Hilang!
Vincia berusaha tenang, tetapi tangannya bergerak cepat membongkar isi laci bufet. Kemudian gadis itu juga mengangkat dan menggeser deretan buku. Tetap saja lembaran kertas kecil itu tidak ia temukan.
“Apa, sih, yang kaucari? Jati diri?” Frita datang sambil membawa piring kecil berisi potongan bronis.
“Tanda terima pembayaran kue-kue yang dipesan hari ini,” jawab Vincia tanpa menoleh.
“Oh, itu mama taruh di ruang tamu, Vincia,” sahut Alma dari dapur, “di dalam laci kayu berbentuk potongan kue yang dibuatkan Frita.”
Gegas, Vincia menuju tempat yang dimaksud ibunya. Ketemu! Gadis itu tersenyum menatap penataan ulang di ruang tamunya. Sofa digeser untuk memberi ruang bagi meja panjang di dekat jendela. Laci kayu 3 tingkat pemberian Frita berada di sudut meja. Dicat berwarna dadu dan putih hingga menyerupai kue stroberi.
Dua pekan lalu, Vincia dan Frita juga bekerja sama mengecat mural di dinding teras. Gambar kue-kue dengan warna pastel dengan tulisan Paint of Heart Cake.
Sejak dua bulan lalu, ibunda Vincia sudah kembali ke rumah. Setelah menyelesaikan sisa kontrak kerjanya di luar negeri. Kepulangannya bersama niat dan rencana untuk membuka toko kuenya sendiri. Setelah berdiskusi dengan Vincia, mereka memutuskan untuk fokus menerima pesanan kue lukis berbentuk hati.
Senyum masih awet di bibir Vincia ketika berbalik ke dapur sambil membawa tumpukan kertas tanda terima. Ia melihat Frita masih sibuk merekam kue yang mengembang dalam oven. Sama sekali, gadis itu tidak pernah menyangka akan melihat gadis sepopuler Frita Ruiz berada di dapur rumahnya dengan showercap bergambar stroberi membungkus rambut dan kepala.
“Ma, ada pesanan yang akan diambil jam delapan pagi ini—” mata Vincia terbelalak ketika melihat jam dinding dapur menunjukkan angka 7.47, “apa sudah siap?”
“Sudah mama olesi krim. Itu yang di sana, tinggal dilukis,” tunjuk Alma tanpa menjauh dari mikser yang mengaduk adonan, “krim warnanya sudah mama siapkan.”
“Astaga.” Vincia bergegas mengambil kuas dan merapikan showercap bergambar kura-kura di kepalanya. Gara-gara hibuk mencari kertas tanda terima, ia hampir saja lupa menghias kue pesanan. Gadis itu menyapukan kuas pada permukaan kue. Bukan menggunakan cat, melainkan krim warna-warni. Ia juga merapikan beberapa bagian dengan pisau palet.
Tepat pukul delapan lebih lima menit, Vincia selesai melukis kue sesuai permintaan pelanggan. Latar pemandangan senja di padang rumput. Serta tulisan “selamat ulang tahun, Mama”. Kemudian menyimpannya ke dalam kotak kemasan berwarna krem dengan hiasan pita dadu yang tampak manis.
Tiba-tiba terdengar dencing dari bel meja di teras depan. Vincia bergegas menuju pagar yang sudah dimodifikasi menjadi loket pemesanan dan pengambilan kue. Supaya tidak perlu membiarkan pagar terbuka bebas.
“Selamat datang—”
Seketika, langkah Vincia terhenti di ambang pintu. Ia tertegun memandangi sosok familier di luar pagar. Tepat di bawah bayangan kanopi. Lelaki itu berdiri tegap sambil menyandarkan bahu ke terali. Bahunya tegap, rambutnya sedikit berantakan. Jaket hitam yang dikenakan tampak begitu pas di tubuhnya. Tangan terangkat dengan telunjuk yang seolah-olah menyentuh sesuatu di udara.
Mustahil. Vincia menelan ludah yang terasa berduri. Air mata hampir menetes ketika tiba-tiba lelaki itu menoleh dan tersenyum padanya. Lekukan di pipi seolah-olah berkedip ramah pada Vincia.
“Permisi.” Lelaki mirip Gohvin itu melambaikan tangan. “Saya mau mengambil pesanan kue.”
“Eh, oh, iya,” sahut Vincia lantas bergegas menuju loket, “silakan. Pesanan atas nama siapa, Kak?”
“Atas nama Edvar,” jawab lelaki itu seraya menegakkan tubuh lalu menumpukan tangan di meja loket, “kemarin memesan lewat telepon dan sudah transfer.”
“Oh, iya, baik,” sahut Vincia seakan-akan berada di bawah pengaruh sihir, “eh, sebentar, ya. S-saya lihat dulu di dapur.”
“Vincia, kenapa?” tanya Frita dengan raut khawatir. Gadis itu bahkan menempelkan punggung tangannya ke kening Vincia untuk memeriksa suhu tubuh. “Tidak demam, tapi kenapa—”
“Dia … dia kembali,” bisik Vincia lirih.
Glabla Frita berkerut. “Dia siapa? Jangan-jangan … maksudnya, Valdo? Biar aku yang usir dia.”
Sigap, Vincia menahan pergelangan tangan Frita. Gadis itu menggeleng. “Bukan Valdo, kok. Dia … cuma salah seorang pemesan kue.”
“Terus kenapa wajahmu kaku begitu? Tidak mungkin, kan, ada hantu siang-siang begini?”
Namaku Gohvin. Aku bukan hantu.
Seketika, Vincia tergelak lepas. Ingatannya menampilkan kenangan tentang Gohvin. “Dia bukan hantu, kok,” ujarnya lantas mengayunkan tungkai ke dapur.
“Yang pesan sudah datang, ya?” tanya Alma yang sedang mengeluarkan kue dari oven ke cooling rack.
“Iya, Ma,” jawab Vincia lantas mengambil kotak kue yang sudah disiapkan beserta kertas tanda terima.
“Sepertinya dia pemuda yang baik,” gumam Alma.
Glabela Vincia berkerut. “Siapa, Ma?”
“Eh?” Alma menoleh terkejut. Seolah-olah tidak menyangka Vincia mendengarkan ucapannya. “Itu … dia yang memesan kue ulang tahun untuk ibunya.”
“Oh.” Vincia mengangguk. “Sepertinta begitu.”
“Ya, sudah.” Alma tersenyum pada Vincia. “Sana berikan kuenya. Di luar panas. Kasihan kalau menunggu terlalu lama.”
“Ah, benar juga.”
Langkah Vincia gegas dan lebar menuju ke depan rumah. Jantungnya berdebar dengan lembut seakan-akan ada puluhan kupu-kupu mengepak dengan anggun dalam rongga dadanya. Ia tidak menyangka akan melihat Frita sedang mengintip ke luar dari balik tirai.
Ketika Vincia hampir melewati pintu, Frita menahan pergelangan tangannya.
“Itu … yang pesan kue kita?” tanya Frita berbalas anggukan Vincia, “tampan, ya.”
Vincia tertawa setuju. Ia berusaha meredakan perasaan gugup yang muncul. “Mau berkenalan?”
Frita menggeleng. “Yang seperti ini, cocoknya denganmu. Aku hanya memberi sinyal restu. Sana cepat berikan kuenya.”
Vincia berjalan ke arah loket. Senyum di bibirnya terasa kaku. “Silakan. Kue pesanan atas Edvar Dalli.”
“Betul. Edvar Dalli. Itu namaku,” angguk pemuda itu, “kalau kau, siapa namamu?”
“Ya?” Selama sedetik, Vincia mengerjap bingung. “Oh, namaku Vincia Fikaso.”
Edvar mengulurkan tangan melintasi meja loket. “Senang berkenalan denganmu, Vincia.”
Vincia memandangi tangan ramping itu sebelum memutuskan untuk menggenggamnya singkat. “Silakan dicek dulu pesanannya. Apakah sudah sesuai?”
Edvar menggeleng sambil tersenyum. Seakan-akan sengja memamerkan lesung pipi yang menawan. “Aku yakin pasti bagus. Terima kasih, ya.”
“Dengan senang hati,” balas Vincia.
Setelah Edvar menaiki mobil dan berlalu dari hadapannya, gadis itu masih terpaku di tempatnya berdiri.
Kini, Vincia sudah melepaskan semua luka, beban, dan perasaan takut yang membelenggu. Seperti kura-kura yang perlu masuk ke dalam cangkangnya. Bukan untuk lari, melainkan untuk memahami bahwa rumah yang nyaman itu adalah dirinya sendiri.
🎨🎨🎨
Makashi♡ Luvnaer🌙 sudah membaca Paint of Pain. Like dan komentar dari kalian sangat berarti~ bisa juga klik emotikon di bawah ini untuk kesan tentang cerita ini~ ⸜(。˃ ᵕ ˂ )⸝♡
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? 😮
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama