“Dayu!” aku menoleh dari buku diktat yang kupegang. Ina tengah setengah berlari ke arahku, sembari melambaikan selembar kertas. Ia tergopoh dengan tubuh gembalnya. Tak memperdulikan juga tas selempangnya, yang sekarang nampak diseret begitu saja. Sweater pink kesayangannya sudah kucel ditangan kirinya. “Dayu!” ia menjerit lagi, padahal tinggal beberapa langkah lagi, ia sampai ditempatku duduk. Didepan kelas.
“Ada apa, Na?” tanyaku. Saat ia sudah berdiri didekatku, sedang berusaha mengatur nafas. Aku pun prihatin melihatnya.
“Kamu… hh… kamu… hh… “ ia masih mengatur nafas, tapi dipaksakan untuk bicara. Aku menyodorinya minuman mineral kemasan. Ia mengambilnya dan dengan cepat, membuka meminum isinya sampai habis setengah.
“Tenang, tenang, kenapa, Na?” aku mengelus bahunya pelan.
“Kamu dapet A, Yu,” ia berkata, seraya menyodorkan kertas yang digenggamnya sedaritadi. Itu ternyata kertas nilai, dari ujian Pak Amir kemarin lusa. Aku membuka kertas yang sudah agak kumal, kena keringat Ina itu. Berjejer 23 nama teman sekelasku di kelas bisnis.
“Alhamdulilah,” kataku akhirnya, saat melihat nilai disamping namaku. Lalu tertegun melihat nilai Ina. Aku memandangi Ina, yang sudah duduk disampingku. “Na, maaf ya,”
“Kenapa minta maaf? Salahku yang engga belajar,” Ina tertunduk lesu. Nilainya untuk ujian ini memang C. Mataku mencari lagi nama Risa dan Tika. Mereka mendapat nilai B.
“Ina! Ya ampun! Bisa pelan sedikit engga sih larinya,” Tika datang setengah menjerit, diikuti Risa yang bertubuh kecil. Mereka sama terengahnya dengan Ina. Ada apa dengan acara kejar-kejaran siang ini?
“Kalian mau lihat nilai?” aku menyodorkan kertas nilai tadi pada Tika. Ia mengangguk saja dan mengambil kertas itu.
“Berapa nilaiku, Tik?” Risa ikut membaca kertas nilai. Tak lama mereka pandang-pandangan. Akhirnya mereka sama-sama memandangiku. Mengerling pada Ina yang masih tertunduk lesu. Aku tahu, apa maksud mereka.
Ina bukannya anak yang tak pintar. Aku tahu serajin apa ia belajar. Aku mengerti sekali seberapa sering ia membuka diktat. Tapi mungkin tekanan lebih memberatkannya untuk lebih ikhlas dalam belajar. Belajar manajemen bukan keinginannya. Jurusan ini pilihan orangtuanya yang menjalankan bisnis toko kelontong. Mereka menginginkan Ina bisa memenejemenkan toko mereka, selesai kuliah. Tapi sesungguhnya, keinginan Ina hanya les memasak.
Masakan jenis apapun ia bisa, kue bentuk apapun ia sanggup buat dengan nikmat. Aku pun heran. Bakatnya memang cooking baking, ia menyadari itu, tapi tak sanggup menentang keinginan orangtuanya.
“Sudah, gapapa, Na. masih ada remedial kan,” aku berusaha menghiburnya. Aku baru menyadari, ia sudah menyeka air matanya dipipi. Matanya tampak merah dibalik kacamata bulatnya.
Risa memberikan sapu tangan biru, ketangan Ina. “Pakai ini, Na.”
Ina masih tak bicara. Tika ikut mengelus bahunya. Kami tahu apa yang satu sama lain rasakan.
>.<
“Ya, Kek?”
“Kapan pulang, Nduk?” suara yang amat kukenal menyapa diujung telepon. Terdengar sarat rindu. Mataku memandangi kalender akademik diatas meja.
“Insya Allah minggu depan, Kek. Kakek dimana?” tanyaku lagi.
“Kakek tunggu di Ungaran ya?”
“Villa?”
“Iya, kabari Pak Yanto, biar dia jemput kamu.”
Aku menghela nafasku. “Kek, aku pernah bilang kan, soal-“
“Oke, oke, kabari saja saat kamu sudah dekat Ungaran. Biar dia jemput kamu untuk naik.”
“Iya, Kek.” Sambungan telepon terputus.
Aku masih memandangi layar ponselku yang belum mati. Lima detik kemudian mati. Dan aku meletakkannya di meja.
Tak kusangka, aku sudah tiga bulan tak pulang. Maksudnya bertemu Kakek. Ayah dari Ayahku. Yang hidupnya selalu berpindah, kadang di Semarang, kadang di Jakarta, kadang di Bandung. Bisnis hotel dan retailnya menggurita. Membuatnya harus terus berputar, walau ia punya banyak orang kepercayaan, tapi semua selalu dicek sendiri.
Aku adalah tumpuannya. Itu katanya. Ayah yang anak tunggal, tak pernah bermaksud mewarisi bisnis yang menggurita itu. Ayah lebih memilih karirnya di perusahaan pesawat di Ulm, Jerman. Aku sebenarnya belum terpikir kearah sana. Karena aku masih berstatus mahasiswa semester lima.
Aku memandangi kamar kosku. Berukuran tiga kali tiga. Lumayan sempit untuk menampung satu single bed, beserta lemari baju dan lemari buku, juga meja beserta kursi. Hanya tersisa tempat sedikit untuk lemari tempat makanan, dan keranjang baju kotor. Memang bukan kamar kos impian sekali. Tapi aku nyaman disini.
TOK. TOK.
“Ya?” aku menoleh lewat bahu. Pintu kamar kosku terbuka sedikit. Muka Ina muncul disana. Agak berantakan. Masih dengan sisa air mata. Kamar kosnya memang ada disebelahku. Aku bangkit dari kursi, mengajaknya masuk dan duduk di kasurku.
Ia masih diam. Tangannya dingin sekali. Aku meremasnya, menguatkan. “Udah enakan?” sepulang dari kampus tadi, ia terus mengunci diri dikamar. Ia tak mengatakan apapun pada kami.
“A, aku mau minta tolong, Day,” aku nyaris tak mendengar suaranya.
“Ya? Minta tolong apa?” Ina masih menunduk, membuatku harus menurunkan pandangan, hingga kami bertatapan satu garis sejajar.
“A, ajari aku untuk remedial,”
Dengan cepat, aku mengangguk.
>.<