Perpustakaan sekolah tidak begitu ramai ketika jam istirahat. Hanya ada beberapa murid di dalamnya. Anka meraih satu buku pelajaran secara acak—matematika. Ketika duduk di bangku sekolah dasar dia sangat menyukai pelajaran matematika. Tidak detik ini. Untuk menutup rasa bahagianya, bertemu dengan dia di ruang ini. Berpura membaca, agar sudut matanya yang sesekali menangkap siluet gadis itu, tak terlalu nyata. Gadis itu hanya berjarak empat langkah dari pijakannya. Menggapai novel dengan genre romantis.
"Anka?"
"Ya?" Pandangan Anka beralih pada gadis yang mengikat rendah rambut pendeknya. "Lo baca aja. Gue juga lagi cari-cari buku buat ngerjain tugas."
Hahaha. Alibi. Gadis itu mengangkat alisnya. "Oh. Kalo bosen, nggak apa-apa. Gue masih mau di sini."
Anka menggeleng kuat. Kapan lagi, dia bisa sedekat ini dengan seseorang yang diakuinya paling menarik. Sekian detik berlalu, ada sosok aneh tiba-tiba menghalau pandangannya dari gadis itu.
"Permisi, Kak." Seorang gadis yang membiarkan rambutnya terurai nyaris sebatas pinggang berkata. "Saya mau ambil novel yang ini." Bukannya menyingkir setelah meraih novel yang diinginkan, gadis itu seperti sengaja berlama-lama di sana.
Anka berdecak pelan. Bisa-bisanya ada penghalang pandangannya. Kepalanya sedikit mendongak. Memastikan gadis yang mengikat rendah rambut pendeknya masih di sana.
"Lo ngapain di situ? Mau baca atau pinjem aja?" Ada gadis lain yang memiliki poni tipis. Melirik Anka sekilas. Lalu gadis itu menutup mulutnya, seperti terkejut. "Oh, yaudah baca di situ dulu aja. Kursinya penuh."
Gadis berambut ikatan rendah melangkah tanpa aba. Anka mengikutinya. "Kenapa?"
"Di kelas udah kebanyakan duduk."
"Nggak ke balik?" Kali ini lengkungan senyum Anka terukir sempurna. Manis sekali. Laki-laki itu memiliki senyum yang sanggup menarik senyum raga lainnya.
Anka mengedar pandangannya. Kursi-kursi berjajar dengan meja besar di tengah. Ada juga kursi yang memiliki meja dengan sekat-sekat pemisah. Hanya satu yang terisi. Gadis dengan poni tipis duduk seorang diri di kursi yang di depannya ada meja besar.
Sementara dari titik lainnya, gadis dengan rambut panjang terurai, memandang Anka begitu lekat. Seperti kedua matanya sudah diberi perekat. Anka menyadari itu. Bukan kali ini saja, dia gadis yang sama, yang berdiam diri di kantin. Gadis yang sama, yang berdiam diri di balik pintu UKS.
"Perut gue sakit. Gue duluan ya?" Gadis berponi tipis, berucap jelas pada gadis berambut panjang terurai, lalu menabrak sisi bahu Anka. "Di sini aja. Lo kan lagi pengen di sini lama-lama."
Tanpa minta maaf, gadis berponi tipis berlalu sembari menabrak bahu gadis kesukaan Anka. "Oh, maaf, Kak. Se-nga-ja." Anka menangkap putaran mata yang tidak baik.
Dan di sinilah Anka, mengusap kepala gadis kesukaannya pelan. Tanpa peduli seseorang di belakangnya terpaku. Seperti ingin pergi, tapi jalan satu-satunya harus melewati Anka dan gadis dengan ikatan rendah.
"Adik kelas sekarang, kenapa begitu ya?"
Anka menepis lembut helaian rambut di dahi gadis kesukaannya. "Entahlah. Mau ke kantin?"
Namun, gadis itu menggeleng pelan. Dia mengangkat novel tadi, menyerahkannya pada Anka, lalu berbisik, "Gue mau ambil novel lainnya. Tunggu di sini."
Senyum Anka kembali lagi. Rasanya ingin sekali berlama-lama di dekat gadis itu. Seperti ingin pindah kelas bahkan jurusan hanya untuk saling bertemu.
"Mau baca aja atau pinjem?"
Anka di sana, memerhatikan interaksi itu.
Gadis berambut panjang terurai bergeming. Raut wajahnya sama sekali tidak ramah. "Kakak nggak lihat aku lagi baca? Antri, Kak."
Lalu gadis berambut panjang itu berlalu cepat. Setengah berlari. Melewati Anka seolah tak ada satu pun raga di sana.
"Padahal gue pengen banget baca novel yang tadi."
Anka mendengarnya. Dan akan menuruti kemauan gadis kesukaannya. Meski dia harus berurusan dengan gadis asing tadi.
"Mau gue ambil?"
"Gimana caranya? Kayaknya dia sama sekali nggak mau direbut."
Hari kedua, Anka berupaya menemui gadis asing yang suka sekali mengganti gaya rambutnya. Dari diurai nyaris sebatas pinggang, diikat rendah, dikepang poni, dicepol asal, sampai kadang sedikit berantakan setelah jam olahraga.
"Apa?" Gadis itu melirik dua detik pada kehadiran Anka. Lalu berbalik badan, memutar arah. Sayangnya, malah menabrak tempat sampah. "Aku nggak akan pinjemin."
Anka masih sabar. Ini semua demi gadis kesukaannya.
"Nggak ngampe 500 halaman. Harusnya bisa selesai kurang dari seminggu." Anka menghalau jalan gadis itu dengan kedua tangannya. Tapi gadis itu menunduk untuk melewati. Anka tak ingin kalah, menurunkan kedua tangannya. "Lo pasti punya batas waktu peminjaman."
Gadis itu berdesis sinis. Dipandangnya kesal Anka.
"Mau diperpanjang."
Menarik. Kedua alis Anka naik. Senyumnya yang miring, memaksa penjelasan.
"Suka-suka aku lah, kak. Lagipula kenapa kakak maksa banget." Dia melempar pandangannya ke arah lain, selain pada kedua mata bulat milik Anka. "Kalo kakak suka banget sama novel ini, baca bareng aku aja."
Lalu, gadis itu melangkah lebar-lebar. Setengah berlari. Menyembunyikan dirinya di bawah meja. Anka menyaksikannya. Seperti seseorang yang tiba-tiba canggung, atau lebih kepada... terkejut? Karena kalimat akhir dari mulutnya sendiri.
Anka melihat ke arah langit. Awan putih dengan ukiran berbeda. Ada senyum tersembunyi setelah menyadari gadis itu mengajaknya membaca bersama.
Hari keempat. Pulang sekolah. Di parkiran sekolah yang jaraknya tak jauh dari gerbang utama, Anka menanti gadis kesukaannya. Dalam penantiannya itu, seseorang seperti akan melewati raganya.
Tau siapa yang sengaja berjalan lambat di depan Anka? Ada novel yang dibacanya sembari melangkah. Novel itu. Ide bagus mendadak hadir, Anka merebut novel itu. Dapat!
"Balikkin!"
Anka menggeleng kuat. Tak mau kalah. "Gue pinjem dulu."
"Kakak bisa—"
Anka memotongnya cepat. "Gue nggak minat baca bareng lo. Nanti cewek gue cemburu."
Seketika itu pula, dunia Anka terasa aneh. Harusnya Anka senang bisa memberikan apa yang gadis kesukaannya mau. Genangan air mata, cengkeraman pada kedua tali ransel, bibir yang bergetar, dan jangan lupakan wajah memerah. Kurang dari sepuluh detik, Anka adalah pelaku utamanya.
"Lo, kenapa?"
Bodohnya Anka menanyakan sesuatu yang tak lagi perlu diberi tanya.
"Kenapa nggak bisa antri, Kak?" Air mata itu jatuh. Tanpa perlu menghapusnya, gadis itu menunjuk novel di tangan Anka. "Aku cuma mau baca pelan-pelan, karna suatu hari aku pengen nulis sesuatu tentang diriku. Aku mau belajar nulis novel dari buku itu."
Ada yang bertanya? Anka saja mengedar pandangannya. Parkiran memang sudah tidak terlalu ramai. Tapi di mana gadis kesukaannya? Kenapa di saat dia bisa mendapatkan novel ini, yang kemudian tertangkap adalah gadis kesukaannya tertawa dengan laki-laki lain?
"Kak? Tau nggak, kenapa aku nangis?"
Gadis itu menatap lekat kedua mata Anka. Dia tak peduli wajahnya sudah basah. Mata yang mulai membengkak, sesekali menghirup ingus yang terus turun. Jelek sekali!
"Karna ini?" Pikiran Anka sudah tidak karuan, bahkan melirik gadis kesukaannya yang seolah tengah asyik dengan laki-laki lain. "Gue balikkin. Kasian banget bocil nangis." Tanpa aba, Anka mengusap kepala gadis itu. Keduanya sama-sama terpaku. Yang satu, mengerjap-ngerjapkan matanya, satunya lagi menghentikan usapan tangannya, tapi seperti tak ingin melepas.
Gadis itu tersadar, kemudian berlari sekuat tenaga. Novel itu masih dalam genggaman Anka. Seperti hatinya yang juga tak kalah tergenggam oleh Anka.
Dalam novel itu, ada satu kartu terselip. Kartu perpustakaan.
Seharusnya Anka mengembalikannya.
Seharusnya gadis itu merasa kehilangan.
Seharusnya mereka dipertemukan lagi, hanya untuk sebuah novel dan kartu perpustakaan.
***
Anka membalikkan kartu perpustakaan di telapak tangannya. Menerawang jauh ke memori yang tak bisa digapainya. Siapa pemilik kartu ini? Nama yang tertera. Masa berlakunya kartu. Stempel berwarna ungu yang diberikan petugas perpustakaan.
Panggilan suara yang masih terhubung dengan Ailova menginterupsi. "Gimana? Udah ketemu?"
Anka tidak menjawab pertanyaan itu.
"Kak? Tau siapa pemilik kartu perpustakaan dalam dompet gue?"
"Gu-gue—" suara Ailova terdengar putus-putus. Tak lama, panggilan itu ditutup Ailova. Anka ingin mengulang panggilan itu dengan panggilan video, tapi segan. Hanya panggilan suara yang dia ulang.
Anka memegang kepalanya. Terasa semakin sakit. Siapa dia? Kenapa tidak ada satu pun ingatan tentang seseorang itu?
"Kak?"
Ailova hanya mendengarkan. "Siapa aja yang ada di hidup gue sebelum hari itu?"
Ailova masih diam. "Apa ada seseorang yang gue lupakan?"
Ailova tetap diam.
Tiba-tiba pesan dari Denting masuk.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Aku akan memberimu waktu, jika kamu ingin. Tapi jangan lupa naskah kita.
Naskah?
Anka baru sadar, sejak kemarin Denting menyebut naskah itu dengan—naskah kita.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Waktu kita mungkin takkan lama. Jadi kumohon jangan buang waktu tersisa ini.
Anka merasakan detak jantungnya terasa aneh. Perasaan apa ini? Dia tau Denting hanyalah seorang penulis yang bisa saja sengaja memberi Anka balasan-balasan yang terkesan puitis.
Anka jatuh saat itu juga. Berusaha memegang kepalanya. Namun, daya tubuhnya menurun tanpa peringatan.
"Lupain kartu perpus itu."
Anka ingin meraih air minum di atas nakas, tapi getaran di tangannya tak mampu menggapai.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Apa pun, asal jangan pergi lebih lama.
Lagi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Aku yang tengah menangis. Semakin teringat epilog.
Lagi.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Aku masih di sana. Jika kamu ingat, datanglah.
Anka teringat pada halaman terakhir yang dibacanya dalam naskah Revisi Emosi.
Dia di sini. Menggapai tanganku, hanya untuk berlalu tanpa kata. Sudah lama aku menantikan detik ini, tapi... kenapa dia seolah tak sadar? Aku tau yang telanjur menelan rasa hanyalah diriku. Bisakah, dia berbalik hanya untuk membalas tatap? Meski untuk peringatan akhir.
- Revisi Emosi. Hal. 211
Dan ini.
"Kak? Sorot matanya yang biasa berbinar, sejak beberapa hari lalu nampak datar. Bibirnya yang selalu terukir senyum, kini seperti terekat sempurna, dan perhatiannya yang tanpa aba, lenyap ditelan alur.
"Aku harap kakak baik-baik aja."
Dia meninggalkanku begitu saja. Apa aku melakukan kesalahan? Jika iya, tolong katakan. Jika tidak, aku ingin berhubungan baik dengannya lagi.
"Kak?"
Hari berbeda. Dia seperti tak pernah mengenalku.
"Buat kakak." Selembar plester pereda demam. Karna kemarin yang aku tau dia demam. "Semoga kakak cepat pulih."
Hening.
Anka memegang dahinya. Entah kenapa, dia merasa sempat memakai plester pereda demam itu. Mungkinkah, saat kecil?
Aku dan kamu adalah sebuah alur yang berjeda. Aku yang mengakui, kamu yang menyangkal.
- Revisi Emosi. Hal. 257
***
Drama untuk Skenario Kehidupan
10339
2103
4
Romance
Kehidupan kuliah Michelle benar-benar menjadi masa hidup terburuknya setelah keluar dari klub film fakultas. Demi melupakan kenangan-kenangan terburuknya, dia ingin fokus mengerjakan skripsi dan lulus secepatnya pada tahun terakhir kuliah. Namun, Ivan, ketua klub film fakultas baru, ingin Michelle menjadi aktris utama dalam sebuah proyek film pendek. Bayu, salah satu anggota klub film, rela menga...
Bilang Pada Lou, Aku Ingin Dia Mati
990
548
4
Horror
Lou harus mati.
Pokoknya Lou harus mati.
Kalo bisa secepatnya!!
Aku benci Lou
Gara-gara Lou, aku dikucilkan
Gara-gara Lou, aku dianggap sampah
Gara-gara Lou, aku gagal
Gara-gara Lou, aku depression
Gara-gara Lou, aku nyaris bunuh diri
Semua gara-gara Lou.
Dan...
Doaku cuma satu:
Aku Ingin Lou mati dengan cara mengenaskan; kelindas truk, dibacok orang, terkena peluru nyasar, ketimp...
Malu malu cinta diam diam
504
369
0
Short Story
Melihatmu dari jauhpun sudah membuatku puas. karena aku menyukaimu dalam diam dan mencintaimu dalam doaku
Snazzy Girl O Mine
534
336
1
Romance
Seorang gadis tampak berseri-seri tetapi seperti siput, merangkak perlahan, bertemu dengan seorang pria yang cekatan, seperti singa.
Di dunia ini, ada cinta yang indah dimana dua orang saling memahami, ketika dipertemukan kembali setelah beberapa tahun. Hari itu, mereka berdiam diri di alun-alun kota.
Vino berkata, Aku mempunyai harapan saat kita melihat pesta kembang api bersama di kota.
...
Ketika Takdir (Tak) Memilih Kita
577
323
8
Short Story
“Lebih baik menjalani sisa hidup kita dengan berada disamping orang yang kita cintai, daripada meninggalkannya dengan alasan tidak mau melihat orang yang kita cintai terluka. Sebenarnya cara itulah yang paling menyakitkan bagi orang yang kita cintai. Salah paham dengan orang yang mencintainya….”
Dream
617
452
5
Short Story
1 mimpi dialami oleh 2 orang yang berbeda? Kalau mereka dipertemukan bagaimana ya?
TRAUMA
118
104
0
Romance
"Menurut arti namaku, aku adalah seorang pemenang..akan ku dapatkan hatimu meskipun harus menunggu bertahun lamanya"
-Bardy
"Pergilah! Jangan buang waktumu pada tanaman Yang sudah layu"
-Bellova
Niscala
339
226
14
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
My Private Driver Is My Ex
181
88
8
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas.
Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
A Story
295
236
2
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta.
Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat.
Entah apa ending dari kisah mereka.
Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?