Hari-hari Kiran berlalu seperti sapuan kuas yang tak pernah selesai. Setiap goresan warna di kanvasnya terasa berat, seperti beban yang terus menekan dada. Ayah terus menuntutnya untuk melepas mimpinya, menggantinya dengan janji-janji perusahaan yang penuh tekanan.
Di kantor ayahnya, ruang-ruang kerja yang besar dan dingin terasa asing bagi Kiran. Lantainya berderak pelan saat ia berjalan menelusuri lorong-lorong panjang yang dipenuhi dengan pegawai yang sibuk berbicara dalam bahasa bisnis yang ia belum kuasai. Semuanya tampak begitu serius, kontras dengan dunia warna dan lukisan yang selalu ia rindukan.
Di sebuah persimpangan lorong, saat ia hendak masuk ke ruang kerjanya, sebuah suara ceria tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Hai! Kamu pasti Kiran, ya? Aku Flo, bagian dari tim marketing di lantai sebelah.” Seorang perempuan muda dengan rambut ikal dan senyum lebar itu mengulurkan tangan.
Kiran menatap tangan yang terulur itu, sedikit terkejut, lalu membalas dengan senyum pelan. “Iya, aku Kiran. Senang bertemu denganmu, Flo.”
Flo menarik Kiran untuk berjalan bersamanya sambil berbicara ringan. “Jangan khawatir, aku juga baru di sini. Tapi kalau kamu butuh teman buat curhat atau sekadar ngopi, aku selalu ada.”
Kiran merasa sedikit lega, seperti menemukan warna baru di ruang abu-abu kantornya.
“Terima kasih, Flo. Aku... mungkin akan sering mampir ke mejamu.”
Sambil berjalan bersama, Flo bertanya dengan antusias, “Gimana sih rasanya kerja di sini? Keren ya, bisa satu kantor sama Pak Adi.”
Kiran menghela napas, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Iya... Ayah memang punya ekspektasi besar. Kadang aku merasa harus jadi orang lain.”
Flo menepuk bahu Kiran dengan lembut. “Santai aja. Kamu bukan cuma anak Pak Adi. Kamu punya cerita dan warna sendiri. Jangan sampai itu hilang, ya.”
Kiran mengangguk pelan. Pesan itu menghangatkan hatinya.
Flo duduk di kursi sebelah, membuka notebook-nya. “Kalau kamu butuh bantuan untuk adaptasi atau ngerti istilah bisnis yang ribet, jangan sungkan bilang aku, ya. Aku lumayan jago buat urusan itu.”
Kiran tersenyum, merasa ada teman yang mengerti setidaknya sedikit dunianya sekarang.
Namun, pikiran Kiran sesekali melayang ke kanvas dan kuas yang tersimpan di rumah, pada Ray dan foto yang masih tertinggal di taman. Di antara hiruk-pikuk kantor dan tekanan ayahnya, dia bertanya-tanya kapan ia bisa kembali menemukan warna hidupnya.
Flo yang menangkap keraguan di mata Kiran berkata, “Nanti malam aku ajak kamu ke tempat nongkrong yang asik. Bisa jadi pelarian dari rutinitas yang membosankan ini.”
Kiran mengangguk pelan, rasa harap kecil mulai tumbuh di hatinya.
***
Malam itu, Jakarta tampak lebih lembut. Lampu-lampu kota berkilauan seperti bintang yang turun ke bumi, memantul di jendela kafe kecil bergaya retro di sudut jalan. Di dalam, denting gelas dan tawa pelan beradu dengan musik jazz pelan dari pengeras suara. Kiran duduk berhadapan dengan Flo, dengan dua gelas cokelat panas mengepul di antara mereka.
“Aku suka tempat ini,” ujar Kiran, matanya menyusuri dinding yang penuh lukisan dan sketsa hasil karya seniman lokal.
“Ya, tempat ini semacam... pelarian dari realita,” sahut Flo sambil menyandarkan punggung di kursinya. “Aku suka datang ke sini kalau hari terasa terlalu serius.”
Kiran tersenyum kecil, lalu menatap ke luar jendela. “Terima kasih udah ajak aku ke sini. Aku butuh ini. Kayaknya... aku udah terlalu lama diam.”
“Kadang, diam juga bentuk bertahan, Kir. Tapi kamu nggak sendiri, oke?”
Kiran menoleh, mata mereka bertemu. Ada semacam isyarat hangat yang tak perlu dijelaskan. Mungkin begini rasanya punya teman yang bisa dipercaya. Tanpa tekanan. Tanpa ekspektasi.
Mereka menghabiskan waktu dengan obrolan ringan tentang musik, tentang film, bahkan tentang menu kafe yang aneh-aneh. Saat jarum jam mendekati pukul sembilan, Kiran menggenggam cangkirnya lebih erat.
“Flo,” katanya tiba-tiba, “boleh minta tolong?”
Flo mengangkat alis. “Tentu. Mau ngapain?”
“Aku... mau mampir ke taman deket halte. Ada sesuatu yang harus aku ambil. Nggak akan lama.”
Flo tidak banyak tanya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk. “Ayo. Tapi habis itu kamu harus traktir aku gorengan di pinggir jalan.”
Taman itu sepi malam ini. Hanya ada lampu jalan dan beberapa kursi kosong yang menyisakan bayangan panjang. Suara kendaraan samar terdengar dari kejauhan. Angin malam menyentuh pipi Kiran ketika ia melangkah perlahan ke arah bangku tempat ia pernah duduk bersama Ray.
Bangku itu masih sama. Tapi sekarang, di ujungnya, tergeletak sebuah amplop cokelat lusuh, terikat dengan pita kecil berwarna hijau. Kiran berhenti sejenak. Jantungnya berdebar pelan. Ia menoleh ke arah Flo, yang menunggu di sisi mobil, memberi ruang tanpa bertanya.
Kiran duduk perlahan. Jemarinya menyentuh amplop itu seakan takut merusaknya. Ia membukanya pelan.
Di dalamnya, satu lembar foto.
Wajahnya. Duduk di taman itu. Sinar matahari sore menyentuh pipinya, dan latar bunga-bunga yang layu justru membuatnya tampak lebih hidup. Ada tulisan kecil di belakangnya, dengan tinta hitam.
"Bunga nggak selalu mekar tiap musim. Tapi yang layu pun masih bisa dikenang. Kamu bukan bunga biasa, Kir." —Ray
Kiran mengatupkan amplop itu ke dadanya. Matanya memejam. Ia tak tahu harus tersenyum atau menangis. Tapi satu hal pasti ia merasa dilihat. Dihargai. Dikenali bukan karena nama keluarganya, tapi karena dirinya sendiri.
Dari kejauhan, Flo melambai. “Kir! Gimana? Udah?”
Kiran berdiri perlahan. Ia berjalan kembali ke mobil dengan amplop di tangan, dan sebelum masuk, ia menatap langit sebentar.
Di dunia yang terus menuntutnya untuk berubah, malam ini Kiran merasa punya alasan untuk tetap jadi dirinya.
Jika boleh bertanya dan Puan berkenan menjawab, referensi buku-buku apa yang puan baca (1 saja cukup), sehingga bisa menciptakan karya tulis yang hidup seperti ini? 👌
Comment on chapter Prolog