Makan malam kami sedikit sunyi dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kak Egi dan Kak Riri pun hanya diam, tak berbicara sepatah kata pun. Mamak beberapa kali berbicara, hanya sekadar menawarkan sayur kepada Bapak dan Kakak. Bapak yang biasanya berbincang dan bercanda panjang lebar, kini tampak terdiam seribu bahasa. Aku perhatikan dahinya berkerut, bahkan makannya tampak lebih sedikit daripada porsi biasanya.
“Pak, Egi nanti mau bicara sama Bapak. Bisa, Pak?” Kak Egi, kakak pertamaku, berbicara setelah sekian lama terdiam di ruang tengah tempat kami menyantap makan malam.
“Iya, nanti kita bicara,” sahut Bapak, lalu kembali terdiam.
Aku tidak berani berkata terlalu banyak karena sepertinya memang ada permasalahan serius yang perlu diselesaikan. Aku menatap piringku—telur ceplok dengan kecap yang selalu jadi menu favoritku—kini tampak hambar dan enggan kusentuh. Alhasil, aku hanya memainkan makananku, mengaduknya dengan sendok dan tak kunjung masuk ke dalam suapanku.
“Ta, dimakan makanannya.” Kak Riri, kakak keduaku, mengingatkan dengan sedikit menyenggol lenganku.
Atensi seketika beralih padaku. Bapak berdeham dan Mamak menatap piringku. Kak Egi tampak menghela napas dan sedikit melototkan matanya padaku. Aku menunduk dan kembali melihat piring yang terisi nasi, telur, dan kecap itu. Mau tak mau, aku menyuap makananku meski tak berselera.
Di tengah makanku, Kak Egi dan Bapak telah menyudahi makan lebih awal. Papan rumah berderit kala Bapak bangkit dari lesehan. Aku melihatnya sekilas berjalan menuju dapur sambil membawa piring bekas makannya. Begitulah Bapak, tidak pernah segan mencuci piring bekas makan dan bahkan lihai membantu pekerjaan rumah. Tidak hanya Bapak, Kak Egi yang juga lelaki di rumah ini andal dalam hal memasak. Bahkan, saat aku, Bapak, dan Mamak menjajakan sayur ke pasar, maka Kak Egi yang memasak makan malam untuk kami, lalu Kak Riri yang membersihkan rumah dan memberi pakan ayam.
“Mak, Bapak kenapa?” aku memulai tanya yang sejak tadi bersarang dalam kepalaku.
“Bapak cuma capek, tadi kan habis panen kangkung lagi,” sahut Bapak dari belakang.
“Tapi biasanya Bapak panen juga enggak begini,” balasku.
“Lho, kan Bapak panen lebih banyak dari biasanya. Makanya agak lebih capek rasanya.”
“Tapi tadi Tata...”
“Sudah, sekarang habiskan makannya. Bapak mau pergi sebentar sama Kak Egi. Gimana, Gi? Sudah siap? Ayo kita pergi.”
Terputus sudah harapanku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tidak mengapa, masih ada waktu untuk aku menanyakannya pada Mamak. Nanti, sebelum tidur, aku akan menanyakannya. Nanti.
Dan itu hanyalah anganku pada saat itu. Namun nyatanya, aku tidak memiliki kesempatan itu. Malam itu, yang terjadi selanjutnya adalah memori yang tidak akan pernah aku lupakan sama sekali. Bapak dan Kak Egi pergi sebentar ke warung kopi untuk berbincang—sesuatu yang sepertinya tidak boleh kami dengar sebagai anggota keluarga perempuan.
Saat malam semakin larut, aku dan Kak Riri disuruh tidur oleh Mamak. Besok kami harus sekolah. Tapi dalam benakku muncul pertanyaan, bukankah Kak Egi juga harus sekolah besok? Tapi mengapa sampai waktunya tidur, mereka belum juga kembali? Aku berusaha memejamkan mata yang tak kunjung mendapatkan kantuknya. Aku hanya berguling ke sana ke mari tanpa ada keinginan untuk tertidur.
Hingga aku mendengar suara motor bebek Bapak. Mereka sudah kembali. Aku melirik pada Kak Riri yang tidur beralaskan kasur tipis yang sama denganku. Dia sudah tertidur pulas sejak tadi. Aku takut Bapak marah padaku karena belum juga tertidur, maka aku segera memejamkan mata. Dan suatu suara di luar sana membuatku kembali membuka lebar mata ini.
“Mak! Bapak, Mak! Bapak!!!” Itu suara teriakan Kak Egi.
Aku segera bangkit dan menyibak tirai kumal yang menjadi pembatas kamar dengan ruang tengah. Aku melihat Mamak berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu depan. Papan kayu rumah kami kembali berderit menyesuaikan gerak langkah Mamak yang tergesa. Saat pintu terbuka, hanya ada Kak Egi yang tampak lusuh dan berkeringat. Motor bebek Bapak terparkir dengan kondisi mesin yang masih menyala.
Aku memperhatikan Kak Egi. Penampilannya yang tidak beraturan sangat kontras dengan saat dirinya berangkat bersama Bapak. Matanya memerah, seperti menahan isak tangis. Sikutnya sedikit berdarah karena goresan. Mamak langsung merangkul anak bujangnya itu dan memperhatikan kondisi miris putranya.
“Kemana Bapak? Ada apa dengan Bapak?”
“Bapak pergi, Mak! Bapak pergi!”
Mamak hanya diam, tidak membalas apa pun, dan justru menyuruh Kak Egi untuk masuk. Namun Kak Egi bertindak lain. Kini dia menyentak lengannya yang ditarik untuk masuk. Wajahnya kaku, menggeram menahan diri. Matanya semakin menajam menatap Mamak. Aku tahu, Kak Egi adalah orang yang sopan dan tidak pernah bertindak demikian. Namun malam ini yang terjadi justru sebaliknya. Kak Egi dengan tegas membantah Mamak.
“Masuk dulu, Gi. Masuklah. Mamak sudah tahu apa yang akan Bapak lakukan.”
“Tidak, Mak! Egi tidak suka cara Mamak dan Bapak!” sahutnya tegas, tak terbantah.
“Kenapa enggak pernah bicarakan ini pada Egi lebih dulu?”
“Masuk dulu, Egi. Ayo, lah...”
Kak Egi masih teguh pada pendiriannya. Bahkan sekarang, bulir bening setetes air mata telah tergelincir dari kelopaknya.
“Mak..., Mamak sama Bapak tidak percaya Egi? Apa Egi memang tidak pantas untuk dipercaya? Kenapa? Kenapa Mamak dan Bapak tidak pernah cerita pada Egi? Egi sudah besar, Mak. Umur Egi sudah tujuh belas tahun. Egi sudah mampu berpikir! Egi sudah bisa membantu Mamak. Kalian butuh apa? Bilang sama Egi! Egi bisa bantu, Mak!”
Mamak terbungkam oleh perkataan sulungnya. Aku yang masih belia kala itu pun hanya bisa termangu menatap takut dari balik jendela. Suara Kak Egi keras dan tegas, namun pipinya berlinang air mata. Mamak yang diam pun sesenggukan, tak berdaya.
Kalian tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu dan hari-hari sebelumnya? Akan sangat rumit untuk dicerna oleh anak kecil yang usianya belum genap sembilan tahun saat itu. Yang aku tahu, Bapak pergi entah ke mana dan Mamak berseteru dengan Kak Egi. Lalu beberapa hari setelahnya, Kak Egi memutuskan berhenti sekolah demi menghidupi kami. Kak Egi mengambil alih sepetak tanah yang biasa menjadi ladang kangkung Bapak dan menggarapnya seorang diri—menyemai benih, memberi pupuk, dan memanennya. Tugasku dan Mamak menjualnya ke pasar, lalu Kak Riri yang menjaga rumah serta memberi pakan ayam.
Sejak malam itu dan beberapa hari setelahnya, aku tak berani bertanya ke mana perginya Bapak. Karena pada siapa aku akan menanyakannya? Kak Egi tak ada lagi waktu untuk membersamaiku. Mamak? Aku takut dimarahi. Kak Riri? Dia akan sangat cuek meskipun tahu apa yang sebenarnya terjadi.