Gue baru selesai dari kamar mandi pas Lala lagi pegang telepon. Kayaknya atasan gue, bisa juga admin atau dokter gigi karena yang dipake telepon interkom. Baru aja gue mau duduk, Lala tiba-tiba manggil.
"Nu, disuruh ke atas sama Bapak."
"Gue? Ngapain?"
Lala mengangkat bahu, tanda nggak tau. Berarti Pak Taufik nggak jelasin detailnya. Selly cuma lihatin gue, tapi nggak terlihat tertarik buat nanya. Kalaupun nanya, gue juga nggak tau mau jawab apa. Semoga aja dia nggak ngajak ribut sekarang, please ... gue habis perdarahan lagi dan nyawa gue ada di tengah-tengah antara mau hidup, tapi mati juga tertarik.
Setelah menghela napas berkali-kali, gue akhirnya memberanikan diri naik ke lantai dua, tempat praktik atasan gue. Pasien udah kosong, sih, yang satu pun udah di bawah lagi nunggu obat.
Ruangan dokter gigi udah gelap, artinya cuma ada gue sama atasan gue di sini. Gue mengetuk pintu, dan dengan kesadaran penuh Pak Taufik masih jawab, mempersilakan gue masuk. Pas masuk, baru aja gue menganggukkan kepala sebagai bentuk sopan santun sama yang lebih tua, sebuah botol obat kaca berwarna gelap dengan kapasitas enam puluh mililiter melayang ke dekat gue dan nggak sengaja menghantam keras pelipis gue sebelum berakhir mengenaskan di dinding belakang.
Gue syok sampe hilang kata. Kali ini, apa lagi yang salah? Gue nggak merasa melakukan kesalahan apa pun.
"Kalau kerja, tuh, otaknya dibawa. Jangan sibuk ngurusin urusan orang, tapi kewajibanmu berantakan! Kamu lihat itu? Saya nggak meresepkan itu, tapi kenapa di penjualan dan obat yang diserahkan justru itu?"
"Maaf, Pak, tanggal berapa?" Gue berusaha konfirmasi karena belum tentu gue yang jaga, kan?
"Tanggal 8 Maret. Di laporan jelas-jelas petugas sore kamu."
"Tapi, saya nggak pernah merasa mengganti obat, Pak. Kecuali Bapak mengganti resep setelah obat diberikan. Itu di luar tanggung jawab saya karena kita sepakat kalau setelah bapak memanggil pasien selanjutnya berarti pasien sebelum itu sudah selesai melakukan pemeriksaan dan obat atau lainnya bisa langsung diproses."
Itu hal paling masuk akal yang bisa gue sampaikan karena gue nggak mungkin mengganti obat tanpa persetujuan—sekalipun kandungannya sama—apalagi kalau beda? Jelas sangat nggak mungkin. Jadi, kalau bukan Pak Taufik sendiri yang lupa dan baru mengganti tulisan dalam resep itu jauh setelah keluarga selesai melakukan pembayaran dan lain-lain, siapa lagi? Kami nggak pernah berani buka panel dokter. Kalaupun resep itu diganti di awal, pasti ketahuan karena setelah pasien melakukan pembayaran, gue sama anak-anak terbiasa melakukan pengecekan ulang.
"Anak itu alergi sama antibiotik tersebut, dan sejak pemeriksaan saya diberitahu. Dengan kamu tetap memberikan obat tersebut, kamu membuat saya terlihat bodoh."
Lah, dia yang salah orang lain yang disalahkan? Dia yang lupa, orang lain yang dikambinghitamkan?
"Jadi, sekarang kamu turun. Akui kesalahan kamu di depan pasien, minta maaf, dan bayar kompensasi atas kelalaian kamu. Kalau disuruh sujud, sujud sekalian. Kamu nggak berhak merasa marah apalagi terhina karena posisimu memang di sana. Di tempat ... yang hina. Setelah itu, kembali ke sini dan bereskan botol pecahan botol itu. Jangan sampai pasien-pasien saya celaka."
Cuma di tempat ini gue ngerasa benar-benar nggak punya harga diri. Yang diizinkan punya nama baik dan harga diri cuma dia yang punya uang dan kuasa. Kalau bukan karena Ibu dan Selly, gue lebih memilih jadi pengangguran daripada kerja di sini. Gue bertahan lama bukan karena betah, tapi butuh.
"Baik, Pak."
Gue langsung keluar dari ruangan itu, terus turun. Untungnya botol itu cuma nyerempet pelipis gue, jadi agak sakit aja. Kalau Lala sama Selly nanya tinggal jawab kejedot juga selesai. Tapi, pas gue jalan menuruni satu per satu anak tangga, tiba-tiba gue ngerasa sesuatu mengalir ke pipi. Awalnya, gue santai karena mikir itu keringat. Sampai tiba-tiba admin sama perawat yang mau pada pulang pada heboh.
"Ya Allah, Nu, kepalamu itu kenapa? Sini-sini, cepat." Teh Bunga langsung masuk ke ruang tindakan terus bawa setumpuk kassa.
Pas gue lihat, ternyata berdarah. Padahal, nggak sesakit itu rasanya. Kenapa bisa berdarah, ya? Gue langsung disuruh duduk di bed pasien, jadi ya udah duduk anteng aja biarin Teh Bunga ributin luka di kepala. Dia nanya kenapa? Gue jawab kejedot, tapi dia nggak percaya.
"Pusing nggak? Sakit nggak? Kalo nanti ada mual atau keluhan lain langsung bilang, ya?"
Gue mengangguk. Kalau kejadian ini bisa jadi tiket instan masuk surga, sih, gue nggak apa-apa. "Teh emang kalau ada pusing atau mual kenapa?"
"Takutnya ada cedera serius. Bisa perdarahan atau apa pun itu. Serem."
"Bisa dapat satu slot dong, ya?"
Dia yang sebelumnya sibuk tap-tap luka gue, refleks berhenti, "Satu slot apa?"
"Tiket masuk surga."
Teh Bunga langsung misuh-misuh.
Mungkin karena dengar suara ribut-ribut, Selly, Lala, bahkan pasien terakhir yang belum pulang langsung ikut nyamperin gue ke ruang tindakan.
"Kenapa bisa kayak gitu, sih, Nu?" Orang yang pertama bertanya justru lala.
"Kejedot," sahut gue.
Waktu nggak sengaja sepasang mata gue menangkap kehadiran pasien yang dimaksud Pak Taufik, gue refleks turun dari bed.
"Bu, Ibu mamanya ...," ucapan gue terjeda, berusaha mengingat nama anak perempuan lima tahun yang sekarang ada di depan gue.
"Humaira." Ibunya langsung menimpali.
"Ah, iya. Bu, saya mau minta maaf, ya, kalau ternyata waktu itu saya ceroboh salah ngasih obat. Saya nggak tau anak Ibu ternyata alergi antibiotik tersebut."
"Nggak apa-apa, A. Lagian, waktu itu juga saya dilayani sama yang perempuan kok bukan sama Aa. Jadi, Aa nggak harus minta maaf."
Perempuan? Gue sedikit kaget karena di laporan beneran gue yang jaga.
"Tapi, harusnya saya yang bertugas, Bu."
"Nggak, bukan. Saya ingat banget. Si nengnya cantik, putih, pake lipstik merah terang. Dia, tuh, sambil mainin HP. Makanya saya agak jengkel karena anak saya jadi korban. Kok bisa kerja nggak profesional gitu."
Mati-matian gue berusaha mengingat apa yang terjadi hari itu. Kenapa nama gue ada di laporan padahal bukan gue yang jaga. Pas diingat lagi, Cantika minta tukar sif, tapi dia mau nama kami tetap di sif seharusnya. Jadi, dia yang harusnya pagi tetap pagi, gue yang sore tetap sore. Nggak tau kenapa.
"Siapa pun itu, baik saya atau teman saya. Sekali lagi saya minta maaf, ya, Bu. Sebagai bentuk permohonan maaf uang berobat Ibu hari itu nanti saya kembalikan, tapi saya boleh minta waktu nggak, Bu, sampai gajian? Saya minta kontak Ibu dulu. Nanti kalau uangnya udah ada, saya hubungi Ibu lagi. Mohon maaf sebelumnya, Bu, kalau saya lancang."
"Nggak perlu dipikirin, A. Yang penting anak saya nggak apa-apa. Saya komplain biar jadi pembelajaran aja buat semuanya supaya lebih berhati-hati. Bekerja di tempat seperti ini taruhannya nyawa. Meleng sedikit aja bisa bikin orang celaka. Tolong kasih tau temannya, ya, A."
"Pasti, Bu. Ini pasti jadi pembelajaran buat kami."
"Ya udah, kalau gitu saya pulang dulu, ya. Aa cepat sembuh."
Sekarang gue bisa bernapas lega karena bulan depan nggak harus keluar uang. Ibu pasti udah ngitung dari jauh-jauh hari gaji gue mau dipake buat apa aja. Jadi, kalau tiba-tiba berkurang banyak, gue bisa dicoret jadi anaknya.
"Lagi?"
Pas udah tenang, Teh Bunga nanya lagi. Gue cuma mengangguk. Dia udah tau banyak soal gue sama atasan gue, karena pas kejadian ibu-ibu komplain masalah anaknya, dia juga ada. Pas gue ditampar ada. Pas gue dilempar figura, dia juga habis dari poli tiga, ambil sesuatu di ruang USG. Gue lupa bilang, ya? Kejadian kayak gini bukan pertama kali, tapi karena gue nggak pernah siap, jadi selalu kaget sama tindakannya.
"Nggak mau lapor?"
Lala sama Selly saling tengok, kelihatan banget mereka nggak ngerti, dan gue cuma geleng. Gue nggak punya bukti karena kejadiannya selalu di poli dua. Nggak ada kamera pengawas sama sekali di setiap poli. Cuma ada di pintu masuk, itu pun menyorot ke ruang tunggu. Kalaupun gue lapor, bisa berbalik. Dia punya uang. Perempuan yang merasa dilecehkan saat pemeriksaan aja balik diancam sama keluarganya waktu itu, padahal mereka udah punya niat melaporkan, tapi setelah minta surat rujukan ke poli jiwa, ibu itu dan keluarganya menghilang.
Gue juga pasti bakal kayak gitu, sih, kalau jadi mereka. Ribet urusan sama orang berduit. Apalagi, atasan gue itu salah satu mantan pejabat di kantor jaminan kesehatan yang ada di Sumatra entah Papua. Gue nggak berminat tau lebih banyak, nggak ada pengaruhnya juga. Tau dia berduit gue cuma bisa narik kesimpulan, dia punya power. Jadi, sekeras apa pun gue berusaha buat melawan, pasti diinjak juga.
Sebenarnya gue udah capek berurusan sama orang kayak Pak Taufik, selain harga diri gue yang diinjak-injak kekerasan fisik kayak gini juga nggak jarang bikin gue mempertanyakan dua hal, ‘Kapan gue kaya? Atau kapan gue mati?’
Apa gue lemah dengan berpikiran kayak gitu? Mungkin iya, tapi manusia punya batasan, kan? Orang-orang berulang kali menabrak batasan itu, bikin gue sekali lagi mempertanyakan, "Buat apa gue hidup lebih lama?"
Selly sama sekali nggak nanya dari awal kejadian sampe kita pulang. Kayaknya, kalau gue mati sekarang pun dia bakal baik-baik aja. Gue bersyukur, sih, karena nggak akan ada yang kehilangan dan merasa sakit, tapi di saat bersamaan gue juga sedih, kayak ... ini serius nggak bakal ada orang yang nangisin gue kalau gue nggak ada?
"Cel."
"Hm." Dia yang jalan duluan sambil mainin ponselnya, cuma bergumam sebagai jawaban.
"Kalau suatu hari Mas nggak ada, Mas pengin dimakamin di sebelah Bapak, ya. Mas nabung dari sekarang, deh, buat pemakamannya. Jadi, nanti nggak nyusahin kamu sama Ibu."
Spontan Selly berhenti. Dia berbalik dan langsung natap gue dengan tatapan galak. "Nggak jelas!" sentaknya.
Nggak jelas, ya? Padahal, gue berharap dia nanya, ‘Mas kenapa? Ada masalah apa? Kenapa ngomong kayak gitu?’ atau sesederhana, ‘Jangan ngomong aneh-aneh, Mas, kalau Mas nggak ada, aku sama Ibu gimana?’
Ternyata nggak. Padahal, kalau ada yang mau nanya gue kenapa, gue pasti jawab kok. Asal mau nanya aja. Kalau ada yang namanya ‘lebih dari hancur’, percayalah gue sekarang pasti ada di situ.
Sell... itu masmu loh.. org² nginjak harga dirinya.. kamu yg keluarga pun sama aja.. memperparah rasa sakitnya.. bukannya saling mendukung dan menguatkan malah kya gitu..
Comment on chapter Chapter 14 - Memindahkan sakitnya