Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Belum lagi jam belajar mengajar usai, Medina sudah angkat kaki dari sekolah. Cessa, Qiqi, Arwa dan Zaid dibuat tercengang saat mendapati bangku Medina sudah tidak lagi berpenghuni saat mereka kembali ke kelas. Laci meja sudah kosong melompong dan tas yang biasa Medina gantung di punggung kursi pun raib seolah tidak pernah bertengger di sana. 

 

Tidak ada yang tahu ke mana Medina pergi dan bagaimana dia bisa meloloskan diri. Rasanya hampir mustahil kabur dengan selamat mengingat penjagaan di depan terbilang sangat ketat. Pak Mustar dan Pak Ruslan secara bergantian berjaga di pos dekat area parkir kendaraan dan pos depan gerbang. Salah satunya mungkin meninggalkan pos di suatu waktu tertentu atau untuk alasan tertentu, tetapi tidak pernah membiarkan pos jaga kosong bersamaan. Dengan kata lain, celah untuk kabur tanpa tertangkap tangan itu sangat kecil kemungkinannya.

 

Selain penjagaan berlapis, sekolah ini pun dibentengi tembok tinggi yang dilengkapi kawat berduri. Tertangkap di depan, otomatis digiring menghadap guru bimbingan konseling yang terkenal tegas bahkan tak segan menjatuhkan hukuman. Nekat memanjat tembok berisiko tinggi terluka sekujur badan. Miris jadinya kalau kabur dari sekolah ujung-ujungnya malah terdampar di rumah sakit untuk menjalani perawatan.

 

Untungnya, saat ini jam kosong. Pak Raihan yang seharusnya mengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menghadiri acara di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Setelah sepuluh menit mondar-mandir dengan ponsel menempel di telinga, Cessa akhirnya menyerah menghubungi Medina. Sadar semua mata tertuju padanya, Cessa menghela napas panjang. Gadis itu menggeleng lemah, mematahkan harapan teman-temannya.

 

WhatsUp-nya tetap nggak bisa dihubungi. Nggak tau dia kehabisan kuota, atau sengaja matiin paket data.” ungkap Cessa dengan suara mengambang. Tatapannya menerawang, tampak sekali bimbang. Untuk sesaat perempuan berambut sebahu itu termangu memandang kursi kosong di sampingnya sebelum luruh di kursinya sendiri. “Kenapa kamu jadi kayak gini, sih, Mbul?” Sekali lagi Cessa menatap ponselnya. Layar yang semula masih menampilkan kontak bernama Mbul@t meredup secara perlahan lalu menghitam. 

 

“Sudah coba telepon biasa?” tanya Arwa tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Balasan dari Cessa cuma berupa gelengan samar dan bahu merosot lesu. Arwa jadi ikutan lesu.

 

Qiqi menggigit bibir karena merasa bersalah. Terbayang di benaknya wajah Medina yang merah padam karena marah. Pun dengan tatapan nyalang yang Medina hunjamkan padanya sebelum memutuskan meninggalkan kantin. “Duh, dia pasti sakit hati banget sama aku.” Namun, detik berikutnya sesal itu menghilang. Qiqi merasa apa yang dia ucapkan tadi sesuai kenyataan. Lantas, mengapa Medina sakit hati? “Kayaknya Mbul aja tuh yang baperan. Dikasih tau yang benar malah nyolot. Apalagi itu kalau bukan bebal namanya? Terbukti, kan? Childish banget!”

 

“Heh, Muka Badak! Bukannya sadar kalau sudah keterlaluan, malah playing fictim kayak si Dorami. Okelah Dorami baperan plus kepala batu atau bebal kayak yang kamu bilang, tapi masalahnya nggak cuma di dia. Sekarang kamu pikir lagi, deh, kenapa Dorami jadi bersikap keras kayak gitu. Kenapa bawaannya ngegas? Itu semua karena dia nggak merasa nyaman dengan tanggapan kita.

 

“Dia merasa kayak pesakitan yang lagi dihakimi. Dia tadi bilang kayak gitu, kan? Menurut dia, kita terlalu mudah ngasih komentar dan sama sekali nggak memedulikan perasaannya,” cecar Zaid sengit. Tangannya gatal hendak menoyor kepala Qiqi. Mungkin dengan begitu, otak sepupunya itu bisa kembali bekerja sebagaimana mestinya.

 

Dengan santai Qiqi mengedikkan bahu. Bibirnya mencipta sebuah senyum simpul yang mengesankan ketidakacuhan. “Aku tetap merasa nggak salah apa-apa. Seperti yang aku bilang tadi, memang dasarnya si Mbul yang baperan. Sikapnya kayak gitu karena sadar diri kalau dia sebenarnya salah. Cuma … dasar gengsinya aja segede gunung. Jadi, dia lebih suka terus-terusan mengelak daripada ngakuin kesalahannya. Childish, kan, itu namanya?”

 

Zaid menghela napas. Sambil bersedekap, dia memelototi Qiqi yang malah asyik mengunyah kripik singkong jeletot. “Yang kamu omongkan mungkin benar, Ulekan Sambal. Tapi cara kamu ngasih tau dia itu yang nggak benar. Menasihati itu ada adabnya, ada ilmunya. Nggak bisa asal ngomong ceplas-ceplos kayak rem blong. Nasihatin orang itu tetap harus melihat situasi dan kondisi. 

 

“Kalau sama-sama ngegas, yang ada kalian malah berkonfrontasi. Persis kayak yang terjadi di kantin tadi.” Dalam hati Zaid menyesal karena sudah menjadi salah satu pencetus kemarahan Medina. Komentarnya tadi termasuk bentuk penghakiman, kan? Mana bisa Medina menangkap niat baiknya.

 

“Ish, berisik banget sudah kayak kaleng ditabok!” Qiqi menjulurkan lidah mengolok-olok Zaid yang menurutnya terlalu banyak omong dan sok tahu. Dibanding Zaid, jelas dia lebih tahu bagaimana watak Medina.

 

“Kalau kamu mau sedikit aja nurunin ego, aku juga nggak suka kita ribut kayak gini. Nggak ada untungnya sama sekali. Dibayar sekian juta pun aku nggak mau adu mulut, apalagi gratisan macam sekarang. Intinya, kesalahan ini nggak semata-mata ada di Dorami. Titik.”

 

Kesal karena terus disudutkan, Qiqi menggebrak meja. Dengan mata menyala, Qiqi mencecar Zaid. “Kenapa, sih, kamu belain Mbul terus? Nggak gitu caranya dapatin perhatian cewek, ya! Nggak dengan membenarkan setiap tindakannya even itu salah. Jangan karena suka sama si Mbul, terus bikin kamu tutup mata sama tingkah polahnya. See, dia aja nggak peduli sama kamu! Dia bahkan lupa kalau—” 

 

Zaid balas menggebrak meja. Tubuhnya membungkuk, dengan jari telunjuk mengacung di depan hidung Qiqi. “Kamu harus hilangin kebiasaan suka nge-judge orang, Lambe Turah. Nggak semua yang kamu lihat itu sesuai sama kenyataan. Bisa jadi itu cuma dugaan-dugaan yang  berujung tuduhan nggak berdasar. Malah fitnah jatuhnya. Lagian, sok iya banget tau gimana perasaanku atau apa yang aku pikirkan. Soal dia ingat sama aku atau nggak, itu nggak masalah. Namanya manusia wajar kalau lupa.”

 

Astaghfirullah. Kenapa jadi pada hobi gebrak meja, sih? Kita nggak lagi latihan rebana, woy! Harusnya, kita bicara dengan kepala dingin biar ketemu cara terbaik memecahkan masalah ini. Bukannya saling tuding dan adu argumen.” Cessa memijat pelipis. Dirinya pusing melihat adu mulut antara Qiqi dan Zaid. Kalau dibiarkan berlarut-larut, masalah ini bisa membuat kelompok mereka terpecah belah. “Kalian sadar nggak, sih, kalau sejak di kantin tadi orang-orang pada merhatiin kita? Nggak malu apa jadi bahan omongan? Mau, ya, soal Medina yang kabur kedengaran orang luar?”

 

Qiqi dan Zaid melengos di saat bersamaan, lantas sama-sama melirik ke sekitar dan membenarkan apa yang Cessa paparkan. Beberapa teman sekelas mereka kedapatan berbisik-bisik yang bisa dipastikan sedang menjadikan mereka bahan gibah. “Sorry,” ucap Qiqi dan Zaid beriringan. Sekalipun terdengar tidak tulus, Cessa dan Arwa cukup lega sepasang sepupu itu mau sedikit saja menurunkan ego dan meredam emosi. 

 

“Mpit, kenapa dari tadi diam aja?” Arwa duduk menyerong menghadap teman semejanya. 

 

Fitri yang dari tadi hanya menyimak perdebatan teman-teman di sekelilingnya menggeleng sedih. Mulutnya tertutup rapat. Fitri merasa bahwa semua ini berawal dari dirinya. Medina berubah sejak dia mengingatkan tentang bahaya pacaran. 

 

“Cowok yang dekat sama Medina ini gimana, sih, orangnya? Aku nggak begitu jelas merhatiin.” Saking terkejutnya melihat penampilan Medina di mal tempo hari itu, Cessa sampai melupakan segalanya. Kalau saja tidak diingatkan Arwa, waktu itu mungkin dia sudah mendatangi Medina. Saat tidak sengaja menemukan Medina berteduh di emperan toko itu pun, dia hanya sekilas melihat Zean. 

 

“Aku yakin pernah ngelihat cowok itu. Saat pertama kali Mbul nunjukin fotonya, mukanya terasa familier. Sayangnya, aku nggak ingat di mana dan kapan pernah lihat dia. Tapi … bisa jadi juga itu cuma perasaanku aja.” Fitri menyayangkan, fokusnya di awal cuma menasihati Medina. Terburu-buru menarik Medina tanpa melakukan pendekatan. Cara berkomunikasi yang tidak begitu bagus membuat Fitri merutuki diri atas sikapnya yang gegabah. “Yang aku ingat, Mbul pernah nyebut namanya Kak Zean.”

 

“Wah, berarti cowok ini segitu merusak ya ….” Zaid mengusap dagunya, sudah persis bapak-bapak yang sedang mengelus jenggot kesayangan, berlagak sok detektif.

 

“Kita nggak tau kejadian sebenarnya gimana. Apa memang cowok itu berniat buruk atau Medina aja yang terlalu gampang terbawa arus? Bisa aja, kan, saking baper dan bucinnya si Mbul jadi ngelakuin yang aneh-aneh atas keinginannya sendiri? Cuma takut dibilang kuper atau takut ditinggalin karena dianggap kampungan,” celetuk Qiqi. Oleh Zaid, kali ini komentarnya dianggap lebih netral dan masuk akal. Dia pun menyetujui pendapat Qiqi.

 

“Sudah coba cari si Zean di daftar pengikut Medina nggak? Anak zaman now, kan, suka saling follow akun sosmed. Mungkin kita bisa dapat petunjuk dari situ.” 

 

Semua memandang Zaid sambil tersenyum. Dengan sigap Cessa menyambar ponsel, memasukkan rangkaian huruf yang dikombinasikan dengan sederet angka cantik untuk mengaktifkan ponsel pintarnya. Saking cepatnya jarinya menari, dua kali jarinya terpeleset yang menyebabkan password yang dia masukkan ditolak. 

 

Slow, Ces.” Arwa mengingatkan. 

 

Baru di percobaan ketiga ponselnya berhasil terbuka. Tanpa membuang waktu, Cessa mengetuk ikon bergambar kamera berwarna merah terang untuk membuka aplikasi Storygram miliknya. Isi kepalanya saat ini sangat ruwet. Sebenarnya bisa saja Cessa tidak melakukan ini, tetapi kepedulian dan rasa sayangnya pada Medina mendorongnya untuk melakukan lebih dari sekadar diam. Begitu kan seorang teman?

 

“Invinity_Zean.” Cessa menggumamkan sebuah nama yang tampil di kolom pencarian. “Mpit, yang ini bukan, sih?” tanyanya seraya menyodorkan ponsel ke arah Fitri.

 

Fitri memandang layar sebentar sebelum mengangguk. Saat ponsel ditarik mundur oleh Cessa, Fitri langsung menunduk. Genggaman pada rok sekolah abu-abunya mengerat. Setelah diam cukup lama untuk mengingat, akhirnya dia tahu alasan mengapa wajah Zean terasa familier baginya. Ingatannya tentang lelaki itu tidak salah. Secara tidak sengaja mereka memang pernah beberapa kali bertemu di … rumah sakit jiwa. 

 

Lahir dari seorang ibu yang memiliki masalah kejiwaan membuat Fitri akrab dengan tempat itu. Setiap dua pekan sekali, dia mengunjungi ibunya yang sudah belasan tahun tinggal di sana. Sekalipun harapannya sebagai anak yang ingin merasakan kasih sayang orang tua—khususnya ibu—mungkin tidak akan pernah terwujud, Fitri tetap bersyukur dengan apa yang dia miliki. Setidaknya, selama ibu masih ada, dia bisa menjalankan baktinya. Menata surga yang tidak bisa dia dapat di dunia ini. 

 

Kondisi sang ibu—yang bahkan sama sekali tidak mengenalnya—pada awalnya memang pukulan hebat bagi Fitri. Fitri seringkali mempertanyakan keadilan dan kasih sayang Allah untuknya. Namun, sekeras apa pun dia menghujat Tuhan, Fitri sadar dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak punya daya. Dia butuh kekuatan dari Sang Maha Pencipta. Dia memang tidak bisa merubah ketetapan-Nya, tapi dia bisa mengupayakan untuk tetap istiqamah dan tabah dalam menghadapi setiap ujian dari-Nya. 

 

Beberapa tahun belakangan Fitri semakin bisa menerima keadaan. Kondisi ibunya bukan lagi suatu masalah berarti. Dia yakin, Allah tidak akan pernah meleset dalam menakar kadar kekuatan hamba-Nya. Allah juga tidak pernah salah memilih pundak yang akan Dia titipi ujian, kan? Fitri percaya, selalu ada hikmah dari setiap kejadian.

Pundaknya pasti kuat memikul beban ini. Dia hanya perlu berpasrah. Allah tidak akan pernah meninggalkannya, seburuk apa pun keadaannya.

 

Tidak pernah mengenal sosok ayah juga membuat Fitri lebih berhati-hati dalam membangun hubungan dengan lawan jenis. Dia percaya tidak semua laki-laki jahat, tetapi menjaga diri adalah kewajibannya sebagai seorang perempuan. Berkaca dari pengalaman hidup ibunya yang pahit membuat Fitri jadi lebih dewasa menyikapi permasalahan terkait hati dan perasaan.

 

Arwa, Zaid, dan Qiqi mengerubungi Cessa, ikut menilik layar ponsel yang menampilkan profil Zean. Mereka sepakat, Zean punya ketampanan jauh di atas rata-rata laki-laki kebanyakan. 

 

“Dari penampilannya, sih, kayaknya nggak ada yang aneh. Kelihatannya dia orang baik,” gumam Cessa. Ibu jarinya terus bergerak menggulir ke bawah layar gawai canggihnya sementara matanya bergerak-gerak menelusuri satu demi satu foto yang terpampang di depan matanya. Semakin lama, dia merasa ada yang janggal. Beberapa tangkapan kamera yang menampilkan Zean membuat Cessa mengernyit. Ganteng, sih! Tapi … “Kalau lihat teman-teman dan tempat tongkrongannya, kenapa aku ngerasa kalau cowok ini bukan orang baik, ya? Nggak sebagus penampilannya gitu, loh!” 

 

“Mungkin nggak, sih, kalau cowok ini cuma mau memanfaatkan Mbul?” Celetukan Qiqi menerbitkan rasa tidak nyaman yang semula ditekan Cessa kuat-kuat dalam hatinya. Cessa meneguk ludah. Kalau begini, bisa jadi Medina sedang dalam bahaya!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sosok Ayah
907      504     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Metafora Dunia Djemima
86      71     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Langkah yang Tak Diizinkan
167      139     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Pasal 17: Tentang Kita
123      45     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Flyover
451      325     0     
Short Story
Aku berlimpah kasih sayang, tapi mengapa aku tetap merasa kesepian?
Cinta Pertama Bikin Dilema
5017      1383     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Lovebolisme
148      130     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Spektrum Amalia
736      494     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Seiko
601      456     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Time and Tears
246      193     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...