"Dia kerja keras demi kamu, Sell. Dia bahkan nggak pernah punya waktu untuk memikirkan dirinya sendiri, cuma kamu dan ibu kalian yang ada di pikirannya."
Itu suara Lala, sangat jelas. Gue nggak tau apa yang mereka bicarakan sebelumnya karena pas gue buka mata, cuma itu yang berhasil gue dengar. Gue nggak tau ini di mana, tapi sepertinya di rumah sakit karena interaksi orang-orang di sekitar gue juga terdengar.
"Aku nggak pernah minta." Kali ini Selly jawab.
"Wisnu melakukan itu semua karena merasa kalian tanggung jawabnya. Dia anak pertama, laki-laki, dan karena ayah kalian udah nggak ada, secara naluriah dia berusaha melanjutkan tugas dan tanggung jawab ayah kalian. Jadi, ini bukan cuma masalah minta atau nggak, Sell."
Lala terdengar marah, tapi nggak tau kenapa gue membiarkannya dan tetap pura-pura tidur. Bukan puas Selly dimarahi, tapi gue merasa butuh orang lain untuk sekadar bikin Selly sadar bahwa apa yang dia lakukan selama ini udah keterlaluan. Kita cuma memiliki satu sama lain, kalau seandainya suatu hari gue menyentuh batas dan memutuskan buat menyerah sama semuanya, bagaimana dia melanjutkan hidup dengan karakternya yang seperti itu?
Gue sedikit terkejut saat seseorang mencekal pergelangan tangan gue, kemudian mengusap luka yang belum kering sempurna.
"Kamu lihat ini? Pernah nggak kamu nanya apa masmu baik-baik aja? Pernah nggak sekali aja kamu berusaha buat tau keadaan dia? Kamu pasti kaget dengan apa yang terjadi hari ini, tapi kamu perlu tau ini bukan pertama kali. Dalam beberapa hari ini Wisnu bolak-balik ke rumah sakit cuma karena pengin tau keadaanya. Dia muntah darah, pingsan, sakit berkali-kali, tapi kalian nggak tau itu, kan? Aku nggak bermaksud ikut campur urusan keluarga kalian, tapi aku rasa kalian harus tau soal ini. Aku di sini cuma bicara sebagai temannya Wisnu."
Selly diam, nggak bantah ataupun nangis. Suasana ruangan juga berubah hening, tapi itu pasti lebih menyakitkan karena Selly ada di momen di mana dia bahkan nggak bisa membela diri seperti biasa. Lala masih memegang pergelangan tangan gue, dan sekali lagi gue membiarkannya.
"Aku tau hati kecil kamu pun bilang sayang sama masmu, Sell. Tapi, itu aja, tuh, nggak cukup. Kamu perlu menunjukkan perasaan itu dengan cara apa pun. Jangan terlalu lama membiarkan dia sendirian dan terus berpura-pura kuat."
"Aku cuma nggak tau gimana harus bersikap, Teh. Mas Nu selalu kelihatan baik-baik aja. Aku pikir, dengan dia yang seperti itu dia memang nggak butuh aku."
"Kamu harusnya peka. Laki-laki itu punya harga diri. Pantang buat dia bilang kalau dia lemah, butuh kasih sayang, butuh dukungan atau bantuan kalian, apalagi kalian orang yang harus dia lindungi. Aku nggak minta apa-apa, Sell. Aku cuma minta tolong sayangi masmu."
Mulai terdengar suara Isak tangis, dan gue tau itu Selly. Pengin rasanya gue bangun dan bilang semuanya baik-baik aja kayak biasa, tapi untuk pertama kalinya gue pengin mereka tau kalau gue nggak kuat, gue capek. Biarpun gue nggak pernah minta ruang buat bersandar ke mereka, tapi bukan berarti gue pengin sendirian selamanya.
Genggaman tangan Lala terlepas, nggak lama gue dengar lagi suaranya.
"Sell, aku cuma nggak mau kamu nyesel. Jadi, tolong bersikap sedikit lebih baik sama Wisnu. Percaya sama aku, dia sayang banget sama kamu. Apa pun yang dia katakan atau dia lakukan bukan tanpa pertimbangan. Dia pasti berpikir jauh ke depan demi kebaikan kalian."
Tadinya hal ini yang gue takutkan, tapi entah kenapa ... setelah Lala membuka semuanya gue justru merasa lega.
"Udah jangan nangis, ya. Masmu butuh kamu."
"Makasih banyak, ya, Teh. Teteh nggak pulang? Udah hampir jam enam."
Ah, ternyata udah pagi. Gue pingsan berapa lama? Perasaan pas kejadian masih sekitar jam setengah sembilan malam.
"Aku dijemput pagi nanti, soalnya masuk pagi. Ibumu udah dikabarin?"
"Belum. Aku bingung gimana caranya bilang sama Ibu."
"Apa ibumu nggak khawatir kalian nggak pulang tadi malam?"
"Aku cuma bilang ada lemburan di apotek sama Mas Nu. Ibu setuju-setuju aja karena berpikir uangnya bisa buat tambahan biaya PKL aku."
"Oke. Papaku udah bayar semua pemeriksaan Wisnu, dan kemungkinan hasilnya pagi ini kalau nggak siang udah keluar. Biar lebih cepat. Nanti kabarin, ya, apa pun hasilnya. Tolong jaga Wisnu. Kamu tau, kan, dia bukan pembicara yang baik? Dia nggak pernah bilang apa pun, bahkan tentang rasa sakitnya, jadi aku harap kamu nggak keberatan buat lebih aktif bertanya. Kamu kirim nama lengkap, alamat sekolah, dan nama orang tua kamu, ya. Nanti aku buatin surat izinnya."
Ternyata Lala sedetail itu orangnya. Gue bahkan nggak tau kalau dia minta papanya buat bayar biaya pemeriksaan yang gue yakin mahal banget. Biaya PKL sama kuliah Selly aja masih jadi beban besar di pundak gue, sekarang malah nambah biaya pemeriksaan.
Perlahan gue membuka mata, tadinya nggak mau sampe mereka pergi, tapi gue tau Selly selalu merasa rugi kalau nggak sekolah. Jadi, gue bangun dan minta dia pulang aja.
"Mas."
Begitu gue membuka mata, Selly langsung mendekat, begitupun Lala.
"Nu? Gimana? Apa yang sakit? Apa yang lo rasain sekarang?"
Malah Lala yang bawel banget tanya ini itu. Gue cuma menjawab dengan senyum, berusaha membuktikan kalau gue baik-baik aja walaupun kenyataannya nggak. "Bisa-bisanya gue malah dibawa ke rumah sakit, La. Kalau nggak ke-cover BPJS gimana?"
"Belum aja lo gue sepak, ya, Nu! Udah bikin panik, bangun-bangun bikin kesal. Gimana nggak gue bawa ke rumah sakit orang semalam lo tiba-tiba pingsan berlumur darah kayak orang kena santet!"
"Siapa yang bakal nyantet orang manis kayak gue, sih, La?"
Gue tau banget, kalau gue dalam keadaan normal aja pasti udah ditoyor Lala. Tangannya seenteng itu buat noyor orang atau main geplak.
Lala memberi ruang buat Selly, dan gue sadar banget itu. Selly maju dengan kepala menunduk, dan gue meraih jemari tangannya, mengusapnya, terus bilang, "Mas nggak apa-apa. Kamu pulang, gih. Hari ini sekolah, kan? Ada buat ongkosnya?"
Dia cuma diam, terus nangis lagi. Susah payah gue berusaha buat bangun dan menepuk tempat kosong di ranjang gue, minta Selly duduk di situ. Gue merasa bersalah karena udah bikin dia nangis—dari tadi. Tapi, gue juga pengin tau sebenarnya dia sayang nggak, sih, sama gue?
Dia duduk di ranjang gue, terus gue peluk. "Mas minta maaf, ya, Cell, udah bikin kamu susah. Mas janji nggak akan ngerepotin kamu lagi."
"Mas nggak ngerepotin. Aku, kan, yang bikin Mas susah selama ini?"
"Nggak. Nggak masalah. Kamu pulang, gih. Jangan bilang sama Ibu. Bilang aja Mas lembur. Kayaknya nanti siang juga udah boleh pulang. Udah seger gini."
"Mas serius?"
"Serius."
Lala melotot ke arah gue, tapi gue menjulurkan lidah, sengaja ngejek biar dia makin jengkel. Jengkelnya Lala hiburan buat gue soalnya.
"Sana pulang, sekolah. Nanti Mas kabarin kalau ada apa-apa."
Di belakang Selly, Lala udah misuh-misuh tanpa suara, tapi gue malah pengin ketawa.
Gue melepas pelukan, dan membiarkan Selly mulai beresin barang-barangnya. Entah karena gue terbiasa sendiri atau apa, tapi nggak nyaman aja ditemenin dan diperlakukan kayak orang sakit.
Dia langsung pamitan sama gue dan Lala. Lala juga harusnya pulang, sih, karena otomatis dia harus gantiin gue jaga pagi ini, tapi gue tau cewek itu merasa ada yang belum selesai.
"Thank you. Nanti gue ganti, ya, La. Lo kasih ke gue aja rinciannya. Tapi, nyicil," kata gue sambil ketawa. "Bilang makasih juga sama orang tua lo. Makasih udah bantuin gue."
Dari situ Lala agak bengong, kayak baru sadar kalau gue udah dengar semuanya.
"Nu, sorry ...."
"Buat?"
"Maaf kalau gue udah lancang ikut campur masalah keluarga lo dengan marahin Selly. Harusnya gue nggak masuk sejauh itu, kan?"
"Nggak masalah, La. Gue juga harusnya tadi bangun dan nahan lo buat bilang semuanya, tapi karena sampai kapan pun gue nggak akan bisa melakukan itu, jadi gue membiarkan itu. Gue nggak pernah tau gimana caranya ngomong sama Ibu dan Icel tentang capeknya gue, tapi Lo melakukan itu buat gue. Makasih."
Dia menghela napas berkali-kali, keliatan ragu buat bicara, walaupun akhirnya tetap buka mulut.
"Pengorbanan lo, tuh, udah cukup, Nu. Nggak masalah kalau dengan mereka yang seperti itu, tapi tetap ngasih perhatian yang cukup buat lo. Ini nggak. Bukan cuma fisik lo yang dibuat berantakan, mental lo juga. Gue sangat menyayangkan itu. Bahkan, orang tua gue yang jauh dan sibuk sama kerjaan masing-masing aja punya sedikit waktu buat sekadar memastikan gue udah makan atau belum."
"Gue, tuh, udah biasa sebenarnya, La. Jadi, nggak masalah kok biarpun kadang tetap ada perasaan pengin dikasih perhatian atau minimal ditanyalah gimana keadaan gue. Tapi, nggak masalah. Cowok emang di-setting buat tahan banting menghadapi segala cuaca."
Aura pengin ngamuknya kentara banget, tapi dia menahan diri.
"Nu, gue mau ngomong serius. Jangan diketawain, jangan dibecandain. Nonjok orang sakit bukan gue banget, tapi gue bisa ngelakuin itu sambil tutup mata biar nggak ngerasa bersalah."
Gimana gue nggak pengin ketawa kalau intronya aja kayak gitu coba? Gue berdeham, berusaha keras buat nggak bikin dia makin jengkel. "Iya, kenapa, La?"
"Apa pun yang terjadi, kabarin gue. Masalah uang, jangan dipikirin dulu. Kita pikirin nanti setelah lo sembuh. Lagian, Papa bukan rentenir. Lo nggak bayar sekalipun dia bakal lupa, dalam artian ikhlas. Selama bukan Mama yang ditumbalin, Papa oke-oke aja. Yang terpenting, belajar bilang nggak, Nu. Nggak semua orang harus lo bahagiakan dan apa yang mereka katakan nggak selalu harus lo iyakan. Belajar boundaries, oke? Belajar hidup untuk diri lo sendiri."
Cukup lama gue diam setelah mendengar kata-kata Lala. Ucapan dia ada benarnya, dan gue nggak membantah sama sekali.
"Nu, gue bilang gini bukan berarti mencintai mereka sebesar itu adalah kesalahan, gue cuma pengin lo belajar mencintai diri lo sendiri juga supaya seimbang. Gimana lo bisa sepenuh hati membahagiakan mereka kalau diri lo sendiri aja nggak bahagia? Gue pernah ada di fase itu, Nu, dan udah bisa melewatinya. Walaupun nggak sesempurna orang lain, tapi gue mencintai diri gue yang sekarang. Kalau mau, lo juga pasti bisa."
"Makasih, La."
"Gue harap, suatu hari ... saat lo mulai menyadari semuanya dan mau berubah, bukan karena gue yang menggerakkan, tapi karena hati kecil lo yang ngasih dorongan."
Lala menunjuk dada gue dengan telunjuknya, dan lanjut bicara.
"Ingat ini, ada bagian dalam diri lo yang harus didengar."
Gue benar-benar dibuat terpana sama cara Lala bicara. Tegas dan terus terang. Dia tau semuanya karena pernah melewatinya. Jujur, ini pertama kalinya gue nggak merasa gagal cerita sama orang. Harusnya gue sadar dari awal kalau dia perempuan yang luar biasa.
"Lo mau bantu gue, kan, La?"
"With my pleasure. HP gue nyala dua puluh empat jam kalau lo butuh sesuatu, Nu."
"Iya, bawel banget. Tau, deh, yang baterainya awet."
"Becanda terus lo, ya. Lama-lama beneran gue tonjok."
"Kasar banget, sih, La, jadi cewek."
"Suka-suka gue. Emang elo rese dari tadi. Gue, tuh, sebenarnya nggak tahan pengin Jambak, minimal nendang, tapi sadar diri lo lagi sakit. Nanti masuk penganiayaan."
"Semalam aja lo nangisin gue."
"Hah?"
Gue nyengir. Ya gimana, masih ingat banget muka paniknya. Dia nangis jerit-jerit sambil manggil nama gue, gimana hati gue nggak hangat? Kalau Alisa masih ada, mungkin dia yang kayak gitu, bukan Lala. Tapi, yang bikin gue nggak ngerti sampe sekarang, kenapa Lala bisa sebaik dan seperhatian itu? Dia bahkan melibatkan papanya demi ‘kepastian’ tentang penyakit gue? Dia mau ngobrol juga sama Selly tentang apa yang terjadi. Kalau cuma takut jaga sendiri terus, gue rasa dia nggak harus bergerak sejauh itu. Atau mungkin ...?
"Nu, gue balik, ya. Udah dijemput. Nanti kabarin gue pokoknya."
"Iya, La. Sekali lagi makasih udah bantuin gue. Maaf gue ngerepotin."
"Es pisang ijo segerobak."
Spontan gue ketawa. Bayaran yang murah untuk pembelajaran berharga.
Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?
Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang