Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Pagi itu, grup obrolan mahasiswa Fakultas Farmasi mendadak penuh notifikasi. Bukan soal tugas atau pengumuman kuis mendadak, tapi soal satu video pendek yang tiba-tiba muncul dari akun anonim di media sosial: @MataKampus.

Video berdurasi tak sampai satu menit itu menampilkan Vania terlibat cekcok dengan Kirana di Laboratorium Farmakologi. Suaranya sengaja dipertajam. Adegan diakhiri dengan Vania yang terlihat kehilangan kendali dan menjatuhkan botol ekstrak yang kemudian pecah.

“WAJAH ASLI BINTANG KAMPUS” menjadi headline video tersebut.

Tidak berhenti di situ. Akun @MataKampus terus menggulirkan unggahan baru satu per satu: Tangkapan layar obrolan Vania dengan staf administrasi, rekaman audio samar, hingga foto-foto yang diambil diam-diam. Tentang hewan uji yang mendadak mati di pet house, tentang laporan akademik yang diduga dimanipulasi, tentang Vania yang tersenyum saat membagikan sembako dalam bakti sosial, tapi mengejek warga penerima di balik layar.

Seolah-olah semua sudah disiapkan sejak lama. Seolah-olah ada yang menyusun semuanya dengan sabar… lalu meledakkan bom di saat yang paling tepat.

Komentar mengalir deras. Awalnya ragu-ragu, lalu berani. Banyak yang mulai bersuara, bahkan dari akun asli. Mereka menyebutkan insiden lain yang menyangkut diri mereka selama menjadi mahasiswa yang berurusan dengan Vania.

[Aku temen sekelas Vania, pernah lihat dia bawa kumpulan soal UTS yang belum terjadi. Nilainya sempurna. Pantas aja!]

[Pernah satu kelompok. Ampun ambis banget, dia mulu yang harus jadi pusat perhatian.]

[Hobi cari muka! Caper sama cowok-cowok di kelas sementang cantik.]

[Wajahnya suka masam di belakang warga. Asli muak sama pencitraan drama queen satu ini.]

[Aku teman SMP-nya. Kalian pikir ini cuma terjadi waktu kuliah? Pemain lama ini.]

Dalam waktu kurang dari satu jam, reputasi Vania hancur. Komentar yang dulu memuji penampilannya berubah menjadi cemooh dan tuntutan. Bahkan mulai ada media yang menulis artikel tentang “sisi gelap si bintang Farmasi.”

Di balik gempuran itu, ada satu nama lain yang ikut terbawa: Kirana. Banyak yang berasumsi dialah dalang di balik video dan unggahan itu. Motifnya? Balas dendam. Bukti? Masih kabur. Tapi opini sudah terbentuk, dan sayangnya, internet tak pernah menunggu fakta.

Di apotek, Vania menatap layar ponselnya, tak berkedip. Notifikasi terus berdatangan, ratusan, ribuan. Namanya mendadak jadi bahan pembicaraan di seluruh lini masa. Wajahnya terpampang di berbagai akun gosip kampus, bahkan muncul di story mahasiswa fakultas lain.

Mahasiswa lain di apotek yang juga sedang melaksanakan PKP menatap Vania sambil berbisik-bisik di balik bahu mereka. Vania bisa dengar cemoohan halus mereka.

Tangannya gemetar saat membuka komentar di unggahan terakhirnya. Bukan lagi pujian tentang outfit atau skincare, tapi tuduhan, hinaan, kutukan.

[Manipulatif banget, udah dari dulu ngerasa…]

[Kasihan hewan ujinya.]

[Influencer apaan, basic moral aja nggak punya.]

[Kirain cewek baik, ternyata…]

[Cantik cantik iblis]

Ia menutup layar. Napasnya pendek. Rasanya seperti dicekik, tapi bukan oleh satu orang, melainkan oleh dunia yang dulu memujanya.

Vania kembali menggigiti kukunya. "Enggak… enggak mungkin Kirana…" gumamnya, seolah meyakinkan diri. Pikirannya sendiri tak percaya, ia cukup mengenal Kirana yang tidak mungkin melakukan perbuatan serendah ini. Kirana tidak punya akses ke rekaman itu, bukan? Tapi siapa lagi yang punya motivasi?

“Ha-ha-ha.” Vania menertawakan dirinya sendiri. Mengingat citra hidupnya yang dibangun dengan menginjak-injak orang lain, ia justru tidak bisa menghitung betapa banyak orang yang mungkin menaruh dendam padanya.

Air matanya mulai menetes. Bukan karena menyesal. Tapi karena rasa takut. Ia tidak pernah bersiap menghadapi dunia saat topengnya dicopot paksa. Ia bisa mengontrol narasi selama ini, tapi tidak sekarang.

Vania memilih duduk sendirian di bangku panjang dekat jendela, earphone menggantung sebagai kamuflase agar tidak mendengar desas-desus di sekitarnya, ponselnya terus bergetar. Wajahnya pucat, matanya sembap.

Rayya muncul dari arah tangga. Ia ragu sejenak sebelum melangkah mendekat. “Van... kamu nggak apa-apa?”

Vania tak menoleh. “Kamu datang buat apa? Mau ikut nonton reruntuhanku dari dekat?”

“Aku cuma pengin tahu kamu butuh apa,” jawab Rayya pelan.

Vania tertawa kecil, getir. “Butuh? Mau bantu bersihin komentar netizen? Atau bantu kirim klarifikasi ke dosen-dosen? Jangan sok peduli, Rayya.”

Rayya duduk perlahan di sampingnya. “Aku nggak sok peduli. Aku beneran peduli.”

Vania akhirnya menoleh. Mata merahnya menatap tajam. “Peduli? Kamu pikir aku nggak lihat kamu makin lengket sama Kirana? Kamu pikir aku nggak sadar siapa yang kamu bela dari awal?”

“Aku nggak belain siapa-siapa, Van. Aku cuma—”

“Kamu tahu aku kayak apa, kan?” potong Vania, suaranya naik sedikit. “Kamu tahu sisi aku yang orang lain nggak tahu. Tapi kamu malah ikut diam waktu semua orang mulai lempar batu.”

“Aku diam karena aku bingung harus gimana. Aku nggak bisa ikut-ikutan nambah luka kamu, tapi aku juga nggak bisa tutup mata kalau yang terjadi emang salah.”

“Jadi kamu pilih diam. Kayak semua orang. Lebih gampang, ya?”

“Bukan karena gampang,” Rayya menghela napas. “Tapi karena aku nggak tahu gimana caranya nolong kamu tanpa menyakiti harga dirimu, Van.”

Vania mengalihkan pandangan, pelan. “Udah telat, Rayya. Aku nggak butuh kamu datang bawa belas kasihan.”

“Bukan kasihan. Aku cuma... nganggep kamu teman.”

Vania tersenyum tipis, pahit. “Sebagai ‘teman’ apa kamu bisa maklum dengan alasan aku ngelakuin semua itu. Sekarang kamu cuma ngeliat aku kayak mereka semua, kan? Manusia manipulatif, palsu.”

“Aku percaya kamu punya alasan. Tapi kadang alasan nggak cukup buat nolak akibatnya, Van.”

Vania tak menjawab. Angin sore menerobos masuk dari jendela terbuka. Beberapa daun kering beterbangan melintasi lantai.

“Ya udah,” gumam Vania datar. “Sekarang kamu udah liat aku kayak apa. Silakan pergi. Nggak usah pura-pura jadi teman lagi.”

Rayya bangkit perlahan. “Aku nggak akan maksa. Tapi aku tetap di sini kalau kamu butuh ngomong. Nggak buat ngasih pembelaan. Cuma buat dengerin.”

“Dan kamu perlu tahu, Van. Apa pun kata orang, aku yang paling tahu. Paling tidak perlakuan baikmu selama ini padaku itu tulus.”

Rayya melangkah pergi, meninggalkan Vania yang tetap duduk. Meski tak lagi menangis, jemari Vania terlihat gemetar menggenggam ponsel. Jeda panjang mengisi udara, sunyi yang terasa menggema di dalam dadanya.

***

Di kamar kecil penuh tempelan sticky note dan coretan sketsa rencana, seseorang menatap layar laptopnya sambil menyeringai tipis. Lampu meja menyala redup, hanya menyinari sebagian wajahnya. Komentar demi komentar bergulir cepat, video yang ia unggah mencapai ribuan views dalam hitungan jam.

"Cepat sekali ya… rusaknya," bisiknya lirih, hampir seperti gumaman pada dirinya sendiri.

Ia menggeser layar, melihat ulang klip video ketika Vania melempar botol ekstrak. Zoom lambat. Suara keras pecahannya. Wajah Kirana yang terpaku, lalu layar gelap dengan suara riuh cekcok samar.

Ia tahu kapan harus mengunggah. Di minggu-minggu sibuk akhir tengah semester. Saat semua orang lelah, dan sedikit drama bisa jadi hiburan.

Tangannya dengan lincah membuka folder—masih ada banyak simpanan. Rekaman suara, potongan chat, tangkapan layar, bahkan beberapa bukti fisik yang belum sempat dikompilasi.

Bukan Kirana yang ingin ia bela. Juga bukan karena ingin menjatuhkan Vania secara personal. Awalnya memang ada dendam, tapi makin lama semua ini lebih seperti... permainan. Panggung sosial tempat para tokoh berjatuhan, dan dia duduk di bangku penonton sekaligus penulis naskah.

Ia tertawa pelan, pendek dan dingin.
"Bermain cantik, Kirana. Jangan sampai kamu juga pecah di tengah panggung."

Layar dimatikan. Di luar kamar, dunia tetap sibuk. Tapi di dalam, seseorang sudah bersiap untuk babak selanjutnya.

***

Di tempat lain, Kirana membaca unggahan yang sama dengan wajah datar.

Ia duduk di pojok kantin, menjauh dari keramaian, meski bisik-bisik tetap sampai ke telinganya. Beberapa tatapan menyudut. Beberapa bahkan terang-terangan memotretnya diam-diam.

[Kayaknya yang punya akun @MataKampus ini Kirana, deh. Mereka kan saingan terus di kampus.]

[Kalau aku jadi Kirana juga bakal dendam, sih, diperlakukan kayak gitu.]

[Jadi mereka main sahabat-sahabatan selama ini?]

[Tapi, kayaknya Kirana bukan orang macam itu, deh.]

Tangannya mengepal, bukan karena senang. Tapi karena muak.

Tidak ada rasa puas sedikit pun. Tidak ada senyum kemenangan. Yang ada hanya ketidaksukaan karena namanya ikut tercemar, karena orang langsung membuat kesimpulan, karena kebenaran lagi-lagi dikalahkan oleh opini liar.

Ia bisa saja menolak semua tuduhan. Tapi internet tidak peduli. Opini yang viral lebih dipercaya daripada pernyataan paling jujur sekalipun. Vania mungkin hancur. Tapi Kirana tidak ingin jadi alasan kehancuran siapa pun, bahkan jika orang itu pernah menyakitinya.

"Kenapa orang-orang ini nggak bisa hidup lurus-lurus aja, sih?" Ia memejamkan mata.

Suara langkah pelan terdengar mendekat. Kirana membuka mata perlahan. Fathur berdiri di depannya, membawa dua botol air mineral dan sekotak biskuit.

"Aku nebak kamu lupa makan lagi," katanya ringan, meski ada kekhawatiran di sorot matanya.

Kirana menatapnya sebentar. "Kamu juga udah lihat?"

Fathur mengangguk. Ia menarik kursi di seberang dan duduk tanpa banyak bicara. Ia tidak bertanya, tidak menuntut penjelasan. Hanya meletakkan air dan biskuit di atas meja.

Fathur tersenyum kecil. "Aku tahu kamu nggak seneng lihat Vania dipermalukan. Tapi kamu juga nggak pantas diseret dalam ini semua."

"Terima kasih," ucap Kirana lirih.

"Orang-orang lebih percaya yang paling heboh," Kirana bergumam.

"Kita nggak bisa ngatur apa yang mereka pikirkan. Tapi kamu bisa tetap jadi diri kamu yang asli. Yang jujur. Yang tahan banting."

Kirana terbiasa hidup dengan tidak pernah terlalu peduli citranya di mata orang lain.  Komentar-komentar di internet yang saling berperang mendukung dan menyudutkan tidak mengusiknya sama sekali. Ia hanya tidak suka dilibatkan dalam pusaran berita tidak penting seperti ini, terlebih dianggap berbahagia atas kejatuhan orang lain.

“Mencit-mencitku di lab lebih penting dari opini murahan, Fathur.” Kirana tersenyum. "Kalau perhatianku dialihkan, pelaku asli akan ikut senang, bukan?”

Kirana mengambil biskuit dan air mineral di meja, bangkit dari duduknya. “Makasih buat biskuit dan minumnya.”

“Pelakunya pasti orang aneh itu.”

Kirana melangkahkan kakinya menuju lab. E-mail berisi ajakan balas dendam memang sudah Kirana hapus, tapi masih bisa dipulihkan dari folder sampah. Entah apa motivasinya, yang jelas Kirana tidak akan membiarkan orang ini memegang kendali. Terlebih mengganggu penyelesaian skripsinya.

***

Suasana ruangan itu seperti perangkap. Senyapnya tegang. Hanya deru napas berat terdengar, sebelum akhirnya suara itu meledak.

"Apa gunanya semua yang Papa lakukan selama ini kalau kamu malah nyeret nama kita ke jurang begini?!" Suara ayah Vania bergemuruh, wajahnya merah padam.

"Selama ini Papa pasang badan buat kamu. Papa atur lab, bantu lulusin proposal PKM, bahkan bantu akalin nilai!" Ia menghantam meja, membuat tumpukan jurnal dan map jatuh ke lantai. "Papa lakukan semua itu karena Papa pikir kamu harus jadi nomor satu. Tapi ternyata kamu bahkan nggak bisa jaga nama baik keluarga!"

Vania berdiri kaku. Wajahnya pucat, tapi rahangnya mengeras menahan air mata yang hampir jatuh.

"Video itu bukan cuma bikin malu kamu, tapi juga bikin Papa kelihatan lemah!" lanjut ayahnya. "Kamu pikir jadi dosen senior itu nggak ada harganya? Nama baik itu dibangun puluhan tahun, bukan buat dihancurin anak yang cuma bisa tampil manis di depan kamera! Kenapa kamu nggak hati-hati sampai ada video begitu?"

"Papa, aku bisa jelasin—"

"Tidak ada yang peduli penjelasanmu!" potong ayahnya. "Opini publik udah jadi vonis. Mereka nggak lihat kamu anak pintar. Mereka lihat kamu tukang manipulasi. Dan mereka lihat Papa … sebagai dosen yang memelihara tikus di dalam rumah!"

Kata-kata itu seperti tamparan. Vania mengatupkan bibir. Ia merasa seperti balon kosong, rapuh dan siap pecah.

"Mulai besok, kamu nggak datang ke kampus lagi. Bersiap! Papa akan kirim kamu ke London. Nama ini harus dibersihkan dulu sebelum kamu bisa muncul lagi."

"Aku belum selesai profesi, Pa…" suara Vania lirih. "Aku masih mau jadi apoteker."

"Bukan sekarang!!! Sekarang kamu diam. Hilang. Hapus semua akunmu. Blok semua media. Sampai kita tahu siapa yang sebar video itu dan berhasil bungkam semuanya, kamu diam. Ngerti?"

Vania menunduk. Bukan karena menurut, tapi karena tidak punya tempat lain untuk berdiri.

"Ingat, Vania." Suara ayahnya kini menurun, tajam dan dingin. "Kamu jadi ‘nomor satu’ bukan karena kamu hebat. Tapi karena Papa buat kamu jadi kelihatan hebat. Dan Papa juga bisa bikin kamu lenyap seolah kamu nggak pernah ada."

Pintu ruang kerja tertutup kembali dengan suara berat. Vania mematung. Ia tahu nilainya di hadapan sang ayah sebatas tropi yang dipamerkan saat berkilau, dan bisa dibuang kapan saja saat kilaunya redup. Vania tahu … tapi rasanya tetap sakit.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Monday vs Sunday
111      96     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Renjana
509      376     2     
Romance
Paramitha Nareswari yakin hubungan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan penuh kepercayaan akan berakhir indah. Selayaknya yang telah ia korbankan, ia berharap agar semesta membalasnya serupa pula. Namun bagaimana jika takdir tidak berkata demikian? "Jika bukan masaku bersamamu, aku harap masanya adalah milikmu."
Ojek Payung
534      386     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
Monday
306      239     0     
Romance
Apa salah Refaya sehingga dia harus berada dalam satu kelas yang sama dengan mantan pacar satu-satunya, bahkan duduk bersebelahan? Apakah memang Tuhan memberikan jalan untuk memperbaiki hubungan? Ah, sepertinya malah memperparah keadaan. Hari Senin selalu menjadi awal dari cerita Refaya.
Premium
Inisial J (500 Tahun Lagi Kita Bertemu) (Sudah Terbit / Open PO)
4242      1303     0     
Romance
Karena muak hidup dalam bayang kemiskinan dan selalu terhina akhirnya Jo terjerumus ke jalan kegelapan Penyelundupan barang mewah pembunuhan berkolusi dengan para politikus kotor dan segala jenis kejahatan di negara ini sudah pasti Jo terlibat di dalamnya Setelah menjalani perjodohan rumit dengan sahabat masa kecil yang telah lama berpisah itu akhirnya Nana menerima lamaran Jo tanpa mengetahui...
KASTARA
447      358     0     
Fantasy
Dunia ini tidak hanya diisi oleh makhluk hidup normal seperti yang kita ketahui pada umumnya Ada banyak kehidupan lain yang di luar logika manusia Salah satunya adalah para Orbs, sebutan bagi mereka yang memiliki energi lebih dan luar biasa Tara hanya ingin bisa hidup bebas menggunkan Elemental Energy yang dia miliki dan mengasahnya menjadi lebih kuat dengan masuk ke dunia Neverbefore dan...
Sweet Scars
287      238     1     
Romance
U&I - Our World
388      273     1     
Short Story
Pertama. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu indah, manis, dan memuaskan. Kedua. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu menyakitkan, penuh dengan pengorbanan, serta hampa. Ketiga. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu adalah suatu khayalan. Lalu. Apa kegunaan sang Penyihir dalam kisah cinta?
Mawar Milik Siska
540      295     2     
Short Story
Bulan masih Januari saat ada pesan masuk di sosial media Siska. Happy valentine's day, Siska! Siska pikir mungkin orang aneh, atau temannya yang iseng, sebelum serangkaian teror datang menghantui Siska. Sebuah teror yang berasal dari masa lalu.
Sosok Ayah
907      504     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)