Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Hari Minggu biasanya jadi jadwal bersih-bersih rumah buat Vincia. Namun pagi ini, alat pel yang biasa bertemu dengan lantai digantikan kuas menari di atas kanvas. Ruang tengah dipenuhi aroma cat minyak, jendela dibuka lebar, membiarkan sinar matahari masuk dan menimpa lukisan yang masih basah di hadapannya.

 

Vincia duduk bersila, tangan dan pipinya berlepotan cat biru jingga dan hijau. Aroma cat minyak tipis bercampur udara pagi yang masih segar. Di atas kanvas, warna-warna dasar mulai mengisi sketsa yang ia buat. Lukisan itu memang belum rampung, tetapi hati gadis itu terasa lapang.

Gohvin bersandar di ambang pintu, menyilangkan tangan di dada, memperhatikan gadis itu yang begitu larut dalam lukisan. Vincia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Beberapa helai rambutnya berantakan, pipinya belepotan warna hijau dan jingga, tetapi sorot matanya berbinar senang.

“Tumben,” seloroh Gohvin dengan nada jenaka, “biasanya jam segini kau sedang menyapu halaman depan dan menyiram tanaman. Tidak merasa ditinggu daun-daun kering?”

“Biar saja mereka menunggu sambil bercengkerama dengan angin yang berembus lembut di pagi hari,” sahut Vincia penuh humor sekaligus sok puitis.

Gohvin tertawa kecil. “Apa kau mendadak ingin menjadi penyair?”

Tawa itu menular cepat pada Vincia. Hatinya terasa jauh lebih ringan seperti ada beban yang perlahan menguap ke langit. Itu terpancar juga pada sapuan warna yang lebih berani dari biasanya, komposisi figurnya lebih ekspresif. Seolah-olah ada energi baru yang keluar dari tiap goresannya.

Tiba-tiba Vincia terdiam sesaat. Kuasnya terhenti. Ia menatap lukisan, lalu mengembuskan napas pelan.

“Kemarin waktu di panti asuhan,” tutur Vincia lirih, “aku melihat anak-anak itu bisa menggambar apa saja yang mereka suka. Tanpa memikirkan hasilnya jelek atau bagus. Mereka cuma gambar karena itu menyenangkan.”

Gohvin tersenyum tipis, penuh pengertian.

“Rasanya aku sempat lupa bagaimana melukis sebebas itu,” lanjut Vincia, “melukis untuk diri sendiri. Bukan demi pujian, bukan untuk nilai tugas, apalagi sekadar validasi dari luar.”

“Syukurlah kalau kau sudah kembali menemukan jalan menuju dirimu sendiri,” ujar Gohvin tersenyum samar, “aku suka versi lukisan yang mencerminkan dirimu seperti ini.”

Vincia mengangguk setuju. “Aku seperti bertemu diriku yang masih kecil di sana. Anak-anak itu, cara mereka gambar, cara mereka tertawa, seperti mengingkatkan aku pada hal yang dulu membuatku suka melukis.”

Senyum Gohvin makin lebar. “Akhirnya. Sudah lama aku tidak melihatmu melukis sebebas ini. Biasanya, kanvas di depanmu lebih mirip tempat pengungsian. Tapi kali ini, seperti kau baru saja menemukan rumah.”

“Seharusnya kau ikut kemarin,” ujar Vincia kembali menyapukan kuas.

Desau angin masuk lewat jendela, membuat tirai putih melambai pelan. Untuk kali pertama setelah sekian lama, Vincia merasa tidak perlu alasan apa-apa hanya demi menikmati waktunya dengan lukisan.

Tanpa bayang-bayang siapa pun. Tanpa kejar-kejaran dengan luka lama. Hanya ada dirinya, kuas, dan warna-warna yang seolah-olah berbicara.

Menjelang sore hari, lukisan sederhana itu akhirnya selesai. Pemandangan danau dengan rerumputan tinggi, langit biru tanpa awan, serta kura-kura hijau mungil yang sedang menatap permukaan air. Vincia merasa bangga bisa mulai kembali merangkai serpihan dirinya melalui warna-warna yang ia torehkan.

***

 

Pagi itu, udara masih agak basah sisa hujan malam. Vincia melangkah pelan menyusuri koridor kampus, baru selesai mengajukan ulang proposal tugas akhirnya. Beruntung, dosen pembimbingnya menyetujui dengan mudah.

Saat itu, dua orang mahasiswi lewat sambil membicarakan kabar tentang Valdo Kahl yang baru saja mendapat kontrak besar dari penerbit komik terkenal. Poster acara talkshow komikus itu terpampang di dinding kampus, ramai diperbincangkan. Bahkan mereka juga dengan bangga menyebutkan tentang Valdo yang berpacaran dengan salah seorang senior di jurusan seni lukis.

“Siapa sangka, Kak Frita berpacaran dengan komikus terkenal.”

“Mereka bakal menjadi pasangan ter-aesthetic, sih. Komikus tampan dan pelukis cantik.”

Tanpa bermaksud menguping, Vincia bisa mendengar itu semua karena mereka berbicara dengan lantang. Begitu Gohvin menyinggung sedikit lengannya, ia langsung tersadar dan melangkah tergesa-gesa menjauh.

Akan tetapi, selangkah berikutnya, Vincia malah melewati sekelompok mahasiswa yang sedang duduk bergerombol dekat tangga. Suara tawa pelan, gumaman, dan obrolan yang awalnya biasa saja mendadak menarik perhatian gadis itu. Karena salah seorang dari mereka menyebut nama yang sama sekali tidak ingin didengarnya pagi itu.

Apalagi sampai dua kali.

Sengaja, Vincia berlari sambil menghentak-hentakkan kaki di anak tangga. Gerombolan itu tidak hanya berhenti membicarakan Valdo, mereka bahkan terdiam sambil memandangi Vincia yang menuju lantai dua.

Vincia memasukkan tangan ke saku jaket. Matanya masih sayu, setengah malas. Namun, langkahnya tetap mengarah ke atelir lukis.

“Mereka membicarakanmu,” ujar Gohvin saat Vincia menganbil dan mengenakan apron dari rak, “sebagai gadis yang berteriak di kerumunan bukan sebagai sang pelukis genius.”

Vincia mendengkuskan tawa singkat, menandakan tidak peduli. Lalu  menyiapkan palet dan cat. “Tolong bantu aku meletakkan kanvas ke kuda-kuda.”

“Jadi aku cuma kau manfaatkan untuk disuruh-suruh?” gerutu Gohvin sambil tetap menuruti apa yang diminta Vincia. Lelaki itu bahkan menata kursi di posisi paling nyaman.

Vincia berterima kasih, lantas duduk di depan kanvas. “Setelah ini, tolong diam dan tidak berkomentar. Aku ingin fokus.”

Gohvin mengangkat ibu jari lalu berpura-pura menutup ritsleting imajiner di bibirnya. Vincia tertawa kecil sambil mengangkat bahu. Tampaknya berita tentang popularitas Valdo sama sekali tidak berpengaruh apa-apa.

***

 

Gemuruh menggelegar di luar sana. Langit gelap sesekali diterangi kilat. Vincia berdiri di depan jendela sambil menyingkap tirai sedikit. Napas lega berembus dari hidungnya.

“Syukurlah, aku tiba di rumah tepat waktu,” ujar Vincia lantas menutup tirai.

“Mandilah dulu,” ujar Gohvin seraya menyodorkan handuk yang langsung diterima Vincia, “aku sudah menghangatkan air untukmu.”

Vincia tersenyum lebar, hatinya terasa hangat. “Terima kasih, Gohvin. Kau yang terbaik,” ujarnya sambil menepuk ringan lengan atas Gohvin.

“Jangan cerewet, sana pergi mandi,” timpal Gohvin.

Setelah mendengar pintu kamar mandi ditutup, Gohvin memandang ke luar jendela. Hatinya waswas. Ia berharap badai tidak akan datang malam ini.

Entah berapa lama Gohvin berdiri diam di sana. Ketika akhirnya suara Vincia membuyarkan lamunan. Seiring dengan rintik hujan yang mulai turun.

“Gohvin, ayo, makan malam,” panggil Vincia dengan rambut setengah kering.

Gohvin mengangguk dan berjalan ke ruang makan. Wajah gadis itu semringah ketika duduk di kursi ruang makan. Bagaikan pramusaji profesional, Gohvin menghidangkan sup tahu brokoli, telur dadar, dan nasi hangat ke atas meja.

“Wah, segarnya.” Vincia berdecak penuh syukur, “mandi air hangat kemudian makan semangkuk sup, di mana lagi ada nikmat seperti ini.”

Gohvin tertawa kecil. “Bagaimana kalau besok kita mengunjungi Tante Hilma?”

Hem?” guman Vincia dengan mulut masih mengunyah. Sementara pikirannya dipenuhi pertimbangan, “tapi, aku masih belum menyelesaikan lukisanku.”

“Kau bisa melanjutkannya lagi lusa,” saran Gohvin, “besok kita bisa berangkat setelah kau mengantar koran.”

“Tapi, aku takut lukisanku rusak lagi kalau tidak segera diselesaikan,” dalih Vincia. Sejujurnya, ia lebih takut kunjungannya akan merepotkan bibinya itu.

“Lukisan rusak bisa diperbaiki,” sahut Gohvin enteng, “lagi pula itu cuma guratan kecil.”

Seketika, Vincia tertegun. Tengkuk gadis itu merinding akan firasat buruk. Tangannya membeku di udara, menggenggam sendok yang meneteskan kuah sup.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Vincia seperti orang yang tersesat.

Gohvin tampak sedikit tegang, tetapi berusaha menyembunyikannya dengan mengangkat bahu. “Minggu lalu kau cerita, kan? Tentang lukisanmu yang rusak.”

Vincia menyipitkan mata. “Aku tidak pernah bilang detailnya. Cuma cerita lukisanku rusak. Dari mana kau tahu kalau itu berupa guratan?”

Gohvin terdiam selama beberapa detik. Terlalu lama. Tatapannya menghindari Vincia. “Aku … maksudku … ya, cuma tebakan beruntung.”

“Kau yang menggores kanvasku, kan?” tanya Vincia pelan, nadanya datar, “aku baru ingat sekarang. Sore itu, ada pisau cutter terjatuh, yang seharusnya tidak ada di sana.”

Pantas saja CCTV tidak merekam orang selain Vincia. Karena pelakunya tidak kasatmata. Ia menelan ludah yang terasa getir dan tajam. Guratan di gambar bunga-bunga di tepi danau seperti menyayat hati.

Gohvin mengatupkan bibir. Ekspresinya tampak seolah-olah ingin menarik ucapan barusan. “Aku … tidak bermaksud—”

“Kau yang merusak lukisanku.” Itu bukan lagi pertanyaan, melainkan pernyataan. Suara Vincia nyaris tidak terdengar, tetapi menggema di antara keheningan ruang makan.

Setengah membanting, Vincia meletakkan sendok ke atas meja makan. Selera makannya lenyap. Gadis itu berdiri dalam satu sentakan, hingga kursi yang semula ia duduki berdebum terjatuh. 

Namun, Vincia tidak peduli. Gadis itu memilih untuk berlari sejauh mungkin. Begitu keluar dari rumah, hujan menyambut Vincia. Dingin, basah, tetapi anehnya lebih bisa ia terima daripada kata-kata Gohvin barusan.

Vincia tidak menyangka bahwa sosok yang paling ia percaya, ternyata begitu tega mengkhianatinya.


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Deep End
46      43     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
XIII-A
897      643     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Batas Sunyi
2027      917     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Jalan Menuju Braga
514      374     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Lepas SKS
186      161     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
I Found Myself
53      48     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
TANPA KATA
24      21     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Cinderella And The Bad Prince
1590      1034     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
The First 6, 810 Day
766      513     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musikโ€”yang dulu menjadi napas hidupnyaโ€”tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Ruang Suara
207      145     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa โ€˜bahagia itu sederhanaโ€™. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...