau lumut menepuk sisi kosong di sampingnya. 

 

Medina menurut. “Gimana keadaan Papa, Mbak?” Medina tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

 

“Dokter bilang, kondisinya sudah stabil. Untungnya Mama sigap ngasih pertolongan pertama sebelum bawa Papa ke sini,” 

 

Sebuncah harapan untuk kesehatan Luthfi merebak di hati Medina. Pandangannya dari Santi beralih ke Luthfi. Di samping ranjang, Latifa berdiri mematung. Dari cara mamanya memandang papa, ada cinta yang terselubung juga luka yang baru kali ini Medina lihat. Selama ini Medina terlalu sibuk menyalahkan tanpa memberi sedikit pun kesempatan untuk dirinya melihat dari sudut pandang mamanya.

 

“Dek,” panggil Santi. “Please, jangan terus menghujat Mama. Walaupun perceraian mereka terjadi atas permintaan Mama, tapi Mama orang yang paling sakit. Dibanding kita, Mama yang paling merasa kehilangan.”

 

Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut Medina. Dalam kepalanya kembali ribut mempertanyakan alasan di balik perceraian kedua orangtuanya. Benarkah itu semata salah Mama? Pada siapa dia harus bertanya? Baik Santi, papa dan mamanya selama ini terus bungkam seolah sepakat menjadikan itu rahasia di antara mereka.

 

“Mbak aku bisa minta tolong nggak?“ tanya Medina sambil melirik Latifa yang sudah menempati kursi di sebelah ranjang. 

 

“Mau ditolongin apa, Dik?” tanya Santi. 

 

Sebelum menggenggam tangan Santi, Medina meletakkan mushaf ke atas meja, persis berdampingan dengan vas bunga. “Ajakin Mama pulang, dong! Biar aku yang jagain Papa di sini.”

 

Santi bergeming, menatap adiknya prihatin. “Nggak perlu, Dek. Kita nggak akan lama di sini,” gumamnya setelah diam cukup lama.

 

Medina menarik mundur tangannya dengan perasaan gamang. Dia bingung kenapa Santi bicara begitu. Kalau bukan mereka, lantas siapa yang akan menjaga Luthfi di sana? Bagaimanapun kalau papa mereka butuh sesuatu nanti? Medina tidak sampai hati meninggalkan Luthfi sendiri.

 

“Omong-omong, gimana tadi di kantor polisi?” tanya Santi sambil mengerling menggoda. “Sudah kapok nggak main kabur-kaburan?” 

 

Bibir Medina mengerucut. Dengan pasti dia menggeleng. “Nggak lagi-lagi deh, Mbak! Sampai mati aku nggak bisa lupa gimana rasanya naik mobil polisi.”

 

“Keren dong itu. Biar ditawarin, jarang-jarang ada yang mau. Mbak aja emoh! Berarti kamu termasuk dalam golongan eksklusif. Bukan polisi, tapi jalan-jalan naik mobil polisi,” candanya. Candaan yang terlewat sarkas. 

 

Kedua bola mata Medina berotasi. “Eksklusif dari Hongkong!” gerutunya sebal. “Mana ada golongan eksklusif cara banguninnya pakai air segelas.”

 

Santi terkejut. Matanya sampai memelotot.

“Gimana gimana gimana? Mbak nggak ngerti. Tolong bantu jelasin biar Mbak nggak salah paham.”

 

“Ya, gitu.” Medina mengedikkan bahu. Malas menerangkan detail kejadian memalukan itu.

 

“Gitu gimana, Dik?” desak Mbak Santi.

 

“Disiram, Mbak! Sampai aku basah kuyup.”

 

Santi cekikikan sambil memegangi perutnya. Memangnya apa yang lucu? Medina kesal setengah mati dibuatnya.

 

“Ketawa lagi aku gigit, loh!”

 

“Baru semalaman menghilang, kamu sudah jadi serigala rupanya!” cetus Santi asal.

 

Belum sempat membalas ledekan kakaknya, Medina dibuat terperangah saat kamar itu tiba-tiba dimasuki orang asing. Ibu dan anak yang sebenarnya tidak betul-betul asing. Masih lekat di ingatan Medina bagaimana anak itu diseret menjauh oleh sang ibu. 

 

Kenapa Arkhan dan ibunya ada di sini?

 

“Papa!” teriak Arkhan sambil berlari kecil mendatangi Luthfi. Bocah itu membawa bantal berbentuk mobil berwarna merah. Di belakangnya, sang ibu tampak ragu melangkah. Sementara Latifa berdiri dan menjauhi mantan suaminya yang terbangun karena keributan yang Arkhan timbulkan.

 

“Arkhan, pelan-pelan! Kamu mau bikin Papa tambah sakit?” omel si perempuan berambut panjang. Bayi perempuan dalam gendongannya tempo hari tidak terlihat. Mungkin sengaja ditinggal karena rumah sakit salah satu tempat yang tidak ramah untuk anak kecil.

 

“Arkhan tungguin Papa dari tadi malam. Arkhan pengin dibacain dongeng, tapi Papa malah nggak pulang. Papa kenapa bobo di sini? Papa tau nggak, tadi di sekolah aku diganggu sama Bobby. Karena dia ngeselin, jadi aku tonjok aja sampai dia nangis. Sebel, deh, Pa!” Anak itu berceloteh tanpa tahu suasana semakin canggung. Dia juga tidak menyadari keberadaan Medina, Latifa dan Santi di sana.

 

“Arkhan turun dulu, ya, Nak,” pinta Luthfi. Tidak ada bantahan, tapi Medina bisa melihat kekecewaan di raut wajah bocah itu.

 

“Medina.” Luthfi memanggil. Suaranya lirih sekali. Lewat lambaian tangannya yang lemah, lelaki itu mengisyaratkan Medina untuk mendekat.

 

Medina ingin menuruti permintaan papanya, tapi ….

 

Papa. Papa. Papa.

 

Panggilan Arkhan berputar-putar di lorong telinga Medina, berdengung hingga membuat kepalanya mendadak pening.

 

Tanpa permisi Medina berlari meninggalkan ruangan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A & A
427      296     2     
Romance
Alvaro Zabran Pahlevi selalu percaya bahwa persahabatan adalah awal terbaik untuk segala sesuatu, termasuk cinta. Namun, ketika perasaannya pada Agatha Luisa Aileen semakin dalam, ia sadar bahwa mengubah status dari teman menjadi pacar bukanlah perkara mudah. Aileen, dengan kepolosannya yang menawan, seolah tak pernah menyadari isyarat-isyarat halus yang Alvaro berikan. Dari kejadian-kejadian ...
Is it Your Diary?
342      283     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Kelana
1713      1099     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
UFUK
63      55     0     
Inspirational
Hara merasa senang dengan fakta bahwa teman barunya ternyata punya kisah hidup yang tidak lebih baik darinya. Sayangnya Hara tak cermat, semakin bersemangat ia memanfaatkan rahasia Kai, semakin banyak ia terlibat masalah. Hebatnya setiap masalah yang tercipta mampu menjarakkan Hara dari dunianya yang kacau. Kehadiran Kai berhasil membuat Hara kembali berani bermimpi. Lalu saat gadis tomboy ...
Trying Other People's World
326      265     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Bottle Up
3386      1411     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
Sebab Pria Tidak Berduka
259      217     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Senja di Balik Jendela Berembun
66      59     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Menanti Kepulangan
111      104     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Rumah?
113      105     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.