Jumat dan Sabtu berlalu dalam sekejap mata. Selama itu, ajakan makan malam yang dijanjikan Valdo menjadi satu-satunya pegangan Vincia supaya bisa tetap waras. Ia bahkan sengaja tidak datang ke kampus. Karena yakin tidak akan bisa fokus melanjutkan lukisannya.
Vincia memandangi foto buket pemberian Valdo yang terpajang sebagai wallpaper ponselnya. Senyum tercetak jelas di wajah gadis itu. Setelah menyimpan ponsel ke dalam saku, ia kembali mengarahkan air yang mengalir melalui selang ke seluruh tanaman di pekarangan rumah.
Bunga-bunga kebahagiaan di hati Vincia tumbuh sangat subur. Tidak ada sesuatu yang bisa membuat itu semua layu, termasuk kehadiran Gohvin.
Ucapan lelaki itu tempo hari jelas mengacaukan pikirannya. Dipikir seperti apa pun, tidak mungkin kalau Gohvin adalah sosok yang keluar dari lukisan ayahnya.
Namun, tidak ada penjelasan lain yang masuk akal terkait hilangnya sosok dalam lukisan ayahnya dan kemunculan Gohvin yang tiba-tiba. Semua terlalu kebetulan.
“Atau bisa juga disebut keajaiban,” sahut Gohvin tiba-tiba. Seolah-olah bisa membaca pikiran Vincia.
Mata Vincia melirik tajam dan cepat ke tempat Gohvin berdiri. Tepat di dekat pot daun monstera. Sengaja, ia mengarahkan selang ke sana, untuk melampiaskan kekesalan.
Vincia berdecak kesal ketika Gohvin bisa menghindar tepat waktu. Detik berikutnya, gadis itu menutup keran dan menggulung selang. Ia bergegas masuk rumah dan membanting pintu hingga menutup. Sebelum Gohvin sempat melangkah masuk.
Tawa usil Vincia urung berderai ketika melihat Gohvin berdiri di perbatasan menuju dapur.
“Kenapa, sih, kau terlihat kesal?” tanya Gohvin sambil mengiringi langkah Vincia menuju mesin cuci, “lukisanmu buntu lagi?”
Tangan Vincia yang sedang memegang pakaian kotor terhenti di udara. Gadis itu memelotot pada Gohvin yang bersandar santai pada tiang jemuran.
“Kaukira, gara-gara siapa aku kesal?” gerutu Vincia kemudian memasukkan pakaian kotor berwarna gelap satu per satu ke dalam mesin cuci.
“Hem,” gumam Gohvin berpura-pura sedang berpikir keras, “gara-gara pacarmu membatalkan kencan?”
Jemari Vincia meremas pakaian kotor dalam genggaman. Dengan penuh kesadaran, ia menahan diri. Entah mengapa, gadis itu mudah melemparkan sesuatu ke arah Gohvin. Padahal selama ini, Vincia selalu menjaga apa pun yang ia miliki. Karena gadis itu tahu, segala sesuatu bisa diambil lagi darinya.
“Jangan bicara sembarangan,” sungut Vincia hampir saja membanting pintu mesin cuci.
Tepat saat itu, terdengar bel rumah berdering pertanda tamu datang.
***
Vincia membawakan secangkir teh hangat di atas baki kayu bergambar bunga. Saat berusia 8 tahun, ia melukis itu bersama ayahnya. Kenangan begitu cepat berlalu dalam sekejap mata.
“Tidak perlu repot-repot, Vincia,” ujar Hilma Sowl.
“Tidak repot, kok, Tante,” sahut Vincia lantas duduk di sofa sambil memangku baki. Tatapannya terpaku pada lukisan masa kecil. Ia tidak terlalu nyaman untuk menatap seseorang, meskipun sedang saling berhadapan.
Wanita yang duduk di sofa itu merupakan kakak kandung ibu Vincia. Tidak biasanya, ia dikunjungi langsung seperti ini. Interaksi mereka selama 3 tahun lebih banyak berupa panggilan telepon, pesan singkat, paket, dan transfer uang bulanan.
“Bagaimana tugas akhirmu, Vincia?” tanya Hilma lantas menyesap teh.
Vincia mengangguk sambil menyiapkan jawaban. “Masih dalam proses, Tante.”
Hilma meletakkan cangkir ke atas meja. “Berarti semester ini sudah lulus?”
“Eh, belum, Tante. Kemungkinan semester depan, karena masih ada beberapa hal yang perlu perbaikan,” jawab Vincia sengaja memberi pernyataan ambigu.
“Semoga lancar kalau begitu,” harap Hilma kemudian memindahkan beberapa kantung tas dari sofa ke atas meja, “ini ada beberapa lauk untuk persediaan. Ingat makan, sesibuk apa pun proses tugas akhirmu. Uang bulanan dan biaya kuliahmu tante kirim ke rekening seperti biasa, ya.”
“Baik,” angguk Vincia sambil melirik sekilas pada Gohvin yang duduk santai di sampingnya, “terima kasih banyak, Tante Hilma.”
Setelah berbincang singkat, akhirnya Hilma berpamitan pulang. Selama itu pula, tidak ada tanda-tanda bibinya menyadari kehadiran Gohvin.
“Tante tidak menginap dulu?” tawar Vincia berbasa-basi.
Hilma menggeleng. “Tante hanya mengambil cuti setengah hari. Jaga dirimu, ya, Vincia.”
“Terima kasih, Tante sudah jauh-jauh berkunjung kemari.”
“Tidak jauh. Hanya dua jam perjalanan, tapi memang tidak bisa terlalu sering,” tutur Hilma sambil tersenyum, “ingat, ya, Vincia. Kau boleh pindah ke rumah tante, kapan pun. Anak perempuan sebaiknya tidak terlalu lama tinggal sendirian.”
Vincia hanya mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Sampai mobil SUV hitam yang dikendarai Hilma pergi menjauh dari huniannya. Gadis itu mengembuskan napas berat. Tangan yang semula terangkat dan melambai, perlahan diturunkan ke sisi tubuh.
Tawaran itu pernah hampir disetujui oleh Vincia. Namun bagaimanapun ia tidak akan bisa tinggal bersama tantenya. Karena secara fisik, Hilma tampak sangat mirip dengan adiknya, yaitu Alma. Ibu Vincia yang pergi meninggalkannya 3 tahun silam.
***
Seharusnya, tidak ada apa pun yang bisa merusak suasana hati Vincia hari ini. Selain tingkah laku Gohvin yang mengganggu, serta jerawat yang mendadak muncul di pipinya sore ini. Padahal kurang dari 2 jam lagi, Valdo akan datang menjemputnya.
“Aduh, bagaimana ini?”
Gerutuan itu sudah puluhan kali menggema di rumah. Setiap kali Vincia melewati cermin atau perabot dengan kaca, perhatiannya pasti tertarik pada titik merah kecil di wajah.
“Coba lihat, itu cuma jerawat, Vincia,” ujar Gohvin sambil menyandarkan bahu di dinding tempat cermin terpasang.
Tatapan tajam Vincia tertuju pada Gohvin. “Kau tidak mengerti, Gohvin. Memangnya kau pernah pergi kencan?”
“Kenapa jadi membicarakan aku?” Gohvin menegakkan punggung lantas mengikuti Vincia ke ruang mencuci.
“Karena kau terus saja ikut campur urusanku,” sungut Vincia sambil memindahkan pakaian yang sudah dicuci ke keranjang.
Sigap, Gohvin mengangkut keranjang penuh pakaian setengah basah ke dekat tiang jemuran. “Aku cuma mau kausadar bahwa sia-sia memikirkan jerawat kecil itu. Padahal kau tahu kalau pacarmu cuek. Dia tidak akan peduli.”
“Itu memang mudah diucapkan oleh orang yang punya fisik menarik,” gumam Vincia kesal. Terutama pada nada bicara Gohvin yang tetap tenang. Padahal ucapannya terus-terusan memancing kekesalan di hati gadis itu.
Gohvin mendadak muncul di balik jaket yang sedang digantungkan Vincia. Gadis itu menjerit tertahan sambil memejam.
“Jadi, menurutmu, fisikku menarik?” Seringai usil muncul di bibir tipis Gohvin. “Maksudmu, aku tampan?”
Vincia berdecak. Meski pipinya terasa panas karena menahan malu, gadis itu bergerak cepat menjemur semua pakaian.
“Hei, kau belum menjawab pertanyaanku,” desak Gohvin sambil mengembalikan keranjang kosong ke samping mesin cuci.
Vincia melangkah lebar-lebar menuju kamarnya. Namun, Gohvin dengan mudah menghalangi jalannya. Pemuda itu berdiri tepat di depan pintu.
“Jawab dulu, menurutmu aku tampan?”
“Sama sekali tidak!” bentak Vincia sambil berusaha mendorong bahu Gohvin ke samping. “Dasar penghuni sementara.”
“Penghuni sementara?” Alis Gohvin terangkat satu. Lengannya yang kokoh bertumpu pada kosen. “Aku juga tinggal di rumah ini. Kau pasti ingat saat lukisan itu dibuat 5 tahun lalu. 2 hari sebelum ayahmu meninggal dunia. Berarti sudah selama itu aku tinggal di sini.”
“Tetap saja, aku tinggal di sini lebih lama,” sahut Vincia tidak mau kalah. Ia benar-benar tidak paham bagaimana cara Gohvin membuatnya bisa bersikap menyebalkan. Dengan kekuatan penuh, gadis itu mendorong Gohvin ke samping.
Tidak ada perlawanan. Vincia masuk dan mengurung diri dalam kamar. Malam ini, ia akan berkencan dengan Valdo. Suasana hatinya harus baik agar semua berjalan lancar.
***
Vincia tidak bisa berhenti memandangi cermin. Perhatiannya tidak lagi terpusat pada jerawat kecil di pipi kiri. Kini, tatapan gadis itu terus-menerus tertuju pada bibirnya sendiri yang berpoles liptint sewarna stroberi segar.
Benar kata Frita. Berdandan itu semudah melukis.
Khusus malam ini, Vincia mengenakan gaun favoritnya. Sebuah terusan berbahan lembut dan kuat. Kerahnya bulat, berlengan panjang sampai siku, sementara bagian rok menggantung tepat di atas mata kaki. Gaun itu merupakan hadiah ulang tahun ketujuh belas dari orang tuanya dan ia kenakan saat kelulusan dari SMA.
Vincia keluar kamar dengan penampilan terbaiknya. Syukurlah, Gohvin tidak tampak dalam jarak pandangnya. Ia sedang tidak ingin berdebat yang akan memicu kekesalan.
Akan tetapi, hingga pukul 07.30 malam, Valdo tidak kunjung datang. Sofa yang diduduki Vincia seolah-olah mulai terasa ditumbuhi duri. Gadis itu mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Valdo. Jantungnya berdebar karena firasat buruk.
Tidak ada jawaban. Setelah 10 pesan dan 7 panggilan kemudian, Vincia bersiap-siap menyerah. Namun, tiba-tiba Valdo menelepon. Dengan cepat, ia menjawab dan mendapat kabar buruk.
“Vincia, maaf kita tidak jadi pergi malam ini. Ada wawancara mendadak dari pihak Komiring Aku akan meneleponmu lagi nanti.”
Panggilan terputus. Tanpa Vincia sempat balas bicara. Hatinya berbisik muram, telepon dari Valdo tidak akan pernah datang malam ini.
Debas berat lolos bersama napas Vincia. Jemarinya menyugar kasar rambut yang tadi tersisir rapi. Gadis itu bangkit dalam satu hentakan, hendak menuju kamar.
“Mau ke mana?” tanya Gohvin yang muncul tiba-tiba seperti biasa.
Vincia heran pada dirinya sendiri yang tidak lagi terkejut dengan sikap Gohvin. Namun, ia tidak punya cukup energi untuk meladeni omong kosong lelaki itu.
“Bukankah kau mau pergi kencan?” tanya Gohvin lagi pada Vincia yang masih bungkam.
“Batal,” sahut Vincia lirih.
Tepat ketika Vincia hendak menyentuh gagang pintu kamar, tangan Gohvin sudah mendahului gerakan lambatnya. “Sayang sekali kau sudah berdandan secantik ini tapi malah kembali rebahan di kamar.”
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama