Loading...
Logo TinLit
Read Story - DocDetec
MENU
About Us  

Han kira, inilah akhirnya. Semua sudah berakhir, tidak akan ada lagi yang terjadi.

Penelitian sudah dikembalikan, mereka bisa mengikuti pameran dengan tenang, anggota yang lengkap. Arin yang sebelumnya memutuskan berhenti juga telah kembali untuk berjuang bersama.

Namun, masalah mereka tidak hanya sampai di sana.

“Jawab aku, Jibar. Kenapa Bona menghubungimu?”

Han meneriaki Jibar, keras sekali, membuat seluruh anggota tim menoleh, berhenti pada kegiatan masing-masing. Mereka segera mendekat ingin tahu.

“Ada apa ini, Han?” Bulan yang tengah melipat origami untuk hiasan sambil duduk di kursi yang tak jauh dari keduanya mendekat, menyentuh bahu Han, bertanya lembut. Namun Han tidak menghiraukan pertanyaan Bulan, wajahnya merah padam, rahangnya mengeras, urat di pelipis dan lehernya terlihat. Han mencengkram ponsel Jibar sambil menuding wajah rekannya itu.

“Kubilang jelaskan! Apa maksud pesan ini?” Tanya Han lagi. Suaranya terdengar gemetar menahan amarah yang besar, matanya berair.

Jibar tampak terkejut. Napasnya tercekat. Dia menatap ponselnya yang berada di tangan Han, menduga apa yang baru saja Han lihat di sana. Jibar menggigit bibirnya, dia hendak menjawab, menjelaskan, tapi suaranya seperti menghilang.

Tidak mendapat jawaban, Han melempar ponsel Jibar ke meja, dia melompat ke arah Jibar, menarik kerah pria itu, siap melayangkan pukulan. Keduanya tersungkur, Jibar jatuh lebih dulu di permukaan lapangan yang terbuat dari semen. Ryan yang baru sampai dari mengangkat meja bersama Naila segera menahan Han begitu melihat kawannya kehilangan kendali.

“Han, tenanglah! Kekerasan tidak menyelesaikan apapun! Jelaskan pada kami, apa yang membuat kalian bertengkar kali ini?!” Ryan mencengkram bahu Han dari belakang, menahan pukulan yang hendak dilayangkan pada tulang pipi Jibar yang kurus itu. Ryan sungguh tidak mengerti apa yang terjadi. Baru beberapa menit lalu Jibar dan Han tampak akrab, mengobrol sambil saling merangkul, saling ledek, berlomba membuat origami seperti bocah. Sebelum Han pergi membelikan es cincau untuk tim, semuanya tampak baik-baik saja. Namun tiba-tiba pertengkaran terjadi, Ryan bahkan tidak tahu Han sudah kembali dari kantin, membawa pulang es cincau.

Siswa dari stan lain turut berkerumun melihat keributan, tetapi Han tidak peduli. Dia berusaha melepas pegangan Ryan, bernafsu sekali ingin memukul Jibar yang menunjukkan wajah... yang tidak dapat dibaca oleh Han. Wajah yang bersalah, namun wajah itu tidak terlihat pantas untuk dilihatnya.

"Kau tidak tahu, Ryan! Kau tidak tahu..." Han mulai menangis. Dia melepaskan Jibar yang berada dalam cengkramannya, mulai menangis. Bahu Han bergetar. "Kau tidak tahu... dialah pengkhianatnya!"

Lengang, seluruh anggota yang hendak memisahkan mereka juga terhenti. Bulan, Ryan, Naila, termangu di tempatnya.

Han menatap Jibar penuh kekecewaan, dia menunjuk wajah Jibar.

“Orang inilah yang membuat kita bersusah payah selama ini.”

"Apa?"

Han menghapus kasar air mata yang membasahi pipinya, dia mendorong Jibar, berdiri.

"Dialah pengkhianat yang membocorkan rencana kita! Dialah yang membuat Bona tahu tentang penelitian dan membantu Bona mencurinya!"

"Han... kau salah paham..." Jibar berusaha membela diri, dia meringis karena merasa perih pada lengan kanannya yang sepertinya terluka karena tersungkur didorong Han.

"Kalau memang hanya salah paham, coba jelaskan! Jelaskan padaku sesuatu yang masuk akal. Jelaskan apa maksud dari pesan itu."

Jibar terdiam, tidak bisa menjawab. Han menendang kakinya, sebelum pergi menjauh, Han berkata dengan suara bergetar, "Gila. Aku sangat percaya padamu, Jibar. Rupanya... rupanya kau begini pada kami. Bisa-bisanya kau berpura-pura berjuang bersama, padahal sesungguhnya kau berniat menusuk kami dari belakang tepat di akhir perjuangan seperti ini demi keuntungan pribadimu."

Ryan menatap kepergian Han, tidak menahannya karena kakinya terasa dipaku di tempatnya berdiri. Informasi yang dikatakan Han tidak dapat menembus kepalanya. Apa yang katanya tadi? Jibar penghianatnya?

Ryan tidak terbiasa menangis. Dia juga tidak mudah terpengaruh oleh emosi. Tapi, kemarahan langsung menguasai dirinya. Tanpa sadar, matanya turut memanas.

Selama satu tahun mereka menghabiskan waktu bersama, belajar, berdiskusi, Ryan mempercayai seluruh anggota timnya. Sekalipun, rekan lain sempat mencurigai Naila dan Davine sebagai pelakunya, Ryan tidak berkomentar apa-apa karena sesungguhnya dia tidak curiga sama sekali pada mereka. Ryan bekerja dengan hanya mengikuti perintah Arin dan percaya perempuan itu bisa menangkap pelakunya. Diam-diam, Ryan selalu berharap itu bukan Naila ataupun Davine, berusaha terus berpikir secara logis bahwa mereka bisa saja bukan pelakunya sampai akhir karena mereka menyelidiki 21 orang tersangka. Itu karena Ryan selalu menghargai pertemanan dan waktu yang mereka habiskan bersama.

Namun, Ryan yang selalu logis juga punya perasaan. Dia senang sekali ketika Arin berkata bahwa pelakunya bukan anggota timnya. Tapi, apalagi sekarang ini?

Ryan menunduk, menatap Jibar yang tersungkur. Matanya yang berair menunduk penuh harap.

“Jibar, jelaskan apa maksud kalimat Han tadi.”

Jibar masih bergeming. Ryan akhirnya memahami apa yang mendasari amukan Han, apa yang membuat Han kehilangan kendali.

“JELASKAN APA YANG DIMAKSUD DENGAN BERKHIANAT TADI, JIBAR! JELASKAN PADAKU KENAPA KAU BERSEKUTU DENGAN BONA!” Suara Ryan menggelegar, siapapun bisa tahu seberapa marah dia sekarang. Namun, kekecewaannya berada di atas itu semua.

Semua anggota ikut bergeming, terlalu terkejut untuk memproses kejadian saat ini. Baru beberapa menit lalu mereka merayakan kembalinya penelitian, merancang stan bersama-sama, menyusun rencana kalau Bapak Menteri melihat karya mereka ini. Tapi sekarang, mereka dikejutkan dengan hal yang tidak diduga-duga. Ada pengkhianat di antara mereka.

Semua orang terlalu terkejut untuk sekadar bicara. Tapi yang jelas, mereka semua merasa kecewa. Jibar yang dituding juga tidak merespon sama sekali, seolah membenarkan seluruh tuduhan.

Ryan mengepalkan tangan, bersiap memukul juga.

Namun, belum sempat dia menyayunkan tangan, Arin sudah lebih dulu datang, menarik Jibar berdiri, memukul tulang pipinya. Arin sejak tadi ada di belakang stan, membantu staf sekolah memperbaiki tiang tenda. Dia tidak ikut campur dan sudah mendengar segalanya, berusaha tetap tenang, memproses segala yang terjadi. Tapi, Arin malah ikut kehilangan kendali, tidak bisa menahan tangannya.

"Harusnya... dari awal kau jangan bergabung dengan kami, jangan menjalin pertemanan dengan kami, dan membuat aku percaya padamu."

Jibar masih mengunci mulutnya meski Arin terus memukulnya. Dia tidak melawan karena merasa malu, merasa bersalah.

Arin melepaskan cengkramannya pada kerah Jibar, mendorong pria itu, kemudian pergi meninggalkan kerumunan. Dari belakang, Bulan mengejar Arin.

 

Tidak ada satupun anggota yang berniat membantu Jibar, bahkan Kanali teman sebangkunya.

"Aku tidak pernah sekalipun berpikir kau berniat melakukan ini pada kami. Aku menyesal pernah mengira kau rekan yang baik."

Setelah mengatakan itu, Ryan pergi dengan napas tersengal. Dia terlalu marah untuk melihat wajah Jibar lebih lama lagi. Satu persatu anggota lain ikut pergi dengan meninggalkan wajah yang sama, marah, kecewa.

Jibar mendesis, berusaha duduk dengan benar. Dia memeriksa lengannya yang terluka karena Han tadi mendorongnya sampai dia tersungkur di permukaaan lapangan yang kasar, juga tulang pipinya yang perih karena Arin menonjoknya di sana. Namun, Jibar tidak memiliki kekesalan sedikitpun karena sudah diperlakukan begitu. Dia pantas mendapatkannya. Dia pantas untuk dipukul. Bahkan, luka segini saja sudah sangat mending. Jibar tadi berpikir, mungkin dia akan pulang setelah lebam-lebam dihabisi Ryan yang luar biasa menakutkan wajahnya saat marah.

Jibar tertegun ketika sebuah uluran tangan datang. Dia mendongak kaget. Jibar mengira, semua anggota telah meninggalkannya. Tapi rupanya, tersisa satu orang. Naila masih berdiri di sana, menawarkan uluran tangan padanya.

 

***

 

Arin sangat marah. Dia mencari Bona ke seluruh penjuru sekolah.

Arin tidak terima. Ini sudah keterlaluan. Arin tidak peduli bahwa penelitian itu sudah dikembalikan dan mereka kembali bisa mengikuti pameran. Dia tetap akan memukul Bona dan menyebarkan kasus yang mereka tangani ini kepada seluruh wali murid. Perempuan itu perlu diberi pelajaran.

Tetapi, Arin tidak menemukan Bona dimanapun.

Dia tidak ada di kelas, tidak ada di lapangan sepak bola yang digunakan sebagai lokasi class meeting, tidak ada di stan-stan yang sedang dipersiapkan di lapangan belakang. Dia tidak ada dimanapun.

Arin mendengus ketika melihat bahwa Bona juga tidak terlihat di kantin.

"Jadi sekarang dia sedang bersembunyi di balik ketiak ayahnya karena ketakutan?" Gumam Arin kesal.

Di saat Arin menyusuri kantin, seseorang menepuk bahunya.

Arin menoleh. Itu Hamin, kawan sekelasnya.

"Arin, kepala sekolah memanggilmu."

Ini dia. Arin menebak-nebak apakah panggilan ini akan berhubungan dengan penelitian mereka atau tidak, tapi, Arin berharap di sana dia bertemu Bona dan memukulnya di depan wajah ayahnya yang selalu membela putrinya itu.

Arin mengangguk, memberitahu Hamin bahwa dia akan pergi ke sana. Namun, Bulan yang sejak tadi mengikuti Arin menahan pergelangan tangan kanannya.

“Aku ikut.” Ujar Bulan tegas. Dia ingin menahan Arin kalau saja kawannya itu berencana membuat keributan.

“Jangan, Bulan, yang dipanggil hanya aku. Kau tidak usah ikut campur.”

“Aku ikut! Jangan membuat kekacauan, Arin.” Tegasnya sekali lagi, menggenggam pergelangan tangan kanan Arin lebih erat, tidak mau kalah. Bulan tidak peduli Arin bilang dia ikut campur. Bulan tidak boleh membiarkan Arin membuat keributan di kantor kepala sekolah, gadis itu bisa dikeluarkan jika melakukannya.

“Kau tahu dari mana aku akan membuat kekacauan?”

“Aku paham tempramenmu. Kau sangat marah karena Bona keterlaluan, hendak menjatuhkanmu sampai membawa orang masuk ke tim kita. Kau marah karena merasa telah dikhianati orang yang kau percaya. Tapi kau lebih marah dengan dalang dari tindakan si pengkhianat. Kumohon, jangan membuat keributan, Arin. Aku memikirkan dampaknya terhadap masa depanmu. Sudah kubilang, kau bisa dikeluarkan!” Bulan yang selalu diam, tidak banyak bicara, kali ini mengomel begitu cepat, begitu bertenaga. Kalau situasinya tidak sedang serius, Arin bisa saja meledek Bulan. Tetapi, sekarang bukan saatnya.

Arin menghela napas, dia menggeleng. “Aku takkan membuat keributan. Aku bahkan tidak tahu aku dipanggil untuk apa dan karena apa.”

“Bohong! Kalau kau menemukan Bona di sana, aku yakin kau pasti akan langsung memukulnya, kan? Itu terlihat jelas di wajahmu.”

Arin mengumpat dalam hati, kenapa Bulan bisa tahu isi kepalanya, sih?

“Apapun itu, kau tetap tak bisa ikut denganku. Hanya aku yang dipanggil ke sana.”

“Aku akan menunggu di luar.”

Arin yang berusaha menarik tangannya lepas dari cengkraman Bulan mendesah frustasi, sejak kapan Bulan menjadi keras kepala begini?

“Tapi…”

“Aku ikut! Dan berjanjilah kau takkan membuat keributan.”

“Aku tak bisa janji, Bulan.”

“Tidak, kau harus berjanji padaku! Aku tidak mau melihat kau dikeluarkan saat kita tinggal satu semester lagi lulus. Arin, aku akan membantumu menguak kasus ini. Setidaknya, kita akan mendapat keadilan dan para wali tahu bahwa kepala sekolah sudah bertingkah tidak adil karena anaknya. Telah terjadi nepotisme di sekolah ini. Namun, untuk sekarang, apapun yang terjadi, apapun yang akan kepala sekolah bicarakan padamu nanti, bersabarlah dulu.”

Bulan terus membujuk, dia memperkuat cengkramannya. Bulan tidak mengizinkan Arin beranjak sampai permintaannya dipenuhi, sampai Arin berjanji padanya.

Arin menatap Bulan yang hanya lebih pendek beberapa senti darinya dengan hati berat, dia berpikir sejenak. Akhirnya, setelah beberapa detik berpikir, Arin memutuskan mengalah. Bulan ada benarnya, sangat disayangkan kalau dia membuat masalah tepat satu semester sebelum lulus. Arin baru saja hendak membuat keputusan impulsif yang akan dia sesali nantinya kalau saja Bulan tidak menahannya.

“Baiklah, aku berjanji.”

Bulan berseru senang, dia tersenyum getir.

“Ayo kita ke ruang kepala sekolah. Aku akan menunggu di luar sampai kau selesai.” Bulan menggandeng Arin, berjalan keluar dari kantin.

 

Sampai gedung administrasi, Bulan menunggu di luar sesuai permintaannya, sementara Arin masuk ke ruang kepala sekolah setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk.

Arin mendesah lega saat dilihatnya tidak ada Bona di ruangan itu. Niatnya memukul jadi urung, dia tidak perlu membuat masalah karena emosinya terpancing kalau melihat wajah menyebalkan musuhnya itu.

“Arin Tarim, XII IPA 1, silahkan duduk.” Kepala sekolah menyambut Arin. Arin mengangguk, kemudian menarik kursi di depan meja kepala sekolah, duduk di sana.

“Saya akan langsung bicara intinya saja. Saya akan menarik rekomendasi kamu sebagai siswa terbaik tahun ini.”

“Apa…?”

Arin mencengkram kaki kursi yang didudukinya. Kepalanya seketika kacau, dengan gemetar, dia menatap mata kepala sekolah. Ada amarah besar yang bersarang di hatinya sekarang. Arin bisa meledak kapan saja kalau dia tidak berusaha sekuat tenaga untuk menahan emosinya. Terbata-bata, Arin bertanya. “Kenapa ditarik, Pak? Apa yang saya lakukan?”

“Kau memerintah kawanmu menyusup masuk ke sini tiga hari lalu, kan?"

Arin membelalak. Bagaimana kepala sekolah bisa tahu? Rencana tersebut berhasil mereka laksanakan tanpa ketahuan. Apa yang mereka lewatkan?

Ah... Arin tertegun. Dia baru ingat. Ada pengkhianat. Wajar saja jika mereka aksi mereka kemarin ketahuan.

"Saya juga akan langsung saja. Bapak bertindak tidak adil pada klub biologi karena putri bapak membenci saya, kan? Bapak tahu putri bapak mencuri penelitian kami dan berusaha menutupinya dengan tidak memperbolehkan kami meminta data ukuran kaki, melarang polisi menyelidiki. Padahal, kalau ini memang pencurian yang dilakukan oleh pihak luar dan berpotensi bahaya karena bisa saja terjadi pencurian barang lain, bapak pasti akan memanggil polisi, lalu kasusnya bisa selesai dengan cepat."

Kepala sekolah terlihat berat hati mendengar penuturan Arin. Dia mengurut pelipisnya.

"Saya tahu." Kepala sekolah menjawab dengan suara serak, wajahnya menunjukkan keraguan. Tampaknya, dia pun mengalami kesulitan karena kelakukan putrinya. Tapi itu justru membuat Arin ingin menggebrak meja sangking marahnya. Bagaimana mungkin orang dewasa bertindak seperti ini? Bagaimana mungkin seorang ayah bahkan tidak bisa menangan putrinya sendiri?

“Pak, saya tidak mengerti kenapa mengancam saya dengan cara seperti ini sementara di sini bukan kami yang bersalah. Sebetulnya, apa tujuan bapak memanggil saya?”

“Saya ingin kamu menghapus seluruh bukti hasil penyelidikan.”

Arin terkekeh remeh, tidak lagi bisa menahan amarahnya. Arin sudah menduga apa yang akan keluar dari bibir si kepala sekolah, tapi dia tidak kuasa ketika mendengarnya langsung. Selama ini, tidak pernah ada dalam pikirannya bahwa mimpinya akan berusaha dipadamkan oleh seseorang hanya karena orang tersebut merasa iri padanya. Di titik ini, Arin merasa serba salah. Dia bahkan merasa masuk ke sekolah ini dari awal merupakan sebuah kesalahan.

Tapi, itu hal yang sama sekali tidak bisa Arin kendalikan. Takdir bahwa anak kepala sekolah memiliki ambisi yang mirip dengan ambisinya, takdir bahwa anak kepala sekolah memonopoli kekuasaan ayahnya untuk membuat murid lain jatuh, takdir bahwa Arin memperjuangkan sesuatu yang seharusnya tidak sia-sia namun menjadi begitu karena dia bertarung di tempat yang salah.

“Saya sungguh tidak menyangka akan mendengar permintaan ancaman seperti itu. Apa bapak selalu seperti ini ketika melindungi putri bapak yang baru saja melakukan kesalahan? Melindunginya dengan menggunakan kekuasaan dan merugikan orang lain? Bapak sadar bahwa putri bapak melakukan tindak kriminal hanya karena dia iri pada seseorang, kan? Lantas apa alasan untuk membenarkan tindakan putri bapak ini? Semakin bapak biarkan, putri bapak akan…”

“Saya tahu Arin Tarim.” Kepala sekolah memotong. “Tapi inilah yang bisa saya lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang mengganggu kinerja saya ini. Saya akan pastikan hal seperti ini tidak terjadi lagi. Saya tidak memanggil kamu untuk mendebat saya dengan hal-hal yang sudah saya tahu.”

“Saya tidak sangka bapak akan seperti ini. “

“Penawarannya hanya dua. Hapus seluruh hasil penyelidikan ilegal itu dan kamu bisa lulus dengan aman, saya takkan mengusut kasusnya. Atau, kamu dikeluarkan dengan tidak terhormat bersama teman-temanmu karena melakukan aksi pencurian data siswa lain di ruangan kepala sekolah. Pilihan pertama adalah pilihan terbaik, karena kamu sekalian menyelamatkan teman-temanmu.”

“Tapi, bagaimana dengan surat rekomendasi saya? Tanpa itu, saya tidak bisa masuk perguruan tinggi yang bagus.”

“Saya tidak bisa mengeluarkan itu karena kamu telah melakukan pelanggaran fatal.”

Seluruh tubuh Arin seperti kaku, pipinya basah, bibirnya gemetar. “Tapi… tapi kami mencurinya karena bapak tidak mau memberikannya. Itu karena bapak berusaha menutupi kejahatan putri bapak. Lantas kenapa bapak harus menghukum saya?”

“Saya harus menghukum kamu, begitulah peraturannya. Ini sudah keputusan hukuman paling ringan. Kamu ketahuan mencuri.”

“Putri bapak juga ketahuan mencuri!” Arin berteriak, dia benar-benar sudah kehabisan rasa sabar yang dia punya. “Dia merugikan saya, merugikan seluruh klub biologi dan merugikan bapak!”

Kepala sekolah mendesah berat. “Kalian merugikan seluruh siswa di sekolah ini dengan mencuri data mereka.”

Arin terus membela diri meski suaranya sudah serak, air mata membuat sembab pipinya. Dia tidak lagi peduli bahwa sekarang dia sedang berada di depan kepala sekolah. Sebab, tidak adil tetaplah tidak adil sekalipun yang melakukannya adalah orang yang mengukur keadilan di sekolah ini. “Kami hanya melihat data ukuran sepatu karena itulah satu-satunya yang kami punya untuk melanjutkan penyelidikan, untuk mendapatkan keadilan. Mengapa bapak perlu mencatat itu sebagai pelanggaran sementara bapak berusaha menutupi kejahatan putri bapak dengan tidak memberikan data tersebut pada kami?”

“Kalian tetap merugikan mereka. Sudah cukup, tidak lagi ada diskusi. Saya minta keputusan kamu setelah parade.” Kepala sekolah mengalihkan pandangan dari Arin yang terlihat kacau. Tensi ruangan itu terasa tegang.

Arin meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan kaki lemas dan tangisan yang pecah. Bulan mengikuti Arin yang berlari keluar dari sekolah tanpa menoleh ke belakang.

 

***

 

Arin menaiki bus menuju danau kota. Sepanjang jalan, dia terisak, menutup wajahnya. Bulan tidak mengatakan apapun, dia mengikuti Arin dalam diam tanpa bertanya. Menunggu, menunggu sampai Arin tenang.

Entah apa yang terjadi di ruang kepala sekolah, Bulan tidak tahu. Tapi, itu pastilah bukan sesuatu yang baik karena setelah keluar dari sana, Arin terlihat sangat terluka.

Bahkan sampai di danau pun, ketika Arin meluapkan emosinya dengan menangis lebih kencang di kursi yang menghadap ke danau, Bulan menunggu dengan duduk di kursi lain. Dia tidak mau mengganggu.

Arin benar-benar meluapkan segalanya. Dia menangis dan menangis. Suara isakannya yang memilukan memenuhi pinggiran danau yang sepi saat siang. Bahunya bergetar dan matanya sudah bengkak, tapi Arin tidak mau berhenti.

Sakit sekali rasanya. Arin berjuang sangat keras untuk menggapai mimpinya. Dia tidak pernah tidur sebelum berdoa agar Tuhan mengabulkan mimpinya sejak dia kecil.

Arin hanya mau menjadi dokter. Itulah yang selalu dia impikan. Pekerjaan itulah yang selalu ingin digapainya. Bagi sebagian orang, menjadi dokter mungkin hanya mimpi untuk mendapatkan status dan gaji pasti. Tapi bagi Arin, menjadi dokter adalah segalanya. Itu merupakan cara hebat untuk membantu orang, apalagi bidang kedokteran forensik yang selalu diceritakannya dengan Naila.

Kedua orang tua Arin adalah pegawai negeri yang sibuk, mereka tidak terlalu sering memperhatikan apa yang menjadi kesukaan anaknya, itulah kenapa Arin selalu menghabiskan waktu membaca novel. Mimpi Arin mungkin pada awalnya hanya bermula dari kesukaannya pada novel detektif. Tapi kemudian, mimpi itu terus tumbuh dengan keinginan membantu orang. Arin menonton banyak kasus kriminal di televisi, membaca surat kabar yang datang ke rumah, melihat bagaimana kasus yang belum tuntas akibat kekurangan dokter forensik selalu membuat keluarga korban tersiksa. Pelaku tidak pernah tertangkap karena identifikasi tidak tepat.

Ada banyak kasus mengambang yang membuat Arin ingin menuntaskannya dengan menjadi dokter. Setiap hari, setiap saat, Arin meneguhkan tekad tentang mimpinya. Mempelajari dan membaca banyak buku terkait, mempelajari tubuh manusia, mencari tahu cara masuk perguruan tinggi agar bisa menjadi dokter hebat, apa saja yang bisa diusahakannya saat SMA nanti sejak dia masih berada di sekolah dasar. Kalau tidak menjadi dokter forensik, Arin tidak tahu untuk apa hidupnya ini.

Hari ini, mimpi besar yang dia perjuangkan dalam waktu yang lama, dipaksa untuk redup hanya karena masalah yang tidak dia mengerti darimana asalnya. Karena Bona membencinya, Arin harus merelakan mimpinya.

Arin sama sekali tidak mengerti apa yang membuat Bona harus membencinya. Arin tidak pernah memperlakukan putri kepala sekolah itu dengan buruk. Dia tidak pernah membuat masalah dengan Bona.

Itulah yang membuat Arin semakin marah. Kenapa Bona harus bertindak sejauh ini untuk membunuh mimpinya? Memang, apa yang sudah dia lakukan pada gadis itu? Arin tidak tahu. Arin sangat marah namun satu-satunya hal yang bisa dilakukannya sekarang adalah menangis.

 

Dari kejauhan, Bulan hanya memperhatikan Arin menangis. Masih menunggu dengan sabar, mengawasi kalau saja Arin berniat melompat…

Baru berpikir begitu, Bulan menyadari bahwa Arin sudah berhenti menangis. Dia berdiri dari kursinya dan mendekat ke pembatas danau. Demi melihat itu, tanpa berpikir panjang Bulan berlari ke arah Arin, memeluknya dari belakang untuk menahan langkah Arin.

“Arin! Seberat apapun masalahnya, jangan berpikir untuk bunuh diri! Aku di sini, aku akan mendengar apapun. Jangan memikirkan solusi seperti ini…” Pekik Bulan, memeluk Arin sekuat tenaga.

Arin tertegun, dia menoleh ke belakang, melihat Bulan yang memeluknya dengan mata yang memerah karena terlalu banyak menangis.

“Aku… aku hanya ingin melihat ikan di sekitar pembatas agar lebih tenang. Bukannya mau bunuh diri.” Arin menjawab dengan suara serak dan lirih.

 

***

 

Arin akhirnya menceritakan pada Bulan hasil pembicaraan antara dia dan kepala sekolah tadi diseliringi tangisannya yang masih belum kuasa dihentikannya.

Setelah cerita itu berakhir, Bulan menawarkan pelukan. Dia memahami alasan Arin terlihat begitu sedih sampai tak dapat berpikir. Dia memahami kesedihan Arin.

Bulan mengusap punggung Arin lembut, membiarkan kawannya menangis sesenggukan di bahunya. Setelah tangisan Arin perlahan mereda, Bulan menarik napas, mulai bicara dengan nada tenang namun tegas.

"Arin, aku paham ini menyakitkan sekali untukmu. Aku bisa merasakan betapa hancur hatimu sekarang. Apa yang dilakukan Bona dan kepala sekolah itu sungguh tidak adil, sangatlah tidak adil. Mereka menahan kita mencari penelitian yang kita buat sendiri karena mereka lah pencurinya, penelitian yang sudah kita buat susah payah, dan sekarang dia mengancam masa depanmu demi melindungi putrinya. Ini semua adalah kesalahan besar, dan seharusnya bulan kau yang menanggung semua ini.

Bulan melepas pelukannya perlahan, membawa Arin untuk menatap matanya yang memancarkan empati namun dibalut tekad yang kuat. "Tapi dengarkan aku, Arin. Jangan biarkan mereka memadamkan mimpimu begitu saja. Jangan biarkan kejahatan mereka membuatmu menyerah. Jangan. Seperti mimpimu, kita tidak boleh membiarkan kejahatan menang. Kita harus mendapatkan keadilan atas hak kita. Hari ini, kaulah korbannya. Sebelum kau bermimpi menolong orang dari mimpimu, cobalah bantu dirimu sendiri dengan tidak menyerah. Kau yang paling tahu betapa keras usahamu untuk bisa merangkak sampai ke titik ini. Kau ingin  membantu banyak orang, kan? Sekarang ini, bukan hanya tentang dirimu saja, ini juga melibatkan mimpimu dan keadilan yang ingin kau perjuangkan. Aku yakin selalu ada jalan untuk melawan kejahatan."

Bulan menggenggam kedua tangan Arin dengan erat. "Kepala sekolah itu bermain kotor, dia tahu dia salah, makanya dia ingin kau menghapus seluruh bukti. Dia ingin kasus ini lenyap begitu saja, agar aib anaknya tidak terbongkar dan jabatannya aman. Tapi justru inilah kekuatan kita, Arin. Kita punya bukti, kita punya kebenaran di genggaman kita. Pilihan yang dia beri padamu itu jebakan, kedua pilihan hanya akan merugikanmu. Tapi, mari kita ciptakan pilihan ketiga yang adil untuk kita."

"Kita tidak akan membiarkan dia berbuat seperti ini." Lanjut Bulan mantap. "Tidak ada yang boleh kesulitan lagi karena perbuatan dia dan putrinya. Ingat apa yang ingin kita tuju sebelum kau tahu Jibar berkhianat dan kepala sekolah bicara padamu? Kita ingin menguak kasus ini. Jika kasus ini terkuak, maka berakhir sudah segalanya. Nepotisme ini harus terungkap. Kita akan tetap melanjutkan rencana kita kemarin dengan cara yang baru, oke? Semua murid, wali murid, guru, mereka punya hak untuk tahu bahwa sistem sekolah ini tidak lagi adil."

Arin hendak membantah, tetap Bulan menggenggamnya dengan lembut, berusaha meredam kekhawatiran dari kepala Arin yang masih berantakan.

"Ini akan sulit, aku tahu. Tantangan selalu banyak kita lewati. Kejadian Jibar hari ini juga pasti membuatmu sangat kecewa, kan? Aku pun begitu, namun aku mmeilih untuk tidak gegabah dan mengambil satu kesimpulan. Aku perlu tahu juga cerita kenapa Jibar memilih mengkhianati kita. Kau tidak sendiri, Arin. Aku bersamamu. Jangan khawatirkan soal rekomendasi atau ancaman itu dulu. Fokuslah pada kebenaran. Mimpi besarmu jelas jauh lebih berharga dari ancaman kosong kepala sekolah yang ketakutan reputasi dia dan putrinya hancur. Kalau rencana kita berhasil, rekomendasi bisa diurus oleh pihak yang lebih adil, yang lebih jujur. Oke?"

Arin tidak menjawab, dia memutus kontak mata dengan Bulan, menunduk dalam.  Tangisannya luruh lagi, tetapi tak lama, dia kembali menatap Bulan dengan binar harapan.

Bulan tersenyum ketika Arin kembali menatapnya. Tampaknya, dia berhasil meyakinkan Arin. "Ayo kita luruskan satu persatu. Masalah Jibar, dan rencana kita."

 

***

 

Setelah Naila mengambil P3K di UKS kemudian mengobati luka di lengan kiri Jibar akibat jatuh di lapangan tadi, keduanya tetap duduk di sana untuk bicara.

"Jadi, Bona mengancam apa?" Tanya Naila sambil membereskan botol alkohol dan plastik kapas yang dia buka. Meletakkannya kembali ke lemari kaca yang tersedia di UKS.

Jibar membelalak, dia menatap Naila takut-takut.

"Bagaimana Kakak bisa tahu aku diancam?"

"Gelagatmu kelihatan, kok." Naila bersidekap, kembali menempati kursi yang berhadapan dengan kasur tempat Jibar duduk.

"Bagaimana..."

"Inilah keuntungan menjadi orang skeptis, sejak awal aku tidak percaya siapapun kecuali Arin, kawan dekatku. Tapi, aku tahu niat semua anggota tim baik. Aku merasakan perubahan gerak-gerikmu sejak semester lalu, kemudian tidak sengaja tahu kau sepupu Bona saat mengantar berkas Pak Kimu ke gedung administrasi, mendengar percakapan Bona dan ayahnya. Bona telah berubah, aku tahu kau menuruti dia juga sebagian karena kasihan. Bona dituntut ayahnya untuk mengalahkan Arin, kan?"

Jibar mengangguk patah-patah, jiwanya digerogoti rasa bersalah.

"Harusnya dari awal aku biarkan saja dia mengancamku. Aku tidak boleh melakukan hal sejahat ini pada Kak Arin..." Ujar Jibar lirih.

Naila mendesah lelah. "Aku tidak membenarkan tindakanmu, tapi tak bisa juga menyalahkanmu sepenuhnya. Karena di sini Bona lah yang mengancammu, sama seperti yang dia lakukan padaku. Dia itu orang yang paling berkuasa jika mengandalkan ayahnya, makanya kita tidak berkutik. Pasti berat buatmu karena harus mengkhianati kami demi masa depanmu. Tapi itu tetap egois dan aku kesal."

Jibar bergumam maaf berkali-kali, meski dia tahu maafnya takkan mengubah apapun.

"Aku tahu kau mengerti bahwa minta maaf takkan mengubah apa-apa, Jibar."

Jibar menunduk dalam, merasakan Naila menepuk bahunya.

"Tapi, kau bisa menebusnya dengan membantuku menyelesaikan masalah ini. Aku punya dugaan, saat ini kepala sekolah akan melakukan sesuatu untuk melindungi putrinya karena kau melapor bahwa kita berencana untuk membongkar kedok putrinya. Bisa jadi, dia juga akan mengancam Arin menggunakan kekuasaannya. Maka dari itu, kita harus menghentikannya. Kau temuilah Arin, minta maaf dengan benar kepada orang yang selalu membantumu belajar, kemudian bantulah dia menyelesaikan ini segera."

Jibar mendongak, dengan pandangan yang mengabur, dia menatap Naila terkejut. Sekali berkedip air matanya akan tumpah, dan dia memilih menumpahkannya.

"Aku berjanji akan menebusnya, Kak." Ujar Jibar sungguh-sungguh.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tumbuh Layu
374      251     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Mimpi & Co.
877      610     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
TEA ADDICT
312      207     5     
Romance
"Kamu akan menarik selimut lagi? Tidak jadi bangun?" "Ya." "Kenapa? Kan sudah siang." "Dingin." "Dasar pemalas!" - Ellisa Rumi Swarandina "Hmm. Anggap saja saya nggak dengar." -Bumi Altarez Wiratmaja Ketika dua manusia keras kepala disatukan dengan sengaja oleh Semesta dalam birai rumah tangga. Ketika takdir berusaha mempermaink...
Bye, World
7787      1837     26     
Science Fiction
Zo'r The Series: Book 1 - Zo'r : The Teenagers Book 2 - Zo'r : The Scientist Zo'r The Series Special Story - Bye, World "Bagaimana ... jika takdir mereka berubah?" Mereka adalah Zo'r, kelompok pembunuh terhebat yang diincar oleh kepolisian seluruh dunia. Identitas mereka tidak bisa dipastikan, banyak yang bilang, mereka adalah mutan, juga ada yang bilang, mereka adalah sekumpul...
Spektrum Amalia
724      493     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Chrisola
1050      620     3     
Romance
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma. "Semua karena Papa!" Ola mencuci tangannya lalu membasuh...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Help Me to Run Away
2629      1178     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Photobox
6170      1563     3     
Romance
"Bulan sama Langit itu emang bersama, tapi inget masih ada bintang yang selalu ada." Sebuah jaket berwarna biru laut ditemukan oleh Langit di perpustakaan saat dia hendak belajar, dengan terpaksa karena penjaga perpustakaan yang entah hilang ke mana dan Langit takut jaket itu malah hilang, akhirnya dia mempostingnya di media sosialnya menanyakan siapa pemilik jaket itu. Jaket itu milik Bul...
Heavenly Project
505      349     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...