Dalam suatu masa, ada ketika seseorang tanpa duga bertemu yang lainnya. Dalam ketidaksengajaan yang nampak klise. Yang satu, mungkin tidak pernah menyimpannya dalam memori jangka panjang. Sementara yang lain, selalu menyimpannya dalam memori tak boleh dilupakan.
Anka tidak tau siapa gadis itu. Yang tiba-tiba muncul, sejak beberapa menit lalu, sekedar mengintipnya dari kejauhan.
Anka sadar itu, tapi dia tidak peduli.
Hadirnya atau namanya sekali pun.
Gadis itu memilih hening. Berdiri dua langkah dari tempat Anka berpijak. Sesekali, gadis itu menolehkan pandangannya pada Anka. Hanya menoleh, tanpa suara. Senyuman? Jangan harap. Jika pun ada, Anka tidak peduli.
Anka melirik jam di pergelangan tangannya. Seseorang dinantinya dengan tenang. Padahal Anka bisa saja memesan makanan favorit itu untuknya, tapi dia memilih antri seorang diri.
Ya, seseorang itu adalah gadis yang tengah membawa perlahan semangkuk mie ayam.
Anka menghampirinya. Tidak peduli dengan gadis asing yang berdiri di sisinya. Yang iseng, lalu memilih hening.
"Anka?" Jika suara itu tidak ada, mungkin Anka akan menghabiskan malamnya di Kafe. Ditemani musik instrumental dan laptop yang masih dalam keadaan terbuka.
"Mau nginep di sini?" Manager kafe—teman baik kak Ailova menyadarkannya. Jam telah menunjukkan waktu kafe di tutup.
Anka tergesa-gesa menutup laptopnya, juga menutup ingatan kabur tentang siapa dua gadis yang muncul dalam mimpi sekilasnya.
Lelah membaca seharian, Anka tanpa sadar menjeda tubuhnya dengan tidur di atas meja kafe.
Mimpi itu ... terasa nyata, tapi entah kenapa juga terasa hanya mimpi biasa.
***
Pingsan. Gadis penyuka mie ayam mendadak pingsan di kelasnya. Anka tentu mengetahui itu dengan cepat. Kelas mereka hanya berseberangan. Terkadang, jika ingin, Anka hanya perlu mengintip lewat jendela kelas. Dan dia ... tepat tengah memandang ke arah yang sama.
Klise, tapi terlalu lucu untuk dilupakan.
Anka menanti di luar. Karena gadis itu tengah diperiksa. Dan di luar, tau apa yang Anka temui?
Gadis asing yang iseng menghampirinya tadi di kantin. Berdiri di balik pintu UKS yang setengah terbuka.
"Hei, ngapain lo di sana?" Seorang gadis lain memanggil gadis itu. "Ayo, balik ke kelas."
Anka sadar. Gadis itu sempat menoleh padanya. Tatapannya seperti... enggan pergi.
Anka lagi dan lagi tertidur bukan di kasurnya. Kali ini di meja kantor redaksi. Sendiri. Gasha tengah mengambil cuti. Entah untuk urusan apa.
Mimpi kedua. Masih sama. Nyata tapi tanpa jejak waktu.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Lupa sedetik tak apa. Akan kuberi memori baru.
Revisi Emosi. Benar-benar membuatnya emosi. Denting itu, diminta untuk mengubah kalimat menjadi lebih sederhana, tapi seolah tengah menantang Anka.
Haruskah Anka mengeluarkan sisi dirinya dari genre thriller?
Tega dan tak berperasaan?
Tega, dengan tidak menghubungi Denting lagi hingga naskah selesai direvisi.
Tak berperasaan, membiarkan naskah itu hambar seperti hatinya?
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Gue kasih bocoran sama lo, Denting. Gue gak mau basa basi. Kalo lo mau ikut aturan, lo lanjut sampe epilog. Kalo gak, lo mundur dari sekarang.
Denting tidak membalasnya sampai dua hari kemudian. Anka memutar diksi yang dimiliki Denting dalam naskah. Mengubah tanda baca yang salah posisi, menandai kalimat yang masih membingungkan, memberi catatan kecil, Gue benci genre romantis.
Catatan kecil yang mampu menggelitik sisi lain Anka.
"Gue benci genre romantis," ucap Anka berulangkali. Terus seperti itu.
"Gue benci saat harus peduli sebuah perasaan."
"Gue benci harus mengatakan hal-hal yang sudah lama gue lupakan bahkan matikan."
Denting, sialan!
Harusnya Anka marah pada kepala redaksi yang memintanya ambil alih naskah genre super menjijikkan itu.
Harusnya Anka marah pada editor yang menghilang. Lari dari tugas, hilang tak jelas. Merusak hari.
***
Dalam memori yang panjang, aku mengingatnya sebagai seseorang yang harus kupanggil dengan nama lain. Nama yang mampu menarik sudut bibirku. Bolehkah, aku memanggilnya sekali lagi.
— Revisi Emosi. Hal.23.
Kali ini Anka membacanya dengan perlahan. Meski harus mencernanya berkali-kali. Tiga kali revisi saja cukup, kalau Denting mau ikut aturan.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Aku akan menjadi indra pendengaranmu, jika kamu mau.
"Indra pendengaran gue?"
Anka refleks menyentuh telinganya. Bergidik ngeri. Membayangkan Denting benar-benar berubah wujud menjadi indra pendengarannya.
Kenapa rasanya Anka seperti diintip Denting melalui suara isi hati?
Anka hanya menggerutu dalam hati, tapi tak lama Denting mengiriminya pesan yang seolah dirinya dalam pantauan.
Bagaimana dengan ini?
Gue nggak perlu didengar.
Hahahaha. Ternyata hanya sebuah kebetulan, katanya. Saatnya kembali pada naskah.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Apa pun, selama kamu masih merasa.
Naskah di hadapannya seketika diabaikan, benarkah Denting bisa membaca hatinya?
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Berhenti main-main kalo naskah lo mau cepat beres.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Jangan bergurau, aku hanya tengah mengundang memorimu.
"Mengundang memori? Maksudnya?"
Memori tentang isi naskah, kan?
Anka mendengus. Kesal. Kenapa bisa dia dijebak sejauh ini?
***