Mawar lupa cara bernapas saat baru menjejakkan kaki di lobi fakultas. Ia baru berlarian dari tempat parkir yang jaraknya sepuluh meter dari gedung Fakultas Ilmu Budaya, bahkan jika ditarik lebih ke belakang, ia sudah berlarian keluar dari ruang interview di salah satu perusahaan travel saat mendapat pesan dari dosen pembimbing. Laju motornya dua kali lipat lebih cepat dibanding kebiasaannya agar segera memenuhi panggilan sakral ini.
Oh, Mawar tak mungkin melewatkannya. Jadwal ini hasil dari permohonannya selama berbulan-bulan. Meski ia tahu kalau ia akan dihujani makian dan kemarahan atas tugas akhirnya, ia sudah mempersiapkan diri untuk itu. Yang tak pernah ia persiapkan adalah mendapat bentakan dari orang lain saat ia belum sepenuhnya bernapas normal di lobi.
“Kenapa kamu baru datang?! Udah jam berapa ini?!”
Serta merta Mawar menarik lengan kemeja untuk menatap lekat-lekat arlojinya. Jam sebelas kurang lima menit. Harusnya ia tak telat. Ia bahkan datang lima menit lebih awal. Tapi kenapa lelaki asing ini memarahinya? Justru dia yang akan membuatnya telat.
“Yang lain udah mau jam istirahat! Bisa-bisanya kamu baru datang?! Jam di kosmu mati? Apa kamu yang nggak bisa baca jam?!”
Mawar melangkah mundur ketika rentetan bentakan itu menghujamnya. Keterkejutan lebih memakan jiwanya hingga rasa kesal atas peluapan amarah tanpa sebab itu masih belum terbangun. Mungkin karena ia terlalu sering mendengar nada tinggi yang tertangkap rungunya, mungkin karena jadi objek emosi sudah menjadi kebiasaannya, mungkin… mungkin karena itulah ia tak bisa bergerak saat lelaki itu semakin melengkingkan suara.
Dia menunjuk-nunjuk wajah Mawar dengan mata berang seolah-olah ia baru saja melakukan kesalahan besar. Padahal ia hanya baru berlari. Padahal ia hanya berdiri diam dan bernapas. Padahal… ia hanya hidup.
“Kalau kamu nggak niat ikut ospek mending pulang aja sana! Nggak usah kuliah sekalian!”
Sudut mata Mawar sudah berair, tetapi saat menyadari titik kesalahpahaman yang terjadi, ia segera menarik kembali air mata yang hampir terjatuh. Sebisa mungkin ia kembali berdiri tegak meski bahunya tetap didorong beberapa kali oleh lelaki berkaos hitam itu.
“Tunggu! Sa–saya bukan—”
Terkutuklah lidahnya yang belibet di saat yang tak tepat. Syok yang memenuhi dirinya rupanya belum pergi benar hingga membuatnya masih gemetaran. Kini bagaimana bisa ia terlihat garang dan kesal saat ingin menjelaskan situasi? Lelaki arogan yang ia yakini usianya masih jauh di bawahnya ini pasti tak akan percaya padanya.
“Kenapa? Kamu mau pake alasan apa? Kalau udah tahu ceroboh tuh nggak perlu jadi pembohong! Slayer batik kamu mana lagi? Ketinggalan?!” Dia membentak dengan semakin keras. Suaranya sama persis seperti suara orang tuanya saat mengatai dirinya sebagai anak tak berguna karena telat lulus.
“Mawar!”
Mawar tak pernah merasa selega ini saat ada seseorang yang memanggilnya. Dan saat ia mengetahui kalau penyelamatnya dari tirani orang asing ini adalah Bu Endang, ia makin ingin menangis. Tak pernah terkira olehnya bahwa dosen pembimbing yang menjadi ujian besar di hidupnya sekarang jadi sosok penyelamat.
“Ngapain kamu di sana? Cepet masuk! Saya sudah nunggu dari tadi. Kalau sampai telat, mending jadwal bimbingan diganti hari lain saja. Urusan saya masih banyak.” Bu Endang berkacak pinggang. Dagunya bergerak ke samping agar ia lekas menyusul masuk ke ruang dosen.
“I–iya, Bu! Maaf!” Mawar mengangguk takut, lalu melirik lelaki yang kini terdiam itu dengan tajam.
“Minggir!”
Mawar sengaja menabrak bahunya dengan keras sebagai pembalasan dendam. Meskipun rasa ngilu di bahu dan lengan membuatnya menyesal di detik berikutnya.
“Sial. Kenapa postur tubuhnya bidang sekali,” sungut Mawar sambil mengelus-elus bahu kiri.
Mawar tak sudi untuk balik menengok ke belakang. Lelaki tadi mungkin akan merasa bersalah karena salah menempatkan amarah, jika dia memang masih memiliki sisi kemanusiaan yang baik.
“Saya sudah nungguin kamu dari tadi. Kamunya malah ngobrol sama orang lain seenaknya.”
Mawar memulai bimbingan skripsi dengan omelan. Untuk mempersingkat masalah, ia hanya bisa menunduk sambil meminta maaf. Meskipun ia tak mengerti dengan definisi mengobrol dari kacamata Bu Endang. Jelas-jelas ia sedang dimarahi habis-habisan oleh panitia ospek tadi.
“Kamu tuh nggak menghormati waktu saya sama sekali. Saya sangat sibuk, tapi saya masih mau meluangkan waktu untuk bimbingan sama kamu. Harusnya kamu tahu diri.”
Omelan itu rupanya tak kunjung selesai meski ia mengalah dengan diam. Jadilah ia tak tahan untuk bersuara, “Maaf, Bu. Tadi saya dicegat sama panitia ospek karena ngira saya mahasiswa baru yang telat.”
Bu Endang menurunkan kacamata. Menelisik jawaban Mawar, lalu mendengus keras.
“Mahasiswa semester tiga belas kayak kamu dikira MABA?” tanya Bu Endang dengan nada penuh sangsi.
Meski tak terlihat, Mawar tahu kalau daun telinga di balik jilbabnya sudah memerah karena sedih, malu, juga marah atas penghinaan yang terus-menerus datang.
“Kamu tuh udah kayak produk kadaluwarsa. Semester depan kalau kamu belum sidang bakal dikeluarkan. Bisa-bisanya malah dikira anak baru.”
Lidah Mawar kelu. Andai ia lebih berani, ia ingin mengamuk saat ini juga. Tak ada mahasiswa yang mau lulus telat. Ia sudah berusaha sebaik mungkin. Sangat baik, bahkan. Namun, kehidupan saja yang berjalan tak sesuai rencana. Dan barangkali Bu Endang juga lupa kalau keterlambatannya untuk lulus masih ada ikut campurnya. Jika saja jadwal bimbingan lebih teratur… jika saja Bu Endang mudah untuk ditemui.
“Sudah. Mana bab empat kamu?!”
Gebrakan meja membuat Mawar menelan seluruh gemuruh hatinya. Ia membuka tasnya untuk mengeluarkan skripsi yang selalu ia bawa kemana-mana. Hal ini adalah salah satu bentuk antisipasi kalau-kalau Bu Endang memanggilnya untuk bimbingan dadakan, seperti hari ini misalnya.
Skripsi setebal seratus tiga puluh halaman itu terlihat lecek—tanda seberapa sering Mawar membacanya. Tatapan Bu Endang yang memang tajam, kini jadi layaknya elang yang sedang mencari tikus di ladang kata penelitiannya. Dan Mawar sangat berharap tak ada satu pun tikus yang berserakan di tugas akhirnya.
Jari-jemari Mawar saling bergelut saat menanti komentar Bu Endang. Ia sudah mengecek skripsinya dari bab satu sampai empat dengan cermat, seharusnya kali ini tidak ada masalah lagi.
“Kenapa ada beberapa bait yang nggak lengkap penerjemahannya?” Bu Endang melingkari besar-besar bait yang lebih banyak di isi dengan titik kosong.
“Maaf, Bu. Saya sudah mencari di kamus, tapi masih kesulitan menemukan kata terjemahannya,” balas Mawar takut-takut.
“Harusnya kamu cari dulu kata aslinya sebelum imbuhan, lalu cari di kamus sebanyak mungkin.” Bu Endang membanting skripsi itu di depan Mawar.
Mawar menahan ringisan pedih saat melihat banyak tanda merah yang ada di skripsinya. Rupanya sang elang masih menemukan banyak buruan tikus.
“Kapan terakhir kali kamu bimbingan?” tanya Bu Endang dengan keras.
“Lima bulan yang lalu, Bu,” jawab Mawar dengan menunduk dalam. Ia sudah tak berani mengangkat wajahnya.
“Sudah lima bulan dan progres kamu dikit banget. Kalau tempo kamu masih gini-gini aja, kamu bisa di DO semester depan!”
“Maaf, Bu.”
“Jangan minta maaf ke saya! Lebih baik minta maaf ke diri sendiri karena kurang berusaha!”
Mawar tengah kritis di bawah tatapan maut Bu Endang. Di antara banyak kalimat menyakitkan yang ia terima, ucapan barusan yang paling membuatnya ingin menangis. Pertahanannya bahkan runtuh karena pipinya sudah basah oleh air mata. Apa di mata orang lain ia sebegitu cerobohnya hingga ia harus merasa bersalah untuk dirinya sendiri?
“Udahlah. Keluar aja kamu. Jangan malah nangis di sini.” Bu Endang menyodorkan skripsi yang sudah dipenuhi dengan coretan merah.
Mawar menerimanya dan segera menjejalkan ke dalam tas dengan asal. Ia bergerak terburu-buru karena ingin segera pergi dari tempat ini.Ia tak mau semakin mempermalukan diri sendiri dengan menangis di depan seorang dosen.
“Terima kasih atas waktunya, Bu.” Mawar undur diri.
Bu Endang mengangguk kecil. Mawar sudah berdiri dan sudah mendekati pintu saat ia mendengar Bu Endang berseru, “Cari juga di kamus Kawi Mardiwarsito.”
“Baik, Bu.”
Mawar tersenyum kecil atas informasi itu, lalu menarik knop pintu dengan sedikit lebih tegap. Ia pikir Bu Endang sedang merasa bersalah karena melihatnya menangis, jadi akhirnya bersikap sedikit lunak.
“Anu….”
Perasaan Mawar sudah cukup berantakan setelah keluar dari ruang dosen. Dan kepingan itu makin berserakan saat mendapati lelaki yang tadi memarahinya habis-habisan sudah berdiri di depannya saat ia baru melangkah keluar.
Lelaki itu wajahnya cukup merah. Matanya yang galak juga menjadi kikuk, bahkan tak berani menatap Mawar. Untuk kali pertama, Mawar bisa melihat wajahnya dengan lebih seksama. Saat ia melirik identitas yang dikalungkan sebagai tanda pengenal, ia hanya bisa menghela napas panjang.
“Maaf. Maaf, Kak. Tadi saya—”
“Arjun.”
Mawar sangat lelah hari ini, bahkan untuk sekadar mendengar permintaan maaf dari lelaki bernama Arjun di depannya.
“Saya maafin dengan syarat jangan pernah muncul di depan saya lagi,” ucap Mawar sebelum berlalu pergi.
Langkahnya sudah gontai. Tote bag kanvas yang tersampir di bahu sesekali turun sampai siku karena beratnya beban. Ia sempat terhenti sejenak saat melihat lobi sudah menjadi lautan mahasiswa baru yang tengah mengenakan batik. Kemudian, ia melihat ke arah pakaiannya yang serupa.
“Pantas saja,” gumamnya sambil tergelak hampa. Arjun memarahinya karena ia juga mengenakan kemeja batik yang merupakan seragam ospek para mahasiswa baru.
Mawar sadar kalau ia tengah jadi pusat perhatian, tapi ia tetap berjalan dengan tawanya yang tak berjiwa. Saat melewati lautan mahasiswa baru, sebagian hati berteriak ingin kembali memutar waktu untuk benar-benar menjadi bagian dari mereka.
Setidaknya, di masa itu ia tak terlalu sengsara.
Setidaknya, di masa itu… ia masih bisa menikmati masa perkuliahannya.
***