Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Rintik sudah menyuruh Randi untuk menarik foto yang laki-laki itu kirim di grup kelas. Meskipun hal itu tidak berdampak apapun karena sudah banyak yang melihatnya. Kini di meja makan, Rintik tampak diam, tak bergeming.

            “Aduh putri mama yang cantik dan menawan, kenapa melamun sih? Kamu nanti telat kalau nggak segera makan.” Melati melihat Rintik yang melamun dan tampak memikirkan sesuatu.

            “Kamu ada masalah, Sayang?” tanya Melati yang kini duduk di sebelah Rintik.

            Rintik menatap wajah mamanya. Ia mengusahakan untuk tersenyum agar mamanya tidak khawatir. “Tidak apa-apa, Ma. Hanya sedikit lelah setelah UAS.”

            “Di sekolah sudah class meeting ya?” tanya Melati sambil mengambil nasi goreng buatannya. Ia juga harus sarapan karena akan pergi ke kantor.

            “Iya, Ma. Dan hari ini aku jadi juri untuk lomba puisi antar kelas.” Rintik memasukkan nasi itu ke dalam mulutnya. Ia tidak ingin mengecewakan mamanya yang sudah bangun pagi-pagi untuk memasak.

            “Wow. Hebat itu. Jangan pilih kasih dalam menilainya ya, Sayang.”

            Ucapan mamanya mengingatkan dirinya pada masalah Cea. “Ma, aku mau tanya,” kata Rintik.

            “Iya, kamu mau tanya apa?” kata Melati sambil tersenyum.

            “Kalau teman kita punya masalah, tetapi dia berada di jalur yang salah, apa boleh aku membantunya?” tanya Rintik yang membuat Melati mengerutkan kening.

            “Maksudnya jalur yang salah apa, Nak?” kata Melati.

            “Uhm... kalau banyak yang menilainya melakukan kesalahan lalu dia ditindas. Apakah boleh aku membantunya?” tanya Rintik tanpa memberitahukan masalah Cea secara menyeluruh.

            Melati mengangguk paham. Ia pernah muda dan pernah mengalami kisah picisan ala anak remaja. “Tidak semua yang kita lihat salah nyatanya salah dan tidak semua yang tampak benar nyatanya benar. Jangan pilih kasih dalam menilai. Mungkin saja kita menilai hal itu salah karena kita memposisikan diri sebagai orang yang paling benar. Bukan ingin melihat kebenaran dari sisi yang lain. Kalau dia adalah teman kamu, pasti kamu akan menolongnya untuk kembali pada kebaikan, bukan malah menjauhinya karena menganggapnya tidak benar.”

            “Thanks, Ma. Aku lega sekarang.” Rintik tersenyum dan matanya kini berbinar. Ia tidak mau salah dalam mengambil langkah.

            Di kelas, Rintik mendapatkan tatapan sinis dari beberapa teman-temannya. Ia tidak peduli. Bahkan jika seluruh dunia membencinya akibat pilihannya, ia benar-benar tidak peduli. Karena baginya menjustifikasi seseorang tanpa tahu masalahnya adalah hal yang tidak benar. Mau seberapa banyak orang yang menuduh Cea, Rintik teguh pada pendiriannya. Ia akan berusaha menolong temannya itu.

            Sampai pukul sembilan kurang lima menit, Rintik tidak menemukan sosok Cea dimanapun. Padahal acara lomba baca puisi akan dimulai. “Lo tadi lihat Cea nggak di kantin?” tanya Rintik pada Zahra.

            “Gue belum ke kantin, Rin. Tapi dari pagi gue nggak lihat Cea,” kata Zahra.

            Rintik masuk ke aula. Ia duduk di kursi juri bersama empat juri lainnya. “Tumben telat, Rin,” kata Raka.

            “Tadi ada urusan,” jawab Rintik.

            “Urusan sama anak basket ya,” goda Kayra yang duduk di sebelah Raka.

            “Ngapain juga gue ada urusan sama mereka,” timpal Rintik. Ia merasa aneh karena Kayra menyangkut pautkan dirinya dengan anak basket. “Ada gosip apa di kelas lo sampai bilang gue ada urusan sama anak basket?” tanya Rintik pada kedua temannya di organisasi pers.

            “Kemarin katanya lo tiba-tiba ganggu pertandingan basket terus Cakra narik lo keluar lapangan. Gue sempet nggak percaya sama temen gue karena menceritakan lo yang diluar dugaan. Lo kesurupan kemarin?” kata Kayra.

            “Anggep aja gue kesurupan kemarin.” Rintik tidak meneruskan pembicaraan tentang tingkahnya kemarin. Ia sungguh menyesali perbuatannya yang menyeretnya ke dalam masalah yang mungkin akan pelik.

            Lomba baca puisi dimulai. Hingga sebuah nama membuat Rintik tercengang. Cakra Aditya termasuk dalam daftar peserta. “Dia kan juri lomba basket? Kenapa dia bisa ikut lomba baca puisi?” tanya Rintik pada Raka.

            “Nggak ada larangan untuk itu, Rin. Kecuali kalau Cakra ikut lomba basket atau lo ikut lomba baca puisi, baru itu nggak boleh.”

            Rintik terdiam. Ia baru tahu kalau Cakra ikut lomba baca puisi. Benar-benar tidak dapat dipercaya. Semua perhatian kini tertuju pada Cakra yang sudah berdiri di atas panggung.

            “Saya akan membacakan sebuah puisi yang berjudul ‘Aku Tidak Apa-Apa’. Puisi ini karya seseorang yang pernah istimewa di kehidupan saya.”

            Ada raut kekecewaan dari beberapa penonton karena mengetahui kenyataan bahwa Cakra membacakan puisi seseorang yang spesial. “Aku tidak apa-apa, sekalipun dunia pergi dan semesta membenci. Meski batinku akan terluka, parah, dan berdarah. Aku sungguh tidak apa-apa, sekalipun ketenaran musnah dan aku menjadi bukan siapa-siapa ....”

            Semua terpana pada puisi dan penghayatan Cakra. Tiba-tiba sosok Cakra yang biasanya identik sebagai laki-laki yang manly karena bermain basket dan bercucuran keringat karena panas, kini berubah menjadi sosok yang romantis nan puitis.

            “ ...aku tidak apa-apa karena aku masih punya dirimu, Sayang.”

            Tepuk tangan nan riuh memenuhi aula. Tak terasa air mata jatuh ke pipi Rintik. Ia segera mengusap air matanya agar tidak diketahui orang lain. Namun, Raka melihatnya.

            “Bagus ya, Rin. Lo sampai tersentuh karena puisinya,” lirih Raka yang masih bisa didengar Rintik.

            Selepas acara lomba puisi, Rintik berjalan menuju kelas. Ia merasakan ada yang mengikutinya. Lalu ia segera berbalik. “Kenapa lo ngikutin gue?”

            “Ngikutin lo? Jangan ngayal! Gue mau ke kelas gue.”

            “Sejak kapan kelas lo pindah searah dengan kelas gue. Lo nggak pandai cari alibi!” kata Rintik yang menatap Cakra tepat di manik matanya. Laki-laki bermata hitam, alis tebal, dan tubuh yang tinggi itu membalas tatapan Rintik.

            “Pasti ada pertanyaan yang mau lo kasih ke gue,” kata Cakra.

            “Nggak ada,” kata Rintik dengan cepat.

            “Tapi mata lo berkata sebaliknya. Banyak tanda tanya di sana. Mungkin mulut lo pandai mencari alasan tapi mata lo selalu mengungkapkan kebenaran.” Cakra tersenyum penuh kemenangan.

            Rintik tidak mengatakan apapun. Hingga keheningan menyelimuti mereka berdua.

            “Oke kalau lo nggak mau bertanya. Gue yang mau bertanya dan banyak pertanyaan yang ingin gue lontarkan,” ucap Cakra yang memecahkan keheningan itu.

            “Gue nggak mau jawab,” kata Rintik dengan ketus.

            Cakra angguk-angguk kepala. “Oke kalau gitu gue akan buntutin lo sampai ke kelas. Dan gue akan bertanya di sana.”

            Rintik memejamkan matanya sekejap. “Mau lo apa? Gue nggak pernah ganggu lo.”

            Cakra lagi-lagi tersenyum. “Gue mau lo jawab pertanyaan gue.”

            Rintik melihat sekitar. Ia takut kalau ada yang melihatnya dan akan ada bahan gosip tentang dirinya dengan Cakra. “Gue nggak bisa.”

            Seakan mengerti gelagat Rintik akhirnya Cakra tidak memaksa. “Kalau lo nggak bisa menjawabnya di sini, gue mau kita ketemuan jam 1. Di kafe Mocca, kursi nomor 24,” kata Cakra. “Kalau lo nggak dateng, besok gue akan ke kelas lo.”

            Rintik tidak pernah menduga kalau Cakra akan bersikap seperti ini. Ia harus mengalah kali ini. Karena permasalahan hidupnya sudah cukup berat. Ia tidak ingin ada masalah baru yang datang.

-0-

            Di kelas, Rintik tidak bertemu dengan Cea. Ia sudah menghubungi temannya itu namun tidak kunjung mendapat jawaban.

            “Cea nggak akan masuk, Rin. Udahlah, lo terima aja kenyataan kalau Cea itu emang cewek nggak bener. Gue bakal maafin sikap lo ke gue dan menerima lo sebagai anggota geng gue kok,” kata Adel. Ia dan kedua temannya begitu memuakkan bagi Rintik.

            “Ngapain lo ke kelas gue?! Lo nyasar ke sini?” ketus Rintik.

            “Gue nyamperin temen gue, Randi.” Adel mendekati Randi yang sedang duduk dan merangkul bahu laki-laki itu.

            Rintik tersenyum sinis. “Jadi lo udah ngehasut Randi dan nyuruh dia ngirim foto itu di grup? Dasar Medusa,” kata Rintik.

            Merasa dihina Adel menatap tajam Rintik. “Apa tadi lo bilang? Medusa? Berani-beraninya lo sebut gue begitu?!” ucap Adel yang sudah bersungut-sungut.

            “Panggilan apa yang cocok buat orang seperti lo? Mau gue panggil apa?” tantang Rintik.

             Randi bangkit dari duduknya. “Udahlah, Rin. Kenapa lo masih bela wanita kotor itu? Lo sepertinya udah dicuci otak sama dia.”

            “Hah?! Wanita kotor? Seberapa suci lo sampai bilang orang lain kotor?! Lo yang dicuci otak sama Adelia Cantika Dewi yang terhormat, atau bisa dibilang si gila hormat?” ejek Rintik tanpa gentar.

            “Kurang ajar ya lo, Rin. Gue udah berbaik hati menyelamatkan lo dari Cea dan ini balesan lo? Dengan menjelek-jelekkan gue?” kata Adel yang tidak terima atas semua ucapan Rintik.

            “Nggak enakkan dihina? Lo merasa marah kan? Lo merasa ingin meledak? Terus lo anggep Cea nggak ngerasain hal sama seperti apa yang lo rasain? Lo pandang rendah, lo hina, dan lo cap buruk, padahal lo nggak kenal dia, padahal lo nggak tahu apapun tentang dia. Tetapi dia nggak pernah membalas perbuatan lo. Bahkan menyenggol hidup lo, dia nggak pernah. Coba deh kalian semua memposisikan diri sebagai Cea, kalian pasti sakit hati!” kata Rintik yang sudah tidak tahan dengan emosinya.

            “Memposisikan diri sebagai Cea? Maksud lo, gue harus menjadi wanita nggak bener seperti dia agar gue tahu rasanya? Nggak mungkin!” kata Adel.

            “Lo posisikan hidup lo ketika dihadapi kehidupan yang Cea hadapi. Susahnya, rumitnya, dan semua yang dia jalani. Pada titik terendah seseorang berada, bukan berarti lo bisa menginjaknya dan membuatnya lebih rendah lagi. Kalian semua harusnya mengulurkan tangan, bukan malah membuatnya tersungkur!” kata Rintik sambil menunjuk semua orang yang ada di kelasnya.

            Cakra yang dari tadi ada di balik pintu kelas Rintik mendengar semua kejadian itu. Ia tidak berbuat apapun dan hanya menyaksikan perang mulut itu terjadi.

            “Lo bener-bener udah dicuci otak sama Cea. Apa jangan-jangan lo juga mau ikut ke dunianya Cea?” kata Adel tanpa ada rasa bersalah malah ia tetap menyerang Rintik agar mau mengaku bahwa Rintik ada di pihak yang salah.

            Rintik tidak tahan lagi dengan semua ucapan Adel. Ketika ia ingin menampar Adel, sebuah tangan menahannya. Cakra menahan tangan Rintik yang akan mengenai pipi Adel.

            Semua orang terkejut bahkan Adel terdiam dan tidak berkedip. Kejadiannya begitu cepat dan hampir saja pipi mulusnya akan terkena tamparan Rintik.

            “Lo mau bela dia juga?!” kata Rintik kepada Cakra.

            Cakra tersenyum. “Gue mau bicara sama lo. Ayo ikut gue,” kata Cakra yang menarik tangan Rintik keluar kelas sambil membawa tas gadis itu.

-0-

            Rintik kini berada di dalam mobil Cakra. Ia dipaksa masuk oleh laki-laki itu. Hingga mobil hitam Cakra melaju di jalan raya. Dan keheningan tercipta. Rintik tidak membuka mulut begitu pula Cakra. Karena merasakan suasana yang tidak nyaman, Cakra menyalakan musik.

            “Kenapa lo tadi nahan tangan gue buat nampar Adel?” tanya Rintik yang membuka percakapan diantara mereka.

            “Karena gue nggak mau lo terluka.” Jawaban Cakra membuat kening Rintik berkerut.

            “Maksudnya gue akan kalah dari Adel, gitu?” kata Rintik.

            Cakra tersenyum. Entah mengapa laki-laki itu sekarang menjadi banyak tersenyum tidak seperti biasanya yang cuek dengan Rintik. “Gue nggak mau lo akan menyalahkan diri lo setelah menampar Adel. Nanti lo terluka,” jawab Cakra dengan tenang.

            Pipi Rintik memanas akibat ucapan Cakra. Ia mengalihkan pandangannya dengan cara memandang ke arah jendela mobil. “Lo mau bawa gue kemana?” tanya Rintik. Suaranya lebih kecil dari biasanya.

            “Ke kafe Mocca. Sesuai janji tadi,” kata Cakra.

            “Kata lo jam satu,” ujar Rintik.

            “Emang lo akan ke sana pukul satu setelah gue tadi mencoba menahan tangan lo dan masuk ke kelas lo?” tanya Cakra.

            Rintik tak menjawab. Ia menyibukkan diri dengan mengamati pemandangan luar dari jendela mobil. Tangannya kini sudah basah dengan keringat karena gugup berada di dekat Cakra.

            Sesampainya di kafe Mocca, di kursi nomor 24 mereka duduk dan memesan minuman dan makanan kecil. Rintik mengamati Cakra yang sedang berbicara dengan pelayan. Tiba-tiba Cakra memandangnya sehingga tatapan mereka bertemu. Pipi Rintik tiba-tiba memanas. Ia membuang muka dan mencari obyek lain.

            Ketika pelayan kafe sudah pergi, Cakra melihat Rintik. “Lo masih sama seperti dulu. Nggak berubah,” ucap Cakra.

            “Kayaknya emang gue masih gini-gini aja,” jawab Rintik tanpa menatap lawan bicaranya.

            “Tapi kenapa perasaan lo ke gue berubah ya, Rin. Itu yang nggak sama,” kata Cakra. “Ehm, ngomong apa sih gue tadi. Lupain aja, tadi gue asal bicara.”

            Rintik berusaha tidak mempertanyakan ucapan Cakra karena takut suasananya akan menjadi tambah canggung. “Kenapa lo ngajak gue ke sini?” tanyanya.

            Untuk kesekian kalinya, Cakra tersenyum lagi. “Sepertinya akhir-akhir ini lo jadi suka senyum deh,” kata Rintik.

            “Karena gue lagi bahagia.”

            Rintik angguk-angguk kepala. “Gue denger gosip sekarang pacar lo banyak,” katanya. Ia mencoba untuk mencari topik pembicaraan daripada hanya diam.

            Kali ini Cakra tidak hanya tersenyum, ia tertawa. “Sejak kapan lo suka denger gosip murahan?”

            Rintik mengedikkan bahu. “Entahlah. Sejak gue mulai peka sama hal sekitar mungkin.”

            Tawa renyah Cakra terdengar kembali setelah mendengar perkataan Rintik. “Tapi lo nggak peka sama perasaan lo sendiri.”

            “Maksudnya?” Rintik mengernyitkan dahi.

            Cakra menggeleng. “Tadi gimana penampilan gue? Lo suka?”

            Memori Rintik bergerak mundur ke acara lomba baca puisi tadi. “Bagus untuk ukuran amatiran seperti lo.”

            “Itu kali pertama gue ikut acara kayak begitu.” Cakra mengamati ekspresi Rintik. “Lo nggak ada pertanyaan?”

            Rintik menghela napas. Ia tahu apa maksud Cakra. “Kenapa lo ikut lomba itu dan kenapa lo baca puisi gue?” Akhirnya Rintik mengungkapkan pertanyaan yang ada di benaknya. Cakra tersenyum puas mendengar hal itu.

            “Karena gue suka ...” ia menggantung ucapannya, “suka sama puisinya.”

            “Lo nggak lagi mempermainkan gue kan?” kata Rintik. “Kenapa tiba-tiba lo care ke gue?”

            Raut wajah Cakra berubah namun sekejap kembali seperti biasa. Ada ungkapan kecewa di matanya. “Karena gue selalu peduli lo, Rin.”

            Ucapan Cakra membuat Rintik tak nyaman. Ia membeku dan membisu namun jantungnya berpacu dengan cepat.

            “Kita udah pernah bahas ini sebelumnya. Jadi tolong jangan membuat lembaran lama itu terbuka lagi,” kata Rintik pada akhirnya.

            “Kita nggak pernah bahas ini, Rin. Lo yang memutuskan sendiri tanpa gue tahu apa-apa. Asal lo tahu, gue terluka,” kata Cakra.

            Rintik hendak mencari kebohongan di sana namun yang didapatkan sorot kecewa dan ketulusan di kedua mata Cakra. “Emang gue yang salah. Harusnya setelah hari itu lo benci gue.”

            “Lo yang benci gue. Setelah hari itu lo nggak bisa dihubungi dan setiap ketemu di sekolah, lo selalu menghindar,” kata Cakra, “sebegitu bencinya sama gue?” lanjutnya.

            Rintik tidak pernah membenci Cakra. Untuk semua perbuatan yang ia lakukan selama ini adalah upayanya untuk melupakan Cakra tapi gagal. “Iya, gue benci sama lo. Dan lo masih berpikir ada di dekat gue?” ketus Rintik tanpa melihat Cakra.

            “Coba tatap gue saat lo ngomong benci gue. Supaya gue yakin.”

            Rintik menghela napas sebentar. “Gue benci sama lo. Setelah ini gue nggak ingin ketemu sama lo. Dan ini yang terakhir kali kita berada di radius yang dekat seperti ini,” kata Rintik sambil menatap Cakra.

            “Boleh gue tahu alasan lo mutusin gue secara tiba-tiba? Gue mau tahu letak kesalahan gue dimana, supaya gue bisa perbaiki semuanya,” kata Cakra.

            Rintik merasa menjadi orang jahat karena telah menyakiti laki-laki yang ada di hadapannya ini. “Lo nggak salah. Gue yang salah. Gue udah nggak ada rasa sama lo dan gue udah suka sama laki-laki lain,” dusta Rintik.

            Cakra mengangguk paham. Ia sekarang tahu alasan Rintik memutuskan hubungan. Sudah tidak ada rasa. Orang ketiga. Klise sekali. “Semoga lo bahagia. Gue bahagia karena lo udah ketemu sama orang yang lebih baik dari gue,” kata Cakra. “Kayaknya gue harus pulang sekarang deh. Gue tinggal nggak pa-pa kan?”

            Rintik menahan tangisnya agar tidak pecah di hadapan Cakra. Ia hanya mengangguk. Dan kemudian Cakra pergi meninggalkan kafe tersebut setelah membayar pesanan yang belum ia nikmati.

            Setelah Cakra sudah tak terlihat, tangis Rintik pecah. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia telah mematahkan hati orang yang dia cinta. Dan sakitnya sungguh luar biasa.

-0-

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Sell... itu masmu loh.. org² nginjak harga dirinya.. kamu yg keluarga pun sama aja.. memperparah rasa sakitnya.. bukannya saling mendukung dan menguatkan malah kya gitu..

    Comment on chapter Chapter 14 - Memindahkan sakitnya
  • serelan

    Si Cantika mulutnya harus d sekolahin. Bener² gak ada akhlak tu org. Hidupnya aja belum tentu bener sok²an ngurusin hidup org lain.. Pikirin baik² ya Sell apa yg dibilangin mas mu. Jangan ngeyel terus akhirnya nyesel..

    Comment on chapter Chapter 13 - Teman bicara
  • serelan

    Ngenes banget sih Nuuu...
    Lagi sakit aja berobatnya sendiri gak ada anggota keluarga yang bisa d andalkan... La, baik² ya ama Nunu. Di tempat kerja cuma kamu yg bisa dia andalkan, yg bisa jagain dia dari semua makhluk laknat yg ada d sana..

    Comment on chapter Chapter 12 - Serius
  • serelan

    Wisnu berusaha keras buat jaga adiknya, gak mau sesuatu yang buruk terjadi. Tapi semua yang dilakukan Wisnu selalu disalah artikan mulu sama ibu & adiknya. Pikirannya negative mulu sama Wisnu. Padahal yg keluarganya kan Wisnu ya? Tapi lebih percaya org yang baru dikenal yg belum tau sifatnya seperti apa²nya..

    Comment on chapter Chapter 11 - Kebaikan atau sogokan? Kebaikan atau kesepakatan?
  • serelan

    Kesel banget sama ibunya..
    Anakmu lagi sakit loh itu.. malah dikatain pemalas.. gak ada peka²nya sama sekali kah sama kondisi anak sendiri? Apa jangan² Nu Wisnu anak pungut😭 parah banget soalnya sikapnya ke Wisnu. Tidak mencerminkan sikap seorang ibu terhadap anaknya..

    Comment on chapter Chapter 10 - Takut
  • alin

    Singkirin aja itu ibu dan icel, makin lama makin nyebelin. Kesel sama ibunya dan Selly disini. Kasian Wisnu. Yang kuat ya, Kak Nu🥺 hug Wisnu🥺🫂

    Comment on chapter Chapter 10 - Takut
  • nazladinaditya

    lo udah sesakit itu aja masih kepikiran nyokap dan adek lo yaa, nu. anak baik :((

    Comment on chapter Chapter 9 - Gelap dan hening lebih lama
  • serelan

    Wisnu nya udh kya gitu awas aja tu kluarganya klo masih gak ada yg peduli juga, keterlaluan banget sih..

    Comment on chapter Chapter 9 - Gelap dan hening lebih lama
  • serelan

    Nu, kamu tuh hebat banget asli. Saat berada dalam kondisi terburuk pun masih sempat aja mikirin tanggung jawab, mikirin ibu & adik mu. Tapi, orang² yg kamu pikirin, yang berusaha kamu jaga bahkan gak pernah mikirin kamu sama sekali. Minimal nanya gitu kondisi kamu aja nggak. Yang mereka peduliin cuma uang aja. Apalagi si Selly noh sampe bohongin ibu, nyuri uang ibu, mana di pake buat sesuatu yg gak baik pula. Mana katanya ntar klo udh ada uang lagi bakal di pake beliin yg lebih bagus lebih mahal. Mau nyari uang dimana dia? Nyuri lagi?

    Comment on chapter Chapter 9 - Gelap dan hening lebih lama
  • nazladinaditya

    wisnuuu:( u deserve a better world, really. lo sabar banget aslian. hug wisnuu🤍🥺

    Comment on chapter Chapter 8 - Lebih dari hancur
Similar Tags
Perjalanan Tanpa Peta
93      86     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Dimensi Kupu-kupu
14872      2920     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Weak
264      214     1     
Romance
Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar. Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang. Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi. Kalau pada akhirnya orang-orang berusaha untuk membuatku menjauh darinya, apa yang harus kulakukan?
Kini Hidup Kembali
131      118     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
Promise
659      379     7     
Romance
Bercerita tentang Keyrania Regina. Cewek kelas duabelas yang baru saja putus dengan pacarnya. Namun semuanya tak sesuai harapannya. Ia diputus disaat kencan dan tanpa alasan yang jelas. Dan setelah itu, saat libur sekolah telah selesai, ia otomatis akan bertemu mantannya karena mereka satu sekolah. Dan parahnya mantannya itu malah tetap perhatian disaat Key berusaha move on. Pernah ada n...
Di Antara Luka dan Mimpi
1540      867     70     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Bunga Hortensia
1901      282     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Yang Tertinggal dari Rika
4820      1823     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Love Yourself for A2
56      48     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
The Best Gift
56      53     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...