Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Ada empat hal tentang Dego yang Nura ketahui sejauh ini.

Pertama, Dego bisa sesuka hati menyentuh Nura lebih dulu, sementara tidak sebaliknya.

Kedua, Dego punya kehendak untuk memperlihatkan dirinya atau tidak di hadapan Nura.

Ketiga, Dego baru bisa memegang benda-benda di dunia ini selama ia bersentuhan dengan Nura.

Keempat, inilah yang paling Nura suka, yakni Nura bebas berkontak fisik dengan Dego selagi Dego sedang menyentuhnya.

Lantas, kemarin itu menjadi upacara kemenangan bagi Nura untuk membalas semua perbuatan Dego dengan berbagai macam siksaan: pukulan, tendangan, jitakan, bahkan bantingan setelah sebulan lebih menahan diri. Acapkali Dego mencari-cari kesempatan balik menyerang, yang tentu harus sambil menyentuhnya, secara bersamaan Nura akan menghantamnya dengan dua kali lipat lebih parah.

“Jadi, apa keputusan kamu, Nona Penulis?” tanya Dego, ada lebam sisa pertarungan semalam di bawah mata kanannya.

Nura berucap syukur sebab bel masuk baru berdering lima detik setelah ia melewati gerbang, jadilah ia tak perlu dihadiahi hukuman dari guru piket. Akan tetapi, kelegaan itu tidak bertahan lama ketika kakinya berhadapan dengan pintu kelas XI SOSIAL 1, yang tertutup rapat-rapat walau suara bising anak-anak di dalam terdengar sampai luar.

“Kejadian kemarin pasti bikin mereka mulai ngegosipin kamu lagi.” Dego mengungkit tentang Nura yang seakan-akan sengaja menumpahkan susu di hadapan Mahda sambil mengumpat sinonim kata bodoh, lalu pergi begitu saja tanpa penjelasan. “Kamu bakal tetap berusaha mengubah takdir?”

Lama Nura tertegun, memegangi gagang pintu kelas itu walau sepenuh benak bergumul oleh kekalutan. Benar bahwa sejauh ini ia baik-baik saja. Namun, kedamaian itulah yang sekilas menghadirkan rasa curiga. Katanya, setelah kesulitan selalu ada kemudahan, tetapi bukankah itu berlaku sebaliknya? Kebahagiaan pun tidak akan berlangsung selamanya.

“Baiklah, kali ini aku bakal nurutin kemauan kamu,” putus Nura kian mempererat pegangan pada gagang pintu.

“Beneran? Kenapa kamu berubah pikiran?”

“Yah, sederhana aja.” Nura sejenak melirik anak laki-laki itu sebelum melukiskan senyum samar. “Karena aku merasa kesepian saat kamu menghilang?”

Dego kontan termangu, sorotnya bergulir lebih hampa seperti sedang menyaksikan sesuatu dalam kepala. Ada sesuatu dari kata-kata Nona Penulis tadi, sesuatu yang mengusik pikiran, menggeliat dalam benak, berupaya mewujud praduga namun ia tepis segera. Manakala sebuah suara lain datang di antara mereka, pandangan anak laki-laki itu kembali jernih dengan kerutan di keningnya.

“Kenapa kagak masuk? Takut?”

Nura tipis terlonjak, refleks mundur di mana kakinya lantas menginjak sesuatu. Jelas itu bukan suara Dego. Lebih berat, ada kesan serak, dan berasal jauh menjulang di atas kepalanya. Gesit perempuan itu berbalik sesaat punggungnya menubruk sesuatu–seseorang. Ikat kepala biru-hitam khas suku Baduy menjadi sambutan pertama manik cokelat Nura begitu ia mendongak.

“Padahal gua sempat dengar kabar kalau lu udah bisa berbaur, tapi apa-apaan ini? Kenapa lu masih keliatan ragu masuk ke kelas?”

Untuk sekian waktu, Nura belum mengenali orang itu. Dia cowok, surai ikal agak kecokelatan dibiarkan tergerai hingga pundak, kelopak monoloidnya memberi kesan tatapan tajam, terlebih alisnya terukir cukup tebal, dengan bibir kering yang membentuk seperti hati. Lesung di kedua pipi yang enggan muncul tanpa senyum, menambah kesengitan dari binar legam cowok itu.

“Fikar?” tebak Nura setengah yakin.

Cowok itu terkekeh. “Baru kemarin ketemu, masih nanya?”

Astaga. Astaga. Astaga.

Nura gagal mengerti. Apa karena kemarin cowok itu mengenakan helm? Sekarang ini, cowok itu terlihat ... ia tak yakin bagaimana ia harus mengatakannya.

“Kok tampan?” celetuk Nura terperangah sendiri. “Kok sesuai harapan? Kemarin nggak gini, deh, penampakannya. Kok bisa?!”

Fikar tergelak. “Lah, ke mana aja lu baru sadar?”

Selagi Nura masih kelimpungan, cowok itu santai membuka pintu lalu mendorong pelan bahu Nura agar melewati garis batas masuk, sedangkan Dego tertinggal di belakang. Suasana kelas yang semula gaduh sontak meredam. Seluruh pasang mata tertuju pada mereka berdua.

Batin Nura telah meneguhkan tekad untuk tidak berupaya memperbaiki kekacauan sehari lalu. Pada dasarnya, karakter Dego disetel selalu terabaikan. Lebih baik Nura tidak bersikap menonjol hari ini.

Setidaknya, begitulah rencana awal Nura sampai salah seorang murid berceletuk, “Dih, kirain guru.”

Disusul oleh sorakan meledek murid-murid lain yang merasa kekhawatiran mereka sia-sia. Meskipun ini adalah hari pertama Fikar masuk di tahun ajaran baru kelas sebelas, cowok itu alami bertukar canda dan melebur bersama para murid cowok di kelas itu.

Di sisi lain, Nura terus bungkam dan memilih cepat-cepat pergi ke tempat duduknya. Tanpa direncanakan pun, ternyata peristiwa kemarin membuat Nura sulit berinteraksi dengan mereka. Dego setia berdiri di sebelahnya, memperhatikan setiap detail gerak-gerik Nura.

“Woy, Ori, gimana? Udah sembuh sembelitnya?” tegur seorang murid berkacamata.

“Katanya hari pertama datang bulan juga, ya?” Siswi lain menanggapi, duduk di barisan ketiga lalu menengok ke arahnya. “Gila, nggak karuan banget pasti itu sakitnya.”

“Kalau gue jadi elo, Ri. Bukan cuma bego, semua kata-kata kasar udah pasti gue keluarin.”

“Itu, sih, emang dasar mulut kamu aja yang kayak kebun binatang!”

“Hahaha!!!”

Nura melongo, mencoba mencerna alur pembicaraan. Gema sukacita menggaung layaknya paduan suara. Beberapa siswa bahkan ikut menimpali obrolan mereka; santai mengajak Nura berbicara meski tak kunjung mendapatkan balasan dari perempuan itu. Padahal Nura sudah siap lahir batin jika hari ini ia akan kembali menjadi sosok yang terpinggirkan. Kalau Nura menjadi Dego, sikap seperti apa yang akan anak laki-laki itu tampilkan?

“Emang ada apaan, dah? Sembelit? Datang bulan? Nggak karuan? Kata-kata kasar?” tanya Fikar sukses mengambil seluruh atensi.

“Itu … si Ori kemarin numpahin susu sambil ngatain si Mahda. Kirain sengaja, ternyata emang mendadak sembelit katanya.”

“Kata siapa?” Fikar kembali bertanya yang mewakili isi pikiran Nura.

“Mahda.”

“Mahda?” Kali ini Nura turut angkat bicara.

“Iya, Mahda. Kemarin dia sibuk ceritain soal itu ke anak-anak sampe semua pada ngetawain elo seharian.”

Dalam diam, Nura mendengus panjang.

Dasar, cewek naif itu.

Pantas saja keadaan terasa aman sentosa. Tampaknya, Nura menciptakan Mahda terlalu berpikiran positif sampai-sampai tak berkeinginan menyalahkan orang. Sampai terasa sangat tidak manusiawi. Bagi Nura, menjadi terlalu baik adalah sebuah kelainan.

“Ngomong-ngomong soal Mahda ....” Nura melempar pandangan ke sekitar. “… dia di mana?”

**

Cangkul ditaruh dalam gudang usai digunakan untuk menggemburkan tanah ladang belakang sekolah, lokasi yang biasa dijadikan pembelajaran tanam jagung untuk mata pelajaran Muatan Lokal. Beberapa siswa tampak melapor pada Pak Tono, dijuluki sebagai Pak Botak, bahwa hukuman telah selesai dilakukan. Mereka adalah para siswa yang terlambat, salah satunya Mahda.

Peluh kentara membanjiri seluruh badan gadis manis itu, seragamnya mencetak pola kaos lengan pendek bergambar kucing yang digunakan sebagai dalaman. Kering di ujung tenggorokan membuat Mahda ingin segera menenggak habis air botolan. Sayang seribu sayang, tempat minum gadis itu ditaruh bersama tas-tas murid terlambat di pos satpam. Jaraknya cukup jauh dari ladang; benar-benar ujung ke ujung.

“Nih, ambil.”

Keterkejutan terjadi dalam manik besar gadis itu, Mahda memekik tertahan kala sebuah tangan terjulur tepat ketika ia akan belok di perempatan koridor. Itu Nura, yang menyodorkan minuman kepadanya.

“Kok kamu di sini?”

“Sendirinya?” timpal Nura enteng. “Sejak kapan pernah terlambat?”

“Sejak hari ini …?”

Mereka tertawa singkat, tetapi tidak dipungkiri, masih terbersit kekakuan; membayangi keduanya tentang hal-hal yang terjadi kemarin pagi.

“Abis ini Bahasa Inggris, ‘kan?”

Nura mengangguk. “Anak-anak lain langsung ke Lab. Bahasa.”

“Tapi kamu malah nyamperin aku?”

“Yah ....” Perempuan itu tak yakin harus menanggapi apa. “Sekalian aja, sih.”

Alasan Nura mencari Mahda bukanlah karena peduli, ia hanya ingin memastikan alasan di balik keterlambatkan gadis manis itu. Sejauh ingatannya, Nura berani bertaruh bahwa ia menjadikan Mahda dinobatkan sebagai murid paling rajin dengan jumlah kehadiran sempurna. Boro-boro telat, Mahda justru selalu datang paling pagi yang terkadang mendahului satpam.

Dipikir-pikir, terlalu banyak peristiwa–yang terkesan tidak krusial–tetapi terus saja membelakangi alur cerita ini, termasuk kemunculan Fikar sore kemarin. Seharusnya, cowok itu sudah ada sejak seminggu atau dua minggu lalu. Putaran momen sebulan belakang lantas menggiring Nura pada satu pertanyaan besar.

Kalau benar takdir mengalami perubahan, akankah ada harga yang perlu ia bayar?

“Ori!” Mahda buka suara usai menaruh tasnya di kelas, kini mereka dalam perjalanan menuju Lab. Bahasa. “Soal kemarin–“

“Ah, thank you banget, ya. Aku dengar dari anak-anak tentang apa yang kamu lakuin buat ngejelasin kejadian kemarin. Aku nggak bisa bilang alasan sebenarnya, tapi aku beneran nggak bermaksud bersikap kasar ke kamu, Mahda.”

Penjelasan Nura menghadirkan lengkung terukir di sudut-sudut bibir Mahda, meneguhkan pesona manis dari mata besar yang berbinar girang.

Nura sendiri tidak yakin perihal tindakan seperti apa yang semestinya ia ambil. Dego kukuh menuntut Nura agar hidup di dunia ini mengikuti alur cerita, tetapi cowok itu tetap enggan jika Nura menyakiti Mahda. Padahal kedua poin itu takkan bisa dipisahkan; sudah menjadi satu-kesatuan. Penderitaan Dego didasari oleh prasangka-prasangka buruk yang menggerogoti sekujur benak. Prasangka itu pula yang akhirnya akan membawa beratus-ratus kesakitan untuk Mahda.

Omong-omong soal Dego, anak laki-laki itu kembali bersembunyi. Malu, katanya. Padahal wujudnya saja tidak kelihatan, apa gunanya tersipu? Jatuh cinta saat remaja memang sesuatu yang membuat orang menjadi gila.

“Tapi, Ori, kamu ternyata nggak disangka-sangka, ya, anaknya.”

“Yang ternyata asyik?” tebak Nura kelewat percaya diri.

“Itu juga, sih, tapi bukan itu maksud aku.” Mahda kepayahan menahan senyum. “Bisa dibilang, kamu agak … alay? Jujur, aku kaget banget pas baca ketikan kamu di chat kemarin.”

Nura melongo. “Ketikan? Chat?

Firasat tidak baik bertandang tanpa diminta, Nura lekas memeriksa ponselnya. Kalau diingat-ingat, ia sempat menyuruh Dego membalas pesan gadis manis itu saat menjaga konter, sementara Nura bahkan belum memeriksa ponsel sehari semalam kemarin.

Nura: Iy, M4hD@...

Nura: GaX pa2

Nura: Aq jgA mnt4 maff y

Nura: Kmu jgn ngr@s4 g4x enk gtu

Nura: Emx aqU yg slAhh

Telinga Nura perlahan memerah bersama satu alis bergoyang-goyang tidak nyaman, rahangnya mengeras, sedangkan bibirnya terkatup rapat-rapat namun agak bergetar–mirip orang tengah menahan umpatan yang sudah tiba di ujung tenggorokan–sebelum akhirnya tersenyum; senyum yang sarat akan ancaman.

Si Bego ini ....

“Aish!” maki Nura nyaris membanting ponselnya.

Memangnya ini tahun 2000-an awal? Nura dapat menjamin ia sendiri tidak se-jamet itu saat pertama kali memiliki ponsel. Maksudnya, please, Dego? Bagaimana bisa nama seorang Nura justru tercemar dengan cara konyol seperti ini?

“Pfffttt, nggak papa, Ori.” Lihat saja, saking memalukannya, orang sekalem Mahda sampai tak kuasa membendung tawa. “Aku juga pernah begitu, kok ….”

Nura mengigit bibir bawahnya, masih mengendalikan gejolak batin dalam dada.

“... meski nggak separah itu, sih, hihihi.”

Satu pukulan ringan Nura daratkan di lengan Mahda. Alih-alih protes, Mahda malah semakin tergelak hingga Nura bersungut-sunggut tidak terima. Atmosfer hangat itu menyebar luas, menggulirkan gersang sengat mentari menjadi lebih bersahabat.

“Mahda, kamu bisa ikut Bapak sebentar?”

Belum lima menit mereka masuk Lab. Bahasa, salah seorang guru sekaligus wali kelas XI SOSIAL 1 mengetuk ruangan. Suaranya rendah namun tetap ramah, senyum formalitas dilayangkan untuk guru pengampu Bahasa Inggris sebelum pamit bersama Mahda. Entah Nura terlalu sensitif atau semacamnya, tetapi seperti ada kehati-hatian dalam intonasi sang guru saat memanggil Mahda barusan.

Lab. Bahasa disetel dengan sekat-sekat layaknya ruang komputer. Deretan headphone dan mikrofon menggantung rapi di tiap meja. Serupa urutan duduk di kelas, Nura mengambil tempat persis di belakang Mahda sementara Fikar di sampingnya.

“Sejak kapan lu akrab sama si Mahda?” tanya cowok itu sembari merapatkan kursi pada Nura.

Sekadar mengangkat bahu, Nura lanjut menuruti arahan guru untuk menyalakan monitor. Ruang kedap suara tersebut semakin hening usai satu per satu anak mulai menutupi telinga dengan headphone, larut dalam suara-suara latihan yang hanya bisa didengar oleh mereka sendiri. Tiada lagi perbincangan, buku catatan mulai dibubuhi tulisan bersama wajah-wajah serius para siswa.

Masing-masing memusatkan seluruh konsentrasi pada indra pendengaran, harap-harap minim kesalahan atas apa pun yang mereka simak.

Lalu–BRUK!

Bunyi keras terdengar dari ujung ruangan. Bukan jatuh, lebih seperti benda sengaja dibanting secara beringas. Semua kepala kontan menoleh, beberapa mengelus dada seolah jantungnya jatuh mengikuti suara tadi, sebagian lagi refleks mencabut headphone, sedangkan sisanya terlonjak kecil dari kursi.

Ketegangan mengoyak sepi, terutama bagi Nura, yang kini membelalak tak percaya. Perih menjalar ke telinga setelah Dego, sekonyong-konyong datang dan melepas paksa headphone dari kepalanya, lalu mengakibatkan ujung kabel membeset pipi di bawah mata kiri perempuan itu.

“Nona Penulis!” Nada bicara Dego menyimpan jutaan murka, lalu meluap bersama cengkeraman pada kedua pundak Nura. “Rumah Mahda kebakaran!”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Sell... itu masmu loh.. org² nginjak harga dirinya.. kamu yg keluarga pun sama aja.. memperparah rasa sakitnya.. bukannya saling mendukung dan menguatkan malah kya gitu..

    Comment on chapter Chapter 14 - Memindahkan sakitnya
  • serelan

    Si Cantika mulutnya harus d sekolahin. Bener² gak ada akhlak tu org. Hidupnya aja belum tentu bener sok²an ngurusin hidup org lain.. Pikirin baik² ya Sell apa yg dibilangin mas mu. Jangan ngeyel terus akhirnya nyesel..

    Comment on chapter Chapter 13 - Teman bicara
  • serelan

    Ngenes banget sih Nuuu...
    Lagi sakit aja berobatnya sendiri gak ada anggota keluarga yang bisa d andalkan... La, baik² ya ama Nunu. Di tempat kerja cuma kamu yg bisa dia andalkan, yg bisa jagain dia dari semua makhluk laknat yg ada d sana..

    Comment on chapter Chapter 12 - Serius
  • serelan

    Wisnu berusaha keras buat jaga adiknya, gak mau sesuatu yang buruk terjadi. Tapi semua yang dilakukan Wisnu selalu disalah artikan mulu sama ibu & adiknya. Pikirannya negative mulu sama Wisnu. Padahal yg keluarganya kan Wisnu ya? Tapi lebih percaya org yang baru dikenal yg belum tau sifatnya seperti apa²nya..

    Comment on chapter Chapter 11 - Kebaikan atau sogokan? Kebaikan atau kesepakatan?
  • serelan

    Kesel banget sama ibunya..
    Anakmu lagi sakit loh itu.. malah dikatain pemalas.. gak ada peka²nya sama sekali kah sama kondisi anak sendiri? Apa jangan² Nu Wisnu anak pungut😭 parah banget soalnya sikapnya ke Wisnu. Tidak mencerminkan sikap seorang ibu terhadap anaknya..

    Comment on chapter Chapter 10 - Takut
  • alin

    Singkirin aja itu ibu dan icel, makin lama makin nyebelin. Kesel sama ibunya dan Selly disini. Kasian Wisnu. Yang kuat ya, Kak Nu🥺 hug Wisnu🥺🫂

    Comment on chapter Chapter 10 - Takut
  • nazladinaditya

    lo udah sesakit itu aja masih kepikiran nyokap dan adek lo yaa, nu. anak baik :((

    Comment on chapter Chapter 9 - Gelap dan hening lebih lama
  • serelan

    Wisnu nya udh kya gitu awas aja tu kluarganya klo masih gak ada yg peduli juga, keterlaluan banget sih..

    Comment on chapter Chapter 9 - Gelap dan hening lebih lama
  • serelan

    Nu, kamu tuh hebat banget asli. Saat berada dalam kondisi terburuk pun masih sempat aja mikirin tanggung jawab, mikirin ibu & adik mu. Tapi, orang² yg kamu pikirin, yang berusaha kamu jaga bahkan gak pernah mikirin kamu sama sekali. Minimal nanya gitu kondisi kamu aja nggak. Yang mereka peduliin cuma uang aja. Apalagi si Selly noh sampe bohongin ibu, nyuri uang ibu, mana di pake buat sesuatu yg gak baik pula. Mana katanya ntar klo udh ada uang lagi bakal di pake beliin yg lebih bagus lebih mahal. Mau nyari uang dimana dia? Nyuri lagi?

    Comment on chapter Chapter 9 - Gelap dan hening lebih lama
  • nazladinaditya

    wisnuuu:( u deserve a better world, really. lo sabar banget aslian. hug wisnuu🤍🥺

    Comment on chapter Chapter 8 - Lebih dari hancur
Similar Tags
My Reason
750      500     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."
PALETTE
555      307     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
Unexpectedly Survived
349      296     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
DariLyanka
3128      1094     26     
Romance
"Aku memulai kisah ini denganmu,karena ingin kamu memberi warna pada duniaku,selain Hitam dan Putih yang ku tau,tapi kamu malah memberi ku Abu-abu" -Lyanka "Semua itu berawal dari ketidak jelasan, hidup mu terlalu berharga untuk ku sakiti,maka dari itu aku tak bisa memutuskan untuk memberimu warna Pink atau Biru seperti kesukaanmu" - Daril
Telat Peka
1395      654     3     
Humor
"Mungkin butuh gue pergi dulu, baru lo bisa PEKA!" . . . * * * . Bukan salahnya mencintai seseorang yang terlambat menerima kode dan berakhir dengan pukulan bertubi pada tulang kering orang tersebut. . Ada cara menyayangi yang sederhana . Namun, ada juga cara menyakiti yang amat lebih sederhana . Bagi Kara, Azkar adalah Buminya. Seseorang yang ingin dia jaga dan berikan keha...
Dont Expect Me
552      418     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.
Merayakan Apa Adanya
1148      849     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
6817      2217     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
FAYENA (Menentukan Takdir)
1331      826     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Cinta Tiga Masa
1031      477     0     
Romance
Aku mencurahkan segalanya untuk dirimu. Mengejarmu sampai aku tidak peduli tentang diriku. Akan tetapi, perjuangan sepuluh tahunku tetap kalah dengan yang baru. Sepuluh tahunku telah habis untukmu. Bahkan tidak ada sisa-sisa rasa kebankitan yang kupunya. Aku telah melewati tiga masa untuk menunggumu. Terima kasih atas waktunya.