Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Terhitung udah tiga hari setelah kejadian itu, gue benar-benar nggak ngobrol sama Ibu atau Selly. Kalau biasanya mereka yang memulai memusuhi gue, kali ini gue yang menghindar. Gue butuh waktu buat sendiri setelah hari yang panjang. Luka itu nyata dan gue sendiri yang melakukannya. Jadi, untuk sementara, sebisa mungkin gue menghindari hal-hal yang bisa bikin gue marah.

Gue pergi dari pagi karena harus ke rumah sakit buat melakukan pemeriksaan seperti yang dijadwalkan. Cuma endoskopi dan cek darah, sedangkan CT-Scan nggak bisa dilakukan di hari yang sama. Kalau nggak salah masih ada lagi, pemeriksaan patologi anatomi atau apa gue nggak ngerti. Gue makin takut. Takut kalau ternyata emang separah itu. Karena rasa sakitnya masih ada, mual muntah juga menetap, rasa nggak nyaman di perut makin aneh-aneh setiap harinya biarpun udah minum obat.

Pas tadi mau diambil darah, petugasnya mungkin lihat luka di tangan gue. Dia langsung tanya, “A, itu tangannya kenapa? Aa ada teman buat cerita nggak? Kalau nggak ada, Aa bisa datang ke profesional. Biar bisa cerita, dan kalau butuh terapi obat nanti pasti dikasih obat supaya Aa lebih tenang."

Tapi, gue memilih buat nggak menjawab dan cuma senyum tipis. Karena jujur gue masih berkubang dalam kebingungan yang sama. Kenapa gue bisa melakukan hal ekstrem kayak gitu cuma karena merasa nggak berguna dan marah? Gue berusaha mengalihkan pikiran dari kejadian itu, karena sakitnya masih jelas. Sangat sakit dan nggak bisa gue atasi sampe gue butuh pelampiasan.

Selesai cek darah, gue diarahkan untuk melakukan pemeriksaan lain. Harus antre lagi buat endoskopi, beruntung hari ini nggak terlalu rame jadi sedikit lebih cepat. Gue diminta masuk, berbaring dengan posisi miring ke kiri. Petugas menyemprotkan sesuatu yang sepertinya anestesi lokal karena setelah itu area tersebut langsung mati rasa.

"Tarik napas lewat hidung pelan-pelan, ya. Tolong jangan dilawan."

Saat mereka memasukkan alat berupa selang lentur dengan kamera kecil di bagian ujung, tubuh gue tegas menolak, refleks muntah muncul walaupun perut kosong karena diharuskan puasa.

Dokter mengamati dengan saksama, terlihat dari rautnya yang serius, dan nggak lama tiba-tiba aja dia bilang, "Kita menemukan sesuatu yang mencurigakan. Nanti kita kirim sampel jaringannya ke bagian Patologi Anatomi, ya. Hasilnya kemungkinan keluar dalam tujuh hari atau empat belas hari."

Setelah itu gue diminta menunggu tiga puluh menit, dan dilarang minum atau apa pun selama satu jam ke depan setelah endoskopi. Dokter juga menjelaskan soal ketidaknyamanan pasca pemeriksaan itu dan gue cuma mengiakan.

Pas lagi duduk bengong, HP gue tiba-tiba bunyi. Ternyata ada satu pesan masuk dari Lala. Dengan cepat gue membacanya. Dia cukup bawel dari pagi buta.

Lala

Nu, gimana? Udah ada hasilnya? Apa katanya? Jangan bandel lo. Ikutin apa yang dokter suruh oke?

Gue baru tau kalau Lala, tuh, sebawel ini. Terutama setelah tau gue sakit. Alasannya, sih, nggak mau sampai jaga sendiri terus atau berdua sama Cantika, tapi gue merasa ketakutannya lebih dari itu. Tiap kita jaga pagi, dia selalu mastiin gue sarapan. Kalau gue mulai kelihatan pucat di matanya, gue harus banget istirahat, nggak boleh nggak. Kalau gue nggak nurut, dia puasa ngomong sama gue seharian. Dia cewek yang baik, cuma emang agak barbar dan nggak bisa diam aja.

Saya

Gue belum dapat hasilnya, La. Katanya nanti dikabarin lagi kalau hasilnya udah ada. Ini baru mau otw klinik sekarang. Sorry, ya, lo jadi harus nunggu lama.

Lala

Nggak masalah. Hari ini gue nggak pulang rencananya.

Sebenarnya gue nggak enak. Lala jadi harus nunggu lebih dari dua jam karena gue telat. Tadinya gue berpikir kalau pemeriksaan ini bisa cepat, jadi nggak apa-apa gue ke rumah sakit bukan pas jadwal libur, ternyata lumayan lama apalagi antre berkali-kali dari pendaftaran sampai pemeriksaan. 

Setelah jam tunggu selesai dan beres ngembaliin berkas, gue langsung ke klinik. Kalau jaga sore udah otomatis ada Selly, gue nggak tau gimana caranya menghindar dari dia. Sakit banget rasanya setiap ingat apa yang dia bilang. Harusnya nggak separah ini, kan? Apalagi gue tau banget Selly gimana. Sayangnya, nggak sesederhana kelihatannya. Setiap kami beradu tatap, semua omongan dia yang terekam hari itu, berputar otomatis di kepala.

Begitu gue turun dari ojek online, Lala langsung lari-larian nyamperin kayak anak kecil. Gue ketawa. Kali ini gue cuma beliin dia es pisang ijo yang ada di dekat rumah sakit, dan itu aja bikin dia heboh banget.

Dia nggak terlihat sungkan sama sekali dan langsung makan dengan lahapnya. Cuma sama dia gue merasakan perasaan sebahagia ini. Mungkin karena Lala nggak pernah melihat gue sebagai orang susah setelah masalah utang obat waktu itu. Gue kasih makanan, dia makan. Ditanya mau apa, dia jawab tanpa basa-basi atau bilang terserah. Es pisang ijo ini salah satu permintaannya. Dia tau cara memperlakukan orang lain dan bikin orang itu merasa nggak rendah diri.

"Nu, perasaan gue aja atau lo sama Selly lagi saling diam? Kalian ada masalah, ya?"

Gue yang sebelumnya diam sambil senyum-senyum lihatin dia makan es pisang ijo sedikit kaget sama pertanyaannya. Dia sadar juga ternyata. Mungkin perubahan sikap gue ke Selly kentara banget perubahannya, jadi Lala sadar. Kalau udah gini, bohong juga percuma, kan?

"La, lo tipe orang yang bisa dipercaya nggak?"

"Harusnya gue tersinggung, ya, ditanya kayak gitu. Tapi, biar lo yakin, ya udah gue iyain."

"Gue takut aja sebenarnya ini bisa memperkeruh keadaan. Tapi, mau jawab bohong juga lo pasti sadar."

Cewek itu menghentikan kegiatannya makan es pisang ijo, kemudian berbalik menatap gue. "Nu, gue nggak tau definisi bisa dipercaya menurut lo, tuh, gimana. Tapi, gue bukan tipe orang yang suka bergosip atau bakal memperkeruh keadaan. Gue juga begini bukan karena sekadar ingin tau, tapi emang peduli."

Jujur, gue terenyuh dengar pengakuan dia. Tapi, sebelum gue sempat menjawab, dia narik tangan gue dan menggulung lengan kemeja yang gue kenakan. Anehnya, nggak ada penolakan. Gue pasrah ketika dia melihat jejak-jejak kemarahan gue di sana.

"Kemarin nggak sengaja gue ngelihat ini setelah lo wudu. Pasti sakit banget, ya, Nu? Tapi, gue nggak tau sesakit apa sampe lo memutuskan buat memindahkan sakitnya ke sini."

Lala nggak menyentuh lukanya sama sekali, cuma mengusap area sekitarnya dengan lembut, dan nggak tau kenapa perlakuan sesederhana itu malah bikin perasaan gue sehancur ini. Ada dorongan yang kuat banget buat nangis, tapi gue nahan diri. Rasanya malu karena gue cowok, dan Ibu selalu bilang cowok itu nggak boleh kelihatan lemah mau sesakit dan sehancur apa pun.

"Dunia dan takdirnya kadang emang jahat, ya, Nu? Gue nggak tau sejahat apa takdir yang lo terima dan sesakit apa lo sekarang, tapi gue harap lo nggak melakukan hal kayak gini lagi. Hidup itu berharga, Nu. Bisa sampe di titik ini aja lo udah hebat banget. Jadi, kalau suatu hari ada yang bikin lo marah, marahin balik, atau kalau nggak bisa, lo bisa melampiaskannya ke gue. Kalau ada yang bikin sedih, lo juga boleh nangis ke gue. Ada yang bikin bahagia, lo bisa bagi kebahagiaan itu sama gue."

Tangan gue refleks mencengkeram dada. Di sana ... sesak dan sakit. Sama kayak waktu itu, gue nyaris nggak bisa napas. Tapi, Lala nggak kelihatan panik. Dia justru menenangkan, dan menuntun gue buat tetap bernapas. Gue melakukan apa yang dia perintahkan berulang, dan cukup berhasil bikin gue kembali bernapas. Walaupun tanpa sadar, di saat bersamaan, air mata gue jatuh. Gue refleks berbalik menatap Lala.

Lala senyum, terus bilang, "Nangis itu manusiawi. Bukan perkara lo cowok jadi nggak boleh nangis sama sekali. Kita sama-sama dikasih emosi, mustahil cowok nggak merasakan itu. Ada sedih, senang, kecewa, marah, takut, bahkan frustrasi. Menangis adalah bentuk validasi dari dari salah satu emosi itu, kan? Jadi nggak apa-apa."

Mati-matian gue berusaha buat nggak bersuara. Walaupun, nggak ada siapa-siapa di sini selain gue sama Lala, tapi sungkan menunjukkan seperti apa perasaan gue saat ini. Jadi, memutuskan buat menyembunyikan wajah gue dengan kepala rebah di atas meja, dan menangis tanpa suara.

Lala nggak berusaha menenangkan atau minta gue diam. Beberapa kali dia cuma menepuk-nepuk punggung gue, pelan banget.

"Gue mungkin orang asing, Nu. Tapi, gue ada kalau lo butuh tempat buat jatuh."

Satu-satunya kalimat yang terlontar dari bibir Lala cuma itu, dan gue mengerti maksudnya. Kita nggak bisa selalu di atas dan berusaha terlihat baik-baik aja. Sesekali jatuh, menenangkan diri, dan kembali ke atas kalau udah waktunya juga terbilang sesuatu yang manusiawi kok.

"Minimal lo harus punya satu alasan buat tetap hidup, Nu. Apa pun itu. Ibu dan Selly mungkin?"

Gue nggak menjawab. Kalau boleh jujur, mereka memang pernah jadi alasan gue buat hidup lebih lama, sampai kemudian alasan itu berubah jadi sesuatu yang mendorong gue untuk pergi lebih cepat.

***

Malam ini pasien cukup rame dan bikin gue sama Lala cukup kewalahan. Biarpun ada Selly, tapi dia nggak bisa leluasa bantu karena memang bukan kerjaannya. Tenaga gue yang mungkin cuma setengahnya dari Lala hampir habis. Dalam kondisi nggak ngapa-ngapain aja gue bisa ngerasa capek banget tanpa alasan, apalagi harus melayani lebih dari lima puluh pasien dengan karakter macam-macam.

Beberapa menit yang lalu gue juga sempat berantem sama driver karena pesanan dari aplikasi Halosehat. Driver tersebut langsung mem-pickup barang sebelum sampe apotek, pas di sini barangnya kosong. Stok di Halosehat emang jarang kami update karena proses keluar masuk barangnya yang cepat. Apalagi, kita cuma bertiga sekarang. Keteteran banget ngurusin semuanya.

"Nu, istirahat dulu, deh. Lo pucat banget."

Padahal, Lala lagi sibuk, tapi dia masih sempat melirik gue dan memastikan kondisi gue. Perut gue emang lumayan sakit dari tadi, tapi nggak berani bilang karena takut fokus cewek itu berantakan. Ternyata, nggak bilang pun fokusnya bukan cuma ke resep, tapi ke gue juga.

Selly cuma melirik, tapi nggak bilang apa-apa. Dia cuma ngobrol sama Lala dari tadi, nggak buka mulut sedikit pun pas berhadapan sama gue.

Nyeri bukan cuma nyeri, mulai muncul sensasi mual yang mengganggu, tapi gue nggak bisa ninggalin Lala dengan kondisi serame ini, kasihan. Jadi, gue berusaha keras menahan diri biar nggak keluar apotek biarpun cuma buat muntah.

Ternyata, semakin lama makin nggak bisa ditahan. Gue refleks menutup mulut dengan sebelah tangan, dan berniat ke kamar mandi. Tapi, pijakan gue goyah. Gue hampir jatuh dan di saat bersamaan, cairan merah pekat kembali menyembur dari mulut gue. Lala menjerit tertahan, sementara Selly menjatuhkan mortir yang mau dia cuci, mungkin karena terlalu kaget dan langsung berdiri kaku di tempat.

Gue yang sebelumnya cuma goyah, tiba-tiba hilang tenaga. Lemas kayak tanpa tulang, dan perlahan ambruk membentur dinginnya lantai. Samar, gue melihat mata Lala yang basah. Dia berjongkok tepat di depan gue, menatap dan memanggil nama gue berkali-kali, tapi makin lama gue nggak bisa dengar suaranya. Jauh dan kabur. Gue kayak ada di ruang hampa, yang cuma ada gue di dalamnya. Sampai kemudian semua berubah gelap. Gue nggak bisa melihat atau merasakan apa-apa.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 2
Submit A Comment
Comments (36)
  • nazladinaditya

    aduh, siapapun gigit cantika tolong 😭 aku pernah bgt punya temen kerja begitu, pengen jambak:(

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Sumpah udh gedeg banget sama atasannya. Sikapnya kya org yg gak berpendidikan mentang² punya power. Maen tuduh, rendahin org, nginjek² org mulu tanpa nyari tau dulu kenyataannya. Klo tau ternyata si Jelek -males banget manggil Cantika- yg lagi² bikin kesalahan yakin sikapnya gak sama dgn sikap dia k Wisnu mentang² dia cewek cantik😡 lagian tu cewek gak becus knp masih d pertahanin mulu sih d situ, gak guna cuma bikin masalah bisanya. Tapi malah jadi kesayangan heran😑

    Comment on chapter Chapter 8 - Lebih dari hancur
  • serelan

    Nu Wisnuuu semoga jalan untuk menemukan kebahagian dalam hidupmu dimudahkan ya jalannya

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Buat atasannya Wisnu jangan mentang² berpendidikan tinggi, berprofesi sebagai seorang dokter anda bisa merendahkan orang lain ya.. yang gak punya etika itu anda hey coba ngaca... ada kaca kan d rumah??
    Buat si Cantika yang sifatnya gak mencerminkan namanya anda d kantor polisi ya? Gara² apa kah? Jangan balik lg ya klo bisaaaa

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Khawatirnya si ibu cuma karena mikirin masa depan si Selly mulu, takut banget klo mas Wisnu d pecat. Padahal jelas² tau mas Wisnu lg sakit tapi nyuruh buru² kerja jgn sampe d pecat. Semangat pula nyiapin bekal dan jadi tiba² perhatian cuma karena mas Wisnu bilang mau nyari kerja part time. Biar dapet tambahan duit buat si Selly ya bu ya😑.

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • nazladinaditya

    baru baca bab 3, speechless si.. cantika kata gue lo asu 😭🙏🏻 maaf kasar tp kamu kayak babi, kamu tau gak? semoga panjang umur cantika, sampe kiamat

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • serelan

    Curiga Selly yg ngambil dompet ibunya terus uangnya d pake CO Shopee, karena takut ketauan belanja sesuatu makanya pulang dulu buat ambil paketnya... Atasannya mas Wisnu cunihin ya sepertinya😂 ke cewe² aja baik, ke cowo² galak bener... gak adakah org yg bener² baik di sekitaran Wisnu? Ngenes banget idupnya..

    Comment on chapter Chapter 6 - K25.4
  • nazladinaditya

    siapa yang menyakitimuu wahai authoorrr 😭😭 tolong musnahkan ibu itu, singkirkan dia dari wisnu jebal

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Kesel banget sama ibunya. Selalu banding²in. Negative thinking terus lagi sama Wisnu. Awas aja klo ternyata anak yg d bangga²kan selama ini justru malah anak yg durhaka yg gak tau diri, rusak gara² cara didik yg gak bener.

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Nu, udh parah itu Nu🥺
    Nu, coba bilang aja dulu sama atasan klo si Selly mau coba bantu² biar liat gimana kakaknya diperlakukan di tempat kerjanya. Biar bisa mikir tu anak kakaknya nyari duit susah payah.

    Comment on chapter Chapter 4 - Namanya juga hidup
Similar Tags
Simbiosis Mutualisme
312      205     2     
Romance
Jika boleh diibaratkan, Billie bukanlah kobaran api yang tengah menyala-nyala, melainkan sebuah ruang hampa yang tersembunyi di sekitar perapian. Billie adalah si pemberi racun tanpa penawar, perusak makna dan pembangkang rasa.
Telat Peka
1346      620     3     
Humor
"Mungkin butuh gue pergi dulu, baru lo bisa PEKA!" . . . * * * . Bukan salahnya mencintai seseorang yang terlambat menerima kode dan berakhir dengan pukulan bertubi pada tulang kering orang tersebut. . Ada cara menyayangi yang sederhana . Namun, ada juga cara menyakiti yang amat lebih sederhana . Bagi Kara, Azkar adalah Buminya. Seseorang yang ingin dia jaga dan berikan keha...
Reandra
1967      1140     67     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Edelweiss: The One That Stays
2344      940     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Ansos and Kokuhaku
3517      1142     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...
Finding My Way
780      473     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
71      62     1     
True Story
Kasih dan Sebilah Pisau
368      243     0     
Short Story
Kisah ini dibuat berdasarkan keprihatinan atas krisisnya kasih dan rapuhnya suatu hubungan. *** Selama nyaris seumur hidupku, aku tidak tahu, apa itu kasih, apa itu cinta, dan bagaimana seharusnya seseorang tersenyum saat sedang jatuh cinta.
Lantunan Ayat Cinta Azra
995      613     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
Interaksi
442      333     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...