Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumbuh Layu
MENU
About Us  

Hari ini ibu menemani Kiran merapikan rambut hitam panjangnya sambil menyerahkan sebuah kartu nama yang siap disangkutkan di saku kiri putrinya.
“Kiran, ini akan jadi pengalaman hebat buat kamu. Kamu harus banyak belajar di sana.”
Senyum manis ibu yang disodorkan hanya terbalas dengan anggukan pelan penuh keraguan.

Matanya kembali menoleh ke lukisan yang terpajang, penuh tanya, “Apakah lukisan ini akan selesai dalam waktu cepat?”

Di mobil, Kiran hanya memandangi jalan yang ramai dan riuh, namun suara itu seolah tak terdengar olehnya, mungkin karena ia menutup diri dari hal-hal seperti itu.
Ayah, yang duduk di samping Pak Woko, supir pribadinya, membalikkan wajahnya ke arah Kiran, lalu kembali menatap ponselnya yang sibuk dengan notifikasi pekerjaan.

“Pak, ini laporan yang Bapak minta untuk meeting hari ini,” ujar perempuan ber-heel tinggi sambil meletakkan tumpukan kertas dan map merah di depan ayah.
“Oh ya, terima kasih,” jawab ayah sambil tersenyum, yang hanya bisa dilihat dari mata kiri Kiran yang duduk tak jauh dari tempat ayah menerima dokumen itu.

Ayah berdiri tegap, jasnya tampak pas melekat pada tubuhnya yang tinggi.
“Tampannya Ayah tak setampan keputusannya mengajakku datang di tengah diskusi membosankan ini,” pikir Kiran yang hanya bisa memalsukan ekspresi agar tetap profesional di hadapan rekan-rekan kerja ayah.

Ayah benar-benar menyebut nama Kiran. Ia tidak siap jika harus berhadapan langsung dengan orang-orang penting di kantor itu. Mungkinkah ayah akan membuatnya gila sesaat? Untungnya, itu hanya perkenalan sederhana, membuat semua mata tertuju pada Kiran dan memaksanya membalas dengan senyuman.

“Mba Kiran, hari ini saya akan menemani Mba berkeliling kantor dan melihat ruang kerja Mba,” kata wanita ber-heel tinggi itu, kembali membuat Kiran berlagak seperti wanita perfeksionis yang siap naik jabatan.

“Kiran,” panggil ayah, memintanya pulang terlebih dahulu setelah berkeliling dengan Sasa. Iya, namanya Ka Sasa, wanita yang baru dikenalnya lima detik yang lalu.

Kantornya cukup luas, mungkin muat untuk pendemo yang mengantri es teh manis, pikir Kiran. Ia banyak bertanya hal-hal yang tak begitu penting hanya untuk meredakan rasa kesalnya, dan agar saat ayah bertanya tentang Sasa, ia bisa berbicara.

“Ka, Ka Sasa pernah punya cita-cita nggak?”
Pertanyaan itu benar-benar keluar dari mulutnya tanpa sadar.

“Punya dong, Mba. Dulu saya mau jadi pengacara.”
“Loh, bagus itu cita-citanya, kenapa malah kerja di sini, Ka?”
Kiran yakin wanita itu bingung, apakah Kiran ini benar putri tunggal Pak Adi.

“Rejeki saya di sini, Mba Kiran. Perjalanan dan perjuangannya panjang, saya pikir kalau terus mengejar apa yang kita inginkan, kita tak akan pernah sampai.”

Kalimat Ka Sasa belum membuat Kiran mengerti maksud dari mimpi yang ‘hilang.’

Hilang? Kiran memang menganggap mimpinya hilang. Ia pun bertanya-tanya, mengapa Ka Sasa tidak merasakan hal yang sama.

***

“Mba Kiran, kenapa murung begitu?” Lelaki berumur sekitar empat puluh enam atau empat puluh tujuh tahun itu mungkin merasakan apa yang dirasakan gadis yang dikenalnya sejak lima belas tahun lalu.

Keluarganya tinggal di kampung, dengan satu istri dan dua anak. Ia sangat mengenal ayah Kiran, dan begitu pula sebaliknya. Mungkin itu sebabnya Pak Woko bisa bertahan lama bekerja dibandingkan kerja di pabrik.

“Gak apa-apa, Pak. Aku cuma bingung kenapa cinta orang tua harus dibungkus dengan patuh, sedangkan cinta seharusnya membuat damai,” jawab Kiran pelan, berharap Pak Woko mengerti maksudnya.

“Ayah dan Ibu sayang sama Mba Kiran,” ujar Pak Woko singkat.

Namun jawaban itu tak membuat hati Kiran terbuka atau mengerti arti patuh yang melapisi kata sayang.

Jalanan padat, bahkan berhenti beberapa menit, tapi kembali melonggar setelah sekitar lima kilometer sebelum sampai di rumah putih dengan halaman luas yang mungkin bisa untuk gajah Afrika berbaring.

***

Ibu dibantu Bi Sirni memasak makanan favorit ayah, udang bakar Jimbaran. Menurut Bi Sirni, sejak ayah pulang dari Bali saat Kiran berumur sepuluh tahun, udang bakar ini jadi favorit ayah.

“Kiran, besok mau ikut Ayah meeting dulu atau berangkat sendiri?” tanya ibu.

Kiran tahu dia akan mulai ke kantor setiap hari untuk menjalani program studi magangnya.
“Yah, Kiran bisa cari sendiri tempat magang. Gak harus sama Ayah, kan?”

Meja makan terasa tidak nyaman ketika Kiran sadar harus selalu menyiapkan jawaban soal CV Adiputra itu.

“Ayah itu ngasih kamu enak, loh. Kamu bisa langsung magang, Ayah bantu urus. Mau kamu apa? Bermain dengan kuas dan punya masa depan abu-abu itu?”

“Masih kamu simpen lukisan-lukisan itu? Mana sini, Ayah lihat. Masih suka melukis kamu?”

Ibu memang mirip Ayah. Bukan sama, mungkin hanya karena ibu tak ingin Ayah tahu kalau putrinya masih melukis.

“Apa salahnya, Yah, melukis? Apa aku gak nurutin Ayah selama ini? Dari SMP, sampai ambil jurusan manajemen, aku ikut Ayah meeting, semuanya bukan patuh sama Ayah?”

Air mata mengalir, pertanda amarah Kiran meledak karena ayah menyinggung soal itu. Ia belum selesai makan dan pergi meninggalkan meja.

Malam itu, Kiran tidak nafsu makan.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • life

    Jika boleh bertanya dan Puan berkenan menjawab, referensi buku-buku apa yang puan baca (1 saja cukup), sehingga bisa menciptakan karya tulis yang hidup seperti ini? 👌

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
6188      1243     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Paint of Pain
1084      736     33     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
SUN DARK
409      262     1     
Short Story
Baca aja, tarik kesimpulan kalian sendiri, biar lebih asik hehe
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
785      531     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Dira dan Aga
547      376     3     
Short Story
cerita ini mengisahkan tentang perjalanan cinta Dira
Perjalanan yang Takkan Usai
396      319     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Penerang Dalam Duka
983      530     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Ojek
854      591     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
The First
521      376     0     
Short Story
Aveen, seorang gadis19 tahun yang memiliki penyakit \"The First\". Ia sangatlah minder bertemu dengan orang baru, sangat cuek hingga kadang mati rasa. Banyak orang mengira dirinya aneh karena Aveen tak bisa membangun kesan pertama dengan baik. Aveen memutuskan untuk menceritakan penyakitnya itu kepada Mira, sahabatnya. Mira memberikan saran agar Aveen sering berlatih bertemu orang baru dan mengaj...
Magelang, Je t`aime!
675      507     0     
Short Story
Magelang kota yang jauh itu adalah kota tua yang dingin dan tinggal orang-orang lebut. Kecuali orang-orang yang datang untuk jadi tentara. Jika kalian keluar rumah pada sore hari dan naik bus kota untuk berkeliling melihat senja dan siluet. Kalian akan sepakat denganku. bahwa Magelang adalah atlantis yang hilang. Ngomong-ngomong itu bukanlah omong kosong. Pernyatanku tadi dibuktikan dengan data-d...