Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Gue pengin ngobrol banyak sama Selly, tapi sepulang dari sekolah dia tadi sore gue bahkan nggak kuat bangun. Bukan berlebihan, tapi kayaknya darah yang keluar sebanyak itu sedikit berpengaruh, deh. Kalau cuma tekanan darah yang turun kayaknya masih oke. Ketemu Cantika atau Bu Ola juga bisa normal lagi karena mereka seratus persen pasti bikin jengkel dan tekanan darah gue otomatis melonjak. Nah, masalahnya, kalau ternyata hemoglobin atau Hb-nya yang turun gimana? Kejauhan, ya? Gue jadinya geli sendiri bisa berpikir sejauh itu.

Sumpah itu bukan karena gigi gue copot. Udah gue cari-cari soalnya nggak ada, dan pas ngaca juga masih utuh. Itu beneran ... dari lambung? Atau tenggorokan? Nggak tau. Gue beneran nggak mau mikir.

"Kamu ada urusan apa di sekolah? Kok pulangnya malam banget?"

Tiba-tiba suara Ibu terdengar. Kayaknya Selly baru pulang, jadi Ibu langsung tanya.

"Sebentar lagi, kan, PKL, Bu. Aku sama anak-anak ngulang materi yang udah pernah diajarin, biar nanti pas PKL nggak kosong-kosong banget."

Gue membeo kalimat terakhirnya tanpa suara. Udah ketebak. Tapi, gue nggak suka dia bohong sama Ibu. Kita nggak akan ngelarang Selly bergaul sama siapa pun, selama orang itu baik, jadi harusnya dia bisa jujur.

"Cel."

Udah gue bilang rumah ini sesempit itu. Nggak kedap suara lagi. Jadi, kalau misalkan ngobrol, ya udah nggak ada privasi.

"Jangan kecewain Ibu, ya."

Gue diam begitu dengar begitu mendengar ucapan Ibu. Kalimat sederhana, tapi sarat akan permohonan. Sambil bangun pelan-pelan, gue menajamkan pendengaran. Kayaknya kali ini omongan Ibu serius.

"Dulu pas masmu pertama masuk SMK, Ibu berharap banyak sama dia. Apalagi dia bilang kalau kakak kelasnya banyak yang disalurkan ke luar negeri karena berprestasi. Padahal, masmu hampir nggak lanjut karena keungan kita lagi susah banget, tapi dengar itu, Ibu berubah pikiran. Ibu melakukan apa pun biar dia bisa lanjut. Termasuk jual tanah warisan dari kakek kamu."

Ah, iya gue ingat. Dulu, gue emang beneran hampir nggak lanjut sekolah karena keuangan kita lagi seret banget. Tapi, akhirnya Ibu jual tanah warisan Kakek buat biaya masuk dan lain-lain, sedangkan sisanya dipake buat benerin kios.

Kalau ditanya kenapa kok enteng banget jual tanah langsung ada yang mau beli? Karena posisinya di pinggir jalan, dan kalau nggak dijual, Ibu berencana buat bikin kios bubur di sana. Lokasinya cukup strategis, selain dekat sama pusat perbelanjaan, ada beberapa sekolah juga di sekitar. Pokoknya di sana udah enak banget buat jualan.

"Ibu sampai dimusuhin nenekmu sama saudara-saudara Ibu karena jual itu. Tapi, ternyata nggak sesuai ekspektasi. Lagian Ibu juga yang berharap terlalu banyak, padahal sadar kemampuan masmu itu di bawah rata-rata. Nggak balik modal, deh," kata Ibu sambil ketawa.

Baru kali ini gue beneran ngerasa sakit. Pertama, ternyata gue udah merenggut mimpi Ibu. Kedua, gue udah bikin Ibu dimusuhin keluarganya sendiri. Ketiga, gue produk gagal. Gue kecewa bukan sama ucapan Ibu, tapi sama diri sendiri. Kayak ... kok gue bodoh banget, ya, dulu? 

"Jadi, kamu juga jangan kecewain Ibu. Ibu menuruti semua keinginan kamu karena nggak mau kamu merasa minder. Biar kamu semangat sekolahnya dan bisa bikin Ibu sama almarhum Bapak bangga. Jangan seperti masmu."

Selly terdengar mengiakan, sedangkan gue masih syok. Kalau mau membandingkan, hidup gue juga dari dulu nggak gampang. Pas teman-teman gue punya HP, gue baru dikasih kelas XI, itu pun pas gue mulai PKL. Sepatu, tas, sama seragam yang gue pake nggak tiap tahun ganti. Harus tunggu jebol dulu baru bisa minta ganti baru. Seragam Pramuka aja lungsuran dari sepupu gue. Tiap hari juga gue harus milih antara jajan sama pulang naik angkot. Kalau gue mau jajan, berarti pulangnya jalan kaki. Kalau gue mau naik angkot, berarti nggak boleh jajan. Semua pelajaran di luar pelajaran produktif mewajibkan kita beli LKS, tapi Ibu selalu bilang nggak punya uang, jadi gue bisa merangkum isi LKS semalaman demi bisa nyamain pembelajaran gue sama yang lain. 

Jauh banget, kan, sama kehidupan Selly sekarang? Gue nggak iri, tapi rasanya nggak adil aja Ibu membandingkan gue sama dia, sedangkan cara belajar kita aja udah beda. Selly bisa fokus belajar sedangkan gue kepecah karena sambil bantuin Ibu jaga kios setelah pulang sekolah.

"Oh iya, gimana udah ada kabar dari masmu soal atasannya? Diizinin nggak? Dia soalnya nggak keluar kamar dari tadi sore, padahal udah Ibu gedor-gedor. Kayaknya nggak mau diganggu atau direpotin lagi sama Ibu."

Jujur, gue pengin banget jawab omongan Ibu barusan. Apa Ibu nggak bisa berpikir positif atau khawatir sedikit sama gue? Kalau gue pingsan gimana?

"Udah. Tadi pagi Mas chat aku dan minta CV. Pas udah dikirim langsung acc. Aku boleh bantu-bantu di sana, tapi sore aja biar nggak bentrok sama sekolah. Terus pasien sore juga katanya di sana lebih banyak."

"Syukurlah kalau gitu. Sekarang kamu mandi, makan, terus istirahat. Makanannya udah Ibu siapin di meja. Ibu mau tidur cepat soalnya besok harus berangkat pagi-pagi banget."

"Iya, Bu."

Begitu yakin Ibu udah selesai ngobrol, susah payah gue ngambil HP di atas meja, terus kirim chat ke Selly.

Saya

Cel, kalau udah selesai makan langsung ke kamar Mas. Mau ngobrol. Penting.

Nggak ada balasan, tapi cuma selang beberapa menit dia ngetuk pintu kamar gue. Gue bangun, terus buka pintu. 

"Mas kenapa? Sakit?" tanyanya. 

"Nggak. Kenapa emang?"

"Pucat banget, kayak orang sekarat."

Gue berusaha mengalihkan dengan langsung membahas apa yang pengin banget gue bicarakan. "Siapa cowok tadi?"

"Maksud Mas?"

"Cowok yang pulang sekolah sama kamu siapa? Kenapa kamu bohong sama Ibu?"

"Teman." Anak itu menunduk, dan dari tatapannya dia kelihatan nggak yakin. Bisa jadi karena belum dapat status, atau emang nggak mau jujur sama gue.

"Teman tapi main bareng sampe pulang selarut ini?"

"Beneran teman, Mas."

"Cel, Mas kapan, sih, ikut campur sama urusan kamu? Kamu mau apa juga kalau Mas bisa, Mas turutin. Tapi, kenapa kamu bohongin Ibu? Mas nggak melarang kamu main, sama siapa pun, termasuk sama cowok, tapi tolong jujur, jadi kalau ada apa-apa Mas tau kamu di mana dan sama siapa."

Dia kelihatan kaget banget pas gue bilang gitu.

"Mas tau dari mana?"

Nggak mungkin, kan, kalau gue jujur habis dari sekolahnya tadi, dan mergokin Selly boncengan sama cowok. Bukannya takut, dia mungkin malah lebih marah. "Mas butuh jawaban, bukan malah nanya balik."

"Iya nggak gitu lagi."

"Cel, ingat ini, ya. Cowok di sekolahmu itu cuma beberapa orang. Dari kasus teman-teman Mas dulu, satu orang bisa macarin lebih dari dua cewek tanpa ketahuan. Jadi, Mas harap kamu juga lebih hati-hati sama mereka. Kalau bisa, fokus sekolah dulu aja. Ribet kalau harus kepecah karena perasaan."

"Mas aja dulu pacaran pas SMA, terus galau banget pas Kak Alisa meninggal. Aku juga cuma jadiin dia motivasi aja kok biar semangat belajarnya dan ada sedikit hiburan di tengah gempuran berbagai ujian."

Gue menghela napas, sebelum akhirnya kembali bersuara, "Iya. Pintar-pintarnya kamu aja bagi waktu dan jaga diri." Beberapa saat gue diam, sebenarnya ada yang masih pengin gue bilang, tapi ragu. "Hm, ingat ini baik-baik, ya. Sekalinya hancur, kamu kehilangan segalanya. Jadi, jaga diri. Mas nggak bisa dua puluh empat jam di samping kamu, selain karena kamu nggak suka, Mas juga punya kerjaan lain, jadi tolong jangan bikin Ibu kecewa lagi."

Selly cuma diam, nggak mengiakan tapi nggak melawan juga.

"Cel, Bapak pernah bilang apa?"

"Sebaik-baik perempuan adalah dia yang bisa menjaga kehormatannya."

"Ngerti, ya, sekarang maksud omongan Mas? Jangan bohong lagi."

"Iya," sahutnya. "Aku udah boleh pergi?"

"Iya boleh. Makan dulu sebelum tidur biar nyenyak tidurnya."

Dia nggak jawab sama sekali dan langsung memilih kembali ke kamar. Jagain anak gadis itu nggak gampang. Bapak pernah bilang gitu, apalagi pas mereka puber kayak sekarang. Kayak berusaha mempertahankan sebutir telur di pinggir jurang.

Nggak lama setelah keluar, Selly balik lagi tanpa mengetuk pintu.

"Mas."

"Hm?"

"Jangan bilang Ibu."

"Oke, asal kamu mau nepatin janji, Mas bisa jaga rahasia ini."

"Oke. Aku janji nggak akan ngulang."

***

Semalaman gue nggak bisa tidur, kepikiran omongan Ibu. Ditambah Selly bawa-bawa nama Alisa. Isi kepala gue semrawut seperti biasa. Alisa meninggal karena kecelakaan setelah nganterin gue ikut tes dan wawancara kerja di salah satu distributor farmasi. Sedangkan Bapak pergi jauh sebelum itu. 

Waktu Bapak meninggal, Alisa selalu ada. Dia tau gue sedekat apa sama Bapak dan sadar betapa hancurnya gue saat itu. Tapi, pas Alisa ikut pergi, gue nggak punya siapa-siapa lagi selain berusaha nguatin diri sendiri.

Ibu cuma bilang, ‘Dia bukan jodohmu, Mas. Udah sedih-sedihnya. Malu sama Ibu yang udah bertahun-tahun hidup bareng sama Bapak sampai akhirnya ditinggal Bapak. Ibu kuat, masa kamu cowok cengeng begini. Dia bukan orang yang ngasih kamu hidup kayak Ibu.’

Mungkin Ibu benar, dan maksudnya juga baik, tapi Ibu nggak pernah tau sebesar apa peran Alisa di hidup gue sampai gue bisa bertahan sejauh ini.

“Nu, gimana hari ini? Ada yang mau diceritain nggak? Kalau ada yang sakit bilang, ya? Kalau Nunu ada masalah juga bilang, oke? Jangan pernah di simpan-simpan sendiri. Nyimpen terlalu banyak luka nggak akan bikin kaya."

Hal sekecil apa pun selalu berhasil melempar gue ke masa lalu, buat sekadar mengingat atau mengenang semua kebaikan dia. Bahkan, pas gue PKL dan nggak ada duit banget buat makan, dia chat teman gue dan titipin makanan, terus nggak lama dia chat gue.

Alisa

Nu, makanannya di makan, ya. Nunu jangan tersinggung. Aku cuma mau Nunu makan banyak biar lebih semangat PKL-nya. Itu nggak gratis kok, nanti Nunu traktir aku, ya, kalau udah kerja? 😉

Berkali-kali dia melakukan itu dan mengatakan hal yang sama, cuma biar harga diri gue sebagai cowok nggak terluka. Sayangnya, pas gue mau balas budi, dia malah nggak ada.

Suatu waktu gue pernah nanya, harus dengan cara apa gue membalas semua kebaikan dia? Dia cuma jawab pengin disayang, karena dia nggak ngerasain itu dari orang tuanya. Terserah mau disayang sebagai adik atau pacar. Dia nggak keberatan sama sekali, yang penting sama gue katanya. Kalau Alisa atau Bapak masih ada, mungkin nggak akan seberat ini rasanya.

Kondisi gue udah jauh lebih baik dari kemarin, cuma emang lemas parah. Untungnya hari ini gue masuk siang, jadi aman banget buat istirahat. Sayangnya, rumah beneran jauh dari kata tenang. Tiba-tiba banget Ibu teriak-teriak. Gue yang kaget refleks keluar kamar karena takut terjadi apa-apa. 

"Kenapa, Bu?" tanya gue.

"Kamu lihat dompet Ibu nggak, Mas? Dompet Ibu nggak ada. KTP, uang, semua ada di sana."

Gua geleng-geleng karena emang nggak tau. Dari kemarin sore aja gue nggak keluar kamar.

"Kamu kok malah geleng doang, nggak ngasih solusi sama sekali. Bukan kamu, kan, yang ambil?"

Lah, kenapa jadi gue yang salah?

"Aku beneran nggak lihat, Bu. Dari kemarin juga aku nggak keluar kamar karena sakit perut." Gue akhirnya jujur, daripada jadi tertuduh.

"Terus ke mana dong? Ibu nggak seceroboh itu sampai ngilangin uang sedompet-dompetnya."

Gue juga nggak sedurhaka itu nyuri uang orang tua. "Coba tanya Icel, siapa tau Icel lihat, Bu. Dompetnya nggak jatuh di kios atau pas Ibu perjalanan ke kios, kan?"

"Icel lagi sekolah. Dia bisa ngerasa dituduh kalau tiba-tiba Ibu nanya soal dompet."

Aneh banget, tapi Ibu juga nanya sama gue, nuduh malah. Kenapa pas gue minta Ibu menanyakan hal yang sama ke Selly, Ibu malah marah dan takut Selly ngerasa dituduh.

"Ya udah, aku aja yang nanya. Barangkali Icel beneran lihat, Bu, terus disimpan di mana gitu."

"Ibu bilang nggak usah, ya, nggak usah! Awas kalau kamu berani nyakitin anak gadis Ibu. Biarin dia fokus sama sekolahnya. Jangan ganggu dia sama hal-hal sepele kayak gini. Kamu udah cukup menyusahkan dari dulu, jadi biarin Icel cuma fokus sama dirinya dan pendidikannya. Ibu butuh seseorang buat dibanggakan, biar nggak ngerasa gagal-gagal banget jadi orang tua."

Demi Tuhan, hati gue kayak dilempar dari lantai tujuh, terus pas udah jatuh ke bawah diinjak lagi sampe nggak berbentuk. Apa gue seburuk itu di mata Ibu?

"Malah bengong. Kamu, tuh, lama-lama kelihatan banget bodohnya tahu nggak. Bukannya bantu cariin malah planga-plongo gitu. Uang Ibu semua di situ. Kamu makan juga dari uang itu. Kalau nggak bisa ngasih lebih, minimal bantu cari yang hilang. Tau terima kasih, tuh, penting lho, Mas. Jangan bikin Ibu mikir kalau melahirkan kamu itu sebuah kesalahan."

Apa Ibu nggak ngerasa ucapannya keterlaluan? Gue berusaha bantu nyari lagi, dari satu titik ke titik lain, tapi ucapan Ibu terus terngiang di telinga. 

Jangan bikin Ibu mikir kalau melahirkan kamu itu sebuah kesalahan.

Jangan bikin Ibu mikir kalau melahirkan kamu itu sebuah kesalahan.

Berkali-kali, sampai gue nggak tahan lagi. Gue setengah berlari ke kamar mandi, dan memuntahkan isi lambung gue di sana.

"Dasar lemah."

Gue masih dengar ucapan Ibu, dan itu berhasil menambah sensasi sakitnya. Tubuh gue terbungkuk semakin dalam, membiarkan cairan merah itu terus keluar. Boleh nggak, sih, gue ngerasa capek? 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 4
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰

    Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta
  • serelan

    Kejahatan pasti terbongkar. Mau sepintar apapun nyembunyiin bangkai pasti lama² kecium jg baunya.. para korban akhirnya pada speak up. Gak akan ada celah lagi buat si Topik ngelak. Kalo selama ini dia bisa bungkam para korban dengan powernya. Klo kasusnya udh nyebar gini udh gak bisa d tutupin lagi.. buat Wisnu harus sembuh ya biar bisa lebih lama lagi ngerasain kehangatan keluarganya..

    Comment on chapter Chapter 23 - Titik hancur
  • serelan

    Harus bahagia ya kalian.. jadi keluarga yg saling jaga.. dan si Topik² itu pokoknya harus dapet karma dari perbuatannya gimanapun caranya, dimudahkan jalannya..

    Comment on chapter Chapter 22 - Hangat
  • serelan

    Ya allah... siapa yang naro bawang di chapter ini? 😭 nangis banget baca ini...

    Comment on chapter Chapter 21 - Keputusan besar
  • serelan

    Nah ketauan kan sifat si Topik Topik itu.. ke orang² aja dia selalu bilang etika sopan santun pengen banget d pandang tinggi sama org. Tapi etika sopan santun dia aja minus. Dia lebih rendah drpd org yg dia kata²in.. sakit otaknya, cuma org² yg jual diri kyanya yg dia anggap punya etika sama sopan santun.. udh kebalik otaknya.

    Comment on chapter Chapter 20 - Pengakuan mengejutkan
  • serelan

    Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?

    Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang
  • serelan

    Itu uang yang dihasilin sama Wisnu dari hasil kerja kerasnya selama ini yang selalu diambil semuanya sama si ibu ibu itu anda anggap apa bu? Kok masih aja bilangnya gak mau membantu keluarga padahal hasil kerjanya anda ambil semua. Selalu seneng klo ambil lembur karena nambah duit yg akhirnya diambil anda juga.. Masa gak boleh sesekali bahagiain diri sendiri buat apresiasi dari hasil kerja kerasnya, walau capek bisa tetap bertahan. Gak tiap hari loh bu... si ibu pengennya idup enak tapi Wisnu anaknya jadi sapi perah terus

    Comment on chapter Chapter 18 - Hilang fungsi
  • serelan

    Nu, kuat ya kamu... harus kuat... Icel jangan berubah pikiran lagi ya.. terus turutin apa kata Mas mu, karena apa yg dia bilang pasti yang terbaik buat kamu...

    Comment on chapter Chapter 17 - Tempat untuk pulang
  • serelan

    La, kamu ada rasa kah sama Nunu? Peduli banget soalnya sama Wisnu... Sell, mulai ya buat berubah jadi lebih baik, lebih perhatian sama Masmu ya...

    Comment on chapter Chapter 16 - Es pisang ijo segerobak
  • serelan

    Gimana perasaanmu Sell lihat Mas mu kya gitu? Nyesel? Peduli? Atau masih sama aja...

    Comment on chapter Chapter 15 - Tempat untuk jatuh
Similar Tags
Intertwined Hearts
936      521     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
62      54     1     
True Story
Manusia Air Mata
919      562     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
My Brother Falling in Love
37545      3751     8     
Fan Fiction
Pernah terlintas berjuang untuk pura-pura tidak mengenal orang yang kita suka? Drama. Sis Kae berani ambil peran demi menyenangkan orang yang disukainya. Menjadi pihak yang selalu mengalah dalam diam dan tak berani mengungkapkan. Gadis yang selalu ceria mendadak merubah banyak warna dihidupnya setelah pindah ke Seoul dan bertemu kembali dengan Xiumin, penuh dengan kasus teror disekolah dan te...
Taruhan
48      46     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Metanoia
45      38     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Ghea
471      309     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
TAKSA
401      312     3     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
Wabi Sabi
90      73     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Dalam Satu Ruang
133      87     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.