Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Beberapa pertemuan memang terjadi bukan untuk menjawab pertanyaan, tetapi justru menambah tanda tanya.

Seperti yang dialami Vincia hari ini. 

Ketika Vincia tiba di depan galeri kampus seni, tempat itu sudah mulai ramai. Spanduk pameran menggantung di atas pintu kaca, memantulkan sinar matahari siang itu. Tepat saat Vinciaa menyeberangi halaman kecil menuju pintu masuk, pandangannya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.

Sedan hitam dengan stiker judul komik daring Paint the Rain. Vincia masih ingat betul mobil itu dikendarai oleh sang kekasih ketika mengajaknya makan malam tempo hari. Kata Valdo, itu hadiah dari founder Komiring.

Vincia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Namun, tidak ada pesan baru atau panggilan tidak terjawab dari Valdo di sana. Gadis itu meremas ujung kardigan. Benaknya bertanya-tanya tujuan Valdo datang tanpa memberi tahunya.

Bukan ingin bersikap posesif. Namun, sewajarnya, Valdo memberikan kabar. Apalagi tiket khusus itu didapat dari Vincia. Atau mungkin Valdo memberikan tiket dan meminjamkan mobil pada temannya?

‎Selama beberapa detik, Vincia mematung. Perasaannya bergelombang, seperti cat yang tumpah ke atas kertas putih, menciptakan noda yang tidak bisa dihapus. Ia meneguk napas dalam-dalam, berusaha menenangkan degup yang tiba-tiba dikacaukan keraguan. Langkahnya pelan ketika berbalik, seakan-akan takut kalau kenyataan benar-benar akan menyakitinya.

‎Bagai dipanggil takdir buruk, pintu galeri terbuka dari dalam. Valdo keluar, mengenakan jaket denim gelap dan kaus abu-abu. Langkah lelaki itu tergesa, sementara tangannya sibuk memasukkan ponsel ke saku.

‎Valdo mengangkat wajah. Mata mereka bertemu. Jantung Vincia mencelus. Sejenak waktu seperti berhenti, tetapi jauh dari kata romantis. Ini lebih seperti dua orang asing yang tanpa sengaja saling mengingatkan luka masing-masing.

‎Untuk sedetik, mata Valdo sempat terbelalak begitu melihat Vincia berdiri di depan pintu galeri.

“Eh, Vincia? Kau datang juga?” tanya Valdo  dengan senyum tipis yang sedikit canggung. Sepasang netra lelaki itu berulang kali melirik ke arah mobil, seolah-olah ingin cepat pergi.

‎”Ini kampusku, kalau kau lupa.” Vincia ‎menelan ludah, berusaha menjaga nada suara tetap datar meski dadanya seperti lembaran kertas yang diremas.

‎”Ah, iya. Benar juga.” Valdo mengusap tengkuk. Pandangannya tidak berani lama-lama menatap Vincia.

‎”Untuk ini kau meminta tiket khusus dariku?” tanya Vincia berusaha tenang. Ia menelan ludah. Ada sesuatu yang aneh. Bahkan bau kejanggalan itu bisa tercium di udara.

‎Perasaan gadis itu seperti benang yang makin lama makin kusut. Makin ditarik, makin mustahil bisa diurai.

‎”Ya. Aku habis menemui seorang teman.”

‎”Teman?” Glabela Vincia berkerut. “Siapa temanmu?”

‎Rikuh, Valdo melirik ke arah pintu galeri. “Dia mahasiswa baru. Kau tidak kenal,” ujarnya lantas melihat jam tangan, "sudah, ya. Aku ada pertemuan lain. Nanti aku akan meneleponmu, Vincia."

‎Tanpa menunggu tanggapan, Valdo buru-buru berlalu dan masuk ke mobilnya. Mesin dinyalakan, deru knalpot meninggalkan aroma bensin dan pertanyaan yang tidak terjawab.

***

Sepuluh menit telah berlalu sejak kedatangan dan kepergian Valdo yang serba tiba-tiba. Selama itu, Vincia bergeming di tempatnya berdiri. Hingga kemudian, ia punya cukup energi untuk melangkah masuk ke galeri kampus seni.

Benak Vincia berusaha menyangkal. Bahwa ia sebenarnya bertanya-tanya; mengapa Gohvin tidak muncul bersama komentar sarkastik yang mencubit hati.

Begitu membuka pintu, Vincia disambut ruangan sederhana dengan dinding putih bersih. Lampu-lampu kecil yang menyinari tiap lukisan. Aroma cat minyak dan kayu basah masih samar tercium. Di dinding tergantung karya-karya mahasiswa tugas akhir, lengkap dengan papan kecil bertuliskan nama dan judul.

Hari ini Vincia datang mengenakan kardigan putih tulang dipadu celana palazo cokelat muda. Rambut hitamnya terurai rapi, dihiasi jepit kecil di sisi kanan. Wajahnya tenang, tetapi sepasang netranya masih menyimpan resah yang tidak bisa disembunyikan.

Dengan mudah, Vincia menemukan Frita. Gadis itu sedang menjelaskan perihal lukisannya pada pengunjung yang berkerumun. Gesturnya tampak percaya diri.

Sesuatu yang tidak dimiliki Vincia.

Seperti mahasiswa lainnya, Frita berdiri bangga di samping lukisannya yang terpajang di salah satu dinding ruangan. Gadis itu mengenakan longdres linen terakota dengan tali di pinggang. Rambutnya ditata rapi dengan jepit pemberian Vincia di sebelah kanan.  Ekspresinya semringah, walaupun sepasang netra menyimpan kelelahan yang samar. Buket bunga segar diletakkan di atas meja berkaki tinggi di samping kiri.

‎Entah mengapa, Vincia merasa buket bunga itu terlihat familier.

Tepat saat Vincia tengah menduga-duga, Frita menoleh padanya.  Pandangan mereka berserobok, Frita tersenyum. Senyum hangat yang seolah-olah mampu mencairkan jarak.

Ikut tersenyum, Vincia berjalan mendekat. Bersamaan dengan kerumunan berpindah ke lukisan lain.

“Vincia, terima kasih, kau sudah datang,” sambut Frita sambil memberikan pelukan singkat, “bagaimana menurutmu?”

Vincia mengamati lukisan Frita. Kemudian gadis itu tersenyum. “Aku sampai bisa membayangkan peri terbang dari balik bunga matahari. Selamat, ya, Frita Ruiz—sang pelukis magis.”

Senyum di bibir Frita makin lebar. Terlihat bangga sekaligus bahagia. “Mudah-mudahan lukisanmu juga bisa cepat selesai dan lulus semester depan.”

Vincia mengangguk. Detik berikutnya, beberapa pengunjung lain datang dan mengajukan beberapa pertanyaan pada Frita. Sepertinya mereka mahasiswa baru.

Itu mengingatkan Vincia pada ucapan Valdo tadi. Serta-merta, mata gadis itu melirik buket mawar di atas meja tinggi. Setitik firasat muncul menusuk-nusuk hatinya dengan jarum. 

Vincia menggeleng. Tidak ada gunanya memikirkan hal abstrak seperti itu. Ia memejam sejenak lantas kembali memandangi lukisan karya Frita.

Bunga matahari berwarna dadu yang tetap tumbuh subur di antara warna kuning. Vincia memahami bahwa ada banyak cara untuk berdamai dengan luka, salah satunya dengan terus mencintai bagian diri yang berbeda.

***

Hujan turun sore itu turun tanpa aba-aba. Padahal sejak pagi, langit cerah. Dari balik meja kasir toko buku, Vincia memandangi titik-titik hujan yang menghantam jendela dari luar. Seolah-olah hujan sengaja turun untuk membasuh bersih ingatannya tentang apa yang terjadi siang tadi di depan galeri kampus seni. 

Tidak biasanya, toko buku  ramai di Sabtu malam. Namun, hari ini berbeda. Entah karena hujan turun atau tiga judul novel yang baru datang pagi tadi. 

Mungkin orang-orang yang awalnya cuma niat berteduh, akhirnya iseng menyusuri rak-rak buku, tertarik membeli novel, komik, atau sekadar majalah murah di dekat kasir. Namun, judul-judul yang dibawa ke mejanya memang didominasi tiga novel yang baru datang: Pink Shadow, Yellow Sunshine, dan The Blue Between Us. Sampai-sampai Vincia jadi tertarik membaca novel-novel yang sudah dicetak berulang kali itu.

Hujan. Toko yang ramai. Novel populer. Semua itu jadi menambah kesibukan Vincia. Hingga ia tidak punya waktu luang yang cukup untuk mengingat Valdo.

Vincia berdiri tegak di balik meja kasir sambil melayani antrean. Ia mengenakan rompi ungu gelap dengan penanda nama di dadanya. Memang tidak ada seragam resmi untuk pekerja sambilan. Tangan gadis lincah men-scan barcode pada sampul belakang buku, mengucapkan total harga, dan menerima uang. Semuanya dilakukan secara otomatis, tanpa perlu benar-benar berpikir.

Di antara dengung obrolan di sekitar, ada satu topik yang menarik perhatian Vincia.

“Eh, kau sudah membaca chapter terbaru Paint the Rain?”

Sebisa mungkin, Vincia menahan otot matanya agar tidak menatap langsung pada dua orang gadis di belakang pemuda yang baru meletakkan  setumpuk buku ke meja kasir. Meski demikian, pendengaran Vincia menajam.

“Sudah, dong,” sahut gadis berjaket biru, “aku tidak pernah mau ketinggalan. Apalagi ceritanya makin seru. Terutama waktu Raint melindungi Vinz.”

“Ya ampun, itu romantis banget. Beruntung, ya, yang jadi pacarnya Valdo.”

Vincia tersenyum kecil pada pemuda yang selesai membayar, bukan karena lucu. Lebih ke refleks yang sudah lama ia pelajari untuk bersikap di depan orang lain. Gadis itu mengangkat kepala, memanggil pelanggan berikutnya. Dua orang gadis penggemar komik Valdo.

“Silakan,” ujar Vincia ramah.

Mereka meletakkan tiga novel bersampul dadu, kuning, dan biru ke hadapan Vincia.

“Ada tambahan lain, Kak?” imbuh Vincia sesuai prosedur dari manajernya.

“Oh, ya, Kak, apa ada komik Paint the Rain versi cetak?”

“Maaf, belum ada. Masih tersedia versi digital saja, setahu saya,” jawab Vincia pelan.

“Oh … sayang, ya. Padahal komiknya seru banget.”

Vincia mengangguk, lalu menyebutkan total harga. Di luar, hujan makin deras. Suara rintiknya berlomba dengan suara obrolan pelanggan. Sementara Vincia merasa kepalanya sesak, bukan karena suara, melainkan karena beragam pertanyaan tanpa jawaban.

Dua orang pelanggan itu berbalik sambil tertawa kecil, berjalan menjauh sambil menyebut-nyebut nama Valdo dengan cara yang terdengar asing di telinga Vincia. Seolah-olah Valdo adalah orang yang berbeda dari sosok yang dahulu pernah menatap matanya dengan lembut.

Setelah menyapa antrean selanjutnya, Vincia menunduk pada tumpukan buku. Tangannya bergerak otomatis, sementara pikirannya entah ke mana. Rasanya aneh mendengar nama seseorang yang dulu akrab, kini jadi milik semua orang.

Di antara bau kertas, suara hujan, dan lampu yang mulai meredup, Vincia merasa seperti seseorang yang berdiri di ujung keramaian. Sosoknya terlihat tetapi tidak pernah benar-benar diperhatikan.

Untuk kali pertama, Vincia berharap Gohvin datang tiba-tiba untuk menemaninya. 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Nuraga Kika
35      32     0     
Inspirational
Seorang idola sekolah menembak fangirlnya. Tazkia awalnya tidak ingin melibatkan diri dengan kasus semacam itu. Namun, karena fangirl kali ini adalah Trikaโ€”sahabatnya, dan si idola adalah Harsaโ€”orang dari masa lalunya, Tazkia merasa harus menyelamatkan Trika. Dalam usaha penyelamatan itu, Tazkia menemukan fakta tentang luka-luka yang ditelan Harsa, yang salah satunya adalah karena dia. Taz...
Andai Kita Bicara
690      522     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Kembali ke diri kakak yang dulu
1113      740     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
HABLUR
1078      488     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
Bunga Hortensia
1652      101     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Catatan Takdirku
1335      766     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Metanoia
54      46     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiriโ€”dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Je te Vois
850      571     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Spektrum Amalia
835      555     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
38      36     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...