Sesampainya di kosnya Rafa. aku menceritakan kejadian tersebut – tentang aku terjebak. Mereka tertawa terbahak-bahak.
“JOROK BANGET IH, YUDHIS, JANGAN DEKAT-DEKAT AKU AH. HAHAHAH” Rafa langsung mundur sambil menutup hidung pura-pura jijik.
Rizal sampai memukul-mukul lantai saking ngakaknya. “Astaga, ini harus kuceritain ke anak-anakku sih nanti bang.”
“Sialan Jal, jadi tadi aku, ngangkang sambil pake celana biar tainya gak kemana-mana terus aku pergi ke bilik sebelah, mumpung lagi gak ada orang, baru deh aku cebok, abistu kusiram.”
“HAAHAHAHA! ASTAGA, KEBAYANG BANGET!” Rafa sampai nyender ke tembok, nyekikikan nggak berhenti.
“HEH! Gausah dibayangin, kocak,” ucapku setengah tertawa. “Eh, Rap, aku mau nanya dong.”
Rafa masih ngakak, butuh beberapa detik buat tenang. “Hahaha… eh iya, gimana, Yud? Mau nanya apa?”
Aku menatapnya serius. “Tentang Fajar.”
Rafa langsung terdiam. Ekspresinya berubah.
“Lho! Kok kamu tau, Yud?”
Rizal yang dari tadi cuma jadi pendengar, langsung mengerutkan kening. Jelas dia nggak ngerti apa-apa.
“Eh, ada deh… jadi gimana, Rap?” tanyaku, mencoba menggali lebih jauh.
Rafa menghela napas. “Hmm, aku memang mau ceritain ini ke kalian sih.”
Tiba-tiba, Rizal mengangkat tangan. “WEH, WEH! APAAN NIH?! MEMANG CUMA AKU YANG GAK TAU APA-APA YA?!”
Cerita Rafa persis seperti yang kudengar di WC, tidak ada penambahan ataupun pengurangan. Namun masih ada satu yang menjanggal pikiranku.
“Jadi kamu mau nunggu dia, ya?” tanyaku santai. Sebenarnya ini sama seperti aku nanya ‘kamu juga suka sama dia?’
“Insyaallah Yud, kalo memang dia pantas, kalian bedua kan yang ngerti cowo tuh gimana.”
Aku dan Rizal saling tatap kemudian mengangguk pelan “Yaudah, nanti mereka harus ketemu kita dulu sebelum keluargamu Rap.”
Rafa mengangguk. Aku menghargai keputusannya, jika dia memang menyukai pria itu.
Tapi… bagaimana denganku? Aku sudah dua kali mengalami mimpi itu—dan dalam keduanya, aku tetap belum menikah. Sementara itu, Rizal? Dia bahkan sudah punya dua anak!
EH! Berarti Rizal udah ketemu sama Anti—istrinya!
Tanpa sadar, aku menoleh ke Rizal. “Kamu gimana, Jal? Sama Anti?” tanyaku tiba-tiba.
Yang ditanya langsung melongo, seperti habis ketabrak motor. “Astagfirullah! KAMU TAU DARI MANA, BANG?!”
Rafa tertawa sambil menepuk punggung Rizal. “Cieee, Rijal udah dewasa nih, ya.”
Rizal mendengus, melipat tangan di dada. “Berisik. Kita tuh baru semester dua, aku belum mau mikir macem-macem.”
Aku dan Rafa mengangguk sepakat dengan perkataan Rizal.
***
Sore itu, aku kembali ke kafe tempat biasanya mengerjakan tugas bareng Aldy dan Dimas. Mereka sudah terlihat sibuk sejak tadi.
“Dari mana aja, Yud?” tanya Dimas begitu melihatku masuk.
“Urusan,” jawabku singkat. Mood-ku sudah terlanjur jelek gara-gara deadline tugas yang makin mepet.
Aku menjatuhkan diri di kursi dan mulai mengeluarkan kertas-kertas tugas yang sejak pagi belum kusentuh sama sekali.
“Eh, Yud, malam ini kita ada rapat IMM, lho,” kata Dimas sambil tetap fokus ke kertasnya.
Aku mendesah. “Ya, mending fokus nugas dulu, Dim.”
Aku dan Dimas memang ikut dalam salah satu organisasi kampus, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Bukan tanpa alasan aku bergabung di sana. Aku ingin memastikan Rizal tidak terpengaruh oleh lingkungan yang salah. Jika ingatanku benar, ini adalah tahun di mana dia mulai terjerumus. Karena itu, aku mengajaknya ikut organisasi ini—setidaknya, aku berharap IMM bisa memberikan pengaruh baik untuknya.
Dan karena IMM lingkupnya adalah Fakultas, maka aku dan Rizal bisa berada di organisasi yang sama, selain IMM Rizal juga ikut HMTS (Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil), padahal baru semester awal anak itu sudah sangat sibuk. Oh iya! Anti – yang akan menjadi istri Rizal nantinya juga merupakan salah satu anggota IMM.
Sore itu, aku kembali ke kafe tempat biasanya mengerjakan tugas bareng Aldy dan Dimas. Mereka sudah sibuk sejak tadi, tenggelam dalam laptop dan buku catatan.
“Dari mana aja, Yud?” tanya Dimas begitu melihatku duduk.
“Urusan,” jawabku singkat. Mood-ku sudah jelek dari tadi gara-gara deadline tugas yang makin mepet. Aku mengeluarkan beberapa kertas yang sejak pagi belum kusentuh sama sekali.
Dimas menutup bukunya lalu menatapku dengan tatapan penuh rencana. “Eh, Yud, kamu nggak kepikiran deketin Susan? Kayaknya cocok, lho, sama kamu.”
Aku mengernyit. “Susan? Siapa?”
Aldy terkekeh. “Gila, parah banget. Masa kamu nggak tau Susan?”
Dimas langsung menjelaskan dengan ekspresi heboh. “Bendahara sejuta umat itu lho! Bendahara panitia, bendahara angkatan, bendahara organisasi. Pokoknya, kalau ada uang yang harus diatur, dia yang megang!”
Aku terdiam beberapa detik, lalu akhirnya sadar. “Ohh… yang itu!”
Susan. Aku ingat sekarang. Cocok sama aku? HAHAHAHAHA.
Dia itu uswatun hasanah, lho. Kalau kalian tanya siapa mahasiswa paling rajin di kampus ini, jawabannya bukan Rizal, tapi Susan. Setiap rapat, acara, atau pertemuan, dia selalu datang paling awal. Aku bahkan belum pernah lihat dia terlambat barang satu menit pun.
Bukan cuma itu, dia juga mahasiswa jenius. IP 4.00 di semester satu? Bukan hal yang mengejutkan buatnya. Dan soal uang? Jangan tanya. Aku pernah iseng nanya ke dia soal cara mengatur keuangan, dan jujur, aku nggak terlalu paham penjelasannya. Tapi yang jelas, dia punya tiga rekening terpisah—satu untuk bertahan hidup, satu untuk organisasi, dan satu lagi buat tabungan naik haji, umroh, dan… nikah.
Nikah!!!. Aku bahkan belum bisa nabung buat ganti charger HP kalau putus.
Lalu Dimas bilang aku cocok sama dia?
“HAHAHAHA! kalau aku sama Susan, yang ada aku cuma jadi aib di hidupnya!”
Dimas dan Aldy langsung ngakak, sementara aku cuma bisa menggeleng pelan. Walaupun sebenarnya mendengar pernyataan itu niatku untuk mendekatinya mulai tumbuh, kurasa ia adalah pengganti Rafa yang sempurna.
***
Seluruh panitia sudah berkumpul di ruang kelas untuk membahas persiapan acara yang akan dilaksanakan beberapa pekan lagi. Rapat ini sederhana—tanpa meja dan kursi, hanya tikar yang menjadi alas.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Itu suara Susan, yang bertugas sebagai MC kali ini. Aku sebenarnya sudah mengenalnya cukup lama, tapi entah kenapa baru sekarang benar-benar memperhatikannya.
Ternyata dia semanis itu.
Tingginya mungkin sekitar 155 cm, kulitnya putih, dan matanya... indah. Tapi yang paling mencuri perhatianku adalah cara ia mengenakan hijab pashmina—hampir mirip dengan Rafa, hanya saja terlihat sedikit lebih rumit. Dan suaranya?
Imut banget.
Sumpah, kalau suara bisa dijual di marketplace, aku pasti masukin ke wishlist.
“Acara selanjutnya adalah kultum yang akan disampaikan oleh Immawan Nabil Saputra. Kepada Immawan Nabil, dipersilakan.”
Susan duduk kembali, sementara Nabil, ketua angkatan kami, bangkit dan mulai berbicara.
“Baik, terima kasih, Susan, atas kesempatannya. Bismillah. Assalamualaikum...”
Nabil ini anomali. Aku gak terlalu akrab dengannya, bukan karena dia sombong atau gimana, tapi... ya gimana ya. Kami nggak akan pernah cocok.
Curang banget! Kok ada sih orang sejago dia?
Bukan cuma pintar dan jago public speaking, tapi dia juga punya kemampuan bikin orang ketawa dengan mudah. Rasanya nggak adil, kan? Satu orang pegang terlalu banyak kelebihan.
Aku cuma bisa menghela napas, sementara Nabil terus berbicara dengan gaya yang bikin semua orang betah mendengarkan.
TUUTT!
Suara itu nyaring banget. Satu ruangan langsung hening, semua kepala menoleh ke sumber suara di sudut belakang ruangan.
Rizal.
HAHAAHAHAHAHAH!
“HAHAHAHAHA! BAU BANGET, JAL!” Beberapa orang di sekitarnya pura-pura panik, menutup hidung dengan ekspresi menderita.
Rizal menunduk, wajahnya merah padam. Dia pasti malu tingkat dewa sekarang. “Maap, guys… Kukira tadi bom asap, ternyata granat,” katanya pasrah.
Dan itu… sukses bikin seisi ruangan meledak dalam tawa. Lupakan kultum Nabil, kentut Rizal jauh lebih menarik perhatian.
Aku juga ngakak, sampai nggak sengaja menangkap pandangan Susan. Dia juga sedang melihat ke arahku, ikut tertawa lepas.
Itu dia.
Momen yang bikin aku sadar… Aku harus mendekatinya.
Suasana rapat kembali tenang setelah insiden kentut Rizal yang legendaris. Kultum pun akhirnya selesai, dan sekarang sesi pembahasan acara kembali dilanjutkan.
Tiga jam berlalu, diskusi berjalan lancar. Sesekali Rizal bikin semua orang ngakak dengan ide-idenya yang nggak masuk akal.
“Kami dari tim sponsor sudah mencoba kemana-mana, tapi sejauh ini hanya segini yang mau mendanai acara,” kata salah satu anggota panitia dengan wajah serius.
Tanpa aba-aba, Rizal mengangkat tangan. “Coba ke pabrik ganja aja, gimana?”
Seketika, ruangan hening.
Semua orang menoleh ke Rizal dengan tatapan antara syok dan ingin menonjok.
“Rizal...” Nabil menatapnya dalam diam, seperti sedang mempertimbangkan apakah dia harus lanjut hidup atau tidak setelah mendengar itu.
Aku yang sedari tadi nahan tawa akhirnya nggak kuat. “HAHAHAHA, PINTER, JAL!”
Rizal mengangkat bahu santai. “Lah, siapa tahu mereka butuh acara buat CSR?”
Suasana yang awalnya serius langsung pecah. Tawa meledak di mana-mana. Beberapa panitia sampai menepuk-nepuk paha saking ngakaknya.
Susan, yang duduk di seberangku, menggeleng sambil tersenyum. “Tolong ya, usulan yang realistis aja.”
Rizal mengangguk penuh percaya diri. “Oke. Kalo gitu coba ke pabrik cuka, biar acara kita makin asem-asem sedap.”
Sekali lagi, tawa pecah. Dimas sampai menjitak kepalanya sendiri, sementara Nabil sudah pasrah dengan takdir.
Dan di tengah kekacauan itu, aku melirik ke arah Susan. Dia lagi ketawa ngakak juga ternyata namun ia berusaha menutup mulutnya dengan tangan.
Yup. Aku makin yakin. Aku harus mendekatinya.
Tawa di ruangan akhirnya mulai mereda, meskipun beberapa orang masih terkikik kecil setiap melihat Rizal. Ketua panitia, Nabil, menghela napas panjang, seolah-olah berusaha mengembalikan fokus semua orang.
“Oke, kita lanjut, ya,” katanya. “Sekarang giliran sie acara. Yudhis, gimana progresnya?”
Aku, yang masih dalam mode ketawa, langsung menegakkan punggung. “Eh, iya. Jadi gini, untuk rundown acara udah hampir fix, tinggal beberapa bagian yang perlu dikonfirmasi. Terus, koordinasi sama pembicara juga udah jalan, tinggal teknis di hari H aja.”
Nabil mengangguk. “Bagus. Terus perlengkapannya gimana?”
Aku nyaris buka mulut, tapi Rizal lebih dulu bersuara. “Tenang, bro. Kursi, meja, panggung, dan sound system udah deal semua.”
“Good.” Nabil terlihat puas. “Kalau gitu, kita wrap up aja, ya. Ada tambahan lain?”
Susan, yang dari tadi sibuk mencatat, tiba-tiba mengangkat tangan. “Aku mau cross-check perlengkapan acara dulu. Yudhis, bisa sebentar?”
Aku terdiam. Susan manggil aku? Wow, ini pertama kalinya dia ngajak aku ngobrol langsung sejak tadi.
“Oh, iya. Bisa, bisa,” jawabku buru-buru.
Setelah rapat resmi ditutup dan semua orang mulai berkemas, aku berjalan ke arah Susan yang masih sibuk dengan catatannya.
"”adi gini, aku mau pastiin beberapa barang yang bakal dipakai di hari H,”katanya sambil menatapku dengan ekspresi serius. “Kamu udah cek ulang sama vendor, kan?”
Aku menggaruk kepala. “Eh... Udah... kayaknya?”
Susan menatapku tanpa ekspresi. “Kayaknya?”
Rizal, yang masih di dekat kami, nyengir. “Nah, itu kata-kata paling berbahaya dari seorang co acara, Sus. 'Kayaknya'.”
Aku melirik Rizal tajam. “Jal, sekali lagi ngomong, ku hajar kulkas kamu nanti.”
Susan tetap dengan ekspresinya yang super profesional. “Yudhis, aku perlu kepastian. Kita butuh daftar final barang yang udah dipastikan ada, jangan sampai nanti pas acara ada yang kurang.”
Aku menghela napas. “Oke, besok aku bakal konfirmasi ulang semuanya. Aku update kamu via chat, ya?”
Susan tersenyum tipis. “Oke. Jangan lupa, ya.”
Aku mengangguk mantap, meskipun dalam hati ada perasaan lain yang tiba-tiba muncul. Bukan cuma karena Susan super perfeksionis, tapi... kenapa perasaan gue jadi beda pas dia ngomong langsung sama gue?
Aku baru sadar, jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
***
Pukul 10.30, akhirnya aku dan Rizal bisa menyentuh kasur lagi.
“AAAHHH, ENAKNYOOO!” Rizal langsung menjatuhkan badannya ke kasur dengan suara lebay.
“Gak mandi dulu, woi?” tanyaku sambil menatapnya malas.
“Capek banget, Bang. Udah gak ada acara lagi buat HMTS kan?”
Aku mengabaikannya, duduk di kasur, lalu buru-buru membuka HP sebelum lupa menghubungi Susan.
Yudhis: San, list barangnya udah kukirim tuh.
Tak butuh waktu lama, balasan masuk.
Susan: Makasih ya. Eh, Yud, nanti kalau beli sesuatu jangan lupa simpan notanya ya.
Aku mengetik cepat.
Yudhis: Oke, San. Ini aku beli Indomie tiga bungkus, nanti notanya kukasih, ya.
Beberapa detik kemudian…
Susan: Wkwkwkwk, bukan gitu woi.
Aku mengernyit. DIA KETAWA NIH? HAHAHAHA, LUCU JUGA NIH CEWE.
Tiba-tiba, Rizal melongok ke arahku.
Aku langsung berhenti mengetik. Mataku membelalak.
Susan: Liat deh Yud, lagi tren nikah muda ya sekarang.
Eh?! Aku melihat foto dua pasangan muda yang sedang di atas pelaminan yang dikirim Susan beberapa kali. Apa maksudnya ini? Pancingan? Kode? Atau cuma sekadar obrolan biasa?
Jangan-jangan aku cuma kegeeran?
Yudhis: Eeh iya ya, lagi banyak yang nikah di umur muda sekarang. Kenapa emangnya?
Aku menunggu dengan deg-degan. Balasannya datang beberapa detik kemudian.
Susan: Gak kenapa-kenapa, sih. Cuma lucu aja, banyak yang udah berani nikah di umur segini.
Hah? Itu doang? Aku yang tadi sudah bersiap pasang strategi, malah kena PHP.
Yudhis: Wkwkwk, kirain kamu juga kepikiran nikah muda.
Kali ini balasannya butuh waktu lebih lama.
Susan: Ya… kalau ada yang siap dan serius, kenapa nggak?
EH?!
Belum sempat aku mengetik balasan, tiba-tiba suara Rizal menggelegar dari kamar mandi.
“BAAAANG!!! AIRNYA MATI PAS AKU LAGI KERAMAS! KEPALAKU MASIH PENUH BUSA!!”
30 menit kemudian…
Aku dan Rizal sudah tepar di kasur masing-masing. Lampu sudah mati, kamar gelap, hanya suara kipas angin yang berputar pelan. Rizal? Sudah sukses masuk alam mimpi, ditandai dengan dengkurannya yang khas.
Sedangkan aku?
Masih kepikiran chatnya Susan.
Kubalikan badan, HP yang tadi kulempar ke kasur kembali kugenggam. Kubuka room chat kami berkali-kali, membaca ulang pesan terakhirnya.
“Ya… kalau ada yang siap dan serius, kenapa nggak?”
ARGHH! Maksudnya apa, coba?! Itu beneran kode atau cuma jawaban netral doang?
Aku membenamkan wajah ke bantal, frustasi sendiri. Atau… kuajak pacaran aja ya? Dari pada diambil orang kan sayang…
Tapi, gimana kalau ditolak?
Aku melirik ke arah Rizal yang masih ngorok. Enak banget hidupnya, nggak perlu pusing mikirin beginian.
Aku mendesah, membuang HP ke samping.
Udah, besok aja dipikirin lagi.