Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

Bab 2. Tak Ada Sisi Kemanusiaan

“Siapa itu, Jun?” 

Arjun mendengus saat bahunya ditepuk keras oleh Bima, temannya yang berada di divisi dokumentasi. 

“Nggak tahu.”

“Kalau nggak kenal kenapa dia bisa marah ke lo?” Bima memandangi temannya dengan bingung. 

“Tadi gue salah ngira dia mahasiswa baru, jadi gue ngamuk karena telat. Ternyata kakak tingkat yang mau bimbingan skripsi,” jelas Arjun dengan kepala yang memutar kembali adegan saat dia bersikap superior di depan perempuan tadi.

“Ngawur!”

Arjun sudah cukup malu dan kena mental karena sudah salah paham, kini tonjokan Bima di punggung makin membuatnya meringis. 

“Kok bisa-bisanya lo dimarahin orang lain di depan maba. Wibawa lo sebagai komdis jadi ancur,” maki Bima dengan gelengan tak percaya.

Arjun makin mendengus keras-keras. Ia pun sudah tahu kalau sikapnya sudah sangat salah.

“Kenapa nih?” Inka yang sedivisi dengan Bima ikut nimbrung. Arjun diam-diam sebal karena jadi banyak panitia yang salah fokus kepadanya daripada menjalankan tugas masing-masing.

“Si Arjun abis dimarahin kating depan maba,” ungkap Bima.

Inka mendelik. “Kating? Kating dari divisi mana?”

“Bukan panitia ospek,” sahut Arjun dengan cepat. Yang mana membuat bola mata Inka makin membulat dan hampir loncat dari tempatnya.

“Wilayah ini udah di steril. Harusnya nggak ada mahasiswa selain panitia sama maba yang di kampus.”

“Bimbingan skripsi. Mungkin dosen pembimbing maunya sekarang.”

“Oh.”

Inka tak bisa berkomentar banyak lagi jika kondisinya memang demikian. Kadang kala dosen memang bisa berbuat semaunya. Ia masih semester lima, tapi ia sudah tahu beratnya jadi mahasiswa semester akhir. Ia bahkan memiliki beberapa kenalan yang telat lulus karena harus menghadapi banyak masalah.

“Lo mau lihat kating yang marahin Arjun nggak? Tadi gue ngefoto!”

Bima menyodorkan kamera DSLR yang tergantung di lehernya kepada Inka. Arjun sendiri melirik dengan jengah. Tak mengira jika Bima menangkap momen yang tidak penting di tengah acara. Sangat tak takut sikapnya bakal jadi bahan evaluasi di penghujung hari. Ya, meski dirinya pasti sudah jadi bahan perang debat karena turut melakukan kesalahan besar. 

“Mana? Lihat sini!” Inka menarik kamera Bima sepenuh tenaga hingga tubuh Bima ikut terhuyung.

“Pelan-pelan!” desisnya. 

Inka hanya tergelak dan kembali fokus ke kamera Bima. Arjun menggeleng prihatin melihat tingkah mereka. Ia baru berjalan menjauh saat mendengar pekikan Inka, “Loh, ini kan Mbak Mawar?!”

“Lo kenal?” tanya Arjun saat kembali berbalik.

Inka mengangguk. “Kenal banget. Dia guru privat dulu pas SMA.”

Wajah Arjun rasanya makin pias. Dalam logika cepat, ia sudah menduga kalau perempuan bernama Mawar ini memang usianya jauh di atasnya. Dan ia dengan bodohnya malah membuat masalah dengannya. 

“Kamu apain Mbak Mawar sampai dia marah-marah? Serius baru kali ini tahu kalau Mbak Mawar bisa ngamuk.”

Kelanjutan ucapan Inka tak membuat perasaan Arjun membaik sama sekali. Justru malah membesarkan rongga bersalah di hatinya. Sepertinya, ia harus menghindar dari Mawar untuk selamanya agar dia benar-benar dimaafkan. 

***

Mawar tak langsung pulang setelah dari bimbingan. Ia menepikan motornya ke pom bensin terlebih dahulu. Bukan untuk mengisi makanan motornya, tapi untuk meluapkan tangisannya di kamar mandi umum. Ia tak bisa menangis di area kampus karena takut kembali dikira mahasiswa baru. Ia juga tak mungkin menangis di rumah. Jadilah kamar mandi pom bensin sebagai pilihan terakhir. 

“Kenapa… kenapa sih semuanya galak? Kenapa… kenapa nggak bisa ngomong baik-baik?” Mawar terus mendumel sambil terisak-isak. 

“Aku… aku kan juga punya hati!”

Kedua telapak tangan Mawar sudah dipenuhi dengan air mata. Hari ini baru berjalan setengah, tapi ia sudah tak sanggup lagi untuk melanjutkannya. Ia tak bisa memikirkan kejadian apa lagi yang menunggunya. Sungguh, ia sudah cukup hancur hari ini. Jika ada hal yang membuatnya menangis lagi, ia tak tahu harus bagaimana lagi. 

Tangisan Mawar terhenti saat suara alarm dari ponselnya berbunyi. Sebelum masuk ke kamar mandi, ia memang memasang timer selama sepuluh menit. Ia sedang menggunakan fasilitas umum, tentu ia tak bisa menguasai lama-lama. 

Setelah mematikan alarm, Mawar mengambil napas dalam-dalam. Ia harus menenangkan diri sebelum kembali mengemudi. Perjalanannya menuju rumah hanya kurang sepuluh menit, jadi topengnya harus kembali terpasang. Jangan sampai ada yang mengetahui ia baru saja menangis.

Sebenarnya, rumah bukan tempat yang akan menyuguhkan ketenangan bagi Mawar. Namun, ia berharap hari ini semuanya akan baik-baik saja. Orang bilang, harapan sama dengan mimpi. Saat membuka pintu kamar, Mawar baru ingat kalau tak selamanya mimpi itu indah. Dan kini di depannya sebuah mimpi buruk tengah terjadi.

“Adek! Jangan dicorat-coret bukunya Mbak!”

Wajah Mawar sudah memucat saat melihat kamusnya sudah dipenuhi spidol hitam. Ia menarik paksa kamus tebal itu dengan panik hingga menciptakan goresan panjang di halaman yang terbuka. 

Lea, adiknya yang tiga bulan lagi berusia enam tahun, langsung berteriak kesal karena mainannya diambil. Ia menarik bantal-bantal di kasur dan melemparkannya ke arah Mawar sambil menangis.

“MANAAA!!!” 

Telinga Mawar berdengung kala pekikan itu menerobos gendang pendengarannya. Kabar buruknya lainnya datang bersama suara hentakan kaki yang berjalan mendekat. Mawar sudah memijat kepalanya yang mulai pusing saat ibunya sudah memasuki kamar dengan melotot kesal.

“Ada apa sih? Rame ae!” 

“Buku Adek diambil Mbak!” 

Mawar mendengus saat Lea melaporkan ke ibunya dengan asal.

“Ini buku aku, Bu! Lea yang nyoret-nyoret kamusku! Mana ini masih dipake dan punya senior!” Mawar membela diri sambil membuka halaman-halaman kamus yang isinya bahkan sudah tak terlihat karena dipenuhi coretan spidol.

“Ya kamu naruh buku sembarangan. Anak kecil mana tahu.”

“Aku udah taruh di meja belajar. Dia aja yang nakal suka naik-naik ke kursi buat acak-acak buku!”

“Kalau udah tahu adiknya sudah naik kursi buat ambil buku, ya kamu simpan dong bukunya ke tempat lain.”

“Nyimpannya kalau nggak di sana di mana lagi? Wong tempatnya emang di sana!”

Pembelaan ibunya untuk Lea membuat Mawar makin jengkel sehingga ia tak tahan untuk turut menggunakan nada tinggi. Meski ia tahu, kalau dalam situasi apapun ibunya akan selalu di pihak si bungsu.

“Kamu bisa nyimpen di lemari atau apa gitu. Otaknya buat mikir makanya!”

“Ya Ibu harusnya tegesin Lea juga biar nggak seenaknya. Jangan dimanjain mulu makanya jadi kurang ajar.”

“Mulut kamu itu yang kurang ajar!”

Saat Mawar sadar bahwa perdebatan itu tak ada ujungnya, ia memilih pergi dari kamar dengan langkah secepat kilat. Ia menulikan rungunya atas panggilan sang ibu, juga tangisan Lea yang tak berkesudahan. Ia terus berjalan dan berjalan sampai keluar dari gang. Untuk sesaat ia termenung sebelum melanjutkan langkah dengan gontai ke sembarang arah.

Surabaya sedang terik-teriknya dan ia malah keluyuran tanpa tujuan. Akan tetapi, ia merasa begini lebih baik daripada tetap di rumah. Ia tak masalah dengan kulitnya yang terbakar matahari, asal ia tak mendengar lagi makian yang tertuju padanya.

***

Arjun menenggak habis minuman isotonik yang kode batangnya baru dipindai oleh kasir. Ia bahkan tak menunggu sang kasir menyelesaikan hitungan untuk barang yang lain. Kering kerontang kerongkongannya sudah tak bisa ditahan lagi. Ditambah ia baru dicaci habis-habisan selama evaluasi karena kesalahannya memarahi orang lain tadi siang.

“Terima kasih sudah berbelanja.”

Arjun membalas dengan senyum kecil ketika menerima sekresek penuh belanjaannya. Setelah ini masih ada banyak hal yang harus dilakukan, padahal ia ingin tiduran saja. Ketika membuka pintu minimarket, ia tersentak saat melihat sosok yang tak ingin menemuinya lagi.

“Sejak kapan dia di sana?” batin Arjun sambil menelisik Mawar yang sedang melamun di kursi depan minimarket. 

Perempuan itu terlihat berada dalam dunianya sendiri. Matanya kosong dan tangannya terus memeluk buku tebal dengan helaan napas yang berat. Pakaiannya pun masih sama seperti tadi siang hingga ia berasumsi pasti Mawar juga belum pulang.

Arjun menelan ludahnya saat mulai mengambil langkah dengan pelan. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam untuk menghindar dari Mawar saat berjalan menuju motornya. Akan tetapi, ia tak bisa menahan kepanikannya saat melihat Mawar turut berjalan ke arah yang sama.

“Anu… maaf.”

Mawar sedang sibuk mencari kunci motor di dalam tasnya saat seseorang mengetuk spion kanan. Ia sudah lelah dan ingin cepat istirahat, tapi kunci motornya hilang. Kini, ada orang lain yang mengganggunya. Terlebih lagi orang itu adalah musuh barunya.

“Bukannya saya udah bilang jangan muncul lagi di depan saya?!” bentak Mawar. 

Arjun memucat sempurna. Ia menggaruk dagunya dengan bingung dan kikuk. 

“Saya juga berusaha, Kak. Tapi—”

“Tapi apa?! Kamu nggak puas udah marahin saya? Kamu masih mau ngamuk lagi?!”

Hari ini bisa dinobatkan sebagai hari tersial sepanjang hidup Mawar. Pun sebagai hari dimana ia paling emosional. Ia sudah menenangkan diri selama berjam-jam, tapi di saat kemarahannya sudah reda malah ada pemicu lainnya.

“Kenapa sih semua orang nyebelin banget hari ini?” gerutu Mawar dengan menatap Arjun penuh dendam.

Seketika Arjun menunduk. “Maaf, Kak.”

“Udah! Minggir!” 

Mawar melipat jagang motor demi segera melipir pergi dari hadapan Arjun. Namun, Arjun segera menangkap motor itu sambil menatapnya dengan panik. 

“Nggak bisa, Kak,” ucapnya.

Mawar mendelik. “Kenapa nggak bisa?!”

“Ini… ini motor saya.”

Pegangan Arjun ke spion makin menguat. Sejak tadi ia sudah kebingungan saat melihat Mawar terus berjalan ke arah yang sama, lebih-lebih saat melihatnya naik ke atas motor miliknya. Rasanya percuma saja ia berusaha menghindar.

“Hah?!” 

Mawar menatap motor yang ia naiki. Motor ini jelas mirip seperti motornya, kecuali stiker kucing yang tertempel di dashboard motor. Saat ia mencoba berpikir, ia dihantam dengan ingatan kalau dirinya keluar dari rumah dengan jalan kaki karena tadi terlalu emosi.

“Maaf, Kak. Jadi… motornya….” Arjun tak berani berkata banyak. Tatapan Mawar sungguh seperti maut yang bisa menelannya. 

“Maaf,” ucap Mawar dengan segera turun dari motor itu. 

Selain hari yang sial, ternyata hari ini jadi hari yang memalukan. Sudah dua kali ia mengalami kesalahpahaman, tapi yang terakhir karena kebodohannya sendiri. Wah! Rasanya ia ingin tenggelam saja ke dalam inti bumi.

“Kak….”

Mawar mendesis kala Arjun merapatkan motor ke arahnya yang sedang mencoba berjalan cepat. 

“Saya antar aja, Kak. Rumah saya juga lewat sini kok,” ajak Arjun.

“Nggak usah. Ngerepotin.” Mawar menggeleng tegas. 

“Nggak repot, Kak. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf juga buat siang tadi.”

Mawar langsung menghentikan langkah. Ia menoleh kepada Arjun yang kini ikut mematikan mesin motornya. Arjun sudah menyuguhkan senyuman dan siap memberikan helm cadangan untuk Mawar.

“Kamu ini… orangnya nggak peka banget, ya?” tembak Mawar.

“Eh?” Uluran helm itu terhenti di udara. Matanya yang masih menyiratkan kebingungan membuat Mawar jengah setengah mati. 

“Saya ini lagi malu!” pekik Mawar. Ia tak mengira akan menjelaskan perasaannya seblak-blakan ini. “Mending kamu cepetan pergi karena saya udah nggak ada muka lagi gara-gara salah motor!”

Jika Arjun memang memiliki sisi kemanusian yang baik, pasti dia akan mengerti dan mengemudikan motornya secepat mungkin untuk menghilang dari hadapan Mawar. Namun, malam ini Mawar sudah mengerti kalau sisi kemanusiaan Arjun memang bermasalah. Buktinya, dia malah tertawa. 

Tawanya… bahkan cukup kencang hingga membuat mereka jadi pusat perhatian.

“Orang aneh,” umpat Mawar dengan muka yang sepenuhnya merah. Sedang Arjun masih setia bersama gelakannya.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
415      294     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Bulan di Musim Kemarau
428      309     0     
Short Story
Luna, gadis yang dua minggu lalu aku temui, tiba-tiba tidak terlihat lagi. Gadis yang sudah dua minggu menjadi teman berbagi cerita di malam hari itu lenyap.
Big Secret
585      408     0     
Romance
Dayu Raha Dewi, seorang mahasiswi yang menutup identitasnya karena trauma masa lalu. Diluar dugaan, ia terjebak dengan kebohongannya sendiri, melibatkan keselamatan teman-temannya. Akankah ia berhasil menyelamatkan teman-temannya?
Smitten Ghost
214      176     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Time and Tears
315      242     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
SAMIRA
324      202     3     
Short Story
Pernikahan Samira tidak berjalan harmonis. Dia selalu disiksa dan disakiti oleh suaminya. Namun, dia berusaha sabar menjalaninya. Setiap hari, dia bertemu dengan Fahri. Saat dia sakit dan berada di klinik, Fahri yang selalu menemaninya. Bahkan, Fahri juga yang membawanya pergi dari suaminya. Samira dan Fahri menikah dua bulan kemudian dan tinggal bersama. Namun, kebahagiaan yang mereka rasakan...
Sebelah Hati
1090      666     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Sacrifice
6798      1733     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"
Phi
2139      858     6     
Science Fiction
Wii kabur dari rumah dengan alasan ingin melanjutkan kuliah di kota. Padahal dia memutus segala identitas dan kontak yang berhubungan dengan rumah. Wii ingin mencari panggung baru yang bisa menerima dia apa adanya. Tapi di kota, dia bertemu dengan sekumpulan orang aneh. Bergaul dengan masalah orang lain, hingga membuatnya menemukan dirinya sendiri.
Forget Me After The Rain
434      316     1     
Short Story
\"Kalau begitu, setelah hujan ini, lupakan aku, seperti yang aku lakukan\" Gadis itu tersenyum manis