Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Jantung Vincia berdebar kencang. Ia berjalan ke arah pintu depan. Langkahnya pelan dan hati-hati, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Tiba-tiba gadis itu merasa kesal karena pintunya tidak dilengkapi lubang pengintip berlensa cembung. Sementara di hatinya tidak ada cukup keberanian untuk menyibakkan tirai jendela di samping pintu. 

Dengan perlahan, Vincia meraih kunci dan memutarnya hingga terdengar samar bunyi klik. 

“Kenapa malah dikunci?” 

Vincia menjerit tertahan dengan jantung hampir melompat keluar. Ia memelotot pada Gohvin yang berdiri melipat lengan di depan dada dengan gaya santai. Ekspresi sok polos di wajah lelaki itu terlihat sangat menyebalkan. 

“Kenapa?” tanya Gohvin dengan alis terangkat, “kau seharusnya membukakan pintu untuk tamu.”

“Diam,” desis Vincia sambil meletakkan jari di depan bibir, “aku tidak pernah punya tamu. Lagi pula, aku seorang perempuan yang tinggal sendirian.”

“Ada aku,” sanggah Gohvin cepat, “kau tidak benar-benar sendirian.”

Vincia memandangi sosok Gohvin yang menjulang di sampingnya. “Aku tidak tahu siapa kau.”

“Vincia?”

Panggilan dari luar pintu membuat Vincia buru-buru merapatkan bibir. Tunggu, suara itu terdengar familier. Seperti milik Valdo. Namun, seharusnya tidak ada alasan bagi lelaki itu untuk datang kemari. Karena biasanya, Vincia yang akan mengantarkan makanan ke kos-kosan Valdo. 

“Apa kau di rumah?”

Valdo kembali bersuara. Seolah-olah ingin meyakinkan Vincia bahwa itu memang dirinya. 

“Wah, pacarmu yang cuek datang berkunjung,” ujar Gohvin yang entah mengapa terdengar seperti sindiran di telinga Vincia. 

Vincia menelan ludah ketika akhirnya berhasil menggenggam gagang pintu. Ia membuka kunci lalu keluar dengan hati-hati. Di teras, Valdo berdiri menyambutnya dengan semringah. 

Senyum yang terlihat asing di mata Vincia. Karena memang Valdo sangat jarang tersenyum semanis itu di hadapannya. 

“Syukurlah kau sudah di rumah,” ujar Valdo dengan kedua tangan tersimpan di balik punggung, “baru pulang kerja sambilan?”

Vincia mengangguk ringan, sementara tangannya menarik pintu perlahan hingga tertutup. “Ada apa?”

Glabela Valdo berkerut. “Kok begitu? Padahal aku datang untuk menemui pacarku,” ujarnya dengan lembut. 

Alih-alih senang, nada bicara yang lembut itu entah mengapa malah membuat Vincia heran. “Ya. Ada apa?”

“Astaga, Vincia.” Valdo tertawa gemas, “aku ini pacarmu, bukan pelanggan di toko buku.”

“Oh, iya.” Vincia menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Ia berdiri di teras rumahnya sendiri, tetapi rasanya seperti ke negara antah-berantah. Suasananya terasa asing. 

Terlalu asing. 

“Kenapa hari ini kau tidak menelepon atau mengirim pesan padaku?”

Benak Vincia memutar kilas balik pagi ini. Situasi horor ketika Gohvin mengejarnya hingga ke tepi sungai, dimarahi pemilik agen koran pagi, momen melukis bersama Frita, bekerja sambilan di toko buku, hingga memilih warna liptint

Hari Vincia sudah penuh tanpa ada sela untuk mengirim pesan pada Valdo seperti biasa. Bahkan tidak ada ruang baginya untuk merasa kesal atas apa yang terjadi tadi malam. 

“M-maaf, hari ini …  aku sibuk.”

“Aku tahu, kok,” simpul Valdo maklum, “kau marah, kan? Karena semalam aku pergi.”

Glabela Vincia berkerut pada tuduhan itu. Ia bahkan hampir lupa tentang hal itu. “Memang kemarin malam pergi ke mana?”

“Keluar sama teman-teman.”

“Teman–teman?” Kerutan di glabela Vincia makin dalam. Seingatnya, Valdo bukan tipikal lelaki yang suka keluar tanpa tujuan yang jelas, “kok tidak bilang?”

“Kenapa? Masa cemburu, sih?” Valdo tersenyum penuh makna, “semuanya laki-laki, kok. Teman di kos-kosan.”

“Bukan cemburu—”

“Sudah,” potong Valdo cepat. “Masa mau bertengkar? Padahal aku bawa kabar bahagia.”

“Apa itu?” tanya Vincia dengan alis terangkat antusias. 

Dengan senyum melebar, Valdo menarik perlahan tangannya ke depan dan menyodorkan buket bunga ke hadapannya. Senyum hangat mengembang di wajah lelaki itu, seiring dengan Vincia yang kini menatapnya terkejut sekaligus tersentuh.

“T-terima kasih, Valdo,” ujar Vincia sedikit bingung menatap buket mawar merah berpindah ke tangannya, “jadi … ini kabar bahagianya?”

Valdo menggeleng. Pemuda berkaus cokelat itu menarik napas panjang sebelum membuat pengumuman. Sepasang mata berbentuk almon memancarkan kebanggaan. “Kabar baiknya adalah … komikku lolos menjadi karya resmi di Komiring.”

Selama beberapa detik, Vincia mengerjap. Rahangnya turun perlahan akibat perasaan bahagia dan syukur. Itu adalah impian Valdo selama dua tahun lebih. Kini, jadi kenyataan. 

“Kok malah menangis?” tanya Valdo cemberut, “ini, kan, berita baik. Kau tidak senang?”

Buru-buru, Vincia mengusap air mata yang terlambat ia sadari sudah menetes ke pipi dan buket bunga.  “A-aku terharu. Selama ini kau sudah berjuang.” Senyum gadis itu terkembang bersama tangis, “selamat, ya, Valdo.”

“Terima kasih,” sahut Valdo tersenyum bangga, “untuk merayakan itu, aku mau mengajakmu pergi makan malam akhir pekan ini. Karena Sabtu kau bekerja, jadi ayo pergi hari Minggu. Aku akan menjemputmu jam 7.”

Kelopak mata Vincia melebar. “Yang benar?”

Valdo mengangguk. “Kemarin aku sudah merayakan lolosnya Paint the Rain bersama teman-temanku. Jadi, selanjutnya bersamamu.”

Nyeri mencubit hati Vincia. Ternyata Valdo sudah lebih dahulu merayakan momen penting itu bersama teman-temannya. Sementara gadis itu hampir tenggelam dalam kesedihan, lelaki di hadapannya malah tertarik pada sesuatu di genggaman Vincia. 

“Apakah itu lipstik?” tanya Valdo dengan nada ingin tahu, “apa pacarku mulai belajar berdandan sekarang?”

Vincia menunduk malu, hampir lupa bahwa sejak tadi masih menggenggam benda itu. Kini, pipinya sewarna mawar dalam buket di dekapannya. “Aku baru mau coba-coba saja.”

“Pasti kau akan tambah cant—”

Tiba-tiba terdengar debum keras dari dalam rumah. Vincia dan Valdo sama-sama terhenyak. Mereka saling pandang dengan ekspresi horor sekaligus penasaran. 

Vincia yakin itu ulah Gohvin. 

“Apa itu?” tanya Valdo. 

Vincia menggeleng. “Valdo, bolehkah a-aku minta tolong?” pintanya dengan nada memelas. 

“Minta tolong apa?” Valdo mengernyit heran. Tidak biasanya Vincia meminta bantuan. 

“A-ada orang asing di rumahku. Tolong bantu aku mengusirnya,” ucap Vincia lirih seraya menarik ujung lengan kaus cokelat Valdo. 

Valdo menelan saliva, berusaha mengumpulkan keberanian. “Bagaimana caranya?” tanyanya ikut menurunkan volume suara. 

“Ayo,” ajak Vincia sambil mengedikkan kepala ke arah pintu. Isyarat agar lelaki itu mengikuti.

“Tunggu,” panggil Valdo mencegah Vincia menyentuh gagang pintu, “kau mengizinkan aku masuk rumahmu?”

Itu mustahil terjadi. Selama ini Vincia memberikan aturan ketat. Batasan yang boleh dikunjungi Valdo adalah teras depan. Namun, kali ini situasinya berbeda. 

Vincia mengangguk. Bibirnya mengerucut penuh kekhawatiran. “Dia ada di dalam,” ujarnya kemudian membuka pintu. 

Sesekali, Vincia melirik ke belakang, memastikan Valdo mengikutinya. Lelaki itu tampak sibuk mengamati sekitar. Padahal Gohvin sedang berdiri menyandarkan bahu kanannya di dinding ruang tamu. 

“Kenapa berhenti?” tanya Valdo pada Vincia yang tiba-tiba bergeming, “di mana lelaki yang perlu diusir?”

Vincia menoleh pada Valdo yang masih celingukan. Sementara bibir tipis Gohvin separuh terangkat. Senyuman menyebalkan itu penuh keangkuhan bercampur humor. 

“I-itu,” jawab Vincia sambil menunjuk ke arah Gohvin berdiri. 

Namun, tatapan Valdo masih berkelana tanpa arah. “Aku cuma melihat dinding.”

Punggung hingga tengkuk Vincia merinding. Ia mengerjap bingung pada Valdo. Sepasang netra itu sama sekali tidak menampakkan kebohongan. 

Tiba-tiba Valdo tergelak. “Astaga, pacarku menggemaskan sekali,” ujarnya lantas mencubit ringan pipi Vincia, “kau pasti kelelahan hari ini. Lebih baik aku pulang sekarang supaya kau bisa beristirahat.”

Vincia menatap Gohvin lantas kembali pada Valdo. Mana mungkin lelaki itu benar-benar serius hendak meninggalkannya bersama orang asing yang tidak kasatmata. 

“K-kalau begitu, aku ikut denganmu pulang,” pinta Vincia. 

Di detik yang sama, Gohvin menegakkan tubuh. Vincia menangkap gerakan itu dari ekor mata. Tanpa menoleh, ia bisa merasakan lelaki itu memelotot padanya. 

“Vincia.” Valdo merunduk untuk menyentuh kedua bahu Vincia, “kau, kan, tahu kos-kosanku melarang perempuan masuk.”

“Bagaimana kalau kau saja yang menginap?” tanya Vincia tidak pantang menyerah. Kali ini, ia merasakan api membara dari tatapan Gohvin. 

Valdo menggeleng heran. “Aku harus menyelesaikan revisi chapter baru Paint the Rain malam ini. Lagi pula, aku tidak membawa peralatan gambarku.”

“Ah, benar juga,” ujar Vincia penuh pengertian. 

Akhirnya, Vincia terpaksa merelakan kepergian Valdo. Ia melambaikan tangan pada lelaki itu. Sejak pacarnya itu menaiki sepeda hingga menjauh dari jarak pandang. 

Selama beberapa detik, Vincia berdiri di teras. Angin berembus lembut membelai pipi. Suhu di sekitar makin terasa dingin, tetapi gadis itu tidak juga beranjak masuk. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi lelaki yang menunggu di dalam rumah. 

Sosok yang tidak bisa dilihat Valdo. 

“Pacarmu sudah pulang, kenapa tidak masuk?”

Vincia terperanjat ketika tiba-tiba Gohvin berdiri di sampingnya. Spontan, gadis itu bergeser satu langkah ke kanan lantas berputar sedikit menghadap Gohvin. Erat-erat, ia mengepalkan tangannya yang gemetar. 

“Tidak mau. Sampai kau jelaskan siapa kau sebenarnya?” tuntut Vincia dengan suara berdecit. 

Alih-alih langsung menjawab, Gohvin memandang sekitar. “Kita bisa bicara di dalam. Memangnya kau mau ada tetangga yang melihatmu bicara sendirian di teras?”

Hanya dengan ucapan itu, Vincia menurut untuk masuk rumah. Setelah menutup pintu, Gohvin meminta gadis itu untuk duduk di sofa dengan tenang. Kemudian Gohvin meletakkan secangkir teh hangat dan biskuit selai stroberi, serta membawakan boneka kura-kura kesayangan Vincia. 

“Untuk apa ini semua?” tanya Vincia sambil memeluk boneka kura-kuranya, “k-kau cukup jawab pertanyaanku.”

Gohvin duduk di sofa single yang berhadapan langsung dengan Vincia. “Sekarang, coba pikirkan dan ingat baik-baik. Apa yang hilang dari rumah ini?”

Glabela Vincia terlipat. “Jadi …  kau pencuri?”

Gohvin mendengkuskan tawa. Saat itulah Vincia baru menyadari lesung di pipi lelaki itu. “Ayolah, Vincia. Sang pelukis genius, seharusnya kau bisa menebak dengan mudah. Petunjuk tambahan: yang hilang bukan suatu barang.”

Ingatan Vincia melayang ke pagi hari. Tepat ketika ia terbangun dan terkejut pada sesuatu yang hilang. Perlahan, tatapan gadis itu bergeser dari Gohvin ke pintu ruang lukis ayahnya. 

Seiring pemahaman mengisi benak, kelopak mata Vincia berangsur-angsur melebar. Namun, seharusnya itu mustahil terjadi. Perlahan, ia kembali menatap Gohvin yang sekarang tersenyum bangga. 

“Tidak mungkin—”

Gohvin mengangguk. “Aku … lelaki dari lukisan ayahmu.”

🎨🎨🎨

Makashi♡ Luvnaer🌙 sudah berkenan membaca Paint of Pain. Like👍 dan comment💬 dari kalian sangat berarti~ (˶˃ ᵕ ˂˶) sampai jumpa di chapter selanjutnya~

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • juliartidewi

    Kalau minat baca penduduk Indonesia sudah tinggi, semua penulis pasti diapresiasi sehingga tidak ada lagi persaingan yang sangat ketat seperti sekarang. Setiap penulis akan memiliki karya2nya sendiri yang sudah diterbitkan karena setiap penulis akan memiliki penggemar2nya sendiri. Semoga karya Kakak sukses!

    Comment on chapter Epilog
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? 😮

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak 🤩

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt 😭

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier 🤩

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh 😍

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih 😭

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu 🤩

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya 🤔

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa 😂

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Dead Time
0      0     0     
Action
Tak ada yang tahu kapan waktu mulai berhenti. Semuanya tampak normal—sampai detik itu datang. Jam tak lagi berdetak, suara menghilang, dan dunia terasa membeku di antara hidup dan mati. Di tempat yang sunyi itu, hanya ada bayangan masa lalu yang terus berulang, seolah waktu sendiri menolak untuk bergerak maju. Setiap langkah membawa pertanyaan baru, tapi tak pernah ada jawaban yang benar-be...
GEANDRA
780      597     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Cinderella And The Bad Prince
3417      1957     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Loveless
14955      6357     615     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
sulit melupakanmu
155      116     0     
True Story
ini cerita tentang saya yang menyesal karena telah menyia nyiakan orang yang sangat cinta dan sayang kepada saya,dia adalah mantan saya
Wabi Sabi
430      305     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
In Her Place
2003      1117     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Imajinasi si Anak Tengah
4877      2631     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Sebab Pria Tidak Berduka
251      210     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
TITANICNYA CINTA KITA
0      0     0     
Romance
Ketika kapal membawa harapan dan cinta mereka karam di tengah lautan, apakah cinta itu juga akan tenggelam? Arka dan Nara, sepasang kekasih yang telah menjalani tiga tahun penuh warna bersama, akhirnya siap melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, jarak memisahkan mereka saat Arka harus merantau membawa impian dan uang panai demi masa depan mereka. Perjalanan yang seharusnya menjadi a...