Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Napas Vincia tersekat. Dunia seakan-akan berhenti. Semua ingatan di kepala membanjiri tanpa ampun. Rasa sakit, marah, kecewa, takut. Semua datang bersamaan. Matanya memanas.

Gohvin bergerak. Ia berdiri di samping Vincia, sedikit di depan, tidak menyentuh tetapi cukup dekat untuk menjadi dinding. Pandangannya datar dengan rahang mengeras. Telapak tangan yang mengepal di sisi tubuh menunjukkan kemarahan yang ditahan. Gohvin tidak perlu berkata apa-apa. Vincia tahu, Gohvin tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya lagi.

“Vincia,” panggil Alma lirih dan lembut.

Perlahan, bayangan gelap Gohvin tidak lagi terasa mengancam. Wajahnya lebih tenang, tetapi tetap waspada.

“Aku tidak mau bertemu dengannya, Gohvin,” pinta Vincia parau karena menahan tangis.

“Aku tahu kau takut, Vincia. Itu wajar, tapi tidak semua luka harus terus berdarah. Kadang, memberi ruang untuk maaf bisa jadi awal penyembuhan,” bisik Gohvin.

Vincia menatap Gohvin, ragu. “Tapi bagaimana kalau aku terluka lagi?”

Gohvin mengangguk pelan. “Itu mungkin terjadi, tapi hidup juga tentang berani membuka diri. Kau tahu, aku ada di sini. Kita bisa menghadapi bersama.”

Vincia mengembuskan napas panjang. Matanya mulai basah, bukan sedih, melainkan karena ada sedikit lega. Ia melangkah maju sedikit demi sedikit, “aku belum siap sepenuhnya.”

Gohvin tersenyum tipis. “Kau tidak berbalik melarikan diri saja itu sudah langkah besar. Ada aku, Vincia. Jangan takut.”

Kini, tersisa jarak kecil di antara Vincia dan ibunya. Namun, kehadiran Gohvin seolah-olah selalu bisa meredakan suara-suara gaduh di kepala Vincia.

“Vincia, mama cuma mau—”

“Jangan.” Suara Vincia pelan, tetapi tajam.

Alma menelan ludah. Tangannya gemetar memegang tali tasnya. Wanita itu memberanikan diri mendekat satu langkah, matanya berkaca-kaca. “Vincia, mama minta maaf. Mama menyesal—”

“Apa pun itu, tapi nyatanya mama memilih pergi.” Vincia membalas. Tatapannya lurus. Tidak lagi ada tangis di matanya, hanya kosong yang terlalu lama ditahan.

Gohvin berdiri di samping Vincia. Sosok lelaki itu lebih jelas kali ini, seolah-olah luka lama membuatnya utuh kembali.

Vincia mengepalkan tangan. “Aku tidak mau bertemu orang yang mungkin cuma ingat padaku saat lagi kesepian.”

Ibu Vincia terisak pelan. “Dengarkan mama dulu, Vincia.”

Vincia menggeleng. “Sudah cukup. Aku baik-baik saja tanpa mama. Jangan kembali hanya untuk memberiku luka baru.”

Kemudian Vincia memutar kunci pagar, masuk ke rumah. Tidak ada yang ia bawa masuk malam itu. Selain keputusannya.

Di detik itu juga, Gohvin jadi terlihat makin nyata.

Alma terisak, tubuhnya bergetar. Tangannya berusaha meraih putrinya di balik pagar terkunci, tetapi Vincia mundur selangkah, menunduk, bibirnya bergetar.

“Gohvin, aku tidak kuat…,” bisik Vincia.

Gohvin langsung mengangkat tangannya. Tanpa menyentuh langsung bahu Vincia, tetapi cukup dekat untuk membuat gadis itu merasa aman. Tanpa sepatah kata, ia menuntun Vincia masuk. Tatapan Gohvin tidak lepas dari Alma, seolah-olah memperingatkan. Padahal wanita itu tidak bisa melihatnya. Saat pintu tertutup di belakang mereka, Vincia akhirnya menangis dalam diam.

Gohvin tidak memaksa bicara. Lelaki itu hanya menunggu, duduk di sandaran sofa, sementara Vincia berusaha meredakan gemuruh di dada.

Malam itu, Gohvin bukan sekadar bayangan dari dalam lukisan. Ia jadi batas antara Vincia dan luka lamanya. Bukan untuk melupakan, tetapi untuk memastikan luka itu tidak lagi menyakiti.

*** 

 

Kafe itu punya konsep warna-warni pelangi yang hangat. Dinding luarnya dicat putih bersih, sementara Vincia dan Frita diminta menggambar mural sepanjang lima meter di dinding bagian dalamnya. Semburat awan, lengkungan pelangi, burung-burung kecil, dan kutipan-kutipan kecil tentang kebahagiaan sederhana.

Sudah dua minggu sejak Vincia menyelesaikan seminar hasilnya di hadapan dosen pembimbing dan penguji. Selama menunggu jadwal sidang, pameran, dan wisuda, ia menyanggupi ajakan Frita untuk mendapat pengalaman baru. Maka, di hari Senin cerah itu, jam delapan pagi, mereka memasuki sebuah kafe yang sedang dalam tahap renovasi. 

“Wah, rasanya seperti mimpi. Akhirnya bisa kerja di luar area kampus. Menggambar di dinding, bukan kanvas tugas,” tutur Frita seraya menyampirkan apron di pinggang. Kulit cokelatnya berkilau terkena cahaya matahari pagi, senyumnya lebar.

Vincia terkekeh, menggenggam kuas besar di tangan. “Kau hebat bisa mendapatkan kesempatan ini,” sahutnya, mulai mencelupkan kuas ke dalam cat biru langit.

“Terima kasih karena kau mau mengambil kesempatan ini bersamaku,” balas Frita.

Selama lima jam, mereka bekerja tanpa henti. Musik akustik mengalun pelan dari pengeras suara kafe. Suasana hangat, tawa sesekali, dan percikan cat di tangan dan pipi masing-masing. Di ujung mural, Vincia menggambar pelangi tipis dengan efek cat cipratan, sementara Frita menulis kutipan kecil di atasnya.

“Pelangi akan muncul setelah langit menurunkan hujan.”

Jam satu siang, proyek mural itu selesai. Keduanya duduk di kursi kayu, memandang hasil kerja mereka sambil meneguk kapucino yang dihidangkan pemilik kafe.

Dinding setinggi tiga meter itu kini sudah selesai dilukis. Bagian favorit Vincia adalah ganbar pelangi yang tumbuh dari secangkir kopi. Konsep buatan Vincia dan Frita yang sudah disetujui pihak kafe.

“Jangan lupa, setelah ini kita foto dulu, ya,” ajak Frita, “aku bawa kamera di tas.”

Vincia mengangguk. Hari itu langit cerah, dinding pelangi di hadapan mereka jadi saksi awal bagi dua sahabat yang mulai merangkai hidupnya. Mungkin langkah kecil ini tidak terlihat di peta dunia. Namun, untuk hati mereka, ini udah sejauh samudra.

***

Sepasang netra Vincia berbinar senang. Sepanjang perjalanan pulang, ia berulang kali menepuk pelan tasnya. Di sana ada amplop berisi honornya menggambar mural siang tadi. Bahkan, pemilik kafe memberikan bonus untuknya.

Vincia melompat turun dari bus ke halte. Ayunan langkahnya seperti tidak sabar ingin segera tiba di rumah. Ia ingin segera memberitahukan hal baik ini pada satu orang yang selalu ada untuknya.

Gohvin.

Begitu tiba di rumah, Vincia langsung membuka pintu dan memanggil nama Gohvin. Namun, lelaki itu tidak ada di mana-mana. Ia mencari ke dapur, studio lukis ayahnya, bahkan ke kamar. Padahal lelaki itu tidak pernah masuk ke kamarnya.

Tenggorokan Vincia tersekat. Ia sudah hampir menangis di ruang tamu, saat tiba-tiba melihat Gohvin berdiri di samping sofa. Lelaki itu tersenyum miring memperlihatkan lekukan di pipi. Di tangannya ada buket mawar yang disodorkan ke arah Vincia.

“Selamat datang,” sambut Gohvin ramah.

Vincia melirik naik, mencegah air matanya menetes. “Astaga, kau membuatku takut,” ujarnya sambil memeluk buket, “terima kasih.”

Gohvin tertawa kecil. “Memangnya apa yang kaupikirkan?”

Kesal, Vincia mengerucutkan bibir. Kalau jujur, pasti lelaki itu akan menertawakannya. “Sudahlah, tidak usah dibahas. Hari ini aku mendapat honor pertamaku, jadi aku mau berbaik hati mentraktirmu.”

“Honor pertama?” Gohvin mengangkat tangan ke depan wajah, seolah-olah telunjuknya menyentuh sesuatu di udara. “Bukannya kau sudah mendapat uang dari mengantar koran dan menjadi kasir di toko buku?”

“Itu, kan, kerja sambilan,” jawab Vincia, “yang ini pekerjaan sesuai apa yang kupelajari di kampus.”

Gohvin mengulum senyum sambil mengangguk-angguk. “Memangnya kau mau mentraktirku apa?”

“Apa saja. Atau kita bisa jalan-jalan, beli es potong, menonton film, atau katakan saja yang kaumau,” ucap Vincia bersemangat.

Gohvin hanya tersenyum kecil, tatapannya redup tetapi hangat. Ada sesuatu di sorot matanya yang tidak bisa Vincia mengerti sepenuhnya. “Kalau boleh, aku mau minta sesuatu yang lain.”

“Apa? Jam antik? Buku tua? Kaus kaki ajaib?”

Gohvin terkekeh pelan. “Aku mau kau memaafkan dirimu sendiri, Vincia. Aku mau kau belajar berdamai dengan luka.”

Suasana seketika sunyi. Vincia menunduk. Tangannya mengepal, buket terasa berat seolah-olah berisi batu. Di relung hatinya, kata-kata itu seperti angin dingin yang masuk lewat jendela terbuka. Bukan karena tidak pernah terpikir, melainkan karena terlalu menakutkan untuk benar-benar dilakukan.

“Aku tidak minta kau langsung memaafkan semuanya. Aku cuma minta kau beri ruang untuk rasa sakit itu untuk pelan-pelan bisa lepas. Tidak harus hari ini, tapi mulai detik ini jangan kau genggam terus lukamu di hati.”

“Aku … takut,” bisik Vincia akhirnya.

“Aku tahu.” Gohvin tersenyum tipis. “Kau tidak sendirian. Bagian dirimu yang paling kuat akan tetap bersamamu.”

“Oke,” kata Vincia pelan, “tapi aku tidak janji bisa langsung mengabulkan itu.”

“Aku tidak butuh janji,” kata Gohvin, “aku cuma butuh kau tidak lari lagi dari lukamu.”

Vincia hanya mengangguk.

“Kalau begitu, sekarang kau bisa mentraktirku, kan?” tanya Gohvin sambil menaikkan alis dengan gaya jenaka.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Halo Benalu
1137      499     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3193      1173     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
FLOW : The life story
104      90     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Jalan Menuju Braga
514      374     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Kertas Remuk
145      115     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
The Call(er)
1901      1077     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Tumbuh Layu
463      299     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Kembali ke diri kakak yang dulu
1113      740     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Dalam Satu Ruang
159      107     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalilaโ€”Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Fidelia
2177      941     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...