“Bangun pagi, malas mandi, masih ngantuk, tidur lagi.” Begitu Medina bersenandung sambil menarik selimut untuk membungkus seluruh tubuhnya. Hawa dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang akibat hujan yang mendera semalam suntuk membuatnya terlena. Dia pun dengan senang hati kembali melingkar di pembaringan. Mumpung libur akhir pekan, Medina ingin menghabiskan seluruh waktunya dengan rebahan.
Beberapa kali Medina menguap. Matanya yang sayu seiring waktu semakin berat dan mulai kembali terpejam. Sayang seribu sayang, kejadian itu hanya berlangsung sesaat. Hanya sekelebat. Perempuan itu terlonjak bangun hingga nyaris terjungkal saat menyambar hijab yang tergeletak di sandaran kursi. Rasa kantuk yang tadi bergelantungan di pelupuk mata Medina minggat secepat kilat, menyisakan denyut menyakitkan yang menghantam kepalanya.
“Ya, sebentar!” teriak Medina kesal sembari tergopoh-gopoh berlari ke arah pintu. Dari ketukan yang lebih pantas disebut gedoran, Medina tahu siapa yang tengah menantinya di luar sana. Dengan kasar Medina memutar kunci. Sesaat setelah hendel ditekan ke bawah dan pintu ditarik mundur, sosok perempuan bergamis dengan hijab lebar yang menutupi setengah tubuh menyapa Medina. Tepat sesuai dugaan, Pemirsa! “Apa sih, Ma? Ganggu Medina lagi baca buku, tau?” Tanpa segan gadis itu menyembur Latifa. Gurat kemarahan terpeta jelas di sepasang matanya yang menatap nyalang.
“Kamu beneran nggak mau ikut?” Latifa bertanya, dengan bahasa isyarat seperti biasa.
“Nggak!”
“Tapi—”
“Pokoknya nggak!”
Latifa menghela napas. Jujur, dia tidak nyaman meninggalkan Medina seorang diri di rumah. Perjalanan yang akan ditempuhnya hari ini terbilang cukup jauh. Acara keluarga yang akan dihadirinya bersama Santi berada di luar kota akan memakan waktu empat jam perjalanan pergi-pulang lewat jalur tol. Membayangkannya saja sudah membuat Latifa merasa lelah. Ditambah kekhawatiran karena meninggalkan Medina tanpa penjagaan membuat perjalanan akan terasa semakin panjang dan menyiksa. Walaupun ini keinginan Medina sendiri dan berulang kali pula Medina tekankan bahwa dia bisa menjaga diri, kekhawatiran itu tetap saja bercokol dan enggan pergi.
Dengan lembut Latifa membelai pipi Medina. Kasih dan sayang yang begitu besar membuat perempuan itu lupa kalau sesaat tadi Medina membentaknya. “Mama minta Mbak Santi buat—”
Tanpa ragu, lagi-lagi Medina memotong omongan Mama. “Medina bisa sendiri di rumah, Ma! Sudah bagus Mbak Santi ikut Mama. Daripada aku, Mama yang jelas-jelas butuh ditemani.” Jelas Medina menolak usulan itu. Kebebasannya yang singkat terancam gagal jika ada Santi.
“Mama usahakan pulang secepatnya.” Begitu janji Latifa. “Kalau ada apa-apa—”
Untuk kesekian kalinya Medina menyela, “Nggak akan ada kejadian apa-apa, Ma.” Gadis berhijab instan polos warna khaki itu juga menambahkan, “Lagian Medina punya mulut buat teriak. Medina nggak gagu—”
“Medina!” teriak Santi murka, tidak menyangka Medina begitu kurang ajar bicara yang menyinggung kekurangan ibu mereka.
Tubuh Medina menegak seperti disengat listrik ribuan volt. Sesaat matanya memejam, membayangkan masalah macam apa yang menunggunya di depan sana. Santi akan dengan senang hati mengadukan kekurangajarannya pada Luthfi. Biar satu dunia membencinya, Medina tidak peduli. Pengecualian bagi Luthfi. Demi apa pun, Luthfi satu-satunya yang tidak pernah masuk dalam daftar orang yang ingin dia jadikan musuh. Kalau sampai papanya itu tahu seperti apa kelakuannya, habislah dunia!
“Jaga omongan kamu, Dek!” tegur Santi penuh penekanan. Tubuhnya yang tinggi menjulang saat berhadapan dengan Medina membuat nyali sang adik ciut. Dipelukannya, Mama tergugu pilu.
“Sorry, aku keceplosan.” Medina menunduk, enggan menatap Santi yang saat ini tampak ingin menelannya bulat-bulat. Santi tak ubahnya induk godzila yang siap menghancurkan siapa saja yang sudah mengusik sarangnya. “Padahal yang Medina bilang tadi nggak salah, kan, Mbak? Tapi … kenapa Mbak malah marah?” Sudah tahu salah, bukannya minta maaf, Medina malah berkeras dan berusaha membalik keadaan.
“Minta maaf sama Mama sekarang!” bentak Santi. Tegas.
Medina mendongak, mengerjap beberapa kali sebelum membuang muka. Sungguh, andai tidak mengkhawatirkan amukan Papa, dia tidak akan sudi bersitatap dengan kakaknya. Tapi, bayangan Papa telanjur menjadi momok menakutkan. “Padahal Mama yang resek duluan, kenapa aku yang disalahin?”
“Kita bicara nanti malam. Mbak harap kamu memanfaatkan waktu sendiri ini untuk merenungi kesalahanmu.” Sadar ini bukan waktu yang tepat untuk bicara, Santi memilih menggiring Latifa pergi. Bicara dari hati ke hati dalam keadaan kepala dingin jelas lebih baik. Nasihatnya mungkin akan lebih cepat Medina pahami. Ya, itupun jika Medina mau diajak bicara.
-***-
Dari terlentang, hingga tengkurap, lantas terlentang lagi, bolak-balik begitu terus berguling ke kiri lalu ke kanan, Medina tidak juga mampu tertidur sesuai keinginannya semula. Bayangan Luthfi hilir mudik dalam benaknya. Luthfi tidak pernah bicara keras padanya. Juga tidak pernah menatap nyalang penuh amarah. Kalau sampai itu terjadi, semua salah Latifa. Santi juga punya andil di dalamnya. Huh! Kekesalannya bertambah-tambah.
“Papa tau nggak, sih, Mama itu yang dulu bikin aku di-bully? Gara-gara Mama juga, aku sampai pernah mikir pengin bunuh diri. Aku nggak bisa menikmati masa-masa SMP yang harusnya menyenangkan. Gara-gara Mama dan semua kekonyolannya itu, aku sampai kehilangan satu per satu teman.”
Medina terisak di kesunyian. Air matanya berlinang membasahi pipi. Angga, alias Anak si Gagu, begitu dulu dia dipanggil oleh teman-temannya. Panggilan bernada ejekan itu bermula dari satu orang terus menyebar seperti wabah dan akrab di pendengaran Medina hingga menyelesaikan masa sekolah menengah pertamanya. Akrab, bukan berarti dia menerima dengan lapang dada. Walaupun fakta, Medina sangat membencinya.
Tidak ada Luthfi di sana, tapi Medina menumpahkan isi hatinya seolah aduannya didengar dan akan mendapatkan tanggapan sang ayah. Medina meringkuk, memeluk diri sendiri yang kesepian. “Aku nggak mau lagi jadi anak cupu kayak dulu. Aku nggak mau diatur-atur seolah aku nggak punya hak bicara dan berbuat. Aku punya otak yang lumayan encer, nggak mungkin aku nggak bisa bedain mana yang baik dan yang buruk. Mama aja yang keterlaluan memperlakukan aku kayak aku ini lemah dan nggak bisa apa-apa!”
Dengan serampangan Medina bangkit, berdiri di tengah kamar menghadap cermin meja rias. Direnggutnya hijab yang masih terpasang di kepalanya. Tanpa perasaan digumpalnya hijab itu lalu dicampakkan ke tempat sampah di bawah meja belajar. Kemarahan dan kekecewaan yang menggunung di hatinya butuh pelampiasan. Tidak cukup sampai di situ, Medina juga merenggut piamanya hingga satu per satu kancing terlepas lalu terpental tak tentu arah.
Bayangan di cermin mengundang kikik tawa Medina. Lucu! Dia persis bocah berbadan bongsor yang polos. Tubuhnya memang meninggi dan membesar, tetapi tidak dengan jiwanya. Tubuh ini seperti penjara yang memerangkap kebebasannya.
Kata Latifa, karena dia perempuan makanya mamanya overprotektif. Omong kosong! Banyak ibu lain di luar sana yang memperlakukan putrinya seperti teman. Memberi kebebasan. Bebas memilih teman. Bebas berpenampilan. Bebas bepergian. Bebas seperti burung yang tidak akan mungkin tersesat atau lupa jalan pulang.
“Sehari ini aja Medina, kamu boleh bersenang-senang,” ucapnya lirih. Perlahan tapi pasti senyumnya mengembang.
Di sisi lain Medina sadar, senyum perempuan dalam cermin itu tidak akan bertahan. Realita yang dia tahu, si pemilik senyum manis itu tetap terikat oleh berbagai aturan. Aturan-aturan yang membuat hidupnya terasa menjemukan, tapi tetap harus dilaksanakan suka atau pun tidak. Tidak ada tawar menawar. Keinginan mengutarakan isi hati selalu diredam. Dia tidak pernah punya pilihan.
“Seenggaknya aku bisa jadi diri sendiri sekarang,” ucap Medina menghibur diri. Ditatapnya sekali lagi pantulan dirinya di cermin meja rias. Rambut hitam sepunggungnya telah berganti dengan tatanan yang lebih bergaya.
Medina menarikan jarinya dengan perlahan menyisir rambut yang kini panjangnya hanya menyentuh bahu. Warnanya juga sudah berubah. Ungu kehitaman. Atau hitam kebiruan. Dia tidak tahu mana sebutan yang pas. Meski hasil mewarnai sendiri dengan pewarna rambut instan yang dibelinya di minimarket, tapi ini saja sudah membuatnya merasa cukup puas.
“Kalau ada kesempatan atau waktu yang lebih longgar, aku mau cat rambut di salon supaya warnanya lebih bagus dan awet.” Medina masih bermonolog. Sebenarnya, inilah yang menyebabkan di rumah pun Medina selalu mengenakan hijabnya. Hijabnya tanggal saat Medina sendiri di dalam kamar. Itu pun dalam keadaan pintu terkunci.
“Sayang banget berat badanku cuma turun sekilo.” Bibir Medina sedikit melengkung ke bawah. “Apa perlu aku makan sehari sekali aja?” Ide konyol yang langsung ditepis dengan gelengan cepat. Sadar penyakit tukak lambungnya berisiko tinggi kambuh jika pola makannya berantakan lebih dari sekarang, Medina takut mati muda.
Cukup lama Medina menari-nari dengan tubuh nyaris tanpa busana. Sudah seperti orang gila saja. Medina yang lupa diri, kembali tertarik pada dunia setelah ponselnya berteriak meminta perhatian.
Melihat nama Zean terpampang di layar ponsel, Medina mengerjap tak percaya. Panggilan berhenti, lantas berganti menjadi sebuah notifikasi. Zean datang lagi!
(Kak Zee_AN:)
Kamu apa kabar, Darl?
Nggak kangen aku, kah?
Aku sakit dan lagi butuh bantuan.
Please, help me ….