Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kertas Remuk
MENU
About Us  

Makan malam kami sedikit sunyi dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kak Egi dan Kak Riri pun hanya diam, tak berbicara sepatah kata pun. Mamak beberapa kali berbicara, hanya sekadar menawarkan sayur kepada Bapak dan Kakak. Bapak yang biasanya berbincang dan bercanda panjang lebar, kini tampak terdiam seribu bahasa. Aku perhatikan dahinya berkerut, bahkan makannya tampak lebih sedikit daripada porsi biasanya.

“Pak, Egi nanti mau bicara sama Bapak. Bisa, Pak?” Kak Egi, kakak pertamaku, berbicara setelah sekian lama terdiam di ruang tengah tempat kami menyantap makan malam.

“Iya, nanti kita bicara,” sahut Bapak, lalu kembali terdiam.

Aku tidak berani berkata terlalu banyak karena sepertinya memang ada permasalahan serius yang perlu diselesaikan. Aku menatap piringku—telur ceplok dengan kecap yang selalu jadi menu favoritku—kini tampak hambar dan enggan kusentuh. Alhasil, aku hanya memainkan makananku, mengaduknya dengan sendok dan tak kunjung masuk ke dalam suapanku.

“Ta, dimakan makanannya.” Kak Riri, kakak keduaku, mengingatkan dengan sedikit menyenggol lenganku.

Atensi seketika beralih padaku. Bapak berdeham dan Mamak menatap piringku. Kak Egi tampak menghela napas dan sedikit melototkan matanya padaku. Aku menunduk dan kembali melihat piring yang terisi nasi, telur, dan kecap itu. Mau tak mau, aku menyuap makananku meski tak berselera.

Di tengah makanku, Kak Egi dan Bapak telah menyudahi makan lebih awal. Papan rumah berderit kala Bapak bangkit dari lesehan. Aku melihatnya sekilas berjalan menuju dapur sambil membawa piring bekas makannya. Begitulah Bapak, tidak pernah segan mencuci piring bekas makan dan bahkan lihai membantu pekerjaan rumah. Tidak hanya Bapak, Kak Egi yang juga lelaki di rumah ini andal dalam hal memasak. Bahkan, saat aku, Bapak, dan Mamak menjajakan sayur ke pasar, maka Kak Egi yang memasak makan malam untuk kami, lalu Kak Riri yang membersihkan rumah dan memberi pakan ayam.

“Mak, Bapak kenapa?” aku memulai tanya yang sejak tadi bersarang dalam kepalaku.

“Bapak cuma capek, tadi kan habis panen kangkung lagi,” sahut Bapak dari belakang.

“Tapi biasanya Bapak panen juga enggak begini,” balasku.

“Lho, kan Bapak panen lebih banyak dari biasanya. Makanya agak lebih capek rasanya.”

“Tapi tadi Tata...”

“Sudah, sekarang habiskan makannya. Bapak mau pergi sebentar sama Kak Egi. Gimana, Gi? Sudah siap? Ayo kita pergi.”

Terputus sudah harapanku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tidak mengapa, masih ada waktu untuk aku menanyakannya pada Mamak. Nanti, sebelum tidur, aku akan menanyakannya. Nanti.

Dan itu hanyalah anganku pada saat itu. Namun nyatanya, aku tidak memiliki kesempatan itu. Malam itu, yang terjadi selanjutnya adalah memori yang tidak akan pernah aku lupakan sama sekali. Bapak dan Kak Egi pergi sebentar ke warung kopi untuk berbincang—sesuatu yang sepertinya tidak boleh kami dengar sebagai anggota keluarga perempuan.

Saat malam semakin larut, aku dan Kak Riri disuruh tidur oleh Mamak. Besok kami harus sekolah. Tapi dalam benakku muncul pertanyaan, bukankah Kak Egi juga harus sekolah besok? Tapi mengapa sampai waktunya tidur, mereka belum juga kembali? Aku berusaha memejamkan mata yang tak kunjung mendapatkan kantuknya. Aku hanya berguling ke sana ke mari tanpa ada keinginan untuk tertidur.

Hingga aku mendengar suara motor bebek Bapak. Mereka sudah kembali. Aku melirik pada Kak Riri yang tidur beralaskan kasur tipis yang sama denganku. Dia sudah tertidur pulas sejak tadi. Aku takut Bapak marah padaku karena belum juga tertidur, maka aku segera memejamkan mata. Dan suatu suara di luar sana membuatku kembali membuka lebar mata ini.

“Mak! Bapak, Mak! Bapak!!!” Itu suara teriakan Kak Egi.

Aku segera bangkit dan menyibak tirai kumal yang menjadi pembatas kamar dengan ruang tengah. Aku melihat Mamak berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu depan. Papan kayu rumah kami kembali berderit menyesuaikan gerak langkah Mamak yang tergesa. Saat pintu terbuka, hanya ada Kak Egi yang tampak lusuh dan berkeringat. Motor bebek Bapak terparkir dengan kondisi mesin yang masih menyala.

Aku memperhatikan Kak Egi. Penampilannya yang tidak beraturan sangat kontras dengan saat dirinya berangkat bersama Bapak. Matanya memerah, seperti menahan isak tangis. Sikutnya sedikit berdarah karena goresan. Mamak langsung merangkul anak bujangnya itu dan memperhatikan kondisi miris putranya.

“Kemana Bapak? Ada apa dengan Bapak?”

“Bapak pergi, Mak! Bapak pergi!”

Mamak hanya diam, tidak membalas apa pun, dan justru menyuruh Kak Egi untuk masuk. Namun Kak Egi bertindak lain. Kini dia menyentak lengannya yang ditarik untuk masuk. Wajahnya kaku, menggeram menahan diri. Matanya semakin menajam menatap Mamak. Aku tahu, Kak Egi adalah orang yang sopan dan tidak pernah bertindak demikian. Namun malam ini yang terjadi justru sebaliknya. Kak Egi dengan tegas membantah Mamak.

“Masuk dulu, Gi. Masuklah. Mamak sudah tahu apa yang akan Bapak lakukan.”

“Tidak, Mak! Egi tidak suka cara Mamak dan Bapak!” sahutnya tegas, tak terbantah.

“Kenapa enggak pernah bicarakan ini pada Egi lebih dulu?”

“Masuk dulu, Egi. Ayo, lah...”

Kak Egi masih teguh pada pendiriannya. Bahkan sekarang, bulir bening setetes air mata telah tergelincir dari kelopaknya.

“Mak..., Mamak sama Bapak tidak percaya Egi? Apa Egi memang tidak pantas untuk dipercaya? Kenapa? Kenapa Mamak dan Bapak tidak pernah cerita pada Egi? Egi sudah besar, Mak. Umur Egi sudah tujuh belas tahun. Egi sudah mampu berpikir! Egi sudah bisa membantu Mamak. Kalian butuh apa? Bilang sama Egi! Egi bisa bantu, Mak!”

Mamak terbungkam oleh perkataan sulungnya. Aku yang masih belia kala itu pun hanya bisa termangu menatap takut dari balik jendela. Suara Kak Egi keras dan tegas, namun pipinya berlinang air mata. Mamak yang diam pun sesenggukan, tak berdaya.

Kalian tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu dan hari-hari sebelumnya? Akan sangat rumit untuk dicerna oleh anak kecil yang usianya belum genap sembilan tahun saat itu. Yang aku tahu, Bapak pergi entah ke mana dan Mamak berseteru dengan Kak Egi. Lalu beberapa hari setelahnya, Kak Egi memutuskan berhenti sekolah demi menghidupi kami. Kak Egi mengambil alih sepetak tanah yang biasa menjadi ladang kangkung Bapak dan menggarapnya seorang diri—menyemai benih, memberi pupuk, dan memanennya. Tugasku dan Mamak menjualnya ke pasar, lalu Kak Riri yang menjaga rumah serta memberi pakan ayam.

Sejak malam itu dan beberapa hari setelahnya, aku tak berani bertanya ke mana perginya Bapak. Karena pada siapa aku akan menanyakannya? Kak Egi tak ada lagi waktu untuk membersamaiku. Mamak? Aku takut dimarahi. Kak Riri? Dia akan sangat cuek meskipun tahu apa yang sebenarnya terjadi.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Penerang Dalam Duka
1264      677     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Sebelah Hati
1393      813     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
313      199     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Layar Surya
1993      1134     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Spektrum Amalia
881      580     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
XIII-A
980      693     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
357      301     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
My First love Is Dad Dead
70      66     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
158      133     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Kembali ke diri kakak yang dulu
1332      858     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...