Gue kayak dipaksa buka mata pas dengar Ibu gedor-gedor pintu sambil teriak, "Bangun, Mas. Kamu nggak akan kerja? Mau potong gaji kamu? Mau bikin masalah dan dipecat? Mau makan apa kita nanti kalau kamu dipecat?"
Tadi itu pingsan, ya? Ah, padahal gue udah bayangin adegan dramatis. Kayak pas gue buka mata Ibu sama Selly ada di samping gue. Tapi, gue lupa pintu dikunci, dan lagi ... mereka nggak mungkin mau dobrak. Selain karena nggak kuat, biaya perbaikan juga mahal.
Sepasang mata gue melirik jam digital yang ada di atas meja, udah hampir jam dua siang. Gue emang harus kerja sekarang juga kalau nggak mau Cantika ngomel-ngomel karena telat ganti sif.
Sebelum keluar buat mandi, gue sempat melipat seprai yang tadi gue lempar gitu aja ke sudut kamar. Biar dicuci nanti pas pulang rencananya. Kalau sekarang gue udah telat dan takut Ibu curiga kenapa tiba-tiba cuci seprai.
Pas gue keluar, suara Ibu yang menggelegar langsung menyambut.
"Kamu, tuh, gimana, sih, Mas. Bangun kok siang banget. Kelihatan banget pemalasnya. Bukannya nyari kerja pas senggang, tuh, malah tiduran sampe siang."
Mau bilang kalau gue tadi pingsan juga nggak akan percaya, jadi, ya udah, gue nggak merasa perlu menjelaskan apa-apa. "Iya, Bu, maaf. Aku mandi dulu, setelah itu langsung berangkat sekarang. Jangan lupa cari kerja lagi, ya, Mas. Nggak perlu yang berat, asal kamu ada pemasukan lebih buat diri kamu sendiri dan Icel."
Akhirnya, gue cuma bergumam sebagai jawaban.
"Jangan lupa makan dulu sebelum berangkat biar kuat."
Kali ini gue nggak menjawab, cuma mengiakan dalam hati. Ibu benar. Gue emang harus makan, pura-pura kuat butuh banyak tenaga soalnya.
Setelah bersiap kurang dari setengah jam, gue memutuskan buat berangkat kerja. Tanpa makan, karena mual. Daripada muntah lagi? Nanti ribet.
Gue memutuskan buat jalan lebih santai. Nggak apa-apa, deh, hari ini gue dimarahin Cantika. Jangankan buat jalan cepat, ngangkat kaki aja rasanya kayak penyiksaan.
Pas sampe, udah kebayang, kan, Cantika bakal bilang apa? Iya, dia langsung ngomel tanpa spasi.
"Lo ke mana aja, sih? Buang-buang waktu tau nggak? Sepuluh menit gue yang berharga kebuang gitu aja gara-gara lo."
Padahal, cuma sepuluh menit. Nggak bisa dibenarkan emang, tapi dia bisa lebih dari itu. Bisa setengah jam, satu jam, dan yang paling penting dia nggak ada perasaan bersalah sama sekali. Gue nggak jawab, langsung duduk dan ngambil faktur yang belum dimutasi. Teman gue yang waras, tuh, emang cuma Raina kalau urusan kerjaan, tapi karena sakit-sakitan terus jadi dia beneran istirahat. Gue juga belakangan ini gitu, tapi rasa sakit gue kalah sama sakit yang lain.
"Gue pulang dulu. Besok ganti, ya."
"Iya."
Selepas kepergian Cantika, gue memutuskan buat duduk di bawah, dan kerja sambil duduk bersandar. Berasa mau jatuh kalau cuma duduk di kursi kasir. Untungnya besok gue libur, jadi bisa istirahat, harusnya. Selly juga dikasih kebebasan buat milih libur, bisa barengan sama gue atau di luar itu.
Pas lagi sibuk-sibuknya kerja, tiba-tiba gue melihat sebuah motor berhenti tepat di depan klinik. Mata gue refleks menyipit melihat siapa yang datang, ternyata ... Selly? Dia beneran diantar cowok yang waktu itu gue lihat. Nggak lama dia masuk ke apotek dan langsung nanya.
"Mas, lagi apa?"
"Mutasi faktur," sahut gue. "Itu tadi siapa?"
"Pacarku."
Oh, ternyata dia mau jujur. Gue sedikit kaget karena waktu itu dia bersikeras bilang mereka cuma teman. Ternyata hari ini Selly jujur. "Sejak kapan?"
"Baru kok, Mas."
"Kamu senang?"
Dia kelihatan sumringah. Gue jadi sungkan buat nanya masalah waktu itu. Tapi, kalau dibiarin gue takut Selly semakin kelewatan. Jadi, gue mulai ngajak dia ngobrol.
"Cel."
"Kenapa, Mas? Ada yang mau dibantu?"
"Mas nggak akan ngelarang kamu pacaran, tapi tau batasan, ya, Cel. Ingat yang selalu Bapak bilang."
"Iya, ih, bawel."
"Mas bawel karena sayang. Mas juga dikasih amanah sama Bapak buat jagain kamu sama Ibu. Jadi, Mas minta tolong banget kamu juga harus bisa jaga diri."
"Mas, aku nggak sebodoh itu, tenang aja. Aku bisa jaga diri kok. Lagian cowokku bukan orang jahat. Dia juga masuk peringkat paralel di sekolah. Jadi, kami setara."
Sebenernya, gue pengin banget balas omongan Selly, tapi rasa mual yang dari tadi gue tahan nggak bisa ditahan lagi. Gue bangun tergesa, bikin Selly yang duduk tepat di sebelah gue sedikit kaget. Nggak ada waktu buat menjelaskan, gue memilih langsung bergegas ke kamar mandi.
Gue pikir dengan bolos makan bisa terhindar dari hal kayak gini, ternyata rasanya malah lebih sakit. Berkali-kali muntah dengan perut kosong bikin lambung gue kayak mau lompat keluar juga. Sakit banget sampe nggak bisa dijelasin pake kata-kata.
Tangan gue bergerak menggapai-gapai dinding, berusaha nyari tumpuan. Setelah berhasil berdiri, gue cuci muka, terus keluar dari kamar mandi dengan wajah yang udah mirip keset kaus bekas. Agak kaget karena ternyata Selly ada di depan pintu. Sebisa mungkin gue mengontrol ekspresi, dia nggak akan peduli, tapi pasti tetap tanya.
"Mas kenapa?"
"Nggak. Kamu udah makan?"
"Belum."
"Makan dulu kalau gitu. Dibiasain makan nggak mepet jam buka biar nggak buru-buru. Biar nyaman makannya."
Dia sama sekali nggak jawab, malah mengulang pertanyaannya, "Mas kenapa?"
"Aslam, nggak tau masuk angin."
"Mas sadar nggak belakangan ini kelihatan kurusan? Udah diperiksain? Mas hampir tiap hari juga gini, kan?"
"Hm?" Ternyata Selly tau, tapi memilih diam selama ini. Emang masuk akal, sih. Seperti yang gue bilang, rumah kita kecil dan jarak dari satu ruangan ke ruangan lain nggak terlalu jauh, nggak kedap suara juga, jadi dia pasti dengar semua yang terjadi sama gue. Masalah berat badan, iya gue udah turun banyak. Hampir delapan kilogram dalam kurun waktu kurang dari dua bulan. Itu juga yang bikin dokter kemarin nggak mikir dua kali buat ngasih rujukan ke rumah sakit. "Perasaanmu aja kayaknya."
"Mas, aku udah ditinggal Bapak. Jadi, tolong ...."
Kalimatnya menggantung. Selly nggak bilang apa-apa lagi. Dia beneran langsung mendahului gue kembali ke apotek. Jadi, tolong ... jangan pergi gitu maksudnya? tanya gue dalam hati.
***
"Nu, Nu."
Gue bisa dengar suara Lala. Pas dia diam-diam nyelipin bantal di bawah kepala gue juga tau. Tiba-tiba badan gue yang sebelumnya berasa dingin juga jadi hangat karena ada yang selimutin. Nggak tau Lala atau Selly. Baru beberapa jam kerja, badan gue ternyata nggak sekuat itu. Badan gue limbung bikin pasien refleks menjerit begitupun Selly sama Lala. Nggak pingsan kayak sebelumnya emang, tapi gue beneran nggak sanggup berdiri atau melakukan apa pun lagi, gelap.
Di area belakang apotek ada sekat etalase besar. Nggak ada kamera pengawas di sana, jadi anak-anak sengaja bawa bantal, selimut, sama kasur lipat biar pas kita lembur bisa tiduran sebentar. Sekarang justru gue yang rebahan di sini, di jam kerja. Gue nggak enak sama Lala, tapi dia yang nyuruh gue buat istirahat.
"Sell, Bapak telepon."
"Hah? Kenapa, Teh? Aku bikin salah?" Selly udah kedengaran panik banget. Dia tipe orang yang perfeksionis, sangat jarang melakukan kesalahan, jadi bisa langsung berasa paniknya.
"Nggak tau, coba angkat dulu aja."
Gue nggak bisa dengar Selly ngomong apa aja sama Pak Taufik. Jangankan nguping, berusaha buat sadar aja rasanya susah. Dari tadi gue ngerasa nyawa gue keluar masuk, kadang ada, kadang hilang. Di saat bersamaan, Lala—yang gue tau pasti sibuk banget—masih sempat nyamperin gue sambil nanya berkali-kali.
"Nu, masih hidup, kan?"
"Nu, jangan pingsan lagi."
"Nu, minum obat dulu. Nanti lo bayar pas gajian aja. Gue ambilin domperidone sama antasida, ya? Atau lo mau konsul dulu sama Dokter Arka?"
Dalam kondisi normal gue pasti ketawa karena tau dia nggak benar-benar berniat bikin gue punya utang. Kemudian dia hilang lagi, jelasin obat, balik lagi nyamperin gue.
"Nu, mau ke IGD. Pucat banget, ih, gue takut!"
Suaranya kedengaran sedikit bergetar, kayak orang mau ... nangis? Tapi, kenapa? Dan sampai detik ini Selly nggak kedengaran lagi. Gue nggak tau apa dia masih teleponan sama atasan gue atau jangan-jangan malah ke atas?
"La."
"Hah? Kenapa? Yang kencang ngomongnya."
"Icel ...."
"Icel? Siapa? Selly?"
Gue mengangguk.
"Dia di suruh ke atas sama Pak Taufik."
Dengar itu, gue beneran pengin bangun. Tapi, nggak bisa. Keleyengan, mual, sama nggak ada tenaga sama sekali. Perasaan gue udah nggak enak dari semenjak laki-laki itu pengin ngobrol sama Selly. Udah kebaca triknya. Dia tau adik gue lemah dan membutuhkan sesuatu buat bertahan, pasti ada yang dia tawarkan.
Lala masih di samping gue karena bisa dengar suara napasnya. Gue memaksakan diri membuka mata, minta bantuan Lala buat bangun, terus pelan banget gue bilang, "Temenin."
"Hah? Temenin? Temenin gimana? Temenin elo gitu?"
"Icel."
"Gimana? Elo mau nemenin Selly ke atas? Bangun aja nggak bisa."
"Elo."
"Oh, gue temenin Selly gitu ke atas? Tapi, di bawah gimana? Pak Taufik pasti marah kalau dibiarin kosong."
"Ada gue. Gue nggak sanggup ke atas. Bisa nggak lo temenin Icel dulu? Gue jaga di depan."
Lala menghela napas. "Lo kuat emang kalau ditinggal? Nanti kalau ada yang beli gimana? Lo bisa ngambil-ngambil obatnya?"
Untuk kesekian kalinya gue mengangguk. Biarpun nggak tau bakal kayak apa, tapi seenggaknya Selly ditemenin. Tapi, belum sempat Lala pergi, pintu apotek terbuka. Gue sama Lala refleks berbalik dan melihat Selly masuk. Dari wajahnya nggak kelihatan dia habis diapa-apain, justru sumringah. Tapi, nggak tau kenapa itu malah bikin gue takut.
Apa yang ditawarkan atasan gue dan apa yang mereka sepakati?
Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?
Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang