Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Telah kutitipkan selembar untuk kamu, sayangnya hanya pada penjaga kantor, bukan penjaga hatiku.
Dan di sinilah Anka menapakkan kedua kakinya. Pos satpam. Menanti satpam yang meneguk secangkir kopi hangat, sembari memastikan selembar kertas di tangannya benar dari penulis misterius itu.
"Ghost writer kayaknya," kata satpam mengangkat cangkir kopinya lagi.
Anka melirik penuh minat pada kalimat itu. "Penulis yang gentayangan, tapi wujudnya disembunyikan, kan ya?"
Ditunjuknya selembar kertas yang baru saja Anka keluarkan dari amplop cokelat.
"Datang pakai masker, kepala di bungkus topi. Benar-benar kayak lagi nyamar."
"Ada pesan lain?"
"Pesan?" Satpam itu meletakkan kopinya yang telah habis ke atas meja. "Pak, untuk kak Anka."
"Kak?" Kak? Memangnya Denting tau apa tentang Anka? Apa dalam bayangan Denting, seorang Anka adalah pria dewasa matang yang hampir memasuki usia 30 tahun?
"Iya." Satpam itu menjawab sembari tersenyum usil. "Bukannya mas Anka pernah bersama dia datang ke sini?"
Woah! Dunia ini sudah lelah, bukan? Sejak kapan Anka datang ke kantor bersama seorang gadis? Satu mobil saja tidak pernah. Apalagi dibawa ke kantor?
Tidak mungkin!
"Kenapa?" Tawa usil satpam itu tertahan, seperti sengaja meledek kebingungan Anka. "Rindu ya?"
Anka tidak ingin terlibat dalam percakapan basa basi yang sangat basi itu. Derap langkapnya kembali ke ruangannya.
"Apaan tuh?" Gasha selalu ingin tahu apa yang Anka bawa. Siapa tau ada yang menarik.
"Gue minta benerin bab lima, malah dikirim hasil editan."
Selembar kertas itu ditarik Gasha tanpa aba. Menarik. Denting seperti bertindak di luar duga.
"Denting itu lagi isengin lo ya, Ka?"
Anka tidak peduli. Dia hanya ingin membalas e-mail penulis sialan itu.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Nggak ada penulis normal, yang tiba-tiba kirim satu lembar hard file hasil editing ke kantor redaksi.
Denting itu tidak punya aktivitas ya? Pesan dari Anka selalu dibalasnya secepat mungkin.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Mungkin, aku tidak senormal itu, tapi goresan tanganku nyata.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Cuma diketik, bukan ditulis.
Jeda sepuluh detik.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Mau lihat bagaimana tulisanku? Tidak bisa. Jika membaca ketikanku saja kamu terpaksa.
Anka melempar selembar kertas itu bertepatan dengan kepala redaksi yang masuk ke ruangan. Sang kepala redaksi memungut selembar kertas yang dikirimkan Denting. Sedikit tergelak seolah tau siapa pengirimnya.
"Sejauh mana kamu mengenal Denting?"
Bukan hanya Anka yang terkejut, tapi juga Gasha. Pertanyaan macam apa itu?
"Kalo yang dimaksud naskah, saya belum jauh mengenal. Tapi saya sedang berusaha untuk jatuh hati."
Kepala redaksi tertawa puas. "Menyunting naskah itu bukan hanya kamu yang ikut dalam naskahnya, bisa jadi hati kamu ingin berlama-lama di sana. Atau juga selalu ingin kembali."
"Anka?" Kepala redaksi mengangkat selembar kertas itu. "Jatuh hatilah—sebagaimana naskah ini memintamu jatuh hati."
***
Tawa satpam di tengah siang terik yang membakar suasana hati, tawa kepala redaksi yang seperti tengah berupaya menjatuhkan hati Anka pada sebuah fiksi, dan keanehan tingkah Denting yang semakin hari, semakin di luar duga.
Anka menyeruput secangkir kopi dingin. Ya, dia hanya memilih untuk mendinginkan kepalanya—bukan untuk membuka lebih lebar kelopak matanya.
Di sini lah, Anka mendudukkan diri. Lagi dan lagi, di kafe bernuansa irama musik instrumen. Tanpa suara-suara penyanyi. Hanya musik yang berdenting.
Berdenting? Denting? Denting!
Sial. Padahal tidak ada naskah yang tertangkap pandangannya.
Oh, Anka tidak sendiri. Dia sengaja ke sini, karna tau sahabatnya semasa SMK—Yavi—sedang mengerjakan skripsi.
"Naskah luar biasa apa yang lagi lo terima? Sampe wajah lo nggak berdaya."
Anka melipat bibirnya sejenak. "Lo nggak bakal tertarik. Gue lagi dijebak."
"Wow! Jebakan apa kali ini?"
"Genre romantis."
Yavi menyembur kopi hangat ke sisi meja. Terkejut sekaligus takjub. Seorang Anka ditemani genre romantis? Wah, ada apa kali ini?
"Jadi, siapa tersangkanya?" Yavi menunjuk raut wajah Anka yang tak seperti biasa.
Anka malas menjawab. Hening sejenak, tapi akhirnya dia bicara.
"Denting."
"D-denting?" Yavi mengangkat kedua alisnya, meminta pengulangan kata. "Gue nggak salah denger, kan?"
"Hmm... lo nggak salah denger. Denting."
Yavi menyimpan dulu revisi skripsinya. Fokus pada topik kali ini.
"Nama pena?"
Anka hanya mengendikkan kedua bahu. Tak tau nama apa itu. Lagipula tak berminat mencari tau lebih jauh.
"Namanya unik. Gue tebak, pasti lo kalah telak kali ini."
Ada suara tawa meledek.
"Gue nggak pernah kalah sama hal nggak penting." Seringaian anka yang telah lama dikubur muncul lagi. "Dia hanya terhubung sebagai penulis yang kebetulan gue tangani naskahnya."
Musik instrumen berganti nada. Pengunjung kafe satu per satu pergi.
"Bukan terhubung ke lo sebagai orang yang mengagumi?" Yavi meninggikan suara.
Bagaimana jika Anka dijebak juga? Bukan dalam fiksi, tapi dalam nyata?
"Nggak usah ngomong aneh. Lo tau gue nggak pake perasaan."
"Apa judulnya?" Yavi menyelidik, diam-diam mengingat judul novel yang akan diterbitkan itu.
"Denting : Revisi Emosi."
Dan dari detik itu, Yavi berjanji akan membeli novel itu. Sebagai pecinta wanita yang tiap tahun selalu memiliki rangkulan berbeda, dia tidak segan mengatakan:
Dia akan menjebak Anka. Sekali lagi.
***