Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan Takdirku
MENU
About Us  

Sudah dua bulan berlalu sejak malam itu.

Aku, Rizal, dan Rafa akhirnya kembali ke Kalimantan untuk libur Idulfitri. Kali ini, kami pulang bukan sebagai anak-anak yang kabur dari realita, tapi sebagai orang-orang yang baru saja bertarung dengan kenyataan—dan menang, meski dengan luka-luka kecil di hati.

Bandara sore itu terasa lebih hangat dari biasanya.

Keluarga besar kami datang menjemput. Mamak dan Bapak sudah berdiri paling depan, sambil melambaikan tangan. Tante Dyah – Mamanya Rafa datang membawa kue khas lebaran dalam kotak plastik kecil – dua hari lagi lebaran. Bahkan Tante Tata – Mamanya Rizal – yang biasanya sulit ditemui karena tinggal di kota seberang, ikut datang hari ini.

Ini baru kali kedua kami semua benar-benar berkumpul. Bukan hanya aku, Rizal, dan Rafa... tapi juga orang tua kami. Lengkap. Seperti dulu, saat mereka mengantar kami berangkat kuliah—dengan mata berkaca-kaca dan doa yang panjang.

“Kita makan-makan di sini dulu yuk, Mak Yudhis, Mak Rafa,” seru Tante Tata sambil menunjukkan layar HP-nya pada Mamak dan Tante Dyah.

Memang, di sini sudah jadi kebiasaan: ibu-ibu dipanggil dengan Mak ditambah nama anak pertamanya. Dan kebetulan, kami bertiga adalah anak tunggal. Jadi panggilan itu terasa benar-benar personal. Akrab. Hangat.

“Makan di rumah aja,” sambung Mamak, diikuti anggukan setuju dari yang lain.

Kami semua akhirnya duduk bareng di meja makan. Kami akan makan malam bersama.

Meja makan di rumahku sebenarnya cuma muat enam orang, tapi sekarang jadi tujuh. Rizal yang paling terakhir duduk, karena harus ambil kursi plastik dari teras. Kursinya pendek, jadi pas dia duduk, dagunya nyaris sejajar sama pinggiran meja.

“Aku kayak anak SD yang disuruh makan bareng orang dewasa,” gerutunya.

Aku ketawa, “Emang mentalnya juga masih SD, Zal.”

“Udah-udah,” kata Mamakku sambil menuang opor ke piring Rafa. “Yang penting semuanya kumpul. Kapan lagi bisa kayak gini.”

Tante Dyah, mamaknya Rafa, duduk di sebelah Mamak. Di seberangnya duduk Tante Tata, mamaknya Rizal. Bapak duduk di ujung meja, dan tentu saja dia mulai dengan jokes khasnya yang selalu bikin aku pengin pura-pura jadi anak tetangga.

“Zal, kamu udah tinggi ya sekarang. Terakhir ke sini pendek, sekarang makin pendek.”

“Pak…” aku langsung nuduh. “Itu bukan jokes, itu ejekan.”

“Lho, iya dong. Anak-anak sekarang tuh harus kuat mental, apalagi buat ngadepin masa depan.” Bapak tertawa sendiri, seperti biasa.

Rafa mencolekku pelan, “Kok kayaknya kita bisa bikin podcast lucu dari keluarga ini ya.”

Sementara itu, Rizal sudah mulai mengaduk sambel mangga yang kata Tante Tata "tidak pedas". Dua sendok kemudian, dia langsung mengangkat tangan.

“Ampun Mak... ini sambel buat manusia?”

“Kenapa? Pedas ya?” tanya mamaknya santai.

“Ini lebih cocok buat ritual ngusir jin!” Rizal megap-megap minum air.

Semua ketawa. “Makanya jangan sombong. Tadi katanya ‘nggak pedes-pedes amat’” kata Mamak

Rafa nyengir, “Nah tuh, kena batunya.”

“Eh kamu jangan senyum-senyum! Kamu juga tadi hampir batuk pas nyobain,” balasku.

Tante Dyah malah ikut menambahkan, “Udah, itu tandanya kalian perlu diajarin masak. Biar tahu rasanya ngulek sambel pakai tangan sendiri.”

“Setuju,” sahut Mamak. “Nanti abis ini kalian ikut ke dapur ya. Rizal bagian nyuci piring, Rafa bagian motong bawang, Yudhis bagian ngulek sambel.”

Aku langsung protes, “Mak, itu kerja rodi namanya.”

Bapak tiba-tiba nyeletuk, “Santai aja. Anggap aja latihan jadi suami idaman.”

Mendadak... suasana jadi sunyi.

Rizal menunduk. Rafa juga. Aku… ya... aku cuma bisa nyuap nasi pelan-pelan.

Tapi kemudian, Tante Tata nyeletuk, “Kalau soal jadi suami idaman, Yudhis tinggal nunggu siapa yang kuat ngadepin dia.”

“Mak! Jangan ikut-ikutan!” Aku langsung menutup wajah pakai tangan. Semua ketawa lagi.

“Kalian ini hampir satu tahun lho di Jawa, piye? Wes iso bohoso Jowo?” ucap Tante Tata berusaha medok, padahal logatnya sangat kalimantan.

“Uwes dong Tan, apalagi Rijal, kasih tunjuk Jal,” aku menoleh ke arah Rizal.

“Asu!”

Ucapnya singkat, yang sukses membuat semuanya kembali ngakak, bahkan Mamak dan Tante Dyah sampai menepuk pahanya.

“Yang kamu tahu malah yang kotor-kotornya, Jal, Jal.” Omel Tante Tata, masih sambil tertawa.

Suasana makan malam itu… rame, hangat, dan penuh tawa. Untuk pertama kalinya, rumah ini terasa benar-benar hidup, lebih hidup dibandingkan hanya bersama Rafa dan Rizal.

Dan buat pertama kalinya juga… aku merasa lengkap. Walaupun gak semuanya punya Bapak, tapi saat ini, gak ada yang kurang.

Kami punya satu sama lain. Dan itu cukup.

Setelah makan malam usai, kami masih sempat duduk di ruang tengah, ngobrol ringan. Mulai dari cerita mudik yang macet, tetangga lama yang makin tua, sampai gosip lucu soal anak-anak SMA yang sekarang udah pada kuliah juga.

Lalu satu per satu pamit.

Rizal dan Rafa pulang bersama ibu mereka masing-masing. Pelukannya lama. Tawa mereka masih terdengar bahkan saat sudah berdiri di depan pintu. Saling lempar candaan, saling ucap janji untuk ketemu lagi esok harinya.

Setelah rumah kembali sepi, aku, Mamak, dan Bapak masuk kamar masing-masing.

Kami pun tidur lebih cepat malam itu.

Karena besok masih harus bangun sahur—hari terakhir puasa.

Dan entah kenapa… aku merasa sedikit sedih waktu memejamkan mata.
Bukan karena Ramadhan akan berakhir.

Tapi karena momen seperti tadi—langka dan mungkin tak selalu bisa terulang.

Malam itu, aku sulit tidur.

Padahal perut kenyang, badan capek, dan udara Kalimantan yang sejuk seharusnya jadi kombinasi sempurna untuk terlelap. Tapi entah kenapa… mataku tetap terbuka. Lurus menatap langit-langit kamar yang dulu begitu akrab. Kamar ini nggak banyak berubah, bahkan seprei dan bantalnya pun masih punya bau yang sama. Tapi aku yang sekarang… sudah bukan anak yang dulu.

Kupikir, mungkin aku cuma butuh udara segar.

Aku bangun, berjalan pelan keluar kamar. Cahaya bulan menyelinap masuk lewat ventilasi, cukup untuk menuntunku tanpa harus menyalakan lampu. Melewati ruang tengah, lalu berhenti sebentar di dapur. Minum. Diam. Menarik napas panjang.

Saat itulah aku mendengar suara lirih.

Awalnya kukira cuma suara kipas angin yang berdecit pelan dari kamar sebelah. Tapi tidak. Suara itu… bergetar. Seperti orang sedang bicara, atau lebih tepatnya… berdoa.

Aku melangkah pelan ke lorong. Kamar Mamak sedikit terbuka. Dari celah pintu, kulihat siluetnya dalam posisi duduk bersimpuh, mukena putihnya menjuntai lembut hingga lantai. Lampu kamar memang tidak dinyalakan, hanya cahaya temaram dari luar jendela yang membuat sosoknya terlihat samar.

Aku tahu ini salah. Aku tahu aku seharusnya langsung kembali ke kamar.

Tapi aku tak bisa bergerak. Karena saat itu… aku mendengar namaku.

“Ya Allah… anakku Yudhis…”

Suara Mamak pelan. Lirih. Tapi jelas. Ucapannya tidak seperti biasanya. Tidak seperti saat dia marah atau menasihatiku dengan nada tinggi. Malam itu, Mamak bicara pada Tuhan seperti seseorang yang… lelah, tapi belum ingin berhenti berharap.

“Yudhis itu anak baik, ya Allah… tapi pikirannya kemana-mana. Apa-apa dibecandain. Sering ragu. Kalau dia salah jalan, mohon arahkan. Kalau dia susah memilih, mohon beri petunjuk…”

Aku menahan napas.

“Kalau bisa… tunjukkan lewat mimpi, ya Allah. Supaya dia ngerti. Supaya dia percaya, bahwa Engkau selalu jaga dia. Meskipun dia nggak pernah benar-benar bilang dia butuh…”

Aku menggigit bibirku. Suara Mamak makin pelan. Lalu diam. Lalu terdengar isak, nyaris tak terdengar.

Aku bersandar ke dinding lorong. Dada terasa sesak. Bukan karena sedih—tapi karena untuk pertama kalinya, aku sadar…

Selama ini aku terlalu sibuk menanyakan kenapa aku harus melihat masa depan.

Padahal jawabannya… sederhana.

Doa Mamak.

Bukan mimpi. Bukan penglihatan ajaib. Tapi jawaban dari seorang ibu yang menitipkan anaknya pada Tuhan karena tahu... anak itu terlalu keras kepala untuk mendengarkan siapa pun—kecuali tanda-tanda dari langit.

Aku gak tahu berapa lama aku berdiri di situ. Tapi malam itu… untuk pertama kalinya, aku menangis hanya karena hal seperti ini.

Bukan karena takut akan masa depan.

Tapi karena akhirnya aku mengerti… aku gak pernah benar-benar sendirian.

Dan sejak malam itu, aku gak pernah lagi berharap melihat masa depan. Karena aku tahu... cukup dengan mendengarkan ibuku bicara dengan Tuhan, aku sudah bisa melihat tujuan hidupku sendiri.

***

2038 – 12 Tahun Kemudian

“Abi!” Suara cempreng khas anak-anak membuatku menoleh begitu pintu rumah terbuka. Seorang anak perempuan berumur lima tahun berlari ke arahku dengan tangan terbuka.

“Iyaa, sayang…” Aku membungkuk, mengangkat tubuh mungilnya dan mengecup pipinya. “Umii mana, Umii?” tanyaku sambil mencium aroma keringat bercampur bedak dari lehernya.

“Lagi masak, Bi. Masak ayam kecap!” katanya semangat.

Dan benar saja. Dari dapur, sosok perempuan itu muncul dengan celemek bergambar kartun dan rambut yang diikat asal-asalan. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tersenyum saat melihatku.

“Gimana kerjanya hari ini?”

“Lumayan,” jawabku, tersenyum kembali. “Tapi lebih lumayan lihat ini,” ucapku sambil menunjuk dua perempuan yang kusebut rumah.

Sudah hampir tujuh tahun aku menikah dengan Vania – iya benar Vania, kalian gak salah dengar. Bagaimana dengan Susan? Nabil telah melamarnya lebih dulu, awalnya kukira aku tidak akan pernah menikah sepanjang hidupku, ternyata selama ini ada yang diam-diam menyematkan namaku dalam doanya, orang itu adalah Vania.

Kisahnya terlalu panjang untuk diceritakan, dan mungkin memang tidak perlu diceritakan. Aku mengambil kaset pernikahan kami dari rak, duduk di sofa, dan memasukkannya ke laptop.

“Cia mau nonton juga dong,” suara kecil di sampingku membuatku tersenyum.

“Sini, Nak.” Kugendong Cia ke pangkuan.

Tak lama, Vania datang dari dapur, melepas celemek. “Ayamnya udah mateng. Umii ikut nonton juga yaa.”

***

Ini adalah resepsi kedua kami—aku dan Vania, Rizal dan Anti, serta Rafa dan Fajar.

Sebelumnya, kami masing-masing sudah menggelar resepsi di Jawa, karena memang menikahnya di waktu yang berbeda. Tapi kali ini, kami sepakat mengadakannya bersama, di Kalimantan.

Ini jadi acara terbesar dalam hidup kami.

“Masih banyak tamunya gak, ya?” tanya Rizal sambil melirik ke kerumunan.
“Lihat aja sendiri, masih penuh,” sahut Rafa.

Kami berenam duduk di atas pelaminan yang luas, menyambut tamu-tamu yang silih berganti—kebanyakan bahkan gak kami kenal. Gedung besar ini pun terasa sempit menampung semua undangan.

“Yudhis, udah nikah aja kamu. Rasanya baru kemarin kamu disuruh nyapu koridor.”

“Eh, iya Pak Erwin! Lama gak ketemu,” aku tersenyum lebar. Sudah lama banget gak lihat tukang bersih-bersih sekolah satu ini.

“Hahaha, cantik juga ya istrimu. Semoga bahagia selalu.” Wajah Vania memerah mendengar itu.

“Iya, Pak. Terima kasih banyak sudah datang,” jawabku sambil menyalaminya.

“Eh, Rizal, Rafa satu lagi ee…”

“Yudhis pak.” Jawabku, mungkin bapak ini adalah guru mereka, wajar saja dia gak kenal aku.

“Nah iyaa, Yudhis. Selamat ya atas pernikahannya, baru kali ini saya datang di acara yang pengantinnya ada enam sekaligus,” ucapnya sambil menyalimi kami satu persatu “Capek saya, pelaminannya panjang banget, kayaknya orang tuanya gak usah terlalu banyak deh di atas, satu satu aja.” Sambungnya, kami semua tertawa sopan.

Memang benar katak bapak tersebut, terlalu banyak orang di atas pelaminan ini, tidak kurang dari lima belas orang, tapi biarlah.

Acara resepsi berjalan mulus. Lagu pengiring sudah diganti dari gamelan ke lagu pop mellow. Kami yang di pelaminan mulai kelelahan senyum, tangan pegal karena bersalaman terus, tapi suasana tetap hangat.

Tiba-tiba...

“YUD!”  seseorang teriak dari arah panggung, bahkan sang vokalis yang sedang menyanyikan lagi mellow itu berhenti seketika. Beberapa tamu terkejut, lebih banyak yang udah paham apa yang akan terjadi.

“Sini, udah siap semua ini Yud, tinggal vokalisnya.” Ucap Tyas, sambil menggenjreng gitar yang baru saja ia pinjam di panggung.

Rafli? Seperti biasa, dia nggak banyak bicara. Tapi drum udah siap di hadapannya.

BUM!

“WOI! KAMU MAU BIKIN AKU JANTUNGAN, YA?!”

HAHAHA. Udah tua, tapi kelakuan masih kayak bocah.
Nggak salah sih kalau aku yang nikah paling duluan di antara mereka.

Vania menepuk bahuku pelan sambil tersenyum, “Silakan, Pak Suami. Sudah ditunggu tuh sama teman-temannya.”

Aku nyengir, lalu berdiri. Jas pernikahanku udah mulai terasa sempit gara-gara deg-degan. Tyas ngasih isyarat cepat dari panggung, Agung lagi nyetem bass yang entah pinjam dari siapa, dan Rafli udah muter-muter stick di tangannya, kayak mau main konser beneran.

Aku naik ke panggung sambil disambut sorak-sorai tamu yang mulai sadar: ini bukan resepsi biasa. Ini reuni dadakan.

Tyas memetik gitar pelan. “Satu lagu terakhir... dari band yang hampir nggak pernah benar-benar bubar.”
Rafli langsung ngitung, “Satu, dua, tiga...!”

Dan…

DUAR!

Sound system gedung langsung bergetar. Tyas mulai dengan riff khas yang dulu sering kami bawain di panggung pensi, Agung masuk dengan gebukan bass yang bikin lantai bergetar, dan Rafli... dia udah kayak mesin. Tamu-tamu langsung berdiri. Sebagian angguk-anggukin kepala, sebagian lagi ngerekam pakai HP.

Aku pegang mic. Napas dalam.

Lalu aku teriak: “INIIIIIIII—LAGU KENANGAN KITA SEMUA!”

Seketika semua nostalgia menyerbu. Suara kami nggak sempurna. Tapi senyumnya Tyas, gebukan Rafli, dan gaya Agung yang masih suka mainin kabel bass kayak anak SMA... semuanya sempurna malam itu.

Aku sempat melirik ke bawah. Vania berdiri di dekat pelaminan, melambai kecil padaku, matanya berbinar. Di sampingnya, Rizal, Anti, Rafa, dan Fajar ikut tepuk tangan.

Malam itu...aku merasa kami semua akhirnya sampai.

Apakah kalian bertanya-tanya, bagaimana akhirnya konflik di antara kami bisa selesai?
Jawabannya sederhana saja: kami tumbuh. Kami belajar untuk menjadi cukup dewasa agar bisa memahami masalah yang dulu terasa begitu besar.

Mereka... tidak pernah menuntut penjelasan dariku.
Dan pada akhirnya, mereka sendiri yang menyadari: keputusan kami untuk membubarkan band saat itu adalah keputusan yang tepat.

Bukan karena kami menyerah. Tapi karena kami tahu kapan harus berhenti, dan bagaimana caranya memulai kembali – dengan cara yang lebih sehat, lebih utuh.

***

“HAHAHA, ini dulu Abi-mu lucu banget, dia tampil di acara pernikahannya sendiri,” ucap Vania sambil menunjuk layar laptop.

“Abi dulu ganteng ya.” Celetuk Cia polos, masih duduk di pangkuanku.

“Heh! Emang sekarang nggak?” aku pura-pura cemberut, sementara Vania tertawa puas.

“Hahaha, enggak kok, Abi tetap ganteng... cuma kantung matanya aja agak lebih hitam,” jawab Cia, menahan tawa.

Aku melirik Vania, terkekeh pelan. Gak kusangka anak ini memperhatikan hal sekecil itu. Menjadi seorang arsitek sekaligus penulis memang membuatku sering begadang.

Vania mengelus rambut Cia yang halus. “Itu biar Abi bisa dapat uang buat kita makan, buat Cia sekolah nantinya,” jelasnya lembut.

DING DONG! Bel rumah berbunyi. Vania segera mengenakan hijabnya dan menuju pintu.

“Assalamualaikum...” Ternyata Rafa dan Fajar. Kami memang sudah janjian untuk makan malam bareng malam ini, makanya Vania masak agak banyak.

“CIAAA!”

“FIRAAA!”

Kedua anak perempuan itu langsung berpelukan, seperti sudah lama gak ketemu—padahal baru minggu lalu mereka main bareng.

“Silakan masuk, makanannya udah siap nih,” Vania menyambut sambil tersenyum. Aku segera ke dapur, menyiapkan piring-piring.

“Makin mulus aja kulitmu, Van,” celetuk Rafa sambil duduk.

“Hahaha, iya nih, kayaknya skincare-nya udah cocok,” jawab Vania sambil nyengir.

“Jar, sini duduk! Jangan bengong di tengah-tengah obrolan emak-emak,” seruku ke Fajar yang tampak terjebak.

DING DONG!

“CIAAA!”

“ELLENAAA!”

Anak perempuan lain datang. Itu anaknya Rizal. Lengkap sudah trio bocah kecil itu—berpelukan dengan gaya drama sinetron.

“Assalamualaikum, Bang!”

“Waalaikumsalam, Jal. Ti, masuk... ayok!” sambut Vania hangat.

Sekarang kami semua sudah berkumpul di meja makan. Aroma ayam lada hitam memenuhi ruangan, suara tawa anak-anak, obrolan hangat orang tua, dan tumpukan piring yang akan segera kosong—malam itu terasa penuh.

“Bunda, aku mau paha ayam dua!”

“Lho, Fira, baru juga ambil satu. Itu piringmu udah kayak perahu,” celetuk Elena sambil ngakak.

“Perahu tuh kamu, El. Itu sausnya tumpah semua, kayak banjir bandang,” balas Cia, si paling komentator.

Meja makan kami malam itu ramai bukan main. Tiga anak perempuan—Cia, Elena, dan Fira—sibuk beradu argumen sambil tetap makan dengan lahap. Di ujung meja, Vania terus menyendok nasi ke piring anak-anak yang tak kunjung penuh.

Rafa tertawa kecil, “Nih ya, setiap kita kumpul, yang heboh bukan kita, tapi bocah-bocah itu.”

“Dan mereka semua perempuan. Bisa dibikin girlband kayaknya,” timpal Fajar sambil nyeruput es teh.

Aku menoleh ke Rizal, yang duduk di samping Anti. “Gimana proyek tol kemarin, Jal?”

Rizal mengangguk puas. “Beres. Minggu depan kontrak baru jalan lagi. Alhamdulillah lah, udah mulai bisa milih-milih proyek.”

Anti langsung menimpali, “Dan bisa lebih sering pulang. Gak nginep-nginep terus di lapangan. Ellena sampai nempelin fotonya di pintu kulkas saking kangennya.”

“Yaelah, Ti…” Rizal menggaruk kepalanya, malu-malu.

Elena pun nyeletuk, “Itu supaya Ayah inget pulang!”

Tawa kami meledak.

Rafa menepuk bahu Fajar. “Kalau kamu, Jar? Orderan hampers-nya gimana?”

“Naik terus. Apalagi kemarin sempet di-review food vlogger, langsung deh, meledak,” jawabnya santai.

“Wuih, kelas!” aku mengacungkan jempol.

“Gak kayak kamu, Yudhis. Sastrawan arsitek. Kapan tidur?” ledek Rafa.
Aku cengengesan. “Tidur itu nomor dua. Deadline nomor satu.”

Cia tiba-tiba berdiri di kursinya. “Umii, boleh gak abii kerja di rumah aja kayak tante Rafa?”

“Lhooo, anak ini,” Vania mengangkat alis. “Abii tuh emang hebat. Di kantor bikin gedung, di rumah nulis buku. Double combo!”

Cia pun berpose seperti superhero, “Abi, the writer-chitect!”

Gelak tawa kembali pecah.

“Nanti kalo Abi sakit, aku antar ke tempat tante Rafa ya, Abi gak pernah kan. Enak lhoo, kemaren Cia sakit malah dikasih permen, padahal kalo sama umi dilarang.” Curhat Cia, meja makan sekali lagi dipenuhi tawa.

Anti lalu menyodorkan puding mangga buat semua. “Ayo dimakan, ini buatan aku. Sekali-sekali ganti Vania lah.”

“Aku ngaku deh. Enak banget, Ti,” kata Vania sambil menambah sesendok.

Kami makan, ngobrol, dan tertawa, sampai tak terasa malam makin larut. Tapi siapa peduli? Di malam seperti ini, hangatnya rumah bukan cuma dari makanan, tapi dari kebersamaan yang terus tumbuh—meski hidup masing-masing dari kami sudah berlari ke arah yang berbeda.

Tapi malam itu, kami duduk bersama. Dan rasanya, hidup baik-baik saja.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kasih yang Tak Sampai
658      442     0     
Short Story
Terkadang cinta itu tak harus memiliki. Karena cinta sejati adalah ketika kita melihat orang kita cintai bahagia. Walaupun dia bahagia bukan bersama kita.
Puisi, Untuk...
20207      3290     10     
Romance
Ini untuk siapa saja yang merasakan hal serupa. Merasakan hal yang tidak bisa diucapkan hanya bisa ditulis.
Halo Benalu
1093      492     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Mendadak Halal
8240      2248     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Cinta Semi
2492      1025     2     
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...
Deep End
46      43     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Strange and Beautiful
4802      1311     4     
Romance
Orang bilang bahwa masa-masa berat penikahan ada di usia 0-5 tahun, tapi Anin menolak mentah-mentah pernyataan itu. “Bukannya pengantin baru identik dengan hal-hal yang berbau manis?” pikirnya. Tapi Anin harus puas menelan perkataannya sendiri. Di usia pernikahannya dengan Hamas yang baru berumur sebulan, Anin sudah dibuat menyesal bukan main karena telah menerima pinangan Hamas. Di...
Tower Arcana
791      584     1     
Short Story
Aku melihat arum meninggalkan Rehan. Rupanya pasiennya bertambah satu dari kelas sebelah. Pikiranku tergelitik melihat adegan itu. Entahlah, heran saja pada semua yang percaya pada ramalan-ramalan Rehan. Katanya sih emang terbukti benar, tapi bisa saja itu hanya kebetulan, kan?! Apalagi saat mereka mulai menjulukinya ‘paul’. Rasanya ingin tertawa membayangkan Rehan dengan delapan tentakel yan...
Titisan Iblis
287      230     0     
Romance
Jika suatu saat aku mati, aku hanya ingin bersamamu, Ali .... Jangan pernah pergi meninggalkanku..... "Layla "
Cinta dibalik Kebohongan
808      555     2     
Short Story
Ketika waktu itu akan datang, saat itu kita akan tau bahwa perpisahan terjadi karena adanya sebuah pertemuan. Masa lalu bagian dari kita ,awal dari sebuah kisah, awal sebuah impian. Kisahku dan dirinya dimulai karena takdir ataukah kebohongan? Semua bermula di hari itu.