Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Gue baru selesai dari kamar mandi pas Lala lagi pegang telepon. Kayaknya atasan gue, bisa juga admin atau dokter gigi karena yang dipake telepon interkom. Baru aja gue mau duduk, Lala tiba-tiba manggil.

"Nu, disuruh ke atas sama Bapak."

"Gue? Ngapain?"

Lala mengangkat bahu, tanda nggak tau. Berarti Pak Taufik nggak jelasin detailnya. Selly cuma lihatin gue, tapi nggak terlihat tertarik buat nanya. Kalaupun nanya, gue juga nggak tau mau jawab apa. Semoga aja dia nggak ngajak ribut sekarang, please ... gue habis perdarahan lagi dan nyawa gue ada di tengah-tengah antara mau hidup, tapi mati juga tertarik.

Setelah menghela napas berkali-kali, gue akhirnya memberanikan diri naik ke lantai dua, tempat praktik atasan gue. Pasien udah kosong, sih, yang satu pun udah di bawah lagi nunggu obat.

Ruangan dokter gigi udah gelap, artinya cuma ada gue sama atasan gue di sini. Gue mengetuk pintu, dan dengan kesadaran penuh Pak Taufik masih jawab, mempersilakan gue masuk. Pas masuk, baru aja gue menganggukkan kepala sebagai bentuk sopan santun sama yang lebih tua, sebuah botol obat kaca berwarna gelap dengan kapasitas enam puluh mililiter melayang ke dekat gue dan nggak sengaja menghantam keras pelipis gue sebelum berakhir mengenaskan di dinding belakang.

Gue syok sampe hilang kata. Kali ini, apa lagi yang salah? Gue nggak merasa melakukan kesalahan apa pun.

"Kalau kerja, tuh, otaknya dibawa. Jangan sibuk ngurusin urusan orang, tapi kewajibanmu berantakan! Kamu lihat itu? Saya nggak meresepkan itu, tapi kenapa di penjualan dan obat yang diserahkan justru itu?"

"Maaf, Pak, tanggal berapa?" Gue berusaha konfirmasi karena belum tentu gue yang jaga, kan?

"Tanggal 8 Maret. Di laporan jelas-jelas petugas sore kamu."

"Tapi, saya nggak pernah merasa mengganti obat, Pak. Kecuali Bapak mengganti resep setelah obat diberikan. Itu di luar tanggung jawab saya karena kita sepakat kalau setelah bapak memanggil pasien selanjutnya berarti pasien sebelum itu sudah selesai melakukan pemeriksaan dan obat atau lainnya bisa langsung diproses."

Itu hal paling masuk akal yang bisa gue sampaikan karena gue nggak mungkin mengganti obat tanpa persetujuan—sekalipun kandungannya sama—apalagi kalau beda? Jelas sangat nggak mungkin. Jadi, kalau bukan Pak Taufik sendiri yang lupa dan baru mengganti tulisan dalam resep itu jauh setelah keluarga selesai melakukan pembayaran dan lain-lain, siapa lagi? Kami nggak pernah berani buka panel dokter. Kalaupun resep itu diganti di awal, pasti ketahuan karena setelah pasien melakukan pembayaran, gue sama anak-anak terbiasa melakukan pengecekan ulang. 

"Anak itu alergi sama antibiotik tersebut, dan sejak pemeriksaan saya diberitahu. Dengan kamu tetap memberikan obat tersebut, kamu membuat saya terlihat bodoh."

Lah, dia yang salah orang lain yang disalahkan? Dia yang lupa, orang lain yang dikambinghitamkan?

"Jadi, sekarang kamu turun. Akui kesalahan kamu di depan pasien, minta maaf, dan bayar kompensasi atas kelalaian kamu. Kalau disuruh sujud, sujud sekalian. Kamu nggak berhak merasa marah apalagi terhina karena posisimu memang di sana. Di tempat ... yang hina. Setelah itu, kembali ke sini dan bereskan botol pecahan botol itu. Jangan sampai pasien-pasien saya celaka."

Cuma di tempat ini gue ngerasa benar-benar nggak punya harga diri. Yang diizinkan punya nama baik dan harga diri cuma dia yang punya uang dan kuasa. Kalau bukan karena Ibu dan Selly, gue lebih memilih jadi pengangguran daripada kerja di sini. Gue bertahan lama bukan karena betah, tapi butuh. 

"Baik, Pak."

Gue langsung keluar dari ruangan itu, terus turun. Untungnya botol itu cuma nyerempet pelipis gue, jadi agak sakit aja. Kalau Lala sama Selly nanya tinggal jawab kejedot juga selesai. Tapi, pas gue jalan menuruni satu per satu anak tangga, tiba-tiba gue ngerasa sesuatu mengalir ke pipi. Awalnya, gue santai karena mikir itu keringat. Sampai tiba-tiba admin sama perawat yang mau pada pulang pada heboh.

"Ya Allah, Nu, kepalamu itu kenapa? Sini-sini, cepat." Teh Bunga langsung masuk ke ruang tindakan terus bawa setumpuk kassa.

Pas gue lihat, ternyata berdarah. Padahal, nggak sesakit itu rasanya. Kenapa bisa berdarah, ya? Gue langsung disuruh duduk di bed pasien, jadi ya udah duduk anteng aja biarin Teh Bunga ributin luka di kepala. Dia nanya kenapa? Gue jawab kejedot, tapi dia nggak percaya. 

"Pusing nggak? Sakit nggak? Kalo nanti ada mual atau keluhan lain langsung bilang, ya?"

Gue mengangguk. Kalau kejadian ini bisa jadi tiket instan masuk surga, sih, gue nggak apa-apa. "Teh emang kalau ada pusing atau mual kenapa?"

"Takutnya ada cedera serius. Bisa perdarahan atau apa pun itu. Serem."

"Bisa dapat satu slot dong, ya?"

Dia yang sebelumnya sibuk tap-tap luka gue, refleks berhenti, "Satu slot apa?"

"Tiket masuk surga."

Teh Bunga langsung misuh-misuh.

Mungkin karena dengar suara ribut-ribut, Selly, Lala, bahkan pasien terakhir yang belum pulang langsung ikut nyamperin gue ke ruang tindakan.

"Kenapa bisa kayak gitu, sih, Nu?" Orang yang pertama bertanya justru lala.

"Kejedot," sahut gue.

Waktu nggak sengaja sepasang mata gue menangkap kehadiran pasien yang dimaksud Pak Taufik, gue refleks turun dari bed.

"Bu, Ibu mamanya ...," ucapan gue terjeda, berusaha mengingat nama anak perempuan lima tahun yang sekarang ada di depan gue.

"Humaira." Ibunya langsung menimpali.

"Ah, iya. Bu, saya mau minta maaf, ya, kalau ternyata waktu itu saya ceroboh salah ngasih obat. Saya nggak tau anak Ibu ternyata alergi antibiotik tersebut."

"Nggak apa-apa, A. Lagian, waktu itu juga saya dilayani sama yang perempuan kok bukan sama Aa. Jadi, Aa nggak harus minta maaf."

Perempuan? Gue sedikit kaget karena di laporan beneran gue yang jaga.

"Tapi, harusnya saya yang bertugas, Bu."

"Nggak, bukan. Saya ingat banget. Si nengnya cantik, putih, pake lipstik merah terang. Dia, tuh, sambil mainin HP. Makanya saya agak jengkel karena anak saya jadi korban. Kok bisa kerja nggak profesional gitu."

Mati-matian gue berusaha mengingat apa yang terjadi hari itu. Kenapa nama gue ada di laporan padahal bukan gue yang jaga. Pas diingat lagi, Cantika minta tukar sif, tapi dia mau nama kami tetap di sif seharusnya. Jadi, dia yang harusnya pagi tetap pagi, gue yang sore tetap sore. Nggak tau kenapa.

"Siapa pun itu, baik saya atau teman saya. Sekali lagi saya minta maaf, ya, Bu. Sebagai bentuk permohonan maaf uang berobat Ibu hari itu nanti saya kembalikan, tapi saya boleh minta waktu nggak, Bu, sampai gajian? Saya minta kontak Ibu dulu. Nanti kalau uangnya udah ada, saya hubungi Ibu lagi. Mohon maaf sebelumnya, Bu, kalau saya lancang."

"Nggak perlu dipikirin, A. Yang penting anak saya nggak apa-apa. Saya komplain biar jadi pembelajaran aja buat semuanya supaya lebih berhati-hati. Bekerja di tempat seperti ini taruhannya nyawa. Meleng sedikit aja bisa bikin orang celaka. Tolong kasih tau temannya, ya, A."

‎"Pasti, Bu. Ini pasti jadi pembelajaran buat kami."

"Ya udah, kalau gitu saya pulang dulu, ya. Aa cepat sembuh."

Sekarang gue bisa bernapas lega karena bulan depan nggak harus keluar uang. Ibu pasti udah ngitung dari jauh-jauh hari gaji gue mau dipake buat apa aja. Jadi, kalau tiba-tiba berkurang banyak, gue bisa dicoret jadi anaknya.

"Lagi?"

Pas udah tenang, Teh Bunga nanya lagi. Gue cuma mengangguk. Dia udah tau banyak soal gue sama atasan gue, karena pas kejadian ibu-ibu komplain masalah anaknya, dia juga ada. Pas gue ditampar ada. Pas gue dilempar figura, dia juga habis dari poli tiga, ambil sesuatu di ruang USG. Gue lupa bilang, ya? Kejadian kayak gini bukan pertama kali, tapi karena gue nggak pernah siap, jadi selalu kaget sama tindakannya. 

"Nggak mau lapor?"

Lala sama Selly saling tengok, kelihatan banget mereka nggak ngerti, dan gue cuma geleng. Gue nggak punya bukti karena kejadiannya selalu di poli dua. Nggak ada kamera pengawas sama sekali di setiap poli. Cuma ada di pintu masuk, itu pun menyorot ke ruang tunggu. Kalaupun gue lapor, bisa berbalik. Dia punya uang. Perempuan yang merasa dilecehkan saat pemeriksaan aja balik diancam sama keluarganya waktu itu, padahal mereka udah punya niat melaporkan, tapi setelah minta surat rujukan ke poli jiwa, ibu itu dan keluarganya menghilang.

Gue juga pasti bakal kayak gitu, sih, kalau jadi mereka. Ribet urusan sama orang berduit. Apalagi, atasan gue itu salah satu mantan pejabat di kantor jaminan kesehatan yang ada di Sumatra entah Papua. Gue nggak berminat tau lebih banyak, nggak ada pengaruhnya juga. Tau dia berduit gue cuma bisa narik kesimpulan, dia punya power. Jadi, sekeras apa pun gue berusaha buat melawan, pasti diinjak juga.

Sebenarnya gue udah capek berurusan sama orang kayak Pak Taufik, selain harga diri gue yang diinjak-injak kekerasan fisik kayak gini juga nggak jarang bikin gue mempertanyakan dua hal, ‘Kapan gue kaya? Atau kapan gue mati?’

Apa gue lemah dengan berpikiran kayak gitu? Mungkin iya, tapi manusia punya batasan, kan? Orang-orang berulang kali menabrak batasan itu, bikin gue sekali lagi mempertanyakan, "Buat apa gue hidup lebih lama?"

Selly sama sekali nggak nanya dari awal kejadian sampe kita pulang. Kayaknya, kalau gue mati sekarang pun dia bakal baik-baik aja. Gue bersyukur, sih, karena nggak akan ada yang kehilangan dan merasa sakit, tapi di saat bersamaan gue juga sedih, kayak ... ini serius nggak bakal ada orang yang nangisin gue kalau gue nggak ada?

"Cel."

"Hm." Dia yang jalan duluan sambil mainin ponselnya, cuma bergumam sebagai jawaban. 

"Kalau suatu hari Mas nggak ada, Mas pengin dimakamin di sebelah Bapak, ya. Mas nabung dari sekarang, deh, buat pemakamannya. Jadi, nanti nggak nyusahin kamu sama Ibu."

Spontan Selly berhenti. Dia berbalik dan langsung natap gue dengan tatapan galak. "Nggak jelas!" sentaknya.

Nggak jelas, ya? Padahal, gue berharap dia nanya, ‘Mas kenapa? Ada masalah apa? Kenapa ngomong kayak gitu?’ atau sesederhana, ‘Jangan ngomong aneh-aneh, Mas, kalau Mas nggak ada, aku sama Ibu gimana?’

Ternyata nggak. Padahal, kalau ada yang mau nanya gue kenapa, gue pasti jawab kok. Asal mau nanya aja. Kalau ada yang namanya ‘lebih dari hancur’, percayalah gue sekarang pasti ada di situ. 

How do you feel about this chapter?

2 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰

    Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta
  • serelan

    Kejahatan pasti terbongkar. Mau sepintar apapun nyembunyiin bangkai pasti lama² kecium jg baunya.. para korban akhirnya pada speak up. Gak akan ada celah lagi buat si Topik ngelak. Kalo selama ini dia bisa bungkam para korban dengan powernya. Klo kasusnya udh nyebar gini udh gak bisa d tutupin lagi.. buat Wisnu harus sembuh ya biar bisa lebih lama lagi ngerasain kehangatan keluarganya..

    Comment on chapter Chapter 23 - Titik hancur
  • serelan

    Harus bahagia ya kalian.. jadi keluarga yg saling jaga.. dan si Topik² itu pokoknya harus dapet karma dari perbuatannya gimanapun caranya, dimudahkan jalannya..

    Comment on chapter Chapter 22 - Hangat
  • serelan

    Ya allah... siapa yang naro bawang di chapter ini? 😭 nangis banget baca ini...

    Comment on chapter Chapter 21 - Keputusan besar
  • serelan

    Nah ketauan kan sifat si Topik Topik itu.. ke orang² aja dia selalu bilang etika sopan santun pengen banget d pandang tinggi sama org. Tapi etika sopan santun dia aja minus. Dia lebih rendah drpd org yg dia kata²in.. sakit otaknya, cuma org² yg jual diri kyanya yg dia anggap punya etika sama sopan santun.. udh kebalik otaknya.

    Comment on chapter Chapter 20 - Pengakuan mengejutkan
  • serelan

    Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?

    Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang
  • serelan

    Itu uang yang dihasilin sama Wisnu dari hasil kerja kerasnya selama ini yang selalu diambil semuanya sama si ibu ibu itu anda anggap apa bu? Kok masih aja bilangnya gak mau membantu keluarga padahal hasil kerjanya anda ambil semua. Selalu seneng klo ambil lembur karena nambah duit yg akhirnya diambil anda juga.. Masa gak boleh sesekali bahagiain diri sendiri buat apresiasi dari hasil kerja kerasnya, walau capek bisa tetap bertahan. Gak tiap hari loh bu... si ibu pengennya idup enak tapi Wisnu anaknya jadi sapi perah terus

    Comment on chapter Chapter 18 - Hilang fungsi
  • serelan

    Nu, kuat ya kamu... harus kuat... Icel jangan berubah pikiran lagi ya.. terus turutin apa kata Mas mu, karena apa yg dia bilang pasti yang terbaik buat kamu...

    Comment on chapter Chapter 17 - Tempat untuk pulang
  • serelan

    La, kamu ada rasa kah sama Nunu? Peduli banget soalnya sama Wisnu... Sell, mulai ya buat berubah jadi lebih baik, lebih perhatian sama Masmu ya...

    Comment on chapter Chapter 16 - Es pisang ijo segerobak
  • serelan

    Gimana perasaanmu Sell lihat Mas mu kya gitu? Nyesel? Peduli? Atau masih sama aja...

    Comment on chapter Chapter 15 - Tempat untuk jatuh
Similar Tags
Daybreak
4716      2087     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox
Love in the Past
596      442     4     
Short Story
Ketika perasaan itu muncul kembali, ketika aku bertemu dengannya lagi, ketika aku harus kembali menyesali kisah itu kesekian kali.
Bersyukurlah
460      324     1     
Short Story
"Bersyukurlah, karena Tuhan pasti akan mengirimkan orang-orang yang tulus mengasihimu."
RUANGKASA
56      51     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
GEANDRA
813      626     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Bunga Hortensia
1996      343     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
L for Libra [ON GOING]
8269      2026     8     
Fantasy
Jika kamu diberi pilihan untuk mengetahui sebuah kenyataan atau tidak. Mana yang kamu pilih? Sayangnya hal ini tidak berlaku pada Claire. Dirinya menghadapi sebuah kenyataan yang mengubah hidupnya. Dan setelahnya, dia menyesal telah mendengar hal itu.
Enigma
27643      3980     3     
Romance
enigma noun a person or thing that is mysterious, puzzling, or difficult to understand. Athena egois, kasar dan tidak pernah berpikir sebelum berbicara. Baginya Elang itu soulmate-nya saat di kelas karena Athena menganggap semua siswi di kelasnya aneh. Tapi Elang menganggap Athena lebih dari sekedar teman bahkan saat Elang tahu teman baiknya suka pada Athena saat pertama kali melihat Athena ...
Yu & Way
309      241     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Alex : He's Mine
2581      993     6     
Romance
Kisah pemuda tampan, cerdas, goodboy, disiplin bertemu dengan adik kelas, tepatnya siswi baru yang pecicilan, manja, pemaksa, cerdas, dan cantik.