"Yaudah, Jal. Sekarang ceritain tentang dirimu aja," ucapku memecah keheningan.
"Bentar dulu deh, Bang. Aku mau buat kopi dulu, habis nih kopiku." Rizal mengangkat gelas kecilnya dan masuk ke kamar yang tepat berada di samping kamarku.
Aku melirik gelasku sendiri. Tinggal ampas.
"Sekalian aku, Jal. Gulanya jangan terlalu banyak, ya," teriakku, baru sadar kalau kopi di tanganku udah tinggal kenangan.
Beberapa detik kemudian, kepala Rizal nongol dari pintu. "Ah, monyet! Nggak bilang dari tadi, bikin capek aja!"
Buset, gitu doang marah. Tingkat kesabaran Rizal kayaknya udah limit. Mungkin karena waktunya udah kelewat malam. Aku melirik jam. 00.03.
Bosan nungguin dia buat kopi, aku akhirnya ikut masuk ke kamarnya.
"Jal, aku masuk, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Orang jelek dilarang masuk, Bang," balasnya santai.
Aku melotot. "Yeee, muka kayak casing HP aja belagu kamu, Jal, Jal."
Rizal naruh sendok ke atas meja, terus melirikku tajam. "HAHAHAHAHA, belum pernah ditempeleng casing HP, kah, Bang?"
Kamar Rizal sama sempitnya dengan kamarku, mungkin hanya 4x4 meter. Dindingnya dihiasi cat yang sudah terkoyak di sana-sini, juga retakan-retakan kecil yang membuatnya terlihat tua. Lantainya cuma cor-coran, ditutupi karpet tipis yang udah mulai kumal.
Tapi... kamar ini jauh lebih rapi dibanding kamarku.
Beda banget sama kamar sebelah yang mirip zona bencana. Kalau kamarku jadi headline berita, pasti judulnya: "Gempa 20 SR Hantam Kos-Kosan: Satu Orang Bertahan Hidup."
Aku mengedarkan pandangan, lalu mataku tertuju ke foto keluarga yang tergantung di dinding, tepat di samping kasur kecil bergambar Doraemon.
Di foto itu, terlihat seorang anak kecil, mungkin baru 2 atau 3 tahun. Pipinya tembem, rambutnya tipis, matanya besar seperti penasaran sama dunia. Dia digendong oleh seorang perempuan yang tersenyum hangat, sementara di sampingnya, seorang pria berdiri dengan ekspresi bangga.
Aku melirik Rizal. "Ini foto keluargamu, Jal?"
Rizal melirikku santai. "Bukan, Bang. Foto keluarga Abu Jahal itu."
Aku ngakak. "HAHAHA… Serius ini mah. Lucu banget ya kamu waktu masih bayi. Yang sekarang juga lucu sih." Aku meliriknya, memasang ekspresi gemas.
"Kalau yang dulu rasanya pengen nyubit, Jal. Gemesss."
Rizal baru mau tersenyum, tapi aku lanjut, "Kalau yang sekarang juga pengen nyubit sih, tapi pake besi panas."
Rizal ngakak. "HAHAHA… Anjay, Bang!"
Tapi kemudian dia menarik napas, ekspresinya sedikit berubah.
"Iya, Bang. Itu foto keluargaku." Suaranya sedikit lebih pelan. "Bapakku meninggal waktu aku masih kecil, terus mamaku udah meninggal… 14 tahun yang lalu."
Cepat sekali suasana di ruangan ini berubah.
Aku langsung terdiam. "Eh, maaf ya, Jal. Nggak bermaksud—"
"Iya, nggak apa-apa, Bang," katanya sambil tersenyum tipis. "Nanti juga aku ceritain. Soalnya itu salah satu faktor kenapa aku bisa ketemu abang."
Aku mengangguk. Kenapa tiba-tiba ruangannya jadi sesak begini?
Untungnya, Rizal langsung berdiri dan menepuk bahuku. "Ayo keluar, Bang. Kopinya udah jadi."
Kami kembali duduk di kursi depan. Rizal menarik napas panjang, seakan siap untuk bercerita. Aku ikut diam, menunggu.
Dia masih menarik napas... Masih ditahan… Masih ditahan…
"HACHIIM!!!"
"YARHAMUKALLAH!" Aku refleks mundur. "Bikin kaget aja, sialan!"
Rizal ketawa sambil ngelap hidungnya. "Hahaha, maap Bang, refleks. Dingin banget malam ini."
Aku mendesah panjang. "Pantes lama banget narik napas, kupikir kamu siap buat buka rahasia hidupmu… taunya malah bersin."
Rizal terkikik, lalu menyeruput kopinya. "Yaudah, sekarang beneran, Bang. Aku mau mulai cerita."