Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Gue kayak dipaksa buka mata pas dengar Ibu gedor-gedor pintu sambil teriak, "Bangun, Mas. Kamu nggak akan kerja? Mau potong gaji kamu? Mau bikin masalah dan dipecat? Mau makan apa kita nanti kalau kamu dipecat?"

Tadi itu pingsan, ya? Ah, padahal gue udah bayangin adegan dramatis. Kayak pas gue buka mata Ibu sama Selly ada di samping gue. Tapi, gue lupa pintu dikunci, dan lagi ... mereka nggak mungkin mau dobrak. Selain karena nggak kuat, biaya perbaikan juga mahal. 

Sepasang mata gue melirik jam digital yang ada di atas meja, udah hampir jam dua siang. Gue emang harus kerja sekarang juga kalau nggak mau Cantika ngomel-ngomel karena telat ganti sif.

Sebelum keluar buat mandi, gue sempat melipat seprai yang tadi gue lempar gitu aja ke sudut kamar. Biar dicuci nanti pas pulang rencananya. Kalau sekarang gue udah telat dan takut Ibu curiga kenapa tiba-tiba cuci seprai.

Pas gue keluar, suara Ibu yang menggelegar langsung menyambut. 

"Kamu, tuh, gimana, sih, Mas. Bangun kok siang banget. Kelihatan banget pemalasnya. Bukannya nyari kerja pas senggang, tuh, malah tiduran sampe siang."

Mau bilang kalau gue tadi pingsan juga nggak akan percaya, jadi, ya udah, gue nggak merasa perlu menjelaskan apa-apa. "Iya, Bu, maaf. Aku mandi dulu, setelah itu langsung berangkat sekarang. Jangan lupa cari kerja lagi, ya, Mas. Nggak perlu yang berat, asal kamu ada pemasukan lebih buat diri kamu sendiri dan Icel."

Akhirnya, gue cuma bergumam sebagai jawaban.

"Jangan lupa makan dulu sebelum berangkat biar kuat."

Kali ini gue nggak menjawab, cuma mengiakan dalam hati. Ibu benar. Gue emang harus makan, pura-pura kuat butuh banyak tenaga soalnya.

Setelah bersiap kurang dari setengah jam, gue memutuskan buat berangkat kerja. Tanpa makan, karena mual. Daripada muntah lagi? Nanti ribet. 

Gue memutuskan buat jalan lebih santai. Nggak apa-apa, deh, hari ini gue dimarahin Cantika. Jangankan buat jalan cepat, ngangkat kaki aja rasanya kayak penyiksaan. 

Pas sampe, udah kebayang, kan, Cantika bakal bilang apa? Iya, dia langsung ngomel tanpa spasi.

"Lo ke mana aja, sih? Buang-buang waktu tau nggak? Sepuluh menit gue yang berharga kebuang gitu aja gara-gara lo."

Padahal, cuma sepuluh menit. Nggak bisa dibenarkan emang, tapi dia bisa lebih dari itu. Bisa setengah jam, satu jam, dan yang paling penting dia nggak ada perasaan bersalah sama sekali. Gue nggak jawab, langsung duduk dan ngambil faktur yang belum dimutasi. Teman gue yang waras, tuh, emang cuma Raina kalau urusan kerjaan, tapi karena sakit-sakitan terus jadi dia beneran istirahat. Gue juga belakangan ini gitu, tapi rasa sakit gue kalah sama sakit yang lain. 

"Gue pulang dulu. Besok ganti, ya."

"Iya."

Selepas kepergian Cantika, gue memutuskan buat duduk di bawah, dan kerja sambil duduk bersandar. Berasa mau jatuh kalau cuma duduk di kursi kasir. Untungnya besok gue libur, jadi bisa istirahat, harusnya. Selly juga dikasih kebebasan buat milih libur, bisa barengan sama gue atau di luar itu. 

Pas lagi sibuk-sibuknya kerja, tiba-tiba gue melihat sebuah motor berhenti tepat di depan klinik. Mata gue refleks menyipit melihat siapa yang datang, ternyata ... Selly? Dia beneran diantar cowok yang waktu itu gue lihat. Nggak lama dia masuk ke apotek dan langsung nanya.

"Mas, lagi apa?"

"Mutasi faktur," sahut gue. "Itu tadi siapa?"

"Pacarku."

Oh, ternyata dia mau jujur. Gue sedikit kaget karena waktu itu dia bersikeras bilang mereka cuma teman. Ternyata hari ini Selly jujur. "Sejak kapan?"

"Baru kok, Mas."

"Kamu senang?"

Dia kelihatan sumringah. Gue jadi sungkan buat nanya masalah waktu itu. Tapi, kalau dibiarin gue takut Selly semakin kelewatan. Jadi, gue mulai ngajak dia ngobrol.

"Cel."

"Kenapa, Mas? Ada yang mau dibantu?"

"Mas nggak akan ngelarang kamu pacaran, tapi tau batasan, ya, Cel. Ingat yang selalu Bapak bilang."

"Iya, ih, bawel."

"Mas bawel karena sayang. Mas juga dikasih amanah sama Bapak buat jagain kamu sama Ibu. Jadi, Mas minta tolong banget kamu juga harus bisa jaga diri."

"Mas, aku nggak sebodoh itu, tenang aja. Aku bisa jaga diri kok. Lagian cowokku bukan orang jahat. Dia juga masuk peringkat paralel di sekolah. Jadi, kami setara."

Sebenernya, gue pengin banget balas omongan Selly, tapi rasa mual yang dari tadi gue tahan nggak bisa ditahan lagi. Gue bangun tergesa, bikin Selly yang duduk tepat di sebelah gue sedikit kaget. Nggak ada waktu buat menjelaskan, gue memilih langsung bergegas ke kamar mandi.

Gue pikir dengan bolos makan bisa terhindar dari hal kayak gini, ternyata rasanya malah lebih sakit. Berkali-kali muntah dengan perut kosong bikin lambung gue kayak mau lompat keluar juga. Sakit banget sampe nggak bisa dijelasin pake kata-kata. 

Tangan gue bergerak menggapai-gapai dinding, berusaha nyari tumpuan. Setelah berhasil berdiri, gue cuci muka, terus keluar dari kamar mandi dengan wajah yang udah mirip keset kaus bekas. Agak kaget karena ternyata Selly ada di depan pintu. Sebisa mungkin gue mengontrol ekspresi, dia nggak akan peduli, tapi pasti tetap tanya.

"Mas kenapa?"

"Nggak. Kamu udah makan?"

"Belum."

"Makan dulu kalau gitu. Dibiasain makan nggak mepet jam buka biar nggak buru-buru. Biar nyaman makannya."

Dia sama sekali nggak jawab, malah mengulang pertanyaannya, "Mas kenapa?"

"Aslam, nggak tau masuk angin."

"Mas sadar nggak belakangan ini kelihatan kurusan? Udah diperiksain? Mas hampir tiap hari juga gini, kan?"

"Hm?" Ternyata Selly tau, tapi memilih diam selama ini. Emang masuk akal, sih. Seperti yang gue bilang, rumah kita kecil dan jarak dari satu ruangan ke ruangan lain nggak terlalu jauh, nggak kedap suara juga, jadi dia pasti dengar semua yang terjadi sama gue. Masalah berat badan, iya gue udah turun banyak. Hampir delapan kilogram dalam kurun waktu kurang dari dua bulan. Itu juga yang bikin dokter kemarin nggak mikir dua kali buat ngasih rujukan ke rumah sakit. "Perasaanmu aja kayaknya."

"Mas, aku udah ditinggal Bapak. Jadi, tolong ...."

Kalimatnya menggantung. Selly nggak bilang apa-apa lagi. Dia beneran langsung mendahului gue kembali ke apotek. Jadi, tolong ... jangan pergi gitu maksudnya? tanya gue dalam hati.

***

"Nu, Nu."

Gue bisa dengar suara Lala. Pas dia diam-diam nyelipin bantal di bawah kepala gue juga tau. Tiba-tiba badan gue yang sebelumnya berasa dingin juga jadi hangat karena ada yang selimutin. Nggak tau Lala atau Selly. Baru beberapa jam kerja, badan gue ternyata nggak sekuat itu. Badan gue limbung bikin pasien refleks menjerit begitupun Selly sama Lala. Nggak pingsan kayak sebelumnya emang, tapi gue beneran nggak sanggup berdiri atau melakukan apa pun lagi, gelap.

Di area belakang apotek ada sekat etalase besar. Nggak ada kamera pengawas di sana, jadi anak-anak sengaja bawa bantal, selimut, sama kasur lipat biar pas kita lembur bisa tiduran sebentar. Sekarang justru gue yang rebahan di sini, di jam kerja. Gue nggak enak sama Lala, tapi dia yang nyuruh gue buat istirahat.

"Sell, Bapak telepon."

"Hah? Kenapa, Teh? Aku bikin salah?" Selly udah kedengaran panik banget. Dia tipe orang yang perfeksionis, sangat jarang melakukan kesalahan, jadi bisa langsung berasa paniknya.

"Nggak tau, coba angkat dulu aja."

Gue nggak bisa dengar Selly ngomong apa aja sama Pak Taufik. Jangankan nguping, berusaha buat sadar aja rasanya susah. Dari tadi gue ngerasa nyawa gue keluar masuk, kadang ada, kadang hilang. Di saat bersamaan, Lala—yang gue tau pasti sibuk banget—masih sempat nyamperin gue sambil nanya berkali-kali.

"Nu, masih hidup, kan?"

"Nu, jangan pingsan lagi."

"Nu, minum obat dulu. Nanti lo bayar pas gajian aja. Gue ambilin domperidone sama antasida, ya? Atau lo mau konsul dulu sama Dokter Arka?"

Dalam kondisi normal gue pasti ketawa karena tau dia nggak benar-benar berniat bikin gue punya utang. Kemudian dia hilang lagi, jelasin obat, balik lagi nyamperin gue.

"Nu, mau ke IGD. Pucat banget, ih, gue takut!" 

Suaranya kedengaran sedikit bergetar, kayak orang mau ... nangis? Tapi, kenapa? Dan sampai detik ini Selly nggak kedengaran lagi. Gue nggak tau apa dia masih teleponan sama atasan gue atau jangan-jangan malah ke atas?

"La."

"Hah? Kenapa? Yang kencang ngomongnya."

"Icel ...."

"Icel? Siapa? Selly?"

Gue mengangguk.

"Dia di suruh ke atas sama Pak Taufik."

Dengar itu, gue beneran pengin bangun. Tapi, nggak bisa. Keleyengan, mual, sama nggak ada tenaga sama sekali. Perasaan gue udah nggak enak dari semenjak laki-laki itu pengin ngobrol sama Selly. Udah kebaca triknya. Dia tau adik gue lemah dan membutuhkan sesuatu buat bertahan, pasti ada yang dia tawarkan.

Lala masih di samping gue karena bisa dengar suara napasnya. Gue memaksakan diri membuka mata, minta bantuan Lala buat bangun, terus pelan banget gue bilang, "Temenin."

"Hah? Temenin? Temenin gimana? Temenin elo gitu?"

"Icel."

"Gimana? Elo mau nemenin Selly ke atas? Bangun aja nggak bisa."

"Elo."

"Oh, gue temenin Selly gitu ke atas? Tapi, di bawah gimana? Pak Taufik pasti marah kalau dibiarin kosong."

"Ada gue. Gue nggak sanggup ke atas. Bisa nggak lo temenin Icel dulu? Gue jaga di depan."

Lala menghela napas. "Lo kuat emang kalau ditinggal? Nanti kalau ada yang beli gimana? Lo bisa ngambil-ngambil obatnya?"

Untuk kesekian kalinya gue mengangguk. Biarpun nggak tau bakal kayak apa, tapi seenggaknya Selly ditemenin. Tapi, belum sempat Lala pergi, pintu apotek terbuka. Gue sama Lala refleks berbalik dan melihat Selly masuk. Dari wajahnya nggak kelihatan dia habis diapa-apain, justru sumringah. Tapi, nggak tau kenapa itu malah bikin gue takut.

Apa yang ditawarkan atasan gue dan apa yang mereka sepakati?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 2 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰

    Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta
  • serelan

    Kejahatan pasti terbongkar. Mau sepintar apapun nyembunyiin bangkai pasti lama² kecium jg baunya.. para korban akhirnya pada speak up. Gak akan ada celah lagi buat si Topik ngelak. Kalo selama ini dia bisa bungkam para korban dengan powernya. Klo kasusnya udh nyebar gini udh gak bisa d tutupin lagi.. buat Wisnu harus sembuh ya biar bisa lebih lama lagi ngerasain kehangatan keluarganya..

    Comment on chapter Chapter 23 - Titik hancur
  • serelan

    Harus bahagia ya kalian.. jadi keluarga yg saling jaga.. dan si Topik² itu pokoknya harus dapet karma dari perbuatannya gimanapun caranya, dimudahkan jalannya..

    Comment on chapter Chapter 22 - Hangat
  • serelan

    Ya allah... siapa yang naro bawang di chapter ini? 😭 nangis banget baca ini...

    Comment on chapter Chapter 21 - Keputusan besar
  • serelan

    Nah ketauan kan sifat si Topik Topik itu.. ke orang² aja dia selalu bilang etika sopan santun pengen banget d pandang tinggi sama org. Tapi etika sopan santun dia aja minus. Dia lebih rendah drpd org yg dia kata²in.. sakit otaknya, cuma org² yg jual diri kyanya yg dia anggap punya etika sama sopan santun.. udh kebalik otaknya.

    Comment on chapter Chapter 20 - Pengakuan mengejutkan
  • serelan

    Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?

    Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang
  • serelan

    Itu uang yang dihasilin sama Wisnu dari hasil kerja kerasnya selama ini yang selalu diambil semuanya sama si ibu ibu itu anda anggap apa bu? Kok masih aja bilangnya gak mau membantu keluarga padahal hasil kerjanya anda ambil semua. Selalu seneng klo ambil lembur karena nambah duit yg akhirnya diambil anda juga.. Masa gak boleh sesekali bahagiain diri sendiri buat apresiasi dari hasil kerja kerasnya, walau capek bisa tetap bertahan. Gak tiap hari loh bu... si ibu pengennya idup enak tapi Wisnu anaknya jadi sapi perah terus

    Comment on chapter Chapter 18 - Hilang fungsi
  • serelan

    Nu, kuat ya kamu... harus kuat... Icel jangan berubah pikiran lagi ya.. terus turutin apa kata Mas mu, karena apa yg dia bilang pasti yang terbaik buat kamu...

    Comment on chapter Chapter 17 - Tempat untuk pulang
  • serelan

    La, kamu ada rasa kah sama Nunu? Peduli banget soalnya sama Wisnu... Sell, mulai ya buat berubah jadi lebih baik, lebih perhatian sama Masmu ya...

    Comment on chapter Chapter 16 - Es pisang ijo segerobak
  • serelan

    Gimana perasaanmu Sell lihat Mas mu kya gitu? Nyesel? Peduli? Atau masih sama aja...

    Comment on chapter Chapter 15 - Tempat untuk jatuh
Similar Tags
Time and Tears
308      235     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
YANG PERNAH HILANG
1725      654     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
Love 90 Days
4634      1861     2     
Romance
Hidup Ara baikbaik saja Dia memiliki dua orangtua dua kakak dan dua sahabat yang selalu ada untuknya Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan bila ada harga yang harus dibayar atas semua yang telah dia terima yaitu kematian Untuk membelokkan takdir Ara diharuskan untuk jatuh cinta pada orang yang kekurangan cinta Dalam pencariannya Ara malah direcoki oleh Iago yang tibatiba meminta Ara untu...
Senja di Balik Jendela Berembun
23      23     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Let Me be a Star for You During the Day
1077      583     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Langkah yang Tak Diizinkan
195      163     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Perahu Jumpa
293      239     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Bulan dan Bintang
6056      1616     1     
Romance
Orang bilang, setiap usaha yang sudah kita lakukan itu tidak akan pernah mengecewakan hasil. Orang bilang, menaklukan laki-laki bersikap dingin itu sangat sulit. Dan, orang bilang lagi, berpura-pura bahagia itu lebih baik. Jadi... apa yang dibilang kebanyakan orang itu sudah pasti benar? Kali ini Bulan harus menolaknya. Karena belum tentu semua yang orang bilang itu benar, dan Bulan akan m...
Pulpen Cinta Adik Kelas
493      290     6     
Romance
Segaf tak tahu, pulpen yang ia pinjam menyimpan banyak rahasia. Di pertemuan pertama dengan pemilik pulpen itu, Segaf harus menanggung malu, jatuh di koridor sekolah karena ulah adik kelasnya. Sejak hari itu, Segaf harus dibuat tak tenang, karena pertemuannya dengan Clarisa, membawa ia kepada kenyataan bahwa Clarisa bukanlah gadis baik seperti yang ia kenal. --- Ikut campur tidak, ka...
Matahari untuk Kita
1059      547     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...