Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Pagi itu aku menatap langit dari balik jendela kamar, berharap hujan turun dan membatalkan segalanya. Sekolah. Pertemuan. Tuntutan. Dunia. Aku hanya ingin hari itu tidak dimulai. Tapi tentu saja, matahari bersinar seperti biasa—tanpa peduli siapa yang sedang berjuang untuk sekadar bangun dari tempat tidur.

Aku menarik napas panjang, menahan air mata yang sudah menggenang sejak malam. Sejak percakapan singkat dengan Mama yang, lagi-lagi, hanya berisi tuntutan: nilai harus sempurna, sikap harus dewasa, masa depan harus jelas. Dan aku, seperti biasa, hanya mengangguk. Diam adalah caraku bertahan.

Namaku Aruna. 17 tahun. Siswi kelas 12. Anak pertama. Dan, katanya, kebanggaan keluarga. Tapi entah kenapa, semakin hari gelar itu terasa seperti beban yang menggerogoti dada. Semua orang berharap aku kuat, padahal aku sendiri mulai tidak tahu apa arti kuat. Di sekolah, aku bukan siapa-siapa. Bukan anak populer yang punya banyak teman. Bukan juga si jenius yang jadi kebanggaan guru. Aku hanya seseorang yang selalu mencoba tersenyum meski dalam hati berantakan. Dan hari itu, aku tahu... aku sedang tidak baik-baik saja.

"Arunaaa!" suara Livia, sahabatku, memecah lamunanku saat aku baru turun dari angkot.

Aku tersenyum lemah. "Pagi, Liv."

"Kamu nggak sarapan ya? Mukamu pucat banget," katanya sambil mengamatiku.

Aku menggeleng. "Nggak sempat."

Sebenarnya, bukan tidak sempat. Aku hanya tidak punya tenaga untuk sekadar membuka mulut dan mengunyah. Rasanya... semua jadi hambar. Bahkan hidup pun terasa begitu. Kami berjalan menuju kelas. Riuh suara teman-teman, derap langkah, obrolan ringan soal tugas, ujian, dan gebetan… semuanya berlalu begitu saja di telingaku. Aku seperti berjalan dalam ruang hampa. Di bangkuku, aku duduk dan menatap buku tulis. Halaman kosong. Seperti hatiku pagi itu.

"Aruna, kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kayak nggak jadi diri kamu sendiri," tanya Livia tiba-tiba.

Aku menoleh, berusaha tersenyum. "Aku cuma... capek."

"Capek belajar?"

"Capek... jadi semuanya."

Dia menatapku lama, seperti mencoba menembus dinding yang selama ini aku bangun rapat-rapat. Tapi aku terlalu takut. Takut terlihat lemah. Takut dianggap cengeng. Karena sejak kecil, aku diajari untuk tidak menangis. Untuk terus berdiri meski kaki berdarah.

"Aku nggak tahu caranya istirahat, Liv. Rasanya, kalau aku berhenti sebentar aja, semua akan runtuh."

Livia menggenggam tanganku. Hangat. Nyata. "Aruna, kamu manusia, bukan robot. Nggak apa-apa kalau kamu lelah. Nggak harus kuat setiap hari, tau." Kata-katanya seperti air di padang gersang. Aku mengedip cepat, menahan air mata. Tapi akhirnya, satu tetes jatuh juga. Diikuti yang lain. Dan entah kenapa, rasanya lega. Aku menangis di kelas hari itu. Di depan sahabatku. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa malu. Malamnya, aku duduk di balkon rumah. Angin mengusap wajahku, membawa suara jangkrik dan hembusan dedaunan. Aku membuka jurnal yang selama ini aku sembunyikan. Tempat aku menuliskan semua luka yang tak bisa aku katakan.

Malam ini, aku menulis:

Hari ini aku menyerah, dan tidak apa-apa. Hari ini aku menangis, dan ternyata itu bukan kelemahan. Aku manusia. Aku bisa lelah. Dan itu tidak membuatku buruk. Tidak membuatku gagal. Hanya... membuatku nyata.

Aku menutup jurnal itu dengan senyum kecil. Untuk pertama kalinya, aku merasa lebih ringan. Ternyata, melepas sedikit beban bisa memberi ruang bagi napas baru.

---

Besoknya, aku kembali ke sekolah. Dengan mata sembab, tapi hati lebih tenang. Aku masih punya tugas, masih ada tuntutan, tapi aku tahu... aku tidak sendiri. Di sela pelajaran, aku menulis di kertas kecil dan menyelipkannya ke laci meja Livia:

Terima kasih sudah jadi tempatku berhenti sejenak. Dunia terlalu berat kalau dijalani sendiri. Tapi denganmu, aku bisa istirahat sebentar. Lalu bangkit lagi.

Dia membaca dan menatapku sambil tersenyum. Dan aku tahu, dalam hidup yang penuh perjuangan ini, memiliki seseorang yang memahami... adalah kekuatan itu sendiri.

---

Hari-hari berikutnya berlalu seperti lembaran-lembaran kertas yang terisi setengah—ada kalanya penuh coretan, ada kalanya kosong sama sekali. Aku mencoba menjalani semuanya seperti biasa, tapi di dalam diriku, ada suara yang terus berbisik:

 “Kapan kamu boleh berhenti?”

Setiap pagi, aku terbangun dengan alarm yang menyakitkan. Bukan karena suaranya, tapi karena kenyataan bahwa aku harus menghadapi dunia lagi. Dunia yang menuntutku jadi sempurna. Jadi anak yang tidak pernah salah. Jadi pelajar yang selalu ranking. Jadi kakak yang bisa diandalkan. Jadi teman yang bisa mendengar, tapi tidak pernah didengar. Di rumah, Mama makin sering mengingatkanku soal kuliah. Soal masa depan. Tentang jurusan yang katanya pasti punya "masa depan cerah." Tentang mimpi mereka yang perlahan mereka tempelkan di pundakku. Bukan karena mereka jahat. Aku tahu mereka ingin aku bahagia. Tapi... kenapa kebahagiaan versiku terasa tidak punya ruang?

Malam itu, aku diam-diam keluar ke balkon lagi. Membawa selimut dan secangkir cokelat panas. Langit penuh bintang, tapi entah kenapa aku merasa sepi. Aku membuka HP dan melihat deretan chat yang belum kubalas. Grup kelas. Grup keluarga. DM Instagram. Semua terasa bising. Tiba-tiba muncul notifikasi dari aplikasi diary digital yang kupakai: “Sudah 7 hari kamu belum menulis. Apa kamu baik-baik saja?”

Aku tertawa kecil. Bahkan aplikasi saja lebih peduli dari orang-orang di sekitarku.

Aku menulis:

Hari ini aku tidak marah. Tidak juga sedih. Tapi hampa. Seperti berjalan tanpa arah. Aku ingin berhenti, tapi juga takut jika berhenti, aku akan ditinggal. Aku ingin bicara, tapi takut dianggap drama. Jadi, aku diam. Dan diam itu... menyakitkan. Di sekolah, Livia tetap menjadi satu-satunya pelabuhan yang bisa kupijak. Tapi bahkan kepadanya, aku tidak selalu bisa bercerita.

Sampai suatu hari, aku tidak kuat lagi.

Pagi itu, kami dapat kabar bahwa salah satu teman seangkatan kami, Naya, dibawa ke rumah sakit karena overdosis obat tidur. Kabar itu seperti tamparan keras di wajahku. Naya... anak yang sering tertawa, yang selalu terlihat kuat. Sama seperti aku. Aku tidak mengenalnya dekat, tapi aku tahu dia tipe anak yang "baik-baik saja" di mata semua orang. Dan itu yang membuat semuanya semakin menyesakkan. Berapa banyak dari kita yang sedang menjerit tapi tak terdengar?

Pelajaran hari itu berjalan lambat. Suasana kelas muram. Banyak yang kaget, beberapa menyesal karena tidak pernah benar-benar bertanya pada Naya apakah dia baik-baik saja. Sepulang sekolah, aku tidak langsung pulang. Aku memilih duduk di halte sepi, menatap kendaraan berlalu lalang. Hujan turun pelan. Dan entah kenapa, itu membuat semuanya lebih berat.

HP-ku berdering. Mama.

Aku diamkan.

Kemudian Livia mengirim pesan:

“Kamu di mana? Aku tahu kamu pasti mikirin ini semua. Pulang, ya. Aku khawatir.”

Aku membaca pesan itu berkali-kali. Air mataku jatuh tanpa bisa dicegah. Aku lelah. Lelah jadi anak baik. Lelah pura-pura semuanya baik-baik saja. Lelah menanggung semuanya sendirian.

Aku balas:

“Liv, aku juga pernah kayak Naya. Beberapa bulan lalu. Tapi aku terlalu takut buat benar-benar pergi. Jadi aku tetap tinggal, meski tiap malam ingin hilang.”

Tak lama, Livia menelepon. Aku tidak angkat. Tapi ia terus mengirim pesan.

“Aruna... kamu nggak sendiri. Aku ada. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji.”

Aku membaca pesan itu sambil terisak. Lama aku duduk di halte itu, membiarkan hujan membasahi sepatu dan rambutku. Mungkin orang mengira aku aneh. Tapi hari itu... aku merasa akhirnya bisa bernapas.

---

Beberapa hari kemudian, aku memberanikan diri bicara ke Mama. Tentang semua hal yang selama ini kupendam. Tangis, ketakutan, tekanan, semua kutumpahkan. Mama terdiam lama. Lalu matanya mulai berkaca-kaca.

Maaf ya, Nak... Mama terlalu sibuk menaruh harapan sampai lupa melihat anak Mama sedang kesepian.”

Kalimat itu seperti pelukan.

Hari itu kami berpelukan. Lama. Mungkin untuk pertama kalinya sejak aku kecil.

---

Setelah kejadian itu, aku mulai pelan-pelan mencari cara menyembuhkan diri. Aku tidak langsung membaik. Masih ada hari-hari di mana aku menangis tanpa sebab. Masih ada malam-malam penuh sesak. Tapi sekarang, aku tahu ke mana harus pergi. Kepada siapa aku bisa bicara. Dan yang paling penting: aku mulai belajar memeluk diriku sendiri. Aku mulai menulis lagi. Tapi kali ini bukan hanya curahan hati. Aku menulis puisi, cerita, bahkan surat-surat untuk diriku sendiri. Aku tidak menuntut diriku harus kuat setiap hari. Jika ada hari di mana aku hanya bisa tidur dan menangis, itu tidak apa-apa. Aku juga ikut konseling di sekolah. Awalnya malu. Tapi setelah bicara dengan Bu Retno, guru BK, aku sadar bahwa berbagi beban bukan tanda kelemahan. Justru itulah keberanian.

---

Suatu pagi, Livia datang dengan ide gila.

“Gimana kalau kita bikin komunitas kecil gitu... buat teman-teman yang juga capek, yang pengen cerita tapi nggak tahu ke siapa?”

Aku menatapnya tak percaya. “Kamu serius?”

“Serius. Kita bisa kasih nama... ‘Istirahat Sebentar’. Tempat buat kita semua yang lagi lelah jadi kuat terus.”

Aku tertawa kecil. Tapi di hatiku, aku merasa sesuatu yang hangat tumbuh.

Dan begitulah, dari obrolan sederhana itu, kami mulai membuat akun Instagram kecil-kecilan. Kami bagikan cerita, kutipan, ruang aman. Tidak menyangka, banyak yang mulai kirim DM. Banyak yang berkata, "Aku juga merasa seperti kalian."

Ternyata, aku tidak sendirian.

---

Pesan Moral

Hidup sering terasa seperti lomba maraton tanpa garis akhir. Tapi kita lupa, bahkan pelari pun butuh berhenti. Butuh minum. Butuh istirahat. Jadi, untuk kamu yang sedang berjuang—entah sebagai pelajar, anak, sahabat, atau bahkan hanya manusia biasa—ingatlah: kamu tidak harus kuat setiap hari. Kamu boleh lelah. Kamu boleh berhenti. Kamu boleh menangis. Yang penting, jangan menyerah untuk hidup. Karena meski tidak mudah, kamu tidak sendiri.

Kita tumbuh dalam dunia yang sering memuja kekuatan, mengagungkan ketahanan, dan menuntut kesempurnaan. Tapi kita lupa, menjadi kuat bukan berarti harus selalu tersenyum. Kadang, kekuatan justru hadir saat kita berani mengakui bahwa kita lelah. Menangis bukan kelemahan. Mengeluh bukan dosa. Dan istirahat bukan kegagalan. Kamu tidak harus kuat setiap hari. Kamu hanya perlu jujur pada dirimu sendiri—dan izinkan dirimu untuk merasa. Karena dari sanalah, kekuatan sejati muncul.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ketika Cinta Bertahta
943      577     1     
Short Story
Ketika cinta telah tumbuh dalam jiwa, mau kita bawa kemana ?
Andai Kita Bicara
1635      1049     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Nuraga Kika
53      49     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trika—sahabatnya, dan si idola adalah Harsa—orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
Rumah?
117      109     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Ameteur
191      171     2     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Ikhlas Berbuah Cinta
3176      1585     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Ginger And Cinnamon
8155      1942     4     
Inspirational
Kisah Fiksi seorang wanita yang bernama Al-maratus sholihah. Menceritakan tentang kehidupan wanita yang kocak namun dibalik itu ia menyimpan kesedihan karena kisah keluarganya yang begitu berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya itu membuat semua harapannya tak sesuai kenyataan.
Love Yourself for A2
67      57     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
Gelandang Merah
501      339     2     
Short Story
Ketika negeri ini diperjudikan oleh para tikus negara. Lihatlah kami... Gelandang merah, meminta belas kasih tak kenal lelah. Kami ingin dibina, bukan dibinasakan.
Tic Tac Toe
938      751     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...